Antara Keadilan dan Etika Politik: Mahkamah Konstitusi dan Batas Usia Calon Presiden dalam Perspektif Aksiolog

Main Article Content

Alya Ghina Viedini
Fakultas Ilmu Administrasi Depok, Universitas Indonesia
Cikita Alodia Rahmasari
Fakultas Ilmu Administrasi Depok, Universitas Indonesia
Sarah Shafira Kurniawan
Fakultas Ilmu Administrasi Depok, Universitas Indonesia

Almas TsaqibBirru, seorang lulusan S1 Fakultas Hukum dari Universitas Surakarta, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menantang validitas konstitusional Pasal 169 huruf q yang menetapkan batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden. Setelah beberapa peristiwa, MK akhirnya mengabulkan permohonan Almas TsaqibBirru dan membatalkan Pasal 169 huruf q. Namun, keputusan ini menuai kontroversi dan pertanyaan dari masyarakat terkait konsistensi dan transparansi MK. Beberapa pihak juga mencurigai adanya hubungan kekeluargaan antara ketua MK dan salah satu calon wakil presiden yang saat ini menjabat sebagai Walikota Kota Solo. Keputusan MK ini memunculkan pertanyaan etis mengenai pembatasan usia dan inklusivitas dalam partisipasi politik. Meskipun keputusan MK membuka peluang bagi kepala daerah di bawah usia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, tetapi keputusan ini juga menimbulkan keraguan di masyarakat terhadap independensi dan kredibilitas MK. Artikel ini membahas tentang peran Mahkamah Konstitusi dalam menentukan batas usia calon presiden dalam perspektif aksiologi. Penulis menyatakan bahwa keputusan MK terkait batas usia calon presiden mencerminkan perenungan mendalam terhadap nilai-nilai keadilan dalam partisipasi politik. Artikel juga membahas kontroversi seputar batas usia calon presiden dan keputusan MK terkait hal tersebut


Keywords: mahkamah konstitusi, batas usia calon presiden, kontroversi keputusan mk, aksiologi, partisipasi politik dan etika