Action Research Literate
Vol. 5 No. 2, Juli-Desember2021
p-ISSN : 2613-9898 e-ISSN : 2808-6988
Sosial Pendidikan
TRADISI MADDOJA BINE MASYARAKAT DESA ANABANUA DI KABUPATEN
BARRU
Edika Syamsurya
Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia.
Email: edikasyamsurya196[email protected]
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diterima
10 Agustus 2021
Direvisi
20 Agustus 2021
Disetujui
4 November 2021
Tulisan ini membahas tentang tradisi maddoja bine di masyarakat Desa
Anabanua, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Dari asal katanya,
maddoja yaitu berarti begadang atau tidak tidur, sedangkan bine artinya
benih. Petani yang melakukan tradisi maddoja bine akan akan untuk
menjaga benih padi yang sedang direndam, sebelum ditabur (dalam istilah
sehari-hari masyarakat Desa Anabanua disebut ma’gugu) di sawah
keesokan harinya. Sambil mengisi waktu pada malam maddoja bine
tersebut, masyarakat biasanya menikmati hidangan kue-kue tradisional
bugis yang khusus disediakan untuk acara maddoja bine. Tulisan ini
bertujuan agar kita bisa tau tanggapan masyarakat mengenai tradisi
maddoja bine khususnya di Desa Anabanua, Kecamatan Barru, Kabupaten
Barru dan juga untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi
maddoja bine di Desa Anabanua, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru.
Jenis penelitian yang dipakai dalam jurnal ini yaitu metode kualitatif
dimana kita sebagai peneliti bisa mendapatkan sebuah informasi melalui
tahap wawancara. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah
diharapkan dapat menambah dan memperkaya literatur dan bagi
mahasiswa yang mengadakan penelitian serupa serta menambah
pengetahuan dan memberikan pengalaman baru mengenai tradisi maddoja
bine.
Kata Kunci:
Tradisi, Bugis,
Maddoja bine
Keywords:
Tradition, Bugis,
Maddoja bine.
ABSTRACT
This research examines about the maddoja bine tradition in the Anabanua
village community, Barru District, Barru Regency.Based on the origin of
the word, maddoja means’to stay up or stay awake, not to sleep’; bine
means’seed.’Farmers who carry out maddoja bine will stay awake at night
waiting for the soaked rice seeds, before sowing (in everydays terms the
people of Anabanua Village are called ma’gugu) in the rice fields the next
day. Whilw filling the time on the night of the maddoja bine, the public
usually enjoys traditional Bugis cakes which are specially prepared for
the maddoja bine event. This paper aims determine the public’s perception
of the maddoja bine tradition in Anabanua Village ,Barru District Barru
Regency and also to find out the valued contained in the maddoja bine
tradition in Anabanua Village , Barru District,Barru Regency. The type of
research used is a qualitative research method through interviews. The
results obtained in this study are expected to increase knowledge about
literature and for studenttd who do research as well as add and provide
new experiences for the
maddoja bine tradition.
59
60
Action Research Literate, Vol. 5 No. 2, Juli-Desember 2021
Edika Syamsurya
Pendahuluan
Setiap daerah di Indonesia pasti
memiliki budaya. Kebudayaan tercipta karena
jiwa dan otak manusia yang dimanfaatkan
sebagai sesuatu untuk memuaskan
keberadaan fisik dan dunia lain masyarakat
umum. Cara hidup adalah sebagai berbagai
macam pemikiran, nilai, pemikiran, standar,
dan latihan yang kompleks, khususnya kondisi
yang dirancang dalam masyarakat umum,
seperti artikel buatan manusia (Abdullah,
2018). Dalam perspektif politik, Indonesia
adalah satu kesatuan yang utuh. Namun, dari
keragaman sosial, memang perlu kita akui
bahwa masih ada jarak hubungan antaretnik,
hal-hal yang pada umumnya mengarah pada
bentrokan sosial dari seseorang yang pindah
dari etnik lain (Agustian, 2019). Bentrokan
antar masyarakat sering terjadi di tingkat
publik. Selanjutnya, kita harus memiliki
pilihan untuk mengetahui dan mengetahui
tentang isu-isu seperti ini, memiliki banyak
informasi tentang isu-isu, budaya, sehingga
dapat berperan dalam kemajuan modernisasi.
Selain itu, dengan mengikuti dan membentuk
karakter negara, kita perlu memahami
keyakinan kita, lebih spesifik: membingkai
masyarakat umum lain yang dapat mendorong
inovasi baru tanpa kehilangan kepribadian
negara yang sebenarnya.
Dalam (Iskandar, 2017) keragaman
sosial di Indonesia adalah sesuatu yang tidak
bisa dipungkiri. Di negara-negara bagian
informasi masyarakat yang berbeda, selain
budaya, kebangsaan, dan negara, budaya
Indonesia juga terdiri dari masyarakat yang
berbeda mulai dari lokal dan merupakan
pertemuan antara masyarakat yang berbeda
dan pertemuan etnis yang tinggal di daerah
tersebut. Sulawesi Selatan adalah salah satu
bagian dari pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi
sendiri terletak di bagian timur Indonesia.
Sulawesi Selatan merupakan daerah yang
terletak di ujung selatan Pulau Sulawesi.
Sulawesi Selatan sendiri dimiliki oleh
beberapa marga, khususnya marga Bugis,
Makassar, Toraja, dan Mandar. Secara
geologis, ketiga marga yang ada di Sulawesi
Selatan terletak di kawasan tepi pantai,
sehingga dikenal sebagai marga ahli kelautan,
sedangkan ketiga marga tersebut adalah marga
Bugis, Makassar, dan Mandar (St Muttia,
2012). Di masa lalu ada bukti kuat bahwa
pelaut dari Sulawesi Selatan menempatkan diri
sebagai pelaut ahli, mereka memiliki pilihan
untuk mengarungi lautan dan datang ke pulau
Madagaskar, pulau yang terletak di bagian
timur daratan Afrika. Perahu yang digunakan
untuk berlayar disebut perahu phinisi. Prestasi
ini memiliki opsi untuk memasukkannya
sebagai salah satu jaringan laut. Juga, tidak
kalah luar biasa dengan negara yang berbeda.
Kebangkitan Islam di kabupaten ini dapat
menyebar dengan cepat karena daya tarik para
pelopornya, namun perlu dipahami bahwa
penyebaran semacam ini adalah bahwa Islam
rakyat tidak begitu kokoh jika kita
membandingkannya dengan Islam
masyarakat. Masyarakat yang penyebaran
Islamnya dimulai dari masyarakat bawah.
Banyak memberikan data tentang budaya
Bugis Makassar, memberikan data bahwa
penganut agama Islam Bugis Makassar adalah
taat dan juga ada berbagai macam pelajaran
yang masih digunakan dalam adat yang
berbeda seperti Maddoja Bine. Di sana kita
bisa melihat beberapa komponen Islam yang
menyatu dengan keyakinan daerah masa lalu
yang masih diterima hingga saat ini (Sudikna,
2021). Demikian pembahasan kali ini,
khususnya tentang pengaturan keyakinan
masyarakat Bugis. Bagi penghuni tertentu,
praktik ini masih dianggap memiliki sifat- sifat
positif yang akan terus dilestarikan kapan pun,
namun adat-istiadat yang dianggap tidak
pantas pada akhirnya akan berangsur-angsur
hilang. Meskipun demikian, tidak dapat kita
pungkiri bahwa dalam kehidupan yang
mengglobal seperti sekarang ini, tentunya
masih banyak adat-istiadat dari
Action Research Literate, Vol. 5 No. 2, Juli-Desember 2021
61
berbagai daerah di Indonesia yang masih
dipertahankan hingga saat ini. Salah satu
model adalah hal yang terus dilakukan oleh
daerah setempat sebagai kebiasaan di Desa
Anabanua.
Metode Penelitian
Teknik yang digunakan dalam tulisan
ini adalah strategi subjektif. Teknik subjektif
ini dilengkapi dengan mempersiapkan
penyelidikan informasi (Hasanah, 2017).
Dalam penyelidikan penelitian dan
pengumpulan informasi adalah dua variabel
penting. Keduanya adalah siklus yang sangat
tegas dan tidak diragukan lagi saling
melengkapi. Eksplorasi ini menceritakan
tentang sesuatu yang mengalir secara
konsisten. Strategi pemeriksaan subjektif ini
menjelaskan gagasan secara keseluruhan dan
gagasan akan berubah setelah menghadapi
interaksi eksplorasi. Pemeriksaan subyektif
juga merupakan penelitian dalam keadaan
yang masuk akal dan informasi yang
dikumpulkan pada umumnya bersifat
subyektif. Selanjutnya eksplorasi ini disebut
teknik subjektif. Strategi subjektif dapat
digunakan untuk melihat keajaiban sosial yang
ada, untuk situasi ini merupakan siklus dan
peristiwa komunikasi sosial di Kota Anabanua,
Wilayah Barru, Rezim Barru. Pemeriksaan
informasi dilakukan setelah pengumpulan
informasi. Artinya,
pemeriksaan akan dilakukan setelah
pengumpulan informasi secara umum selesai.
Perenungan seperti ini harus diselesaikan
cukup lama, pertama, siklus pemeriksaan
harus dilakukan secara tuntas agar judul, isu,
spekulasi, dan lain-lain tidak terpaku. Kedua,
untuk menekan biaya penelitian, khususnya
bagi para ilmuwan yang wilayah dan tempat
pemeriksaannya umumnya jauh. Sumber
informasi yang didapat dalam review ini
berasal dari persepsi atau persepsi terhadap
item yang diteliti. Persepsi merupakan salah
satu prosedur yang paling sering digunakan
dalam
penelitian,
baik
kuantitatif
maupun
subjektif, baik sosial maupun humanistic
(Nugrahani & Hum, 2014). Faktor utama
dalam metode persepsi adalah saksi mata dan
orang yang dilihat yang kemudian juga
berperan sebagai penyalur data, lebih tepatnya
saksi. Prosedur pengumpulan informasi
berikut adalah wawancara. Rapat adalah salah
satu hal utama selama eksplorasi subjektif
memanfaatkan prosedur
pemeriksaan informasi. Sebagai aturan umum,
pertemuan terdiri dari dua bagian, khususnya
penanya, untuk lebih spesifik spesialis itu
sendiri dan individu yang akan ditemui.
Pertemuan dipimpin dengan saksi atau warga
sekitar yang mengetahui atau secara teratur
mempraktikkan kebiasaan bime maddoja di
Kota Anabanua, Lokal Barru, Peraturan Barru.
Pada tingkat dasar, pertemuan diharapkan
terjadi secara terbuka, namun harus sesuai
subjek dan kondisi yang masuk akal dengan
saksi. Hal ini dilakukan agar informasi yang
didapat akan merata dan dapat ditentukan.
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil dan Pembahasan
1. Tradisi Lisan Dalam Kerangka
Konseptual
Ada begitu banyak ide yang dapat
diandalkan untuk membantu kita
memahami dan menganalisis berbagai
keajaiban yang kita temukan di
lapangan. Bagaimanapun, pasti tidak
ada hipotesis lengkap tunggal yang
dapat sepenuhnya menjelaskan
keajaiban ini dengan cukup. Berikutnya
adalah ide-ide berbeda yang digunakan
untuk melakukan pemeriksaan ini.
2. Tradisi Lisan
Dalam buku yang berjudul Oral
Verse (1977) Finnegan menjelaskan
bahwa tindakan adat lisan direncanakan
sebagai bagian dari kelimpahan sosial
sebagai lisan dan bahwa praktek lisan
telah ada cukup lama, teratur, dan
memiliki tempat dengan daerah
setempat menjelaskan bahwa dengan
asumsi kita berpikir mendalam tentang
kebiasaan lisan, kita juga dapat
Edika Syamsurya
62
Action Research Literate, Vol. 5 No. 2, Juli-Desember 2021
memahami perilaku sosial individu
yang memilikinya (Abdullah, 2018).
3. Ritual dan Mitos
Adat adalah suatu gerakan atau
berbagai kegiatan yang diterapkan oleh
kebiasaan dan hukum yang berlaku di
masyarakat umum yang ditandai
dengan berbagai peristiwa yang sangat
tahan lama yang secara konsisten terjadi
secara lokal yang bersangkutan. Dalam
praktik atau fungsi yang ketat, aktivitas
atau perilaku umumnya terjadi.
Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan
perpaduan dari amalan- amalan yang
berbeda, misalnya berdo’a, sujud,
qurban, makan bersama, bergerak dan
bernyanyi, pawai, pertunjukan suci,
puasa, renungan dan renungan
(Suyanto, 2015). Menurut
(Nurrachman, 2013) menjelaskan
tentang fantasi, legenda adalah cerita
klasik yang dianggap asli dan dianggap
suci oleh pemiliknya. Fantasi itu sendiri
dibandingkan dengan gambaran
optimal oleh masyarakat, legenda
menggabungkan pengaturan informasi,
kesimpulan dan keyakinan masyarakat
umum. Seperti yang ditunjukkan oleh
Malinowski fantasi dapat dimanfaatkan
sebagai sanksi keyakinan untuk daerah
(Lessa et al., 1979). Fantasi itu sendiri
memiliki kapasitas untuk menyimpan
implikasi sosial yang digunakan
individu untuk menguraikan pemikiran,
perspektif, dan kerangka keyakinan
mereka. Fantasi biasanya diidentikkan
dengan keajaiban yang ketat (kerangka
keyakinan). Berdasarkan uraian
(Koentjaraningrat., 1994) berpendapat
bahwa ada beberapa bagian penting
dalam kerangka yang ketat, khususnya
perasaan yang ketat; kerangka
keyakinan manusia tentang keadaan
dunia, yang kuat, kematian, dll;
Motivasi di balik kerangka pelayanan
yang ketat adalah untuk menemukan
hubungan dengan dunia surgawi dan
lebih jauh lagi pertemuan.
B.
Pembahasan
1. Pengertian Maddoja Bine
Maddoja bine merupakan tradisi
pertanian yang selalu dilakukan oleh
para petani Bugis, tradisi tersebut
bertujuan untuk menghormati Sangiang
Serri, dewi padi menurut kepercayaan
orang Bugis). Dari asal katanya maddoja
berarti begadang atau tidak tidur,
sedangkan bine berarti benih. Petani
yang mengamalkan tradisi maddoja bine
akan menjaga benih padi yang direndam
sebelum disemai (dalam istilah sehari-
hari masyarakat Desa Anabanua disebut
ma’gugu) di sawah keesokan harinya.
Seperti kue tradisional Bugis yang
khusus disiapkan untuk acara Maddoja
Bine. Pelaksanaan tradisi maddoja bine
merupakan upaya yang dilakukan oleh
masyarakat desa Anabanua untuk
membujuk Sangiang Serri karena esok
harinya akan dilepasliarkan namun
dengan harapan akan kembali sehat saat
panen telah tiba. Petani melepas
Sangiang Serri sambil berdoa agar
Sangiang Serri bisa kembali dalam
jumlah banyak dan dalam waktu yang
tidak lama. Saat itu, benih padi akan
menerima iringan sesaji dan pembacaan
mantra dari warga yang melaksanakan
tradisi tersebut. Dengan massureq, atau
membacakan surat kepada
Sangiang Serri,
mengingatkannya bahwa ia diutus ke
dunia untuk menjalankan tugasnya
sebagai sumber energi bagi kehidupan
manusia.
Di sisi lain, Sangiang Serri juga
akan meminta agar dirinya
diperlakukan dengan baik oleh
masyarakat dan mengingatkan
masyarakat untuk selalu menjaga
kerukunan. Oleh karena itu, Sangiang
Serri hanya akan datang dan tinggal di
masyarakat (petani) yang
memperlakukannya dengan baik.
Tradisi bine maddoja merupakan salah
satu tradisi La Galigo yang dilakukan
oleh para petani Bugis. Keberadaan
tradisi La Galigo sangat erat kaitannya
dengan kerajaan Bugis yang memiliki
lembaga adat. Saat itu, galung arajangE
(sawah tradisional yang dikuasai
kerajaan) masih berdiri dan digunakan
sebagai pusat pelaksanaan ritual
pertanian.
Setiap
musim
tanam
atau
Action Research Literate, Vol. 5 No. 2, Juli-Desember 2021
63
pada saat menabur benih padi biasanya
akan selalu dimulai di Galung ArajangE.
Pada saat sistem kerajaan
menghilang dan digantikan dengan
sistem pemerintahan Republik
Indonesia, kelangsungan ritual agraria
sudah mulai memudar. Namun
demikian, tradisi maddoja bine sebagai
benang merah bagi keberlangsungan
tradisi tersebut masih dilakukan oleh
sebagian besar petani Bugis, terutama
yang tinggal di daerah terpencil, dan
salah satu contohnya adalah
masyarakat di Desa Anabanua,
Kecamatan Barru, Barru. Kabupaten
yang hampir 100% penduduknya adalah
orang Indonesia. Bugis yang
pekerjaannya sebagai petani. Ritual bine
maddoja merupakan bagian dari
kepercayaan (agama) petani Bugis di
Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha
Esa). Dengan bine maddoja, orang
Bugis tetap menggunakan agama
lokalnya. Hal ini juga menunjukkan
bahwa kepercayaan (agama)
masyarakat Bugis yang memiliki
berbagai tradisi hingga saat ini masih
sangat menjiwai dan mempengaruhi
kehidupan sosial budaya masyarakat
Bugis khususnya masyarakat Bugis di
Desa Anabanua Kecamatan Barru
Kabupaten Barru. Bagi masyarakat di
daerah tersebut, tradisi yang mereka
lakukan secara turun temurun hanyalah
mengikuti apa yang dilakukan nenek
moyang mereka sebelumnya.
Pelaksanaan maddoja bine juga
merupakan bagian niskala, yaitu sebagai
pengingat, cara menyimpan,
melestarikan, dan menginformasikan
segala pengetahuan (kearifan lokal)
kepada masyarakat Bugis.
2. Pelaksanaan Maddoja Bine Dan
Strukturnya
Dari penelusuran ini, ada 4
tipologi pelaksanaan maddoja bine di
kalangan masyarakat Bugis, khususnya
1) maddoja bine yang dilakukan
sendiri-sendiri atau sendiri-sendiri dan
dibarengi dengan membaca Sureq La
Galigo (massureq), 2) diselesaikan
sendiri-sendiri atau sendiri-sendiri. Dan
bergabung dengan komponen yang
ketat. Islam yang biasa disinggung
sebagai (barazanji) dan tidak disertai
dengan membaca Sureq La Galigo, 3)
diselesaikan sendiri-sendiri atau
sendiri-sendiri tanpa membaca Sureq
La Galigo, dan 4) dilakukan secara
berjamaah dan dengan membaca Sureq
La Galigo. Pada umumnya pelaksanaan
maddoja bine dipisahkan menjadi tiga
tahap, dimulai dengan pembukaan
dengan membaca doa/mantra Sandro
Wanua, membaca sureq (barazanji), dan
menutup dengan membaca petisi yang
tujuannya untuk keamanan bersama. Di
panggung utama, pengajian dilakukan
setelah benih padi yang basah kuyup
ditaruh di posisi bola atau titik fokus
rumah. Ada beberapa jenis
perlengkapan yang digunakan untuk bea
cukai seperti sumbangan, perangkat
keras pedesaan, dan perangkat rias dan
semuanya dipasang di posisi bola atau
titik fokus rumah. Perangkat keras yang
sebenarnya secara eksplisit ditujukan
kepada Sangiang Serri.
Sebagai seorang wanita, dia
dianggap mendapatkan kesempatan
untuk berdandan, mirip dengan wanita
pada umumnya. Unsur sumbangannya
adalah rekko ota (daun sirih), pinang,
daun paruh, benno (berih), kemenyan,
sokko (nasi ketan), pallisek (lauk pauk),
attello manuk (telur ayam), minya’ bau,
( kelapa diblender dan dimasak, pucuk
daun jati, dan kayu manis), daun
mayang, pesse pelleng (lampu lilin dari
kemiri).
Siklus awal adalah membaca doa
atau mantra, yang dilanjutkan dengan
mengkonsumsi kemenyan dan
menyalakan pesse pelleng, dan
menaburkan air pada benih padi. Tahap
selanjutnya adalah tahap membaca
sureq (huruf) atau barazanji. Sesuai
yang didapat di lapangan, sureq yang
selalu dibaca adalah Sureq Riuloqna
Batara Master ri Lino, surat tersebut
menceritakan tentang awal atau awal
munculnya manusia, khususnya Batara
Master sebagai manusia utama di planet
ini dan Sureq Meong Palo
Edika Syamsurya
64
Action Research Literate, Vol. 5 No. 2, Juli-Desember 2021
Karellae yang menceritakan kisah
perjalanan Sangiang Serri bergabung
dengan seekor kucing bernama Meong
Palo Karellae. Penjaga gerbangnya yang
teguh.
Sangiang Serri memberikan
syarat bahwa ia perlu tinggal di suatu
ruang, khususnya penghuninya harus
hidup rukun, tunduk, bermoral, dan
harus secara konsisten memuji dan
memanggil makhluk ilahi (Patotoe).
Tahap ketiga atau penutup berisi
permohonan keselamatan bersama.
Permohonan itu berisi harapan bahwa
apa yang coba dilakukan oleh peternak
itu akan menjadi hadiah bagi keluarga
mereka.
3. Fungsi Maddoja Bine
Kapasitas dalam pelaksanaan
adat maddoja bine adalah sebagai adat.
Kebiasaan ini sebagian besar
merupakan gerakan agregat, dan
difokuskan pada yang tidak
mencolok/tersembunyi, tujuannya
adalah untuk mendapatkan bantuan.
Kebiasaan-kebiasaan ini sebagai aturan
menggunakan bahasa dan tanda-tanda
lambang, kontribusi. Ada beberapa
unsur adat Maddoja Bine, lebih
tepatnya:
a. Kemampuan Sosial Hal ini terlihat
pada saat pelaksanaan Maddoja Bine
yang dianggap melibatkan beberapa
lapisan masyarakat karena sebelum
Melakukan adat bine Maddoja, ada
juga beberapa upacara atau adat
pedesaan yang dilakukan, misalnya
tudang sipulung. (duduk bersama
dan membicarakan). Dengan
melengkapi adat bine maddoja,
penghuni sekitar diingatkan untuk
selalu menjaga kerukunan dan
kekeluargaan antar sesama sesuai k
b. Addoja bine juga dapat menjadi
wadah atau wadah persekolahan bagi
daerah setempat dari kualitas-
kualitas sosial yang terkandung di
dalamnya. Selain itu, ketika
menyelesaikan adat maddoja bine,
biasanya juga diawali dengan
mattangak esso (mencari hari yang
baik)
yang
bergantung
pada
informasi dukun atau biasa disebut
kosmologi, kondisi iklim, musim.
Informasi semacam ini juga dapat
ditemukan di lontaraq pananrang,
yang mengungkap indikasi hujan
dan panas hanya sebagai penyebab
kejengkelan sesekali. Maddoja bine
yang dirangkai dengan massureq
juga merupakan posisi penyampaian
informasi yang terkandung dalam
sureq yang dibaca.
c. Sebagai Sarana Korespondensi
Maddoja bine juga berfungsi sebagai
alat khusus adat, menempatkan
Patotoe Dewata Seuwae, Tuhan
Yang Maha Kuasa sebagai pengatur
alam semesta. Dalam situasi khusus
ini, maddoja bine juga memiliki
tujuan agar orang dapat membangun
hubungan dengan Patotoe, Tuhan
Yang Mahakuasa. Hubungan yang
terjalin antara manusia dengan
Tuhan adalah hubungan yang
terhormat, yaitu antara individu yang
berkuasa dengan rakyat yang
dikuasai.
d. Maddoja Bine Sebagai Refleksi
Sejarah Manusia Bugis Kita juga
dapat menganggap adat
maddoja bine sebagai cerminan
sejarah, khususnya masyarakat
Bugis yang menggambarkan
keadaan sosial individu Bugis
beberapa waktu yang lalu. Suatu hari
adat maddoja bine berubah menjadi
gerakan adat yang khas di suatu kota.
Dalam berbagai kesempatan adat
maddoja bine juga berhubungan
dengan keyakinan luar, seperti
Islam.
Kesimpulan
Adat merupakan kesan penting dari
praktik sosial-sosial bagi sekutunya. Suatu
kebiasaan tidak dapat dipisahkan dari
kerangka nilai yang diambil dan diterima oleh
daerah setempat yang menggerakkan hati
mereka untuk menyelesaikan amalan tersebut.
Kerangka nilai saat ini mencerminkan arah
area lokal saat ini, dan pada akhirnya akan
menentukan gaya desain khusus. Misalnya,
Action Research Literate, Vol. 5 No. 2, Juli-Desember 2021
65
dalam pelaksanaan adat bine maddoja di
wilayah Barru, yang mengkonsolidasikan
komponen-komponen Islam (penghafalan Al-
Qur'an dan barzanji). Hal ini menunjukkan
keadaan arah individu di wilayah Barru dalam
melakukan pelajaran agama Islam. Demikian
pula diidentikkan dengan imajinasi daerah
setempat untuk mewariskan jalan hidupnya
dengan pelajaran agama yang diyakininya.
Konsekuensi dari pemahaman tersebut akan
menentukan konstruksi eksekusi maddoja
bine. Dalam tatanan sosial, pentingnya suatu
praktik adat umumnya memiliki keterkaitan
antara legenda dan kerangka keyakinan
(agama). Cara signifikansi dan perubahan yang
paling umum dalam pelaksanaan adat di mata
publik dapat dilihat sebagai dinamika sosial-
sosial. Perkembangan ini biasanya
meninggalkan jejak perjalanan keberadaan
masyarakat umum yang memiliki adat istiadat
yang diidentikkan dengan kerangka kerja,
kosmologi, dan kerangka informasi lokal yang
ketat. Sebuah praktik tidak dapat dipisahkan
dari kerangka nilai yang mengarahkan
peternak untuk bertindak dalam memegang
apa yang mereka sebut adat maddoja bine.
Bine Maddoja direncanakan sebagai bentuk
apresiasi kepada Yang Maha Kuasa dan
selanjutnya sebagai apresiasi terhadap habitat
asli. Dengan mengikuti kebiasaan bine
maddoja, orang Bugis mempraktikkan
keyakinan terdekat yang mengungkap
hubungan antara alam dan Sang Pencipta.
Bagaimanapun, kelanjutan latihan akan
dipengaruhi oleh beberapa perhitungan yang
ada di wilayah tersebut. Penilaian dari luar (isu
agama dan pemerintahan) dan pembatasan
interior (kerangka warisan) akan
mempengaruhi adat maddoja bine dalam
masyarakat Bugis. Kelanjutan adat maddoja
bine merupakan suatu jenis makna atau
kepentingan adat bagi orang Bugis yang
menganggapnya masih bekerja dalam
kehidupan mereka meskipun konstruksinya
telah mengalami perubahan.
Bibliografi
Abdullah, A. P. (2018). Implementasi
Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui
Lembaga Mediasi Di Kantor Pertanahan
Kabupaten Gowa. Jurnal Ilmiah
Ecosystem, 18(1), 11051115.Google
Scholar
Agustian, M. (2019). Pendidikan
Multikultural. Penerbit Unika Atma Jaya
Jakarta. Google Scholar
Hasanah, H. (2017). Teknik-teknik observasi
(sebuah alternatif metode pengumpulan
data kualitatif ilmu-ilmu sosial). At-
Taqaddum, 8(1), 2146. Google Scholar
Iskandar, J. (2017). Etnobiologi dan
keragaman budaya di indonesia.
Umbara, 1(1). Google Scholar
Koentjaraningrat. (1994). Metode - Metode
Penelitian Masyarakat Edisi Ketiga.
(3rd ed.). Gramedia Pustaka Utama.
Lessa, W. A., Lessa, W. A., & Vogt, E. Z.
(1979). Reader in comparative religion:
An anthropological approach. Harper
Collins. Google Scholar
Nugrahani, F., & Hum, M. (2014). Metode
penelitian kualitatif. Solo: Cakra Books.
Google Scholar
Nurrachman, N. (2013). The role of
psychology in Indonesia’s development
Some past and current notions. Journal of
Group Dynamics, 30, 9097. Google
Scholar
St Muttia, A. H. (2012). Proses Dalam Tradisi
Perkawinan Masyarakat Bugis di Desa
Pakkasalo Kecamatan Sibulue
Kabupaten Bone. Makassar. Google
Scholar
Sudikna, E. (2021). Akulturasi Budaya Islam
Dengan Budaya Sunda Dalam Tradisi
Misalin Di Desa Cimaragas Ciamis.
Google Scholar
Suyanto, B. (2015). Metode Penelitian Sosial:
Edika Syamsurya
66
Action Research Literate, Vol. 5 No. 2, Juli-Desember 2021
Berbagai Alternatif Pendekatan.
Prenada Media. Google Scholar
Copyright holder :
Edika Syamsurya (2021).
First publication right :
Action Research Literate
This article is licensed under: