KEBIJAKAN LUAR NEGERI PRAYUT CHAN O CHA TERKAIT KUDETA MYANMAR

 

Cahyani Brigita Kaat 1, Roberto Octavianus Cornelis Seba 2, Novriest Umbu Walangara Nau 3

Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

* Email untuk Korespondensi: [email protected]1

 

Kata kunci:

Kebijakan Luar Negeri, Thailand, Prayut Chan o Cha, Kudeta Myanmar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

Foreign Policy, Thailand, Prayut Chan o Cha, Mynamar

 

ABSTRAK

 

Kudeta Myanmar menimbulkan berbagai masalah baru bagi wilayah regional Asia Tenggara dan berdampak langsung terhadap negara-negara yang berbatasan langsung dengan Myanmar. Sebagai bentuk menekan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh kudeta ini setiap actor negara hingga actor internasional lainnya berlomba untuk menentukan resolusi damai bagi Myanmar. Salah satunya yaitu Thailand dibawah pemerintahan Prayut Chan o Cha dengan mengeluarkan kebijakan luar negeri berupa quite diplomacy untuk menekan intervensi asing dan ketegangan dalam proses damai. Kebijakan ini dikeluarkan dengan alasan kepentingan nasional yang harus diamankan oleh Thailand yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber daya. Hal ini didasarkan pada panjangnya garis perbatasan antara kedua dengan panjang 2.401 km yang menyebabkan berbagai masalah seperti imigran, narkoba, dan masalah sosial lainnya mengalami peningkatan dan merugikan Thailand. Sehingga Thailand berupaya untuk menengahi kasus ini sebagai mediator dengan berusaha membangun komunikasi dengan Myanmar untuk mengamankan wilayah perbatasan yang berdampak kebeberapa aspek penting seperti ekonomi. Dengan memanfaatkan hubungan masa lalu antara elit militer kedua negara Prayut berupaya untuk mengubah kebijakan Burma Myanmar menjadi lebih strategis dan bermoral sehingga dapat mencapai kesepakatan bersama yang menguntungkan kedua belah pihak. Pada penelitian ini penulis berupaya untuk melihat bagaimana proses quite diplomacy yang dilakukan oleh Prayut dapat mempengaruhi Myanmar dan seberapa efektifnya kebijkan ini dalam melakukan pendekatan terhadap Myanmar saat ASEAN gagal dalam melakukan pendekatan terhadap Myanmar, keterbatasan ASEAN dalam menangani isu Myanmar melemahkan posisinya sebagai sentralitas regional dan menurunkan kredibilitasnya sebagai organisasi yang mengedepankan HAM. Hasil penelitian ini menunjukan efisiensi dari kebijakan yang di keluarkan oleh Prayut dimana Myanmar menaruh kepercayaan terhadap Thailand demi mengamankan kepentingannya terutama di bidang ekonomi.

 

Myanmar's coup raises various new problems for the Southeast Asian region and has a direct impact on countries that border Myanmar. As a form of suppressing the level of losses caused by this coup, every state actor and other international actors are competing to determine a peaceful resolution for Myanmar. One of them is Thailand under the Prayut Chan o Cha government by issuing a foreign policy in the form of quite diplomacy to suppress foreign intervention and tension in the peace process. This policy was issued on the grounds of national interests that must be secured by Thailand related to the economy and resources. This is based on the length of the border line between the two with a length of 2,401 km which causes various problems such as immigrants, drugs, and other social problems to increase and harm Thailand. So Thailand seeks to mediate this case as a mediator by trying to build communication with Myanmar to secure the border area which has an impact on several important aspects such as the economy. By utilizing the past relationship between the military elites of both countries Prayut seeks to change Myanmar's Burma policy to be more strategic and moral so that it can reach a mutual agreement that benefits both parties. In this research, the author seeks to see how the process of quite diplomacy carried out by Prayut can influence Myanmar and how effective this policy is in approaching Myanmar when ASEAN fails to approach Myanmar, ASEAN's limitations in handling the Myanmar issue weaken its position as a regional centrality and reduce its credibility as an organization that promotes human rights. The results of this study show the efficiency of the policies issued by Prayut where Myanmar puts its trust in Thailand to secure its interests, especially in the economic field.

 

Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA .

This is an open access article under the CC BY-SA license.

 

 

 

PENDAHULUAN

Krisis politik Myanmar dimulai pada 1 Februari 2021 saat militer Myanmar di bawah pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing menggulingkan pemerintahan demokratis yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Sekitar 400 anggota parlemen dari partai National League of Democracy (NLD) ditahan dan menyebabkan ketegangan antara pemerintah sipil dan junta Myanmar. Merespon hal ini rakyat dan petugas kesehatan melalui Civil Disobedience Movement (CDM) turun ke jalan untuk melakukan protes. Menanggapi aksi protes Min Aung Hlaing membentuk Special Advisory Council (SAC) yang kemudian disusul dengan menurunkan aparat untuk membubarkan para pendemo yang dibarengi penggunaan kekerasan sehingga menyebabkan banyak korban sipil berjatuhan ditambah dengan membatasi akses komunikasi selama tiga hari yang membawa Myanmar dikondisi krisis politik dan kemanusiaan yang serius�(Sebayang, 2021).

Berbagai lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) seperti Burma Human Rights Network (BHRN), Burmese Rohingya Organization UK (BROUK), dan the Internasional Federation for Human Rights (FIDH) mengecam tindakan militer Myanmar sebagai bentuk pelanggaran HAM. Pada tingkat internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui Antonio Guterres, menentang keras pelanggaran HAM di Myanmar dan mencoba memberlakukan embargo senjata serta menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar yang terhalang oleh China dan Rusia sebagai anggota tetap dengan hak veto yang ingin melindungi posisi Myanmar dan menganggap tekanan internasional hanya akan memperburuk kondisi di Myanmar (Juanda, 2021). Pada tingkat regional ASEAN langsung melakukan KTT darurat ASEAN untuk membahas krisi Myanmar dan menghasilkan lima poin konsensus. Dalam upaya menemukan solusi terbaik bagi Myanmar keanggotaan ASEAN mengalami perpecahan yang terjadi antara Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Filipina yang mendukung pemerintahan demokratis Myanmar dan mengecam kudeta. Namun, negara-negara lainnya seperti Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Filipina memilih untuk abstain karena alasan latar belakang masing-masing. Perbedaan sikap ini menyebabkan terhambatnya campur tangan ASEAN dalam penyelesaian konflik di Myanmar ditambah adanya prinsip non-intervensi yang membatasi peran ASEAN dalam urusan internal negara anggotanya�(Ebbighausen, 2021).

Keterbatasan ASEAN dalam menangani isu Myanmar melemahkan posisinya sebagai sentralitas regional dan menurunkan kredibilitasnya sebagai organisasi yang mengedepankan HAM. Oleh karena itu sebagai bentuk respon dari hal ini Thailand yang saat itu dipimpin oleh Perdana Menteri Prayut Chan o Cha menjadi salah satu negara yang mengambil sikap dengan melakukan quiet diplomacy pada 14 November 2021 untuk menekan kudeta mengingat letak geografisnya yang berdekatan�(Wong L. , 2022). Pendeketan secara hati-hati dilakukan oleh Thailand dalam upaya untuk menurunkan intensitas konflik yang berimplikasi terhadap stabilitas negaranya dalam hal kepentingan nasional. Hal ini didasarkan pada panjangnya garis perbatasan antara kedua dengan panjang 2.401 km yang menyebabkan berbagai masalah seperti imigran, narkoba, dan masalah sosial lainnya mengalami peningkatan dan merugikan Thailand. Sehingga Thailand berupaya untuk menengahi kasus ini sebagai mediator dengan berusaha membangun komunikasi dengan Myanmar untuk mengamankan wilayah perbatasan yang berdampak kebeberapa aspek penting seperti ekonomi. Dengan memanfaatkan hubungan masa lalu antara elit militer kedua negara Prayut berupaya untuk mengubah kebijakan Burma Myanmar menjadi lebih strategis dan bermoral sehingga dapat mencapai kesepakatan bersama yang menguntungkan kedua belah pihak�(Wong & Yingcharoen, 2023).

Sehingga berdasarkan upaya Thailand dalam mencapai kepentingan nasionalnya dibawah kepemimpinan PM Prayut Chan o Cha melalui kebijakan luar negeri quite diplomacy hal ini menjadi penting dan menarik untuk diteliti. Penelitian ini didukung dengan teori kebijakan luar negeri yang digagas oleh K.J Holsti yang menekankan pentingnya proses pelaksanaan kebijakan luar negeri untuk memastikan keamanan nasional�(Holsti, 1939). Pendekatan yang diambil oleh Thailand berdasrkan persepktif Holsti, lebih efektif dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya karena sedikit memberikan respon yang berlebihan dari pendekatan yang dilakukan.

Top of Form

Bottom of Form

Top of Form

Bottom of Form

Top of Form

Bottom of Form

 


 

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mendeskripsikan dan menjelaskan kebijakan luar negeri Thailand di bawah Prayut Chan o Cha terhadap kudeta Myanmar. Fokus penelitian dari kualitatif sendiri adalah penekanan pada sudut pandang yang lebih luas dan lebih dalam�(Corbin & Strauss, 1990). Dalam penelitian ini menggunakan teknik deskriptif kualitatif yang menggambarkan suatu fenomena dengan cara mengumpulkan data dan fakta dalam bentuk kata dan gambar kemudian menuliskannya secara menyeluruh dari segala aspek (Haryoko, Bahartiar, & Arwadi, 2020).

Unit amatan adalah objek yang dapat digunakan sebagai sumber penelitian mencakup dokumen, lokasi penelitian, dan individu yang memberikan informasi dan data untuk mendukung studi yang dalam penelitian ini adalah kebijakan luar negeri Thailand (Ihalauw, 2003), sedangkan unit analisis adalah respons Thailand terhadap kudeta Myanmar.

Data yang digunakan adalah kualitatif yang diperoleh dari studi literatur dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data melibatkan studi literatur dan seleksi informasi relevan. Analisis data melibatkan reduksi data dan penerapan teori. Kesimpulan akan merangkum hasil penelitian dalam bentuk narasi yang valid.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kudeta Myanmar menjadi salah satu permasalahan yang terus berlanjut dan menimbulkan berbagai fenomena baru di dalam hubungan internasional di mana setiap aktor internasional dari lingkup terluar hingga terdekat dengan Myanmar berupaya untuk menentukan resolusi terbaik bagi Myanmar. Latar belakang dan kepentingan yang berbeda dari setiap aktor membuat sikap yang diambil oleh setiap aktor juga berbeda. Salah satu perbedaan yang terlihat nyata bagaimana Thailand sebagai negara yang memiliki kedekatan dengan negara tetangganya yaitu Myanmar dan memiliki latar belakang yang sama sebagai salah satu negara yang pernah melakukan kudeta. Sehingga bagian ini akan memaparkan lebih lanjut terkait dengan hasil dari penelitian melalui konsep segitiga terbalik yang dimulai dengan akar permasalahan yang diteliti hingga korelasi antara konsep dan teori terhadap sikap Thailand pada masa pemerintahan Prayut Chan o Cha dalam merespon kudeta Myanmar.

Kronologi Kudeta Mynamar

Pada 1 Februari 2021 Myanmar menetapkan pemerintahan demokratis Aung San Suu Kyi dari partai National League for Democracy (NLD) sebagai pemerintahan yang sah secara hukum sebagai hasil dari pemilihan umum pada 8 November 2020 dengan total kursi 364 dari total 50 persen di parlemen. Namun, hal ini mengalami penolakan dari pihak militer Myanmar sebagai bentuk kecurangan dalam pemilihan umum sehingga menuntu adanya pemilihan ulang (Iswara A. J., 2021). Namun, penyelidikan oleh Union Election Commission (EUC) menemukan tidak adanya pelanggaran, menyatakan bahwa proses pemilu dilakukan secara transparan dan disaksikan oleh berbagai pihak termasuk masyarakat sipil�(Sicca , 2021). Merespon hal ini pihak militer Myanmar yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing melakukan reformasi paksa dengan menahan Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint atas dasar hukum yang memungkinkan pengambil alihan kekuasaan oleh panglima tertinggi dalam keadaan darurat sesuai dengan hukum dan konstitusi pada 1 Februari 2021�(Iswara A. , 2021). Namun sebelumnya sejak 29 Januari 2021, beberapa jalan di Naypyidaw telah ditutup dan dijaga oleh kepolisian dengan pagar berduri sebagai langkah pencegahan terhadap ancaman kudeta oleh pihak Tatmadaw�(Hakiem, Indrasari, & Hasanah, 2022). Selain itu, Tatmadaw juga mencabut 24 menteri terpilih dan menggantikannya dengan 11 orang dari pihak Tatmadaw untuk mengawasi keuangan, pertahanan, serta urusan luar dan dalam negeri Myanmar. Kemudian untuk mengurangi pengaruh dari pihak luar Myanmar juga melakukan pengendalian penuh terhadap perusahaan komunikasi yang ada Myanmar termasuk menutup akses ke platform-media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan Twitter selama tiga hari serta memutuskan jaringan internet di negara tersebut.

Aksi lainnya juga dilakukan oleh Tatmadaw pada 2 Februari 2021 dengan menahan sekitar 400 anggota parlemen terpilih bersama dengan pemimpin lainnya, sambil menyatakan komitmen untuk mengadakan pemilihan yang bebas dan adil serta menegaskan dukungannya terhadap kepentingan rakyat dalam mewujudkan demokrasi yang sejati dan adil�(Sebayang, Rehia, 2021). Sehingga aksi sepihak yang dilakukan oleh Tatmadaw menimbulkan penolakan oleh masyarakat Myanmar dengan membentuk Civil Disobedience Movement (CDM). Gerakan ini melibatkan aksi mogok massal di sektor publik, dimana para pekerja menolak mematuhi perintah junta militer dan memboikot produk serta layanan yang terkait dengan militer. Tujuannya adalah untuk mencabut legitimasi pemerintahan militer dan mengekspresikan penolakan terhadap kepemimpinan mereka. Meskipun demikian, aksi damai CDM tidak memberikan dampak signifikan, sehingga sebagian pendemo memilih beralih ke tindakan perlawanan bersenjata karena dianggap lebih efektif dalam menentang pemerintahan militer�(19 CIVIL SOCIETY ORGANIZATIONS, 2023).

Namun, aksi penolakan oleh masyarakat Myanmar direspon �dengan berbagai bentuk serangan militer, penangkapan sepihak, pembunuhan warga sipil, eksekusi di luar hukum, penemabakan di area sipil, menggunakan warga sipil sebagai perisai hidup dan menjarah serta membakar rumah-rumah masyarakat Myanmar yang menyebabkan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan dan beberapa masyarakat yang selamat mengungsikan diri ke wilayah-wilayah di perbatasan negara. Jumlah korban tewas akibat dari kudeta ini dapat diprediksi terdapat 18 korban jiwa setiap harinya. Laporan lainnya berasal dari Assistance Association for Political Prisioners (AAPP) tercatat sekitar 1.303 jiwa korban tewas, 7.750 orang ditahan, 354 orang di jatuhi hukuman sepihak, 36 orang dijatuhi hukuman mati 2 dan masih banyak lagi korban lainnya yang terus bertambah setiap harinya. Kemudian untuk mempertahankan kekuasaannya Tatmadaw mengesahkan UU keamanan cyber untuk mengurangi respon yang bertolak belakang dari masyarakat serta membentuk Special Advisory Council for Myanmar (SAC) untuk memperkuat perebutan kekuasaan dari Tatmadaw di pemerintahan (Susanto, Seba, & Fretes, 2023).

Respon Masyarakat Internasional Terhadap Kudeta Myanmar

Hubungan internasional memiliki sebuah norma yang berkembang terkait dengan tanggung jawab yang dimiliki oleh negara-negara apabila suatu negara tidak mau atau tidak mampu untuk menyelesaikan masalah di dalam negaranya terutama terkait dengan perlindungan terhadap warga negaranya sendiri. Norma tersebut dikenal sebagai responsibility to protec (R2P) yang berjalan sesuai dengan hukum yang telah disepakati secara internasional sehingga memberikan kesempatan bagi masyarakat internasional untuk melakukan intervensi non koersif seperti soft diplomacy berupa komunikasi dua arah hingga militer sebagai upaya menghentikan krisis.

a.     Respon Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Merespon kudeta Myanmar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PPB) melakukan berbagai upaya berupa intervensi kemanusian secara aktif serta memobilisasi masyarakat internasional untuk tidak mengakui dan melegitimasi rezim militer yang sedang memimpin Myanmar. Upaya lainnya juga dilakukan dengan mendesark rezim militer yang memimpin dengan mengeluarkan kebijakan embargo senjata untuk mengurangi penggunaan senjata dan risiko terjadinya perang saudara. Beberapa pendekatan juga dilakukan oleh PBB untuk bernegosiasi menurunkan intensitas kekerasan kepada masayarakat sipil. Hal ini juga didukung oleh Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun juga untuk mendesak masyarakat internasional mengambil tindakan keras untuk dapat segera mengakhiri kudeta yang dilakukan oleh rezim militer (Muhammad, 2021).

Namun, dalam upaya menentukan resolusi terbaik untuk Myanmar terdapat respon yang berbeda dari beberapa negara seperti China, India, dan Rusia dimana ketiga negara tersebut memilih untuk abstain karena tidak ingin ikut campur dengan masalah yang terjadi di Myanamr dan menganggap kebijakan embargo yang ada memberikan tekanan terhadap Myanmar dan akan memperburuk suasana. Sehingga kedekatan politik dan alasan tersendiri dari ketiga negara tersebut dipandang sebagai upaya melindungi Myanmar dari pengawasan hukum internasional dan menghambat proses damai di Myanmar (Juanda, 2021).

b.    Respon India, China, dan Rusia

India, China, dan Rusia menjadi kategori negara yang memilih untuk tidak ikut campur dalam permasalahan yang terjadi di Myanmar sikap ini di tunjukan oleh ketiga negara tersebut di forum PBB pada saat penetapan sanksi embargo kepada Myanmar. India menjadi salah satu negara yang penting untuk ditinjau responnya terhadap kudeta Myanmar karena India sebagai negara tetangga memiliki hubungan kerjasama dengan Myanmar yang apabila India salah mengambil keputusan maka akan berpengaruh terhadap proyek-proyek yang ada. India dipaksa untuk bersikap lebih hati-hati untuk menghindari pendekatan yang konfrontatif dengan Tatmadaw mengingat kondisi geografis yang berdekatan dengan negara yang berkonflik. India juga dihadapkan dengan tantangan terkait dengan kedekatan Myanmar dengan China serta pengaruhnya di wiliyah Timur Laut Hindia. Sehingga untuk mempertahankan stabilitas kawasan tersebut India berusaha untuk bersikap lebih hati-hati terutama pada saat pemungutan suara pada resolusi konflik pada sidang PBB dengan memilih untuk tetap bersikap netral meskipun untuk bukan keputusan yang tepat (Krishnan, 2022).

Negara lainnya yang memiliki kedekatan dengan Myanmar dan memutuskan untuk tidak ikut campur dan hingga mendukung urusan dalam negeri Myanmar adalah China. China merupakan salah satu mitra dagang dan investasi terbesar bagi Myanmar yang dimana sejak kudeta terjadi pada Februari 2021 Tiongkok telah menginvestasikan kurang lebih sebanyak 113 juta dollar di Myanmar. Selain itu proyek Belt and Road Initiative China yang mencakup jalur kereta api dan jalan senilai 100 miliar dollar yang menghubungkan provinsi Yunnan di China dengan ladang minyak dan gas di Rakhine menjadi investasi terpenting bagi China�(Marjani, 2023). Sehingga dengan memanfaatkan kondisi dimana seluruh negara mengecam dan menjatuhkan hukuman terhadap Myanmar, China berupaya mengambil kesempatan untuk mengamankan kepentingannya di wilayah Samudra Hindia dengan membuat Myanmar bergantung pada kekuatan militer China. Kemudian pembangunan pelabuhan laut di Kyaukphyu di sebelah barat Myanmar yang menjadi pintu belakang China untuk masuk ke Samudera Hindia serta pembangunan pos pendengaran yang bertujuan sebagai pengawasan dan memberikan pengaruh di wilayah tersebut menjadi alasan lainnya bagi China untuk mendukung pemerintahan saat ini (Juanda, 2021).

Kemudian selain India dan China negara lainnya yang secara terang-terangan mendungkung kudeta adalah Rusia yang memberikan dukungan berupa pasokan senjata. Hubungan kedua negara mengalami kedekatan semenjak Moskow mengakui adanya perebutan kekuasaan oleh Tatmadaw dan pihak militer Myanmar juga memberikan dukungan terhadap invansi Rusia di Ukraina. Sehingga membentuk ketergantungan antar dua negara dalam segi kekuatan militer dimana Myanmar membutuhkan pesawat buatan Rusia untuk menekan pasukan anti-State Administartion Council�s (SAC) dan Rusia membutuhkan bantuan Myanmar dalam mentransfer pasokan militer angkatan bersenjata Rusia untuk di pakai menginvasi Rusia. Respon Rusia yang mendukung rezim militer Myanmar ini menjadi hal yang penting untuk di tinjau karena kekuatan persenjataan yang dimiliki oleh Rusia menjadi salah satu yang terbaik saat ini. Hal ini akan cukup membahayakan wilayah regional termasuk Myanmar apabila disalah gunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab karena pada saat ini Myanmar membutuhkan bantuan Rusia untuk memulihkan krisis energi di Myanmar dan sedikit mulai mengurangi ketergantungan pada China (Storey, 2023).

c.     Respon ASEAN

Konflik Myanmar telah menjadi salah satu permasalahan regional kawasan Asia Tenggara yang membuat peran badan regional menjadi begitu penting dan sentral dalam menyelesaikan konflik sebagai yang tercantum dalam Piagam PBB Pasal 33 (1) dan Pasal 52 (Juanda, 2021). Oleh karena itu, pada masalah ini ASEAN sebagai organisasi regional memiliki peran sentral dalam menentukan resolusi konflik dan menjaga serta meningkatkan perdamaian, keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Namun, saat ini ASEAN dihadapkan oleh tantangan perbedaan pendapat antar negara anggota serta prinsip non intervensi yang menghargai hak setiap negara untuk memimpin urusan dalam negerinya tanpa campur tangan eksternal, subversi atau paksaan. Tetapi beberapa upaya pendekatan sedang di upayakan oleh ASEAN terutama dengan pihak militer Myanmar serta upaya penyaluran bantuan kemanusian untuk membantu masyarakat sipil yang terdampak dari kudeta ini sebagai bentuk pertanggung jawaban HAM di kawasan Asia Tenggara (Alauddin, 2021).

Indonesia sebagai salah satu negara pendiri ASEAN berupaya untuk memobilisasi negara-negara ASEAN lainnya dengan melakukan pertemuan bilateral dengan negara-negara anggota lainnya sepereti Singapura, Thailand dan Brunei yang saat itu menjabat sebagi ketua ASEAN. Shuttle diplomacy ini dilakukan bertujuan untuk menyatukan suara dalam menekan kekerasan dan mencapai solusi terbaik bagi Myanmar. Indonesia dipandang cukup berpengalaman dalam perubahan rezim sehingga Indonesia dipandang mampu menuntun upaya resolusi konflik. Selain itu, Indonesia juga mengusulkan adanya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) darurat untuk membahas penyelesaian konflik di Myanmar dengan fokus menghentikan kekerasan terhadap masyarakat sipil dan mendorong dialog konstruktif dengan pihak-pihak yang terlibat. Pada tahap ini Indonesia mempertegas posisinya dan tujuannya untuk mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar dibandingkan memberikan sanksi kepada Myanmar (Alauddin, 2021).

Beberapa negara lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Brunei juga memiliki misi yang sama untuk menentang rezim militer yang mengambil alih sistem pemerintahan demokratis Myanmar yang diiringi aksi kemanusiaan. Brunei, sebagai ketua ASEAN saat itu, menunjuk Erywan Yusof sebagai utusan khusus ke Myanmar untuk mediasi dan mencari solusi damai berdasarkan lima poin konsensus ASEAN guna mempertahankan posisi Myanmar di ASEAN. Malaysia dan Singapura, sebagai negara pendiri ASEAN juga mengambil sikap yang sama untuk mengutuk penggunaan kekerasan dan pelanggaran HAM di kawasan ASEAN�(Maliki, 2021).

Namun, dalam proses menentukan resolusi bagi Myanmar ASEAN mengalami perpecahan antar anggota antara Kamboja, Filipina, dan Thailand dengan negara anggota lainnya dimana ketiga negara tersebut memiliki latar belakang serupa dan memilih untuk tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri Myanmar dengan alasan prinsip non-intervensi. Kamboja, sebagai tetangga Myanmar dan ketua ASEAN tahun 2022, menerima undangan dari junta militer Myanmar untuk membahas krisis politik di Myanmar. Langkah ini dianggap positif untuk membuka peluang negosiasi ASEAN dengan Myanmar dan menerapkan lima poin konsensus yang disepakati pada bulan April guna melindungi masyarakat sipil dari krisis kemanusiaan. Meskipun pada akhirnya hanya didengarkan tanpa satu pun diterapkan oleh Myanmar (Niseiy, 2021). Sama seperti Kamboja kedua negara lainnya yaitu Filipina dan Thailand memilih untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Myanmar karena dianggap sebagai masalah internal yang tidak perlu diintervensi. Meskipun demikian, kedua negara ini menyampaikan keprihatinan mereka terhadap krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Myanmar�(Ranada, 2021).

d.    Respon Thailand

Thailand sebagai salah satu negara tetangga yang memiliki wilayah perbatasan dengan Myanmar sepanjang 2,4 kilometer menjadi negara ASEAN yang turut merasakan langsung dampak signifikan akibat dari konflik internal yang terjadi di Myanmar. Panjangnya wilayah perbatasan ini menyebabkan Thailand� menjadi negara tujuan bagi para pengungsi ilegal dari Myanmar dan membawa masalah baru ke Thailand. Sekitar lebih dari tiga juta pekerja ilegal dari Myanmar datang membawah penyakit AIDS dan melakukan perdagangan manusia serta narkoba. Kerusakan lingkungan serta sumber daya juga turut dirasakan oleh Thailand pasca masuknya pengungsi dari Myanmar yang terus mengalami peningkatan hingga 91 ribu dan menimbulkan gesekan dengan masyarakat Thailand karena terbatasnya kebebasan dan menurunnya prospek bagi masyarakat Thailand. Pada posisi ini Thailand dibebankan oleh tanggung jawab atas dasar Hak Asasi Manusia yang telah menjadi prinsip internasional meskipun Thailand terdata menjadi salah satu negara yang tidak menandatangani Konversi Pengungsi tahun 1951 untuk menyelamatkan pengungsi Myanmar. Masalah lainnya juga terjadi pada sektor ekonomi di mana terhambatnya perdagangan lintas batas yang mempengaruhi aliran barang dan jasa di kedua negara. Sehingga seharusnya Thailand menjadi salah satu negara yang menentang adanya kudeta di Myanmar. Namun, pada kenyataannya pada masa kepemimpinan Prayut Chan o Cha Thailand mengambil langkah dan sikap sendiri untuk ikut campur dalam situasi ini dengan alasan serta maksud tertentu (Wong & Yingcharoen, 2023).

Latar belakang Prayut sebagai seorang pemimpin militer Thailand yang kemudian menjabat sebagai perdana menteri Thailand pada 2014 � 2023 dengan menggulingkan PM terpilih yaitu Thaksin Shinawatra sehingga menimbulkan kudeta antar faksi. Pada saat itu Prayut menjanjikan perdamaian di Thailand namun tidak direalisasikan dengan baik karena banyak forum politik yang dibatasi kebebasannya dimana hal ini memiliki kemiripan dengan bagaimana kudeta di Myanmar terjadi. Hal inilah yang menyebabkan terkait dengan respon Thailand terhadap Myanmar sekaligus juga mengingat hubungan erat militer antara kedua negara yang saling melakukan intervensi militer dalam politik tanpa menghargai atau mematuhi kebijakan negara yang berdaulat dan juga memiliki sejarah latar belakang sama terkait dengan pelucutan pemimpin negara yang telah dipilih secara demokrasi. Oleh karena latar belakang tersebut Thailand memanfaatkan quite diplomacy sebagai pendekatannya untuk mengamankan kepentingannya terkait wilayah perbatasan sebagai salah satu sumber perekonomian dari Thailand yang bergantung pada gas alam Myanmar tanpa merusak hubungan antar kedua negara�(NationTV, 2021).

Kedekatan Thailand dengan Myanmar yang diikuti dengan kepentingan Thailand di Myanmar berimplikasi pada putusan Prayut untuk tidak ikut campur pada masalah yang terjadi di Myanmar meskipun tetap menunjukkan keprihatinannya terhadap krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Hal ini di tunjukkan pada saat pertemuan tingkat tinggi ASEAN (KTT ASEAN) yang membahas mengenai Myanmar di Jakarta pada 24 April 2021 yang dipimpin oleh Brunei Darussalam sebagai ketua ASEAN 2021 Thailand yang dipimpin oleh Prayut memutuskan untuk tidak hadir dan hanya mengirimkan perwakilannya sehingga menimbulkan perspektif negatif dari negara-negara ASEAN lainnya dan di anggap sebagai bentuk dukungan diplomatik Thailand untuk bergaul dengan junta militer Myanmar. Selain itu, sikap berbeda yang dilakukan oleh Thailand juga berdampak kepada stabilitas kawasan karena pada saat ini tiap negara anggota memiliki pandangannya masing-masing terkait cara merespon kudeta Myanmar yang menyebabkan solidaritas ASEAN terpecah dan negara-negara mengabaikan 5 poin konsensus. Sehingga hal ini berimplikasi kepada citra ASEAN dan juga Thailand di masyarakat internasional sebagai organisasi regional yang menjunjung tinggi prinsip dan nilai-nilai internasional (Sanglee, 2021).

Analisis Kebijakan Luar Negeri Prayut Chan o Cha Terhadap Kudeta Myanmar

a.     Kegagalan ASEAN dan Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Kawasan

ASEAN sebagai salah satu organisasi regional yang ada dikawasan Asia Tenggara yang telah melakukan segala upaya perdamaian bagi Myanmar sejak konflik tersebut terjadi. . Namun, upaya-upaya yang dilakukan ASEAN tidak memberikan hasil yang signifikan pada penurunan intensitas konflik di Myanmar. Kegagalan ASEAN dalam mendamaikan kudeta Myanmar disebabkan oleh beberapa hal seperti keterbatasan ruang gerak yang dibatasi oleh kebijakan Non-Intervensi yang membatasi ASEAN untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri Myanmar. Selain itu perselisihan antar negara-negara anggota ASEAN juga membuat ASEAN sulit untuk menyatukan suara untuk turun dalam kudeta Myanmar karena setiap negara memiliki pandangannya sendiri terkait solusi terbaik yang harus di berikan kepada Myanmar. Sehingga ASEAN juga memiliki keterbatasan dalam memberikan pengaruh terhadap keputusan politik Myanmar untuk meredakan kudeta. Keterbatasan ini juga dipengaruhi oleh konsensus yang menjadi dasar bagi ASEAN untuk bergerak berdasarkan prinsip konsensus yang harus disetujui semua negara anggota. Jika perbedaan pandangan terhadap penyelesaian konflik itu masih ada maka pengambilan keputusan akan sulit dan kurang efektif� (Kurlantzick, 2022).

Perbedaan cara pandang dalam menyelesaikan konflik Myanmar disebabkan karena ketergantungan ekonomi antar negara-negara tetangga yang memiliki hubungan ekonomi dengan Myanmar dalam hal perdagangan dan investasi sehingga keputusan yang diambil terhadap kudeta akan mempengaruhi aktivitas ekonomi di negara anggota yang berhubungan erat dengan Myanmar. Selain itu juga intervensi asing uang memberikan dukungan politik dan ekonomi terhadap Myanmar menyebabkan belum terwujudnya hasil konsensus pada pertemuan darurat antar negara ASEAN dalam membahas konflik Myanmar karena ketidakpatuhan junta militer yang semakin menunjukkan sikap keras terhadap tekanan internasional dan menolak campur tangan eksternal. Myanmar menjadi salah satu negara yang memiliki letak geografis yang menguntungkan untuk negara-negara tetangganya melakukan investasi di Myanmar seperti China dan India. Hal ini di tunjukan oleh Kementerian Investasi Myanmar yang mencatat sejak 2016 � 2021 China menjadi negara urutan ke dua setelah Singapura yang melakukan investasi sebanyak 3,5 miliar Dolar Amerika karena Myanmar merupakan negara yang dipandang strategis oleh China dalam pengembangan proyek Belt and Road Intiative (BRI) di Asia yaitu China-Myanmar Economic Corridor (CMEC). Proyek berupa pembangunan rel kereta api ini akan menghubungkan Kota Kunming di Tiongkok dengan lima titik kota yang ada di Myanmar yait Muse, Mandalay, dan Naypidaw yang menjadi ibu kota negara, Kyaukpyu, dan Yangon. Jika proyek ini berhasil dilaksanakan maka nantinya akan dibangun sebuah pelabuhan yang mengarah ke Samudera Hindia di Kota Kyaukpyu sehingga memudahkan alur distribusi dari China menuju Asia Selatan dan Afrika sehingga tidak perlu melakukan transit lagi di Singapura dan melawati Selat Malaka (Alauddin, 2021).

Myanmar sebagai salah satu negara produsen dan eksportir dalam berbagai komoditas yang dimana gangguan politik dan ketidakstabilan di negara tersebut dapat mengganggu pasokan komoditas ini ke pasar regional dan global, yang dapat memengaruhi harga dan ketersediaan di seluruh Asia Tenggara serta kestabilan fluktuasi mata uang regional. . Oleh karena ini peranan ASEAN sangatlah dibutuhkan pada tahap ini untuk mengamankan stabilitas pasar ASEAN dan menjauhkan kawasan dari ancaman pertumbuhan GDP dan neraca dagang. Namun, dari 145 pendekatan yang dilakukan oleh ASEAN melalui Indonesia belum menunjukkan progres yang signifikan bagi kudeta Myanmar karena pemimpin militer Myanmar cenderung menganggap kedatangan Indonesia sebagai ancaman dan Myanmar masih sering melanggar konsensus yang menyebabkan Myanmar dilarang untuk menghadiri pertemuan tingkat tinggi ASEAN. Kegagalan ASEAN dalam menyeimbangkan antara prinsip non-intervensi dan tanggung jawab mengatasi krisis inilah yang akhirnya menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara tetangga Myanmar salah satunya Thailand yang merasakan dampak langsung dari kudeta (Ulya & Santosa, 2023).

b.    Hubungan Thailand-Myanmar

Hubungan antara Thailand dengan Myanmar telah berlangsung sejak lama, kedua negara memiliki latar belakang yang sama dalam hal intervensi pemerintahan demokratis yang menjadi kehendak rakyat berdasarkan kepentingan publik. Kedekatan militer kedua negara semakin dekat terlihat dari meningkatnya kunjungan tingkat tinggi reguler dan dialog serta komunikasi tingkat atas. Selain itu Jenderal Senior Min Aung Hlaing merupakan anak angkat dari Jenderal Prem Tinsulanonda yaitu mantan panglima militer Thailand dan ketua Dewan Penasihat. Kedekatan lainnya di tunjukan oleh Myanmar pasca melakukan kudeta dengan mengirimkan surat pribadi kepada Jenderal Prayut Chan o Cha yang berisikan perebutan kekuasaan dan meminta dukungan dari pemerintah Thailand sebagai mitra kerja samanya. Hal ini di respon baik oleh Thailand di mana menurut Thailand di saat ASEAN dan negara-negara lainnya menolak kehadiran Myanmar bukan berarti Thailand juga harus ikut menolak negara yang ditolak oleh seluruh lapisan masyarakat internasional. Keterbukaan yang dilakukan oleh Thailand dianggap sebagai bentuk kepercayaan Myanmar terhadap kepemimpinan Naypyidaw yang di mana ini berpeluang untuk meredakan krisis agar tidak semakin melebar (Astaga, 2016).

Thailand dan Myanmar juga memiliki hubungan ekonomi yang sangat erat. Thailand merupakan mitra dagang terbesar kedua bagi Myanmar, meskipun perdagangan bilateral mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir karena faktor-faktor seperti ketidakstabilan politik dan pengetatan kontrol perbatasan. Kebijakan pembatasan yang diterapkan oleh pemerintah militer Myanmar, seperti pengaturan pembayaran melalui bank yang dikendalikan oleh junta, telah merusak kepercayaan bisnis dan menyebabkan kemacetan besar di penyeberangan perbatasan darat. Selain itu, pasar tenaga kerja di Myanmar menghadapi kerentanan yang signifikan, dengan gangguan yang disebabkan oleh konflik berkontribusi pada penurunan produktivitas tenaga kerja sebesar 10 persen sejak 2019, dengan hampir setengah dari rumah tangga mengalami kesulitan dalam mengakses pangan. Hal ini juga berjalan bersamaan dengan ketergantungan yang signifikan Thailand pada Myanmar untuk pasokan energi dan impor, menunjukkan perlunya Bangkok bertindak cepat. Stabilisasi dan pemulihan rantai pasokan, serta perlindungan kepentingan bisnis dan investor Thailand di negara tersebut, memerlukan pencapaian kesepakatan berkelanjutan antara pemerintah militer dan kelompok pemberontak (AsianPower, 2023)

Berbagai ancaman terkait dengan meluapnya jumlah pengungsi, masuknya narkoba, penyakit dan ancaman terhadap kedaulatan di sepanjang wilayah perbatasan juga Thailand rasakan akibat dari konflik yang terjadi di Myanmar. Hal ini disebabkan karena Thailand menjadi negara terdekat yang dapat dikunjungi dan menjadi tujuan alami bagi para migran yang melarikan diri dari situasi konflik di Myanmar untuk mencari keselamatan dan bekerja di Thailand. Pada sektor ekonomi Thailand juga merasakan dampak yang signifikan karena Myanmar merupakan salah satu mitra kerja sama ekonomi Thailand yang di mana tercatat sejak kudeta terjadi berdasarkan laporan dari Departemen Promosi Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan jumlah perdagangan menurun sebanyak 12,11% dan nilai pengiriman barang ekspor sebesar 649,69 juta dolar menurun sebanyak 15,16%. Impor gas alam Thailand dari Myanmar juga mengalami penurunan dari 17% menjadi 15% yang di mana ini akan berdampak pada pembangkit listrik tenaga gas Thailand karena menurunnya pasokan gas ke Thailand. Penurunan pasokan gas dari Myanmar juga membuat Thailand harus meningkatkan impor gas internasional yang saat ini harganya gas di pasar internasional mengalami lonjakan harga. Hal ini akan menyulitkan Thailand dengan tingkat konsumsi gas sebanyak 60% untuk pembangkit tenaga listrik dan kebijakan pemerintah untuk mengurangi andil gas dalam campuran energi dengan berinvestasi di energi terbarukan (AsianPower, 2023).

c. Kebijakan Quite Diplomacy Prayut dan Pengaruhnya

Quite Diplomacy merupakan sebuah proses diplomasi yang dilakukan secara diam-diam tanpa adanya publisitas atau pemberitahuan kepada masyarakat umum dan jauh dari sorotan media atau perhatian publik. Diplomasi ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan atau penyelesaian secara damai dalam situasi yang dianggap sensitif seperti yang terjadi saat ini di Myanmar sehingga tidak menimbulkan reaksi yang berlebihan dan intervensi dari pihak-pihak yang tidak terlibat. Namun, meskipun pendekatan ini cenderung berjalan lebih efektif dalam beberapa kasus seperti yang dilakukan oleh Thailand terhadap Myanmar masih terdapat kritik dan penolakan terhadap pendekatan ini karena kurangnya transparansi,� akuntabilitasnya serta terlalu self centered yang hanya memprioritaskan stabilitas dibandingkan demokrasi dan hak asasi manusia. Thailand terus berupaya berperan sebagai mediator dalam menyelesaikan krisis Myanmar tanpa menimbulkan gesekan yang berpotensi merugikan kedua belah pihak terutama dalam mencapai kepentingan Thailand yang dapat terganggu akibat dari kudeta Myanmar. Sebelumnya, Thailand juga kerap kali melakukan quite diplomacy dengan negara mitranya tanpa sepengetahuan publik dengan tujuan untuk meminimalisir gesekan dan ketegangan dengan mitra yang memiliki pandangan berbeda tetapi di satu sisi Thailand juga dapat memperoleh kepentingan ekonominya. Thailand memanfaatkan hubungan ekonominya dengan Myanmar untuk mendorong perilaku positif atau mendorong reformasi dengan tujuan pemberian insentif melalui peningkatan perdagangan atau investasi, sebagai imbalan atas kemajuan dalam isu-isu tertentu atau komitmen terhadap resolusi damai (Tita, 2021).

Pada kasus Myanmar saat ini yang menjadi pembeda dengan proses pendekatan berupa quite diplomacy yang dilakukan Thailand di kasus lainnya terdapat pada pemimpin pemerintah yang memimpin upaya pendekatan ini. Proses pendekatan pada kasus Myanmar kali ini dipimpin oleh seorang yang memiliki latar belakang militer sama dengan junta militer Myanmar yaitu Jenderal Prayut Chan o Cha. Hal ini menjadi menarik dalam penelitian ini karena pada dasarnya Prayut sebelumnya pernah melakukan penggulingan pemerintahan demokrasi dan melakukan kudeta yang ada di Thailand pada� 22 Mei 2014 oleh pemerintahan demokratis yang saat itu dipimpin oleh Yingluck Shinawatra yang membuat Prayut naik menjadi pemimpin junta dan menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand (Brian & Tidarat, 2023).

Pada 25 Februari 2021 Thailand melakukan pertemuan pertamanya dengan Perdana Menteri yang diangkat oleh pemerintah junta yaitu Wanna Maung Lwin sebagai kunjungan kehormatan untuk membangun komunikasi dengan pihak-pihak kunci yang ada di Myanmar pada saat itu untuk mencari solusi damai dan membicarakan terkait dengan kekhawatiran terkait dengan situasi di Thailand akibat dari krisis politik di Myanmar. Proses politik berupa dialog secara tertutup dengan pihak junta menjadi salah satu upaya Thailand dalam mencapai kepentingannya yang didasarkan pada kebutuhan nasionalnya untuk terlepas dari berbagai kerugian yang dirasakan akibat dari kudeta Myanmar. Selain itu, quite diplomacy menjadi cara Thailand dalam mewakili ASEAN untuk menyampaikan peringatan implisit dan eksplisit terkait dengan potensi dan konsekuensi dari tindakan pemimpin junta selama melakukan kudeta. Sehingga disimpulkan bahwa tujuan dari kebijakan luar negeri berupa quite diplomacy dibawah Prayut Chan o Cha adalah unutk menjaga stabilitas, mendorong pembangunan ekonomi, reformasi, keamanan nasional, dan mempertahankan kontrol politik (Dee, 2023).

Meskipun quite diplomacy Prayut dianggap oleh beberapa negara dapat memecah belah kawasan dengan alasan sebagai bentuk dukungan Thailand terhadap pemerintahan militer Mynmar. Hal ini justru memiliki peranan penting dalam upaya menyelesaikan kudeta yang terjadi di Myanmar dalam pembentukan aliran komunikasi yang tenang dan efektifantara Myanmar dengan Thailand untuk mencegah meningkatnya sensitifitas konflik yang menimbulkan kerugian berikutnya. Thailand juga memainkan perannya sebagai mediator yang negara bertetanggan langsung dengan Myanmar serta memiliki hubungan kuat dengan junta militer untuk menengahi dan menemukan solusi damai dengan pihak-pihak yang sudah ikut terlibat dalam konflik ini. Diplomasi secara tertutup juga menjadi penting bagi Thailand dalam menjaga hubungan bilateralnya dengan Myanmar disaat Myanmar membuka kepercayaan dengan Thailand sebagai mitra kerjasamanya. Hal ini juga tidak terlepas dari kepedulian Thailand terhadap krisis kemanusian yang terus meningkat akibat dari kudeta. Kemudian pada tingkat regional tindakan yang diambil oleh Thailand tidak selalu memberikan dampak yang kurang baik terhadap stabilitas kawasan. Melainkan Thailand juga berupaya memaikan perannya sebagai founding father ASEAN yang menjunjung perdamaian, stabilitas, dan kerajasama kawasan dengan membantu menjaga stabilitas politik pada tingkat regional yang dapat berdampak juga pada stabilitas perdagangan dan investasi kawasan agar tidak memberikan dampak kurang baik ke negara-negara lainnya�(Tita, 2021).

Bagi negara-negara anggota ASEAN diplomasi yang dilakukan oleh Prayut kepada Myanmar juga sebagai upaya untuk mempertahankan solidaritas ASEAN dalam menanggapi krisis Myanmar. Pendekatan ini diharapkan dapat membantu negara-negara lainnya dalam menemukan pendekatan yang lebih konsisten, efektif dan koheren terhadap isu yang sensitive. Hal ini juga menegaskan pentingnya kedaulatan suatu negara dan penegakan prinsip non intervensi melalui dialog dan diplomasi tanpa campur tangan eksternal yang dapat menimbulkan kerugian baru. Thailand juga menjadi contoh pertama bagi negara-negara anggota lainnya sekaligus ASEAN agar dapat masuk dalam konflik untuk menjadi mediator dan menangani krisis Myanmar dengan solusi damai yang berkelanjutan. Karena respon yang menekan dari ASEAN akan mempengaruhi citra ASEA pada panggung internasional sehingga Thailand menjadi penggerak yang sangat memberikan pengaruh penting dalam upaya mencari solusi damai bagi Myanmar�(Brian & Tidarat, 2023).

Tinjauan Kebijakan Luar Negeri Terhadap Quite Diplomacy Prayut Chan o Cha Dalam Merespon Kudeta Myanmar

Upaya Quiet Diplomacy Thailand yang di pimpin oleh Perdana Menteri Prayut Chan o Cha menjadi salah satu bentuk kebijakan luar negeri Thailand dalam berpartisipasi dalam konflik yang terjadi di Myanmar. Dalam melihat suatu kebijakan luar negeri sering kali tidak terlepas dari adanya kepentingan nasional yang menjadi pertimbangan penting dalam menentukan arah politik luar negeri suatu negara. Karena pada dasarnya kebijakan luar negeri merupakan upaya pencapaian kepentingan yang di dasarkan pada pemahaman realisme yang menekankan pentingnya kekuasaan dan keamanan dalam pembentukan kebijakan luar negeri. Pada saat kudeta terjadi kepentingan utama Thailand terletak pada wilayah perbatasan dimana Thailand berbatasan langsung dengan Myanmar sehingga mempengaruhi stabilitas di perbatasan terkait dengan keamanan nasional, stabilitas sosial dan ekonomi, sumber daya alam dan pengendalian migrasi dan pengungsi yang datang ke Thailand. Selain itu, kepentingan ekonomi Thailand yang menjadikan Myanmar sebagai mitra dagang yang penting terutama terkait dengan ekspor dan ekonomi manufaktur serta investasi yang merupakan faktor krusial dalam menjaga daya tarik Thailand bagi investor domestik dan internasional. Pemerintah Thailand memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Oleh karena itu, negosiasi dan kerja sama yang bijaksana dilakukan oleh Prayut dengan negara-negara tetangga, khususnya dalam menangani isu-isu sensitif seperti keamanan perbatasan dan arus pengungsi dilakukan untuk membangun hubungan positif, membangun kepercayaan, dan membentuk persepsi di antara aktor-aktor regional dan internasional untuk mengamankan kepentingan nasionalnya. Meskipun seringkali dipandang sebagai jalan yang kurang mencerminkan mekanisme kerja ASEAN yang tetapi pada kasus ini Thailand sebagai negara pendiri berupaya untuk memainkan perannya dalam ASEAN untuk menjadi mediator untuk bertanggung jawab dan berkomitmen terhadap dialog, kerja sama, dan penyelesaian konflik tanpa mengganggu stabilitas kawasan.

Terkait dengan kepentingan Thailand dengan Myanmar hal ini� dapat ditinjau dari bagaimana Morgenthau mendefinisikan quiet diplomacy sebagai mekanisme dalam mencapai kepentingan nasionalnya Thailand dalam hal keamanan, kedaulatan, dan stabilitas. Hadirnya langkah quiet diplomacy yang diambil oleh Thailand menunjukkan adanya implikasi dari kepentingan nasional yang menjadi salah satu unsur penting dalam hubungan internasional yang merupakan hak bagi tiap negara untuk menentukan arah politik luar negerinya dalam mencapai posisinya di panggung internasional. Hal ini sejalan dengan bagaimana Thailand memanfaatkan kepentingan nasionalnya dalam hal keamanan negara, stabilitas politik, kepentingan ekonomi, pengaruh politik dan stabilitas internal sebagai faktor penting dalam menentukan kebijakan luar negerinya terhadap kudeta Myanmar dalam bentuk quiet diplomacy. Kebijakan quiet diplomacy diterapkan oleh Thailand terhadap Myanmar dapat dipahami sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk melindungi kepentingan nasional, memelihara stabilitas regional, dan mempromosikan nilai-nilai ASEAN dalam menangani konflik dan krisis di negara-negara anggotanya. Terkait hal yang mendasari terbentuknya kebijakan yang ditetapkan oleh Prayut dalam merespon kudeta Myanmar juga menunjukkan gambar terkait bagaimana Morgenthau mendefinisikan kepentingan nasional sebagai faktor pendukung dalam upaya melindungi identitas politik terkait dengan mempertahankan rezim ekonomi dan politik hingga perlindungan terhadap kultur yang berasal dari faktor historis.

Kebijakan luar negeri berupa quiet diplomacy hadir sebagai produk dari kepentingan nasional Thailand yang dilakukan secara baik dan efektif tanpa menimbulkan risiko berlebihan sehingga tetap menjaga hubungan antar aktor negara yang sedang beraliansi. Proses diplomasi ini dianggap berhasil karena Thailand memanfaatkan pendekatan yang tidak meningkatkan senstivitas kudeta dengan memanfaatkan faktor ikatan budaya, sejarah dan ekonomi yang memudahkan Thailand menyesuaikan dinamika yang terjadi di Myanmar dibandingkan dengan negara lainnya dan ASEAN. Hal ini disebabkan karena faktor kepercayaan terhadap ASEAN terkait dengan pemerintahan militer dan isolasi diplomatik sehingga membuat Myanmar memandang ASEAN dengan sisi negatif dan memilih untuk meningkatkan hubungan bilateral yang lebih menguntungkan dengan Thailand dan Tiongkok. Selain itu, adanya prinsip non intervensi juga membuat Myanmar memandang ASEAN sebagai salah satu aktor regional yang tidak memiliki kredibilitas dalam menjalankan prinsipnya sehingga membuat pihak junta kurang dalam mengimplementasikan lima poin konsensus yang disepakati.

Oleh karena itu, dengan memanfaatkan hubungan sejarah, politk dan ekonomi antar kedua negara yang juga relavan dengan kepentingan dari kedua negara proses mencapai kepentingan menjadi proses membangun kerjasama yang memiliki kebutuhan yang sama sehingga menciptakan sebuah kesepakatan dan menjadi tujuan umum dari proses hubungan internasional. Perdana Menteri Prayut berupaya untuk membangun kepercayaan dan keyakinan pemimpin militer Myanmar dengan melakukan pendekatan non konfrontasional melalui quiet diplomacy sehingga berpotensi mengurangi ketegangan dan ketidakstabilan politik yang berpengaruh terhadap stabilitas kawasan. Negosiasi yang dilakukan oleh Prayut ini juga sejalan dengan pemahaman Jack C. Plano dan Roy dalam memandang kebijakan luar negeri sebagai suatu keputusan yang di putuskan secara bijaksana dan dengan perhitungan strategis memiliki tujuan utama memajukan kepentingan nasional Thailand, tanpa terlibat dalam konflik ideologi atau perselisihan yang dapat mengancam stabilitas atau keamanan. Konsep kepentingan nasional ini juga melihat Prayut sebagai pengambil keputusan yang dianggap telah menganalisis dan menilai suatu kondisi yang dilihat dari baik motivasi, strategi, dan implikasi diplomasi diam-diam dalam mencapai tujuan kebijakan luar negeri Thailand dalam lingkungan internasional yang kompleks dan dinamis.

Selain itu kebijakan luar negeri yang dipandang sebagai suatu hal yang dapat memberikan motivasi, strategi dan implikasi terhadap hubungan internasional. Mendorong Thailand dalam memainkan perannya sebagai aktor pendiri ASEAN dalam menerapkan prinsip non intervensi sebagai tonggak ASEAN dalam melakukan pendekatan dengan negara anggotanya melalui quiet diplomacy. Prayut di lihat cukup efektif dalam memanfaatkan peluang dalam proses pengambilan keputusan yang telah diputuskan secara rasional dan penuh pertimbangan dengan mengindari ikut campur publik dan reaksi yang berlebihan seperti bagaimana Holsti mendefinisikan proses pembentukan kebijakan luar negeri tersebut. Pendekatan secara perlahan juga membangun kepercayaan junta terhadap Thailand dengan memandang pendekatan yang dilakukan oleh Thailand tidak memberikan ancaman dan lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan negara-negara Barat atau negara-negara yang memiliki sejarah menantang kekuasaan militer Myanmar. Sehingga dengan mudah membangun persepsi positif yang dapat memfasilitasi proses komunikasi dua arah antara Myanmar dan Thailand menjadi lebih terbuka. Sambil menjaga stabilitas dan kontrol dalam negeri dengan menghindari kontroversi atau kerusuhan publik terkait dengan isu-isu kebijakan luar negeri yang sensitive melalui quiet diplomacy sehingga pemerintah lebih mudah untuk mengelola persepsi masyarakat dan mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh Thailand.

Sehingga Prayut sebagai mantan jenderal militer dan kepala pemerintahan, memiliki otoritas dan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan kebijakan luar negeri. Gaya kepemimpinan, preferensi, dan hubungan pribadinya dengan aktor-aktor kunci mungkin memainkan peran penting dalam membentuk arah dan efektivitas diplomasi diam-diam. Namun, dalam mengambil sebuah keputusan berupa kebijakan luar negeri Prayut juga harus mempertimbangkan dinamika politik dalam negeri dan opini publik ketika melakukan diplomasi diam-diam. Meskipun negosiasi yang bijaksana dapat membantu menghindari kontroversi atau pertentangan publik, pemerintah harus memastikan bahwa keputusan kebijakan luar negerinya sejalan dengan kepentingan dan nilai-nilai masyarakat yang lebih luas untuk mempertahankan legitimasi dan dukungan.

 

 

KESIMPULAN

Kebijakan luar negeri Thailand yang dipimpin oleh Prayut Chan o Cha melalui kebijakan quite diplomacy atau diplomasi yang tenang menjadi upaya Thailand dalam menekan intensitas kerugian yang disebabkan oleh kudeta Myanmar. Kebijakan ini juga dipilih oleh Prayut dengan tujuan untuk mempertahankan stabilitas regional dari ketidak pastian politik Myanmar yang diikuti dengan upaya melindungi kepentingan nasional Thailand, terutama di wilayah perbatasan yang berbatasan langsung dengan Myanmar. Pendekatan melalui quite diplomacy juga menunjukan sika Thailand yang tidak ingin memperburuk situasi dengan mengambil sikap yang lebih tertutup dan tidak konfrontatif dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya yang lebih vokal dalam mengecam kudeta tersebut. Selain itu melihat kegagalan ASEAN yang dihadapi oleh tantangan besar dalam menurunkan intensitas konflik di Myanmar akibat prinsip non-intervensi yang dipegang teguh, serta perbedaan pandangan yang signifikan antar negara anggota dan adanya pengaruh eksternal dari negara-negara besar seperti China dan Rusia turut memperumit situasi politik di Myanmar yang membuat ASEAN mengalami kesulitan dalam menekan konflik di Myanmar dan menjalan resolusi konflik yang telah dibahas pada KTT darurat. Sehingga melalui kebijakan quiet diplomacy dibawah pimpinan Prayut Thailand berupaya untuk memanfaatkan hubungan historis antara elit militer kedua negara serta pengalaman Thailand dengan pemerintahan militer Myanmar. Kebijakan ini dinilai lebih efektif dibandingkan pendekatan negara-negara ASEAN lainnya yang lebih terbuka dan tegas dalam mengecam kudeta Myanmar. Lebih jauh, kebijakan luar negeri ini juga mencerminkan bahwa keputusan politik luar negeri dipengaruhi oleh pertimbangan rasional, faktor psikologis, pengalaman masa lalu, serta tekanan dari aktor-aktor internal dan eksternal seperti yang di paparkan oleh Allison. Thailand juga terus berupaya untuk berperan sebagai mediator dalam konflik Myanmar dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk menjaga stabilitas regional. Secara keseluruhan, penelitian ini menekankan pentingnya kebijakan luar negeri yang efektif dan seimbang, yang mempertimbangkan kepentingan nasional dan keamanan manusia dalam menangani situasi konflik seperti kudeta Myanmar. Kebijakan quiet diplomacy yang diterapkan oleh Thailand dapat menjadi contoh bagi negara lain dalam menavigasi situasi politik yang kompleks dengan pendekatan yang lebih berhati-hati dan diplomatis.

 

 

REFERENSI

Tadjbakhsh, S., & Chenoy, A. (2007). Human Security: Concepts and implications (1st ed.). Madison Ave, New York: Routledge. doi:https://doi.org/10.4324/9780203965955

19 CIVIL SOCIETY ORGANIZATIONS. (2023, May 25). CIVIL DISOBEDIENCE MOVEMENT: A FOUNDATION OF MYANMAR�S SPRING REVOLUTION AND FORCE BEHIND MILITARY�S FAILED COUP. Retrieved 2024 from Progressive Voice Myanmar: https://progressivevoicemyanmar.org/2023/05/25/civil-disobedience-movement-a-foundation-of-myanmars-spring-revolution-and-force-behind-militarys-failed-coup/#:~:text=The%20Civil%20Disobedience%20Movement%20%28CDM%29%20is%20one%20of,the%20key%20reasons%20w

A. Pribadi, B. (2009). Model Desain Sistem Pembelajaran. jakarta: PT Dian Rakyat.

Agung Setyawan, A. S. (2020). Peran Guru dalam Pembelajaran SD Pangpong. LPPM IKIP PGRI Bojonegoro, 2.

Alauddin, A. (2021, April 20). Kudeta Myanmar dan Stabilitas Kawasan ASEAN. Retrieved 2024 from CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/opini/20210409042332-14-236409/kudeta-myanmar-dan-stabilitas-kawasan-asean

Allison, G. (1969). Conceptual Models and the Cuban Missile Crisis. The American Political Science Review (Vol. 63). American Political Science Association. doi:https://doi.org/10.2307/1954423

Anitah, S. (2007). Strategi Pengajaran Fisika. Jakarta: Universitas Terbuka.

AsianPower. (2023, Mei 17). Thailand gas imports from Myanmar drop to 15% in 2021: report. Retrieved 2024 from Asian Power: https://asian-power.com/power-utility/news/thailand-gas-imports-myanmar-drop-15-in-2021-report

Astaga, N. (2016, January 20). Thailand and Myanmar: Traditional rival now brother in arm. Retrieved 2024 from The Stairs: https://www.straitstimes.com/asia/thailand-and-myanmar-traditional-rivals-now-brothers-in-arms

Brian, & Tidarat. (2023, August 30). Why Thailand Should Mediate the Crisis in Myanmar. Retrieved 2024 from The Diplomat: https://thediplomat.com/2023/08/why-thailand-should-mediate-the-crisis-in-myanmar/

Brian, & Tidarat. (2023, August 30). Why Thailand Should Mediate the Crisis in Myanmar. Retrieved 2024 from The Diplomat: https://thediplomat.com/2023/08/why-thailand-should-mediate-the-crisis-in-myanmar/

Corbin, J., & Strauss, A. (1990, Desember). Grounded Theory Research: Procedures, Canons and Evaluative. Zeitschrift f�r Soziologie, . 418-427. Retrieved November, 2023 from https://www.bing.com/ck/a?!&&p=9bb88416c8e9a37bJmltdHM9MTY5OTQ4ODAwMCZpZ3VpZD0wZTQ0MTk3NS01YjFmLTZjNTMtMmZiNS0wYmJkNWE0OTZkMGUmaW5zaWQ9NTIxMQ&ptn=3&hsh=3&fclid=0e441975-5b1f-6c53-2fb5-0bbd5a496d0e&psq=Strauss+%26+Corbin%2c+1990&u=a1aHR0cHM6Ly93d3cuZGVncnV

Daradjat, Z. (2008). Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Askara.

Dariyo, A. (2008). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.(2009). Sistem Pendidikan.

Dee, K. (2023, February 14). Quiet Diplomacy: How Quiet Thailand's Diplomacy Has Been in the Myanmar Crisis. Retrieved 2024 from The 101. world: https://www.the101.world/quiet-diplomacy/

Ebbighausen, R. (2021, Maret 3). Kudeta Myanmar: Sikap ASEAN yang Terpecah. From DW: https://www.dw.com/id/sikap-asean-yang-terpecah-atas-myanmar/a-57052708

Hakiem, F., Indrasari, A., & Hasanah, T. (2022). PENGARUH KUDETA MILITER MYANMAR TERHADAP STABILITAS. Review of International Relations, 4. doi:10.24252/rir.v4i2.32655

Hammam, H. b. (2007). Perilaku Nabi SAW Terhadap Anak-Anak. Bandung: Irsyad Baitus Salam.

Haryoko, P., Bahartiar, & Arwadi, F. (2020). Analisis Data Penelitian Kualitatif: Konsep, Teknik, dan Prosedur Analisis (Pertama ed.). Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar. Retrieved November, 2023

herdiansyah, H. (2019). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial: Perspektif Konvensional dan. Jakarta: Salemba Humanika.

Hermansyah, N. H. (2017). Hubungan antara Motivasi Belajar dan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Kelas V Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Bandar Lampung Tahun 2016/2017. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar, Volume. 3 No. 2.

Hidayah Rochandhito, N. L. (2023). Inovasi Kreativitas Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 1. Jurnal Penelitian dalam Bidang Pendidikan dan Pengajaran, 21-22.

Hidayah, N. (2016). Strategi Pengajaran Tahfidz Al-Qur'an di Lembaga Pendidikan. Ta'allum. Jurnal Pendidikan Islam, 63.

Holsti, K. (1939). Politik intenasional :kerangka untuk analisis (2=4 ed.). (H. Sinaga, Ed., & M. Tahir, Trans.) Jakarta: Erlangga. Retrieved 1988

Ihalauw, J. J. (2003). Bangunan Teori. Fakultas Ekonomu Universitas Kristen Satya Wacana. Retrieved November, 2023

Ilyas, M. (2020). Metode Muraja'ah Dalam Menjaga Hafalan Al-Qur'an. Al-Liqo, Jurnal Pendidikan Islam, 1.

Iswara, A. (2021, Mei 10). 100 Hari Kudeta Myanmar: Rangkuman Peristiwa dan Perkembangan Terkini. Retrieved 2024 from Kompas.com: https://www.kompas.com/global/read/2021/05/10/121633970/100-hari-kudeta-myanmar-rangkuman-peristiwa-dan-perkembangan-terkini

Iswara, A. J. (2021, Febuari 01). Pemilu Myanmar Jadi Pangkal Kudeta Militer, Begini Ceritanya Tahun Lalu. Retrieved 2024 from Kompas.com: https://www.kompas.com/global/read/2021/02/01/170322870/pemilu-myanmar-jadi-pangkal-kudeta-militer-begini-ceritanya-tahun-lalu?page=all

Juanda, O. (2021, April 01). Kudeta Myanmar, Ujian bagi Masyarakat dan Hukum Internasional. (Universitas Nasional) Retrieved 2023 from Media Indonesia: https://mediaindonesia.com/opini/394744/kudeta-myanmar-ujian-bagi-masyarakat-dan-hukum-internasional#google_vignette

Kholid, I. (2017). Motivasi dalam Pembelajaran Bahasa Asing. Jurnal Tadris vol.10 No.1.

Krishnan, M. (2022, Feb 02). What is India's relationship to Myanmar's military junta? Retrieved 2024 from DW.com: https://www.dw.com/en/india-walks-diplomatic-tightrope-on-myanmars-military-junta/a-62685316

Kurlantzick, J. (2022, August 29). ASEAN�s Complete Failure on Myanmar: A Short Overview. Retrieved 2024 from Council on Foreign Relations: https://www.cfr.org/blog/aseans-complete-failure-myanmar-short-overview

M. Quraisy, S. (2006). Menyingkap Tabir Ilahi Al-Asma Al-Husna dalam Perspektif Al-Qur�an. jakarta: Lentera Hati.

Maliki, M. (2021, Maret 17). Bagaimana Sikap ASEAN terhadap Krisis Myanmar? Retrieved 2024 from Media Indonesia: https://mediaindonesia.com/opini/391045/bagaimana-sikap-asean-terhadap-krisis-myanmar#:~:text=Secara%20publik%2C%20ASEAN%20mengeluarkan%20pernyataan%3A%20ASEAN%20peduli%20atas,dan%20rekonsiliasi%20demi%20keberlangsungan%20kehidupan%20bersama%20ialah%20pen

Manna�, A.-Q. (2006). Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, terj. Mabahits fi �Ulumil Qur�an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Marjani, N. (2023, April 26). India Faces a Two-Front Challenge From Post-Coup Myanmar. Retrieved 2024 from The Diplomat: https://thediplomat.com/2023/04/india-faces-a-two-front-challenge-from-post-coup-myanmar/

Mela Nuraisah, M. P. (2018). Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Induvidual Terhadap capaian Target Hafalan Al-Qur'an. Pendidikan Agama Islam, 125.

Morgenthau, H. (1949). National Interest and moral principles in foreign policy. American Scholar. Retrieved 2024

Muhammad, M. (2021, Juni 19). Majelis Umum PBB Kecam Kudeta Myanmar dan Desak Embargo Senjata. Retrieved 2024 from Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/06/19/majelis-umum-pbb-kecam-kudeta-myanmar-dan-desak-embargo-senjata/?status=sukses_login&status_login=login

Muizzudin. (2021). Aku dan Al-Qur'an. Guepedia.

NationTV. (2021, March 31). "Pitha" Slams Foreign Policy "Big Tu" Failure Please Stop Supporting the Burmese Military Junta to Kill Civilians. Retrieved 2024 from Nation Story: https://www.nationtv.tv/news/378819809

Neuchterlein, D. E. (1978). National Interests And Presidential Leadership: The Setting Of Priorities (1st Edition ed.). Routledge, New York. doi:https://doi.org/10.4324/9780429047459

Niseiy, S. (2021, December 16). Cambodia�s Myanmar Crisis Diplomacy: Give Talks a Chance. Retrieved 2024 from The Diplomat: https://thediplomat.com/2021/12/cambodias-myanmar-crisis-diplomacy-give-talks-a-chance/

Nurita Juliasari, d. B. (2016). Hubungan Antara Manajemen Waktu Belajar, Motivasi Belajar, Dan Fasilitas Belajar Dengan Prestasi Belajar Matematika Siswa SMP Kelas VIII Sekecamatan Danurejan Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Matematika Vol 4 No 3, 2.

Poerwadarminta. (2007). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ra�uf, A. A. (2009). Anda Pun Bisa Menjadi Hafidz Al-Qur‟an. Jakarta timur: Markaz Al-Qur�an.

Rahmah, A. (2015, Juni). Kebijakan Pemerintah Thailand dalam Mengatasi Human Trafficking dan Implikasinya terhadap Keamanan di Kawasan Asia Tenggara. Retrieved November, 2023 from https://www.bing.com/ck/a?!&&p=ec2632eb73ee02e9JmltdHM9MTY5OTQ4ODAwMCZpZ3VpZD0wZTQ0MTk3NS01YjFmLTZjNTMtMmZiNS0wYmJkNWE0OTZkMGUmaW5zaWQ9NTE3Mg&ptn=3&hsh=3&fclid=0e441975-5b1f-6c53-2fb5-0bbd5a496d0e&psq=Kebijakan+Pemerintah+Thailand+Dalam+Mengatasi+Human+Tr

Ranada, P. (2021, Feb 1). Philippines refuses to �interfere,� calls Myanmar coup �internal matter�. Retrieved 2024 from Rappler: https://www.rappler.com/world/asia-pacific/philippines-statement-myanmar-military-coup/

Rohmat, K. (2016). Kamus Populer Bahasa Indonesia. Jakarta: Bee Media.

Sabri, A. (2007). Strategi Belajar Mengajar. Ciputat: Quantum Teaching.

Sahal, H. (2012, November Sabtu, 24). Halaqah. From Nu Onlie: https//WWW.nu.or.id/nasional/halaqah-EGGfq

Sanglee, T. (2021, December 22). Explaining Thailand's Quiet Diplomacy in Myanmar. Retrieved 2023 from The Diplomat: https://thediplomat.com/2021/12/explaining-thailands-quiet-diplomacy-in-myanmar/

Sardiman, A. (2010). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Sebayang, R. (2021, March 05). Kronologi Lengkap Kudeta Myanmar yang Picu Demo Berdarah. Retrieved 2023 from IDN Times: https://www.idntimes.com/news/world/rehia-indrayanti-br-sebayang/kronologi-lengkap-kudeta-myanmar-yang-picu-demo-berdarah?page=all

Sebayang, Rehia. (2021, Maret 05). Kronologi Lengkap Kudeta Myanmar yang Picu Demo Berdarah. From IDN Times: https://www.idntimes.com/news/world/rehia-indrayanti-br-sebayang/kronologi-lengkap-kudeta-myanmar-yang-picu-demo-berdarah?page=all

Sicca , S. (2021, Januari 30). Kudeta Militer Myanmar, Ini Rentetannya dari Hasil Pemilu yang Dituduh Curang. Retrieved 2024 from Kompas.com: https://www.kompas.com/global/read/2021/01/30/135022870/kudeta-militer-myanmar-ini-rentetannya-dari-hasil-pemilu-yang-dituduh?page=all#page2

Simaseda. (20017, September 10). Buku Mutaba'ah Harian Siap Print. From http://simaseda.blogspot.co.id : http://simaseda.blogspot.co.id

Sorensen, G., Moller, J., & Jackson, R. (2022). Introduction to International Relations: Theories and Approaches (Eight ed.). Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. Retrieved November, 2023

Storey, I. (2023, Nov 21). Myanmar-Russia Relations Since the Coup: An Ever Tighter. ISEAS Perspective. Retrieved 2024 from https://www.iseas.edu.sg/articles-commentaries/iseas-perspective/2023-92-myanmar-russia-relations-since-the-coup-an-ever-tighter-embrace-by-ian-storey/

Sulaeman, D. Y. (2007). Mukjizat Abad 20: Doktor Cilik Hafal dan Paham Al-Qur�an. Depok: Pustaka Iman.

Sumiati. (2012). Pengaruh Lingkungan Belajar Siswa Terhadap Motivasi Belajar dan Implikasinya terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi Syariah Di Smp Kota Tasikmalaya. Jurnal Pendidikan Ekonomi dan Koperasi, Vol. 7,, 4.

Susanto, G., Seba, R., & Fretes, C. (2023). Analsisi Terjadinya Pelanggaran Hak Asasi Manusia Pasca Kudeta Myanmar Tahun 2021. Jurnal Impresi Indonesia, 2, 453 - 454. Retrieved 2024 from https://www.researchgate.net/publication/373314753_Analisis_Terjadinya_Pelanggaran_Hak_Asasi_Manusia_HAM_Pasca_Kudeta_Myanmar_Tahun_2021

Syaiful Bahri Djarmarah, A. Z. (2006). Strategi Belajar Mengajar. jakarta: Rineka Cipta.

Tita. (2021, December 22). Explaining Thailand�s Quiet Diplomacy in Myanmar. Retrieved 2024 from The Diplomat: https://thediplomat.com/2021/12/explaining-thailands-quiet-diplomacy-in-myanmar/

Tita. (2021, December 22). Explaining Thailand�s Quiet Diplomacy in Myanmar. From The Diplomat: https://thediplomat.com/2021/12/explaining-thailands-quiet-diplomacy-in-myanmar/

Ulya, F., & Santosa, B. (2023, September 05). Berjuang Selesaikan Konflik Myanmar, RI Sudah Lakukan 145 Pendekatan. Retrieved 2024 from Nasional Kompas: https://nasional.kompas.com/read/2023/09/05/16572991/berjuang-selesaikan-konflik-myanmar-ri-sudah-lakukan-145-pendekatan

Umar, A. R. (2014). The National Interest in International Relations Theory. Indonesian Journal of International Studies (IJIS). doi:https://doi.org/10.22146/globalsouth.28841

Widia, T. (2018, Oktober). ANALISIS KEBIJAKAN THAILAND DALAM SENGKETA. Retrieved November, 2023 from https://www.bing.com/ck/a?!&&p=a12a4aa67916c902JmltdHM9MTY5OTQ4ODAwMCZpZ3VpZD0wZTQ0MTk3NS01YjFmLTZjNTMtMmZiNS0wYmJkNWE0OTZkMGUmaW5zaWQ9NTE3Ng&ptn=3&hsh=3&fclid=0e441975-5b1f-6c53-2fb5-0bbd5a496d0e&psq=Analisisi+Kebijakan+Thailand+Dalam+Sengketa+Perbatasan

Wong, B., & Yingcharoen, T. (2023, August 30). Why Thailand Should Mediate the Crisis in Myanmar : The case for proactive, multilateral, pro-peace diplomacy. Retrieved 2024 from The Diplomat: https://thediplomat.com/2023/08/why-thailand-should-mediate-the-crisis-in-myanmar/

Wong, L. (2022, Februari 1). Myanmar coup: 1 Last year with the diplomatic work that Thailand chose to show. Retrieved 2024 from BBC News Thai: Myanmar coup: 1 Last year with the diplomatic work that Thailand chose to show.

Yasin, A. B. (2015). Agar Sehafal al-Fatihah �Trik dan Tips Jitu Menghafal al-Qur�an. Jakarta: Hilal Media.

Yasmin, M. (2013). Strategi Metode Dalam Pembelajaran . Jakarta: GP Press Group.