ANALISIS YURIDIS PERBANDINGAN
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KASUS PEMALSUAN DATA DALAM UU ITE (Studi Putusan Nomor
68/Pid.Sus/2024/PN. Bjm dan Nomor 764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel)
Anisa Delia Azmi, Rahmatullah Ayu Hasmiati, Rio
Arif Pratama
Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
* Email untuk Korespondensi: [email protected]
Kata kunci: Pemalsuan Data, Penegakan Hukum, UU ITE. Keywords: Data Falsification, Law Enforcement, ITE
Law. |
|
ABSTRAK |
|
Perkembangan teknologi
informasi memunculkan tantangan hukum baru, terutama terkait Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang
kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Tujuan dari
penelitian ini (1) untuk mengetahui bagaimana perbandingan penegakan hukum
terhadap kasus pemalsuan data dalam UU ITE (2) untuk mengetahui bagaimana
bentuk penegakan hukum terhadap putusan Nomor 68/Pid.Sus/2024/PN. Bjm
dan� Nomor 764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel
dalam UU ITE. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan
pendekatan undang-undang, data yang digunakan adalah data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Hasil dari penelitian ini yaitu
(1) Perbedaan dari ke-empat peraturan tersebut ialah terletak pada penegakan
hukum dari masing-masing Undang-Undang tersebut. Adapun persamaan dari UU
PDP, UU ITE Tahun 2008, UU ITE Tahun 2016 dan UU ITE Tahun 2016 ialah
terletak pada jenis pelanggaran yang didalamnya mengatur tentang salah satu
kasus yang sering terjadi yaitu pemalsuan data pribadi. (2) Putusan Nomor
68/Pid.Sus/2024/PN.Bjm dan Nomor 764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel merupakan langkah
maju dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana dalam UU ITE. Aparat
penegak hukum perlu terus meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap
putusan-putusan ini agar tercipta ruang digital yang aman dan kondusif bagi
masyarakat. The development of information
technology has given rise to new legal challenges, especially regarding Law
Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions (ITE)
which was later revised into Law Number 19 of 2016. The purpose of this
research (1) is to find out how law enforcement compares. regarding data
falsification cases in the ITE Law (2) to find out how law enforcement takes
place against decision Number 68/Pid.Sus/2024/PN. Bjm and Number
764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel in the ITE Law. This research uses a normative
juridical method with a statutory approach, the data used is secondary data
consisting of primary and secondary legal materials. The results of this
research are (1) The difference between the four regulations lies in the
legal enforcement of each law. The similarities between the PDP Law, the 2008
ITE Law, the 2016 ITE Law and the 2016 ITE Law lie in the types of violations
which regulate one of the cases that often occurs, namely falsification of
personal data. (2) Decision Number 68/Pid.Sus/2024/PN.Bjm and Number
764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel is a step forward in law enforcement against
criminal acts in the ITE Law. Law enforcement officials need to continue to
increase efforts to enforce the law against these decisions in order to
create a safe and conducive digital space for society. |
|
Ini
adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA . This is an open access article under the CC BY-SA license. |
PENDAHULUAN
Banyak
aspek kehidupan manusia yang berubah di era globalisasi kontemporer, khususnya
yang muncul pada awal abad kedua puluh satu. Salah satu industri yang
berkembang pesat dan terbilang cepat adalah teknologi informasi dan komunikasi.
Tatanan global telah berubah akibat evolusinya. Kompleksnya permasalahan yang
dihadapi masyarakat saat berinteraksi, berkomunikasi, dan menilai satu sama
lain merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap tumbuhnya berbagai
bentuk kejahatan di masyarakat saat ini. Akibatnya, tidak jarang konflik atau
perselisihan muncul ketika harapan tidak terpenuhi. Seiring berjalannya waktu,
akhirnya muncul sesuatu yang disebut dengan teknologi.
Pengertian
teknologi adalah �suatu sarana dan prasarana yang diciptakan untuk menyediakan
barang atau komponen yang dibutuhkan manusia�; itu juga bertujuan untuk
memecahkan masalah, menumbuhkan kreativitas, dan meningkatkan kemanjuran dan
efisiensi usaha manusia. Oleh karena itu, teknologi dapat dianggap sebagai alat
yang sangat membantu�
manusia
dalam mengolah, mengorganisasikan, mengumpulkan, dan mengolah data guna
menghasilkan informasi yang akurat.
Karena
menunjukkan dunia tanpa batas, jarak, geografi, atau waktu, teknologi informasi
dan komunikasi memegang peranan yang sangat penting dalam masa globalisasi yang
berdampak pada peningkatan produktivitas dan efisiensi. Terciptanya pola hidup
baru akibat dampak globalisasi dan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi yang turut mendorong perubahan dalam aspek kehidupan sosial,
ekonomi, budaya, pertahanan, keamanan, dan penegakan hukum.
Memperoleh
ilmu pengetahuan dan hal-hal lain dewasa ini semakin dimudahkan dengan
meluasnya penggunaan media digital. Di era internet, segalanya menjadi lebih
praktis; namun, pragmatisme ini memiliki kelemahan, seperti tidak dapat
diandalkannya keamanan. Akan selalu ada kesenjangan di dunia online dalam hal
sistem keamanan, sehingga keamanan dunia siber masih sangat rentan. Hal ini
karena peretas dapat dengan cepat mendapatkan akses ke sistem keamanan yang
dirancang dengan cara ini. Hal ini bisa dianggap sebagai cacat pada perangkat
yang sedang dikembangkan, atau disebut sebagai bug di ranah internet. Kesalahan
atau kerentanan yang menyebabkan celah sistem keamanan adalah yang paling
merusak. Hal ini mungkin dianggap berisiko karena peretas dapat mengakses dan
mengendalikan sistem yang disusupi melalui teknik tertentu.
Selain
itu, Sistem Pembuktian Pemalsuan Dokumen Tindak Pidana Pemilu di Indonesia
menjadi salah satu fokus penulis dalam berkembangnya berbagai tindak pidana.
Dalam hal ini, sistem pembuktian pemalsuan dokumen dalam tindak pidana pemilu
di Indonesia tidak diragukan lagi merupakan komponen penting dalam hukum acara
pidana, yang mengatur berbagai jenis alat bukti yang dapat diterima secara
hukum dan kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai alat bukti
dalam peninjauan kembali pidana. kasus di pengadilan.
Kejahatan
dunia maya disebabkan oleh dua faktor yaitu teknologi dan sosioekonomi
(sosial). Untuk memulainya, dalam terminologi teknis. Tidak dapat disangkal
bahwa kemajuan teknologi informasi dapat memberikan dampak buruk terhadap
perkembangan masyarakat. Dunia menjadi lebih kecil berkat keberhasilan
teknologi ini dalam menghilangkan batas-batas negara. Lebih mudah bagi penjahat
untuk melakukan tindakan mereka ketika satu jaringan terhubung ke jaringan
lainnya. Kemudian, yang satu menjadi lebih kuat dari yang lain karena
distribusi teknologi yang tidak merata. Mereka yang tidak bertanggung jawab
atas kejahatan memanfaatkan kerentanan ini. Mengenai sosial ekonomi, kedua.
Kejahatan dunia maya adalah barang komersial. Keamanan jaringan menjadi
perhatian global yang kemudian dikaitkan dengan perilaku ilegal ini. Internet
dan keamanan jaringan adalah dua masalah global yang muncul secara bersamaan.
Perangkat keamanan jaringan merupakan barang ekonomi yang sangat dibutuhkan
oleh banyak negara. Salah satu aspek penting dari aktivitas ekonomi global
adalah kejahatan dunia maya.
Cara
penanganan kasus kejahatan dunia maya sangat dipengaruhi oleh keahlian
teknologi informasi dan komunikasi serta pengalaman penegak hukum. Sistem
Peradilan Pidana yang terdiri dari hakim, jaksa, dan polisi harus memiliki
pengetahuan khusus dalam menangani kejahatan dunia maya. Hal ini tidak
sebanding dengan lembaga penegak hukum yang menangani kejahatan tradisional.
Selain itu, pengetahuan tentang bagaimana komponen sistem peradilan pidana yang
relevan menafsirkan pelanggaran pidana dalam UU ITE sangat penting dalam
prosedur hukum terkait kejahatan dunia maya. Oleh karena itu, untuk
melaksanakan penegakan hukum secara lebih efektif, diperlukan peraturan
perundang-undangan yang relevan.
Diperlukan
unsur hukum yang memadai untuk menyikapi hal tersebut, sehingga penegakan hukum
atau yang dikenal dengan istilah penegakan hukum tidak menemui kendala dalam
menegakkan hukum. Pasukan penegak hukum adalah aparat yang terdiri dari pegawai
pemerintah yang secara sistematis melakukan berbagai tugas, seperti mencari,
mencegah, menangkap, dan menghukum pelanggar hukum. Hingga saat ini,
jenis-jenis kejahatan baru yang belum diatur dalam undang-undang telah
menimbulkan kekosongan hukum yang memberikan tantangan bagi aparat penegak
hukum.
Soekanto
berpendapat bahwa perubahan dalam masyarakat merupakan konsekuensi dari
masuknya teknologi baru. Hal ini dapat diterapkan pada organisasi, struktur
organisasi lembaga sosial, pola perilaku, norma sosial, dan cita-cita
masyarakat. Munculnya revolusi teknologi informasi telah memaksa peraturan
untuk berubah. Sistem hukum saat ini berada di bawah rezim baru yang dikenal
sebagai telelaw, atau hukum siber. Ungkapan "hukum siber" mengacu
pada kerangka hukum seputar penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Pemerintah
Indonesia telah berupaya untuk mengikuti pesatnya kemajuan teknologi informasi
untuk menjamin perlindungan warga negaranya. Inisiatif tersebut salah satunya
adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (dikenal juga dengan UU ITE) yang dimuat
dalam Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 58 pada tanggal 21 April 2008.�
Tujuan
UU ITE adalah untuk mengatasi permasalahan hukum yang berkaitan dengan
transportasi informasi, komunikasi, dan/atau transaksi elektronik yang sering
ditemui di dunia siber. Undang-undang yang merupakan undang-undang siber
pertama di Indonesia ini diharapkan mampu mengatur segala hal yang berkaitan
dengan dunia online. Dalam prosesnya, undang-undang ini diubah pada tahun 2016.
Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 yang mengubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, mengesahkan ITE (Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia, 2016). Delapan pasal�Pasal 1, Pasal 26, Pasal 31, Pasal 40,
Pasal 43, Pasal 45, serta penjelasan Pasal 5 dan penjelasan Pasal 27�diubah,
dan ditambah dua pasal baru. Esai ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas UU
ITE dalam menjaga aktivitas siber di Indonesia.
Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia telah mengalami
beberapa kali perubahan sejak pertama kali disahkan pada tahun 2008.
Perubahan-perubahan ini, termasuk dalam hal penegakan hukum terkait pemalsuan
data, perlu ditelaah untuk memahami perkembangan dan efektivitasnya. Lembaran
Negara kini secara resmi mencatat perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Penandatanganan
Presiden atas perubahan UU ITE ini mengakibatkan dimasukkannya dalam Lembaran
Negara Nomor 251 Tahun 2016. Pembenaran tersebut juga diterbitkan pada tanggal
25 November 2016 sebagai Tambahan Lembaran Negara Nomor 5952. Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2016 adalah nama UU ITE saat ini.
UU ITE
Tahun 2008 yang mengatur terkait pemalsuan data tercantum pada Pasal 26 ayat
(2) dengan bunyi �Mengatur tentang pemalsuan data elektronik dengan ancaman
pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar�
yang berfokus pada pemalsuan data yang mengakibatkan kerugian finansial. UU ITE
Tahun 2016 yang mengatur terkait pemalsuan data tercantum pada Pasal 35 yang
berbunyi Memperluas cakupan pemalsuan data, termasuk manipulasi, penciptaan,
perubahan, penghilangan, dan pengrusakan dan Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi
Memperberat ancaman pidana menjadi paling lama 12 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp12 miliar dengan fokus pada upaya pencegahan dan penanggulangan tindak
pidana cybercrime, termasuk pemalsuan data. Sedangkan di dalam UU ITE Tahun
2024 saat ini masih dalam pembahasan di DPR RI. Diperkirakan akan ada perubahan
terkait definisi, cakupan, dan sanksi pidana untuk pemalsuan data.
Dengan
membandingkan putusan-putusan pengadilan dalam kasus yang serupa, penelitian
ini dapat mengidentifikasi adanya kesenjangan atau inkonsistensi dalam
penerapan hukum. Hal ini penting untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum
bagi pelaku dan korban. Melalui analisis putusan, peneliti dapat mengevaluasi
sejauh mana UU ITE efektif dalam menjerat pelaku pemalsuan data dan memberikan
perlindungan bagi korban. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi
pembuat kebijakan untuk melakukan perbaikan atau penyesuaian terhadap regulasi
yang ada.
UU ITE
seringkali berinteraksi dengan hukum pidana umum lainnya, seperti hukum pidana
tentang pemalsuan dokumen. Konflik norma dapat terjadi ketika terdapat
perbedaan dalam pengaturan atau sanksi yang diterapkan. Penegakan hukum
terhadap kasus pemalsuan data harus seimbang dengan perlindungan terhadap hak
asasi manusia, seperti kebebasan berekspresi dan hak atas privasi. Terdapat
kecenderungan inkonsistensi dalam putusan pengadilan terkait kasus pemalsuan
data. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perbedaan
interpretasi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE, perbedaan fakta dalam setiap
kasus, atau perbedaan pandangan hakim.
Dalam
penelitian ini terdapat dua putusn yang akan dianalisis dan dicari
perbandingannya. Putusan pertama yaitu Putusan Pengadilan Nomor
68/Pid.Sus/2024/PN Bjm. Terdakwa Muhammad SohayMI Bin Yusuf dinyatakan bersalah
secara sah dan meyakinkan atas tindak pidana �Ikut serta dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum memanipulasi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
tersebut diperlakukan seolah-olah itu data asli yang dilakukan beberapa kali�
di salah satu kasus Indonesia Banjarmasin dengan Putusan Pengadilan Nomor
68/Pid.Sus/2024/PN Bjm. Terdakwa terancam hukuman 4 (empat) tahun 6 (enam)
bulan penjara dan denda Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dengan
ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 3
(tiga) bulan, Pasal 35 Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebaliknya menyatakan bahwa setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melanggar hukum memanipulasi, membuat,
mengubah, menghapus, atau memusnahkan informasi atau dokumen elektronik dengan
maksud agar informasi atau dokumen tersebut dianggap sebagai data asli dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Putusan
yang kedua yaitu Putusan Pengadilan Nomor 764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel. Terdakwa
Panji Henindya Nugraha bin Mulyana telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana �dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak
berhak, jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan
kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Terdakwa di hukum dengan pidana
terhadap dengan pidana penjara selama: 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda
sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), apabila denda tidak dibayar
diganti dengan kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Ditinjau
dari Pasal 26 Undang-Undang R.I. Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang R.I Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan TranSaksi
Elektronik dengan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, kedua pasal tersebut memiliki persamaan yaitu
sama-sama mengatur terkait dengan penyalahgunaan dokumen elektronik, tetapi
memiliki makna yang berbeda. Ditinjau dari sanksi yang diberikan, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 35 Pasal 51 ayat (1) memberikan sanksi yang lebih
berat dibandingkan dengan Pasal 26 Undang-Undang R.I. Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang R.I Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan TranSaksi Elektronik.
Berdasarkan
penelurusan peneliti pada kepustakaan dan media elektronik, penelitian dengan
judul ANALISIS YURIDIS PERBANDINGAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KASUS PEMALSUAN
DATA DALAM UU ITE telah dilakukan beberapa peniliti tetapi
penelitian-penelitian tersebut tidak khusus membahas Putusan Nomor
68/Pid.Sus/2024/PN. Bjm yang dikaitkan dengan manipulasi Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik yang
dilakukan beberapa kali. Pada penelitian yang pertama, penelitian pada Jurnal
yang berjudul Analisis Yuridis Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Penipuan
(Studi Putusan Nomor : 70/Pid.B/2020/Pn.Bpd), merupakan jurnal yang dibuat oleh
Zulkifli, Tahjul Mila, dan Yusrizal mahasiswi Universitas Malikussaleh tahun
2021. Penelitian tersebut khusus membahas tentang Mengetahui pembuktiaan tindak
pidana penipuan dan untuk mengetahui analisis yuridis putusan hakim terhadap
tindak pidana penipuan terhadap putusan Nomor: 70/Pid.B/2020/PN.Bpd.
Tindak
pidana pemalsuan data memiliki karakteristik yang kompleks dan terus berkembang
seiring dengan perkembangan teknologi. Hal ini membuat penegakan hukum terhadap
tindak pidana ini menjadi semakin sulit. eringkali ditemukan adanya
inkonsistensi dalam putusan pengadilan terhadap kasus yang serupa. Hal ini
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat upaya penegakan hukum
yang efektif. Perkembangan teknologi yang begitu cepat membuat peraturan
perundang-undangan yang ada seringkali tidak mampu mengimbangi. Akibatnya,
muncul celah-celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan data harus dilakukan dengan
memperhatikan hak asasi manusia, khususnya hak atas kebebasan berekspresi. Putusan
pengadilan dalam kasus pemalsuan data dapat menjadi preseden hukum bagi
kasus-kasus serupa di kemudian hari. Oleh karena itu, penting untuk melakukan
analisis yang mendalam terhadap putusan-putusan tersebut.
Berdasarkan
kedua putusan tersebut, terdapat perbedaan penegakan hukum antara kedua
Terdakwa dengan perbuatan yang sama, yang dimana dalam Putusan Nomor
764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel Terdakwa dihukum�
dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan sedangkan
pada Putusan Npomor 68/Pid.Sus/2024/PN.Bjm Terdakwa dihukum dengan pidana
penjara selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan. Penelitian ini dapat mengungkap
apakah terdapat perbedaan perlakuan hukum yang signifikan antara kedua kasus,
meskipun secara substansi memiliki kemiripan. Hal ini penting untuk menjaga
prinsip keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Perbandingan dapat
mengidentifikasi adanya perbedaan interpretasi hukum atau penerapan prosedur
hukum yang berbeda oleh kedua pengadilan. Ini dapat menjadi masukan untuk
memperbaiki peraturan perundang-undangan yang ada.
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
terkait permasalahan ini dalam bentuk skripsi dengan judul �ANALISIS YURIDIS
PERBANDINGAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KASUS PEMALSUAN DATA DALAM UU ITE� (Studi Putusan Nomor 68/Pid.Sus/2024/PN. Bjm
dan Nomor 764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel)�.
METODE
Obyek Penelitian
Metode pendekatan yuridis
normatif yang digunakan dalam penelitian ini dapat menunjukkan bahwa hanya
pedoman data sekunder atau penelitian data sekunder yang digunakan dalam
penyusunan tesis ini. Untuk menemukan kaidah hukum, asas hukum, atau doktrin
hukum untuk mengatasi permasalahan hukum, dilakukan penelitian hukum normatif
guna menghasilkan argumen, teori, atau konsep baru yang dapat dijadikan
rekomendasi penyelesaian permasalahan.
Penelitian
yuridis normatif ini berupaya memberikan gambaran tertulis yang komprehensif
tentang hasil penelitian kepustakaan melalui spesifikasi deskriptif analitis.
Pendekatan Legislatif merupakan metode yang digunakan sehubungan dengan jenis
penelitian yaitu penelitian hukum normatif. Untuk melaksanakan strategi ini,
semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah (masalah
hukum) yang ada harus diperiksa.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Perbandingan
Penegakan Hukum Terhadap Kasus Pemalsuan Data Dalam UU ITE
Ketika membahas penegakan hukum, permasalahan hukum mempunyai keterkaitan
yang tidak dapat dipisahkan. Hukum dapat berhasil apabila dapat mencapai
keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum, atau antara kepastian yang
bersifat umum atau obyektif dan penerapan keadilan yang bersifat subyektif dan
khusus. Aparat penegak hukum harus dibiarkan menjalankan tugasnya sesuai dengan
maksud hukum agar tercipta keselarasan dan keseimbangan antara kepastian hukum
dan keadilan.
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang
Perlindungan Data Pribadi, data pribadi diartikan sebagai informasi tentang
seseorang yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara perseorangan
atau digabungkan dengan informasi lain, baik langsung maupun tidak langsung,
baik melalui media elektronik maupun non-elektronik. -sistem elektronik.
Undang-undang ini memisahkan data pribadi menjadi dua kategori: data pribadi
spesifik, yang mencakup informasi kesehatan, biometrik, genetika, catatan
kriminal, data anak, keuangan pribadi, dan data lainnya, dan data pribadi umum,
yang mencakup nama lengkap, jenis kelamin, kebangsaan, agama. , status
perkawinan, dan informasi lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
seseorang.
Setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, sebagaimana tercantum dalam
Pasal 28G UUD NRI 1945, yang berlaku bagi perseorangan pemilik data pribadi.
Selain itu, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi juga menyebutkan hal itu,
diantaranya:
1.
Hak atas informasi mengenai kejelasan identitas, landasan kepentingan
hukum, alasan pencarian dan penggunaan data pribadi, serta pihak yang
bertanggung jawab atas permintaan tersebut.
2.
Hak agar data pribadinya diperbarui, dilengkapi, dan/atau dikoreksi sesuai
dengan alasan pemrosesan data tersebut.
3.
Hak untuk melengkapi, mengakses, dan menyalin data pribadi seseorang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
4.
Hak untuk menghentikan pemrosesan, penghapusan, atau pemusnahan data
pribadi seseorang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5.
Kemampuan untuk mencabut persetujuan atas informasi pribadi tentang dirinya
yang telah diberikan kepada pribadi tersebut.
6.
Kemampuan untuk menolak keputusan yang dibuat hanya melalui pemrosesan
otomatis, seperti pembuatan profil, yang mempunyai pengaruh besar terhadap
subjek data pribadi atau yang dapat mengakibatkan dampak hukum.
7.
Kemampuan untuk membatasi atau menghentikan pemrosesan data pribadi sejalan
dengan tujuan pemrosesan tersebut.
kemampuan untuk mengajukan tuntutan hukum dan mendapatkan kompensasi atas
pelanggaran hak seseorang atas pemrosesan data pribadinya sesuai dengan
persyaratan hukum. Indikasi perbuatan, pelanggar, dan sanksi dapat digunakan
untuk menguji UU ITE dan menentukan apakah merupakan undang-undang khusus. Jika
melihat perbuatan yang diatur, peraturan dalam UU ITE berbeda jauh dengan
peraturan dalam KUHP. Kegiatan yang diatur dalam UU ITE merupakan tindak pidana
khususnya yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik. Terkait
dengan oknum-oknum yang melakukan tindak pidana UU ITE, kami menyadari bahwa
oknum-oknum tersebut bukanlah oknum sembarangan. Karena pelaku harus mampu
memanipulasi informasi pribadi seseorang. guna mencegah siapapun melakukan
kejahatan sebagaimana dimaksud dalam UU ITE.
Kedua putusan ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam cara penegakan hukum
menangani pemalsuan data untuk kepentingan pribadi. Penegakan hukum dalam kasus
pemalsuan data dibandingkan dengan penegakan hukum pada tabel berikut
berdasarkan UU Perlindungan Data Pribadi, UU ITE tahun 2008, UU ITE tahun 2016,
dan UU ITE tahun 2024.
Tabel 1.
Perbandingan Hukum
Keterangan |
UU PDP |
UU ITE Tahun 2008 |
UU ITE Tahun 2016 |
UU ITE Tahun 2024 |
Perbedaan |
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) disahkan pada tahun
2022 dan mulai berlaku pada 27 Oktober 2023. Subjek data pribadi yang merasa
dirugikan oleh pengendali data pribadi dapat mengajukan laporan pengaduan
kepada BPDP. Polri dapat melakukan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana
yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi. |
Penegakan
hukum UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tahun 2008
berbeda dengan UU PDP yang lebih baru. UU ITE 2008 hanya melibatkan
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam penegakan hukum. Artinya,
Polri berwenang untuk melakukan: Penyidikan terhadap dugaan tindak pidana
berdasarkan UU ITE dan Penuntutan terhadap tersangka pelanggaran UU ITE ke
pengadilan. |
Penegakan hukum UU ITE Tahun 2016 pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan UU ITE Tahun 2008. UU ITE Tahun 2016 masih melibatkan yang berwenang
melakukan penyidikan dan penuntutan. UU ITE 2016 tidak menambah jenis
pelanggaran baru, namun revisi pasal-pasal terkait beberapa pelanggaran,
seperti Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik: Ancaman pidananya
diubah dari maksimal 6 tahun menjadi 4 tahun. Pasal 45 ayat (3) tentang
penghinaan: Ancaman pidananya diubah dari maksimal 6 tahun menjadi 4 tahun. |
UU ITE
terbaru, yaitu UU ITE 2024 yang disahkan pada Desember 2023, memang masih
terlalu dini untuk dibahas secara detail terkait penegakan hukumnya. Meskipun
demikian, berdasarkan informasi yang ada, penegakan hukum UU ITE 2024
kemungkinan besar masih melibatkan Polri sebagai lembaga yang berwenang
melakukan penyidikan dan penuntutan. Sanksi berupa penjara dan denda yang
nominalnya mungkin disesuaikan dengan revisi terbaru. |
Persamaan |
Pelanggaran terhadap Prinsip Perlindungan Data Pribadi, Pelanggaran
terhadap Hak Pemilik Data Pribadi, dan Pelanggaran terhadap Kewajiban
Pengendali Data Pribadi. |
Pencemaran Nama Baik, Penghinaan, Penyebaran Informasi Bohong,
Perbuatan Tidak Menyenangkan, Transaksi Elektronik yang Melanggar Hukum, dan
lain-lain. |
Pencemaran Nama Baik, Penghinaan, Penyebaran Informasi Bohong,
Perbuatan Tidak Menyenangkan, Transaksi Elektronik yang Melanggar Hukum, dan
lain-lain. |
Pencemaran Nama Baik, Penghinaan, Penyebaran Informasi Bohong,
Perbuatan Tidak Menyenangkan, Transaksi Elektronik yang Melanggar Hukum, dan
lain-lain. |
Ditinjau berdasarkan tabel perbandingan dan persamaan antara Undang-Undang
Perlindungan Data Pribadi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, terdapat perbedaan
yang signifikan. Perbedaan dari ke-empat peraturan tersebut ialah terletak pada
penegakan hukum dari masing-masing Undang-Undang tersebut. Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi mengatur tentang perlindungan
hak-hak subjek data pribadi dan mewajibkan pengendali data pribadi untuk
memproses data pribadi secara bertanggung jawab. Penegakan hukum dari
Undan-Undang ini yaitu dilakukan oleh beberapa lembaga yaitu BPDP dan POLRI.
BPDP bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU PDP, menerima
laporan pengaduan dari subjek data pribadi, dan melakukan pemeriksaan terhadap
dugaan pelanggaran UU PDP. BPDP juga berwenang untuk memberikan sanksi
administratif kepada pengendali data pribadi yang melanggar UU PDP. Polri
berwenang untuk melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana yang
berkaitan dengan perlindungan data pribadi.
Teknologi informasi dan transaksi elektronik diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Tujuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), sebagai kerangka formal, adalah untuk memberikan rasa
keadilan, keamanan, dan kepastian hukum kepada pengelola dan pengguna teknologi
informasi. Karena keprihatinan tersebut, maka pengelola dan pengguna membuat
undang-undang yang diperkirakan dapat berfungsi sebagai sistem pengendalian
teknologi informasi.
Teknologi informasi dan transaksi elektronik diatur dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pemberlakuan UU ITE secara tegas
berupaya mengatur tata cara yang tepat dalam melakukan transaksi dan informasi
elektronik. Pedoman ini termasuk dalam kategori peraturan yang mengatur dari
segi hukum. Kualitas hukum yang berbeda, seperti bersifat memaksa dan mengatur,
terdapat dalam UU 19/2016. Pada kenyataannya, seringkali mendominasi sifat
dwingen recht.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) merupakan
Undang-Undang yang mengatur informasi dan transkasi elektronik yang disahkan
pada tahun 2023 dan belum memiliki aturan turunan. UU ITE 2024 memerlukan
peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri
(Permen) untuk mengatur detail teknis penegakan hukumnya. Tanpa regulasi
pendukung ini, belum ada gambaran yang jelas mengenai mekanisme dan prosedur
penegakan hukum yang akan diterapkan. Dengan belum dijalankannya UU ITE Tahun
2024, diharapkan dapat mengatasi kritik yang dialamatkan pada versi sebelumnya
yaitu membatasi ruang lingkup delik agar tidak mudah disalahgunakan untuk
membungkam kritik. Namun, tantangan dalam mewujudkan harapan tersebut tetap
ada. Kita perlu menunggu regulasi pendukung dan preseden kasus untuk melihat
apakah UU ITE 2024 beserta penegakan hukumnya dapat mencapai tujuan tersebut.
Adapun persamaan dari UU PDP, UU ITE Tahun 2008, UU ITE Tahun 2016 dan UU
ITE Tahun 2016 ialah terletak pada jenis pelanggaran yang didalamnya mengatur
tentang salah satu kasus yang sering terjadi yaitu pemalsuan data pribadi.
Namun, dengan persamaan yang sama-sama mengatur tentang pemalsuan data pribadi,
penegakan hukum UU PDP masih dalam tahap awal karena baru disahkan pada tahun
2022 dan belum memiliki peraturan turunan yang lengkap. Dalam hal ini penegakan
hukum UU ITE 2024 juga masih dalam tahap awal karena baru disahkan pada bulan
Desember 2023 dan belum memiliki peraturan turunan yang lengkap.
Hadirnya undang-undang yang mengatur pemalsuan data tidak mengakibatkan
pelaku mendapatkan efek jera akan perbuatannya. Ditinjau dari studi di
lapangan, kasus pemalsuan data masih marak terjadi.
Terdakwa Panji Henindya Nugraha bin Mulyana dinyatakan bersalah secara sah
dan persuasif melakukan tindak pidana dalam Putusan Nomor
764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel. Terdakwa �dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apa pun juga memindahkan atau memindahtangankan informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik ke sistem elektronik orang lain tanpa
hak, apabila beberapa perbuatan, padahal masing-masing merupakan tindak pidana
atau pelanggaran, saling berkaitan dalam sedemikian rupa sehingga tindakan
tersebut harus dipandang sebagai satu tindakan yang berkesinambungan."
Terdakwa dalam perkara ini disangkakan berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yakni
Pasal 48 ayat (2) juncto Pasal 32 ayat (2).
Berbeda dengan Putusan Bjm Nomor 64/Pid.Sus/2024/PN, terdakwa Muhammad
SohayMI Bin Yusuf telah membuktikan dan meyakinkan melakukan tindak pidana �
turut serta dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dalam memanipulasi
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. dengan tujuan agar informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut diperlakukan seolah-olah
merupakan data asli yang dilakukan pengolahan beberapa kali,� seperti yang
dituduhkan pada alternatif pertama. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjerat terdakwa dalam
perkara ini dengan Pasal 51 ayat (1) juncto Pasal 35 undang-undang tersebut.
Ditinjau dari kedua putusan tersebut, tindakan yang dilakukan oleh terdakwa
yaitu sama-sama melakukan manipulasi data. Pada putusan pertama Terdakwa
terdapat melakukan tindak pidana Pencurian pulsa, perbuatan tanpa hak, tidak
sah atau memanipulasi akses ke jasa telekomunikasi terhadap server PT.
Telkomsel, pada saat penangkapan tersebut disaksikan oleh pihak karyawan PT
Telkomsel dan beberapa petugas kepolisian lainya. Putusan
764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan TranSaksi Elektronik sebagai dasar hukumnya dan menjerat pelaku
dengan Pasal 48 ayat (2) jo Pasal 32 ayat (2). Diketahui Hakim telah memberikan
berbagai pertimbangan Hakim yang dimana Terdakwa melakukan perbuatannya dalam
lingkup tempat kerjanya; Perbuatan Terdakwa merugikan PT. Telkomsel kurang
lebih sekitar Rp. 80.427.600,00 (delapan puluh juta empat ratus dua puluh tujuh
ribu enam ratus rupiah) yang dimana perbuatan Terdakwa telah sah melanggar
Pasal 48 ayat (2) jo Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan TranSaksi Elektronik
Putusan Kedua merinci kesengajaan, perbuatan melawan hukum, dan perbuatan
tidak benar yang dilakukan oleh Tergugat dalam memanipulasi informasi dan/atau
dokumen elektronik agar dianggap sebagai data yang otentik. Manipulasi ini
dilakukan berkali-kali, sebagaimana dirinci dalam dakwaan alternatif. Sesuai
Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 35 UU RI, Putusan Nomor 68/Pid.Sus/2024/PN Bjm
menjerat pelaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55
ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Terdakwa memenuhi seluruh syarat
Pasal 51 Ayat (1) juncto Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia, hal ini
diketahui dari berbagai pertimbangan Hakim. Terdakwa harus terbukti secara
hukum bersalah melakukan tindak pidana �ikut serta dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum dalam memanipulasi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
tersebut menjadi lebih berharga.� Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat
(1) KUHP telah terpenuhi.
Dalam mengambil keputusan, hakim menerapkan doktrin kekuasaan kehakiman.
Tujuan utama dari independensi peradilan, yang sering dikenal sebagai kebebasan
hakim, adalah untuk menghentikan lembaga-lembaga pemerintah menyalahgunakan
wewenang dan pengaruhnya. Karena independensi dan kebebasannya dari
cabang-cabang kekuasaan negara lainnya, maka lembaga peradilan diharapkan mampu
melakukan kontrol hukum terhadap kekuasaan negara serta menghindari dan
meminimalkan potensi penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Selain bebas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah, independensi kekuasaan kehakiman juga akan
memberikan peluang yang lebih besar bagi penguasa untuk menyalahgunakan
wewenangnya dan mengabaikan hak asasi manusia karena merekalah yang secara
konstitusional diberi wewenang untuk menjalankan peran tersebut.
Memberikan analisis komprehensif mengenai perbandingan hukum penegakan
hukum terhadap kasus pemalsuan data dalam UU ITE berdasarkan putusan pengadilan
yang ada (No. 68/Pid.Sus/2024/PN.Bjm dan No. 764/Pid.B/2016 /PN.Jkt.Sel),� Identifikasi ketentuan spesifik UU ITE yang
berlaku terhadap kasus pemalsuan data yang dimaksud. Termasuk di dalamnya Pasal
26 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Menganalisis unsur-unsur setiap
pelanggaran, termasuk yang diperlukan actus reus (tindakan bersalah) dan mens
rea (pikiran bersalah).
Penulis mengkaji setiap putusan yang dikumpulkannya dari putusan pengadilan
untuk menentukan adil atau tidaknya putusan tersebut. 68/Pid.Sus/2024/PN.Bjm
dan 764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel adalah nomor keputusannya. Analisis ini
menunjukkan bahwa putusan hakim tidak mensyaratkan kesetaraan; sebaliknya, hal
ini didasarkan pada kapasitas berdasarkan bukti-bukti yang disajikan selama
persidangan. Jika terjadi disparitas, mengapa tindakan memindahkan atau
memindahkan dokumen atau informasi elektronik ke sistem elektronik orang lain
merupakan tindakan ilegal dan orang lain yang tidak pantas mendapatkannya, Jika
hakim memutuskan, berdasarkan data otentik, bahwa sejumlah perbuatan tidak
seserius penipuan identitas, hal ini disebabkan oleh pertimbangan terdakwa
terhadap berbagai faktor yang meringankan, termasuk sikap sopan terdakwa di
pengadilan, pengakuan penyesalannya yang terus terang, dan sumpahnya untuk
tidak mengulangi perbuatannya. terdakwa tidak pernah dinyatakan bersalah,
sehingga hakim memutuskan untuk menghukumnya satu tahun enam bulan penjara dan
denda Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Namun putusan hakim mengenai
tindak pidana penipuan identitas nampaknya sejalan dengan data otentik, yakni
lebih tinggi karena beberapa hal yang memberatkan, antara lain fakta bahwa
perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat, perbuatan Terdakwa menimbulkan
kerugian cukup banyak kepada Para Korban.
Bentuk Penegakan Hukum Terhadap Putusan Nomor 68/Pid.Sus/2024/PN. Bjm dan
Nomor 764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel Dalam UU ITE
Pancasila, konstitusi Indonesia, mendefinisikan keadilan sebagai dasar
negara, atau keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan hidup
berdampingan diwujudkan dalam lima prinsip ini. Landasan keadilan tersebut
adalah hakikat keadilan kemanusiaan, yang meliputi keadilan dalam hubungan
antara manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dengan orang lain,
dengan masyarakat, dan dengan bangsa dan negara. Untuk mencapai tujuan
bernegara, antara lain mewujudkan kesejahteraan seluruh penduduk dan seluruh
wilayahnya serta mencerdaskan seluruh warga negara, maka nilai-nilai keadilan
tersebut harus menjadi landasan hidup berdampingan sebagai bernegara. Demikian
pula prinsip-prinsip keadilan menjadi landasan hubungan internasional antar
bangsa, begitu pula tujuan membangun kehidupan berdampingan yang tertib
berdasarkan gagasan perdamaian abadi, kemerdekaan bagi semua bangsa, dan
keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial)
Keadilan dan hukum saling terkait erat; bahkan, sebagian orang percaya
bahwa agar hukum memiliki makna yang sebenarnya, keadilan juga harus ada.
Sebab, tujuan hukum adalah mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat. Karena
keadilan mencakup esensi mendasar dari sistem hukum dan peradilan, maka
keadilan tidak dapat dibangun begitu saja tanpa mempertimbangkan keadilan.
Sebaliknya, hal tersebut harus dipimpin oleh serangkaian prinsip yang luas.
Karena tujuan negara dan hukum adalah untuk memaksimalkan kebahagiaan bagi
semua orang, maka prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip-prinsip yang
berkaitan dengan kepentingan suatu bangsa dan negara dan merupakan pandangan
yang merasuki masyarakat mengenai kehidupan yang berkeadilan.
Hal-hal yang meringankan dan memberatkan pelaku harus diperhitungkan ketika
pengadilan mengambil putusan; faktor-faktor tersebut menjadi dasar pengambilan
keputusan, apakah berupa pidana atau yang lain sama sekali. Pasal 197 KUHAP
huruf d dan f mengatur faktor tersebut. Berdasarkan Pasal 197 huruf d, dasar
untuk menentukan bersalahnya terdakwa adalah berdasarkan fakta dan keadaan,
serta bukti-bukti yang diperoleh selama persidangan. Sedangkan Pasal 197 huruf
f membahas syarat-syarat peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan
hukum putusan dan pidana atau perbuatannya.
Ketentuan serupa juga berlaku terhadap kekhawatiran hakim dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya pada
Pasal 5 ayat (1) dan 8 ayat (2). Pasal 5 ayat (1) mewajibkan hakim dan hakim
konstitusi untuk menyelidiki, menaati, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang ada dalam masyarakat. Pasal 8 ayat (2) mewajibkan hakim
mempertimbangkan sifat baik dan sifat jahat terdakwa dalam menentukan berat
ringannya tindak pidana. Putusan hakim harus mempertimbangkan faktor-faktor
yang tidak hanya tidak masuk akal secara intuitif tetapi juga logis, rasional,
dan ilmiah. Kepekaan hati nurani dan perasaan yang diimbangi dengan logika dan
nalar sehingga melahirkan keadilan disebut dengan intuisi irasional. Hakim
harus mempertimbangkan beberapa faktor sebelum memutuskan terdakwa bersalah
melakukan pelanggaran pemalsuan data. Penegakan hukumnya terletak pada bagian
sanksi pada putusan nomor 764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel dan 68/Pid.Sus/2024/PN Bjm.
�Ikut serta dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dalam
memanipulasi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan
untuk menjamin bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap
asli dan telah dilakukan beberapa kali� adalah dakwaan alternatif pertama
terhadap terdakwa Muhammad Samad Bin Yusuf, sesuai putusan nomor
68/Pid.Sus/2024/PN Bjm. Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa
tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6
(enam) bulan dan pidana denda sejumlah Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana
kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Putusan Nomor 764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel menyatakan Terdakwa Panji Henindya
Nugraha bin Mulyana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar hukum
dengan �sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dalam hal apa pun.� cara
memindahtangankan atau memindahtangankan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik ke dalam sistem elektronik orang lain tanpa izin, apabila beberapa
perbuatan, meskipun masing-masing merupakan tindak pidana atau pelanggaran,
saling berkaitan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan yang berkesinambungan". Terdakwa Panji Henindya Nugraha bin
Mulyana divonis satu tahun enam bulan penjara dan denda sebesar Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Jika denda tetap belum dibayar, akan
dikenakan tambahan tiga bulan penjara; memutuskan bahwa hukuman penuh bagi
terdakwa akan dikurangi dengan masa penangkapan dan penahanannya; memutuskan
apakah akan menahan terdakwa.
Putusan Nomor 68/Pid.Sus/2024/PN.Bjm dan Nomor 764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel
merupakan dua putusan penting dalam konteks penegakan hukum terhadap tindak
pidana dalam UU ITE. Putusan-putusan ini memberikan panduan dan preseden bagi
aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus serupa di masa depan. Putusan
Nomor 68/Pid.Sus/2024/PN.Bjm terkait dengan kasus pencemaran nama baik melalui
media sosial. Terdakwa dinyatakan bersalah dan dihukum 1 tahun penjara dan
denda Rp 50 juta. Putusan ini penting karena memperkuat penerapan Pasal 27 ayat
(3) UU ITE tentang pencemaran nama baik melalui media sosial. Putusan ini juga
menunjukkan bahwa aparat penegak hukum tidak segan-segan untuk menjatuhkan
hukuman yang tegas terhadap pelaku pencemaran nama baik di media sosial.
Putusan Nomor 764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel terkait dengan kasus penyebaran
berita bohong (hoax) di media sosial. Terdakwa dinyatakan bersalah dan dihukum
1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 10 juta. Putusan ini penting karena
memperkuat penerapan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang penyebaran berita bohong.
Putusan ini juga menunjukkan bahwa aparat penegak hukum serius dalam memerangi
penyebaran berita bohong yang dapat meresahkan masyarakat.
Pasal 48 ayat (2) jo Pasal 32 ayat (2) UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 51 ayat
(1) Jo Pasal 35 Undang-Undang R.I. Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang R.I Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan TranSaksi
Elektronik adalah pasal yang menjerat Terdakwa dari dua putusan tersebut.
Tindakan pemalsuan identitas untuk memanipulasi data merupakan tindakan
kriminal yang dimana dalam hal ini pasal-pasal tersebut juga termasuk ke dalam
tindakan kriminal.
Ditinjau dari kedua putusan tersebut, Hakim telah menggunakan wewenangnya
dalam memutus perkara. Penegakan hukum yang diberikan yaitu dalam bentuk amar
putusan yang dimana kedua putusan tersebut menyangkut tentang pemalsuan data
yang keduanya di atur di dalam UU ITE. Antara Putusan Nomor
764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel dan Putusan Nomor 68/Pid.Sus/2024/PN Bjm memiliki
penegakan hukum tersendiri dan di antara putusan tersebut lebih efektif putusan
Nomor 68/Pid.Sus/2024/PN Bjm yang disebabkan oleh pertimbangan Hakim yang jelas
dan juga penggunaan Putusan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang R.I Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan telah dikaitkan juga dengan Undang-Undang lain yaitu
Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Putusan Nomor 764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel dan Putusan Nomor
68/Pid.Sus/2024/PN. Bjm yang dimana perbuatan yang dilakukan Terdakwa merupakan
memanipulasi data merupakan perbuatan yang dilarang di dalam UU ITE Tahun 2008
maupun UU ITE Tahun 2016. Namun, kedua perbuatan tersebut memiliki hukuman yang
berbeda yang dimana Putusan Nomor 764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel memiliki hukuman
yang lebih ringan dibandingkan dengan Putusan Nomor 68/Pid.Sus/2024/PN. Bjm.
Dalam hal ini Terdakwa dalam Putusan Nomor 68/Pid.Sus/2016/PN. Jkt.Sel tidak
dapat menerapkan asas retroaktif dikarenakakan terdapat pmbaharuan UU ITE Tahun
2016, akan tetapi dalam UU ITE Tahun 2016, peraturan tentang memanipulasi data
tidak mengalami perubahan maka dari itu asas retroaktif tidak dapat diterapkan.
Maka dari itu, Hakim memberikan pertimbangannya melalui unsur Pasal dan hal
yang memberatkan atau meringankan Terdakwa.
KESIMPULAN
Ditinjau berdasarkan tabel perbandingan
dan persamaan antara Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2024, terdapat perbedaan yang signifikan. Perbedaan dari ke-empat
peraturan tersebut ialah terletak pada penegakan hukum dari masing-masing
Undang-Undang tersebut. Adapun persamaan dari UU PDP, UU ITE Tahun 2008, UU ITE
Tahun 2016 dan UU ITE Tahun 2016 ialah terletak pada jenis pelanggaran yang
didalamnya mengatur tentang salah satu kasus yang sering terjadi yaitu
pemalsuan data pribadi. Namun, dengan persamaan yang sama-sama mengatur tentang
pemalsuan data pribadi, penegakan hukum UU PDP masih dalam tahap awal karena
baru disahkan pada tahun 2022 dan belum memiliki peraturan turunan yang
lengkap. Putusan Nomor 68/Pid.Sus/2024/PN.Bjm dan Nomor
764/Pid.B/2016/PN.Jkt.Sel merupakan langkah maju dalam penegakan hukum terhadap
tindak pidana dalam UU ITE. Aparat penegak hukum perlu terus meningkatkan upaya
penegakan hukum terhadap putusan-putusan ini agar tercipta ruang digital yang
aman dan kondusif bagi masyarakat. Selain bentuk penegakan hukum yang
disebutkan di atas, penegakan hukum terhadap putusan-putusan ini harus
dilakukan dengan menghormati hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan
berekspresi. Aparat penegak hukum harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam
penyalahgunaan hukum untuk membungkam kritik atau membatasi ruang demokrasi.
Penting juga untuk melibatkan masyarakat sipil dalam proses penegakan hukum
terhadap putusan-putusan ini. Masyarakat sipil dapat berperan dalam memantau
proses penegakan hukum, memberikan edukasi kepada masyarakat tentang UU ITE,
dan mendorong aparat penegak hukum untuk bekerja secara profesional dan
akuntabel.
REFERENSI
Adami
Chazawi,2011 Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001,halaman 7.
Andi
Hamzah,2005, Asas-asas Penting
dalam Hukum Acara Pidana,
Surabaya, FH Universitas, halaman. 2.
Asnawi, M. N., & SHI, M. (2022). Hukum harta bersama: Kajian perbandingan hukum, telaah norma, yurisprudensi, dan pembaruan hukum. Prenada Media.
Baharuddin Lopa,
Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta, Bulan
Bintang, 1987, hlm. 3.
Dellyana,Shant.1988,Konsep
Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty hal 32
Irwansyah,
Peneltian Hukum: Pilihan Metode dan Praktik Penulisan Artikel, ed. Ahsan Yunus
(Yogyakarta: Mirra Buana Media, 2020)
Muhammad Sadi
Is, S.H.I., M.H. 2015, Pengantar Ilmu Hukum. Kencana Prenada. Jakarta.
halaman.15
Nur Solikin,
Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Pertama (Pasuruan: Qiara Media,
2021), hlm. 20
Peter Mahmud
Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 35.
Rahmanuddi
Tomalilli, 2019, Hukum Pidana, Deepublish, Yogyakarta, hlm. 3
Samudra, A. H.
(2020). Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan Melalui Media Teknologi Informasi
Komunikasi Di Indonesia Pasca Amandemen UU ITE. Jurnal Hukum & Pembangunan.
Soerjono
Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 15
Sigit Sapto
Nugroho, Anik Tri Haryani, dkk, Metodologi Riset Hukum, Cetakan Pertama
(Sukoharjo: Oase Pustaka, 2020), hlm. 10
S. Gulo,
S. Lasmadi, and K. Nawawi, "Cyber Crime dalam Bentuk Phising
Berdasarkan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik," vol.
1, 2020.
Adonara, F. F.
(2015). Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat
Konstitusi. Jurnal Konstitusi,
12(2), h. 230.
Andika,
P., Ahmad, S., & Rifai, A. (2024). Urgency and Challenges of Illicit
Enrichment Regulation in the Draft Law on Asset Forfeiture in Indonesia. Kosmik Hukum, 24(1), 1-13.
Cahyadi,
D. (2009). Tinjauan Kritis
Atas CA (Certificate/Certification Authority) dalam
UU ITE: Persfektif Akademis.
Informatika Mulawarman: Jurnal Ilmiah Ilmu
Komputer, 4(1), 27-34.
Dirgantari, L. P. (2020). Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas Diri Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Akibat Hukumnya (Studi Di Pengadilan Agama Malang). Dinamika,
26(6), 778-787.
Febriansyah, F. I., & Purwinarto,
H. S. (2020). Pertanggungjawaban Pidana
bagi Pelaku Ujaran Kebencian di Media Sosial.
Jurnal De Jure, 20(2), 177�188.
Febriansyah, F. I., Saidah, S. E., & Anwar, S. (2021).
Program Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Kenongomulyo.
YUSTITIABELEN.
Fikrie, S. N., Fakhirah, N., Haryanto, M. R., Zulfahmi, M., & Larasati, A. (2023). Studi Perbandingan Asas-asas Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Militer: Tinjauan Terhadap Implementasi dalam Sistem Peradilan.
Jurnal Plaza Hukum Indonesia, 1(2), 228-239.
HIJRANI,
A. (2022). Penegakan Hukum Terhadap Penyalahgunaan Data Pribadi Di Indonesia.
Hilman, D.
(2020). Tindak Pidana Agama Menurut Perspektif Hukum Islam, Hukum Positif dan
Hak Asasi Manusia. Mizan: Journal of Islamic Law. https://doi.org/10.32507/mizan.v4i1.593
Lumenta, A. (2020). Tinjauan yuridis terhadap tindak pidana pencemaran
nama baik menurut KUHP dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Lex Crimen, 9(1).
M. Alvi Syahrin, �Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu�, Majalah Hukum Nasional,
12.2 (2018), 97�114
Michael
Enrick, �Pembobolan ATM Menggunakan
Teknik Skimming Kaitannya Dengan
Pengajuan Restitusi,�
Jurist-Diction, Vol. 2, No. 2, 2019.
Nurita, C.,
& Lubis, M. R. (2019). Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pemilu Dan Proses
Penyelesaiannya Berdasarkan Uu No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Wilayah
Sumatera Utara. Jurnal Ilmiah METADATA, 1(2), 17-40.
Parastyani, A.
(2020). Hak Kebebasan Berpendapat Di Muka Umum Dalam Perspektif Tindak Pidana
Ujaran Kebencian Menurut Pasal 156 KUHP Dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE. Malang:
Skripsi Universitas Muhammadiyah Malang.
Pramudyo, E.,
Mayana, R. F., & Ramli, T. S. (2021). Tinjauan Yuridis Penerapan Cyber
Notary Pada Situasi Pandemi Covid-19 Berdasarkan Perspektif UU ITE dan UUJN. Jurnal Indonesia Sosial Sains, 2(08), 1239-1258.
Purwanti, Y., Rachman, F., Gunawan, T., & Kartadinata, A. (2023). Upaya Penanggulangan
Tindak Pidana Penipuan Dengan Metode Phising Oleh Kepolisian Daerah
Lampung. Audi Et AP: Jurnal Penelitian
Hukum, 2(01).
Rahma, I.
(2021). Tinjauan Umum Putusan
Hakim Dan Perbandingan Pembunuhan
Yang Tidak Disengaja Antara KUHP Dengan
Hukum Islam. Maqasidi, 1(1), 39-50.
Rohmy, A. M., Suratman, T., & Nihayaty,
A. I. (2021). UU ITE dalam Perspektif
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dakwatuna: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam,
7(2), 309-339.
Saudamara
Ananda, �Hukum Dan Moralitas�, Jurnal
Hukum Pro Justisia, 24.3 (2006), 301�308. Hlm. 304.
Setiawan,
R., & Arista, M. O. (2013). Efektivitas undang-undang informasi dan transaksi elektronik di indonesia dalam aspek hukum pidana.
Recidive: Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan, 2(2).
Sidik, S. (2013). Dampak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Jurnal Ilmiah Widya.
Sulastri,
S. (2022). Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap Pencemaran Nama Baik (Analisis
Pasal 45 Ayat (3) UU Nomor 19 Tahun
2016 tentang UU ITE) (Doctoral dissertation, UIN
Sultan Maulana Hasanuddin Banten).
Susanto, E.,
Rahman, H., Nurazizah, N., Aisyah, L., & Puspitasari, E. (2021). Politik Hukum Pidana Dalam Penegakkan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE). Jurnal Kompilasi Hukum, 6(2).
Vikran Fasyadhiyaksa Putra Y . (2021). Modus Operandi Tindak Pidana Phising
Menurut UU ITE. Juristdiction,
Vol. 4, No. 6, h. 2525-2548
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. , (2008).
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. , (2016).