Action Research Literate

Vol. 8, No. 6, Juni 2024


ISSN: 2808-6988

PKPU dan Restrukturisasi Utang PT Totalindo Eka Persada Tbk dalam Mencegah Kepailitan

 

Ratna Dewi1, Paska Ricardo. S2, Domu Sama Ria Tumangger3, Wulan Dwita4, Rio Janeiro Silitonga5, Kritiani Imanuela6, Daysiah Nur Fathli Tanj7

Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Bung Karno, Jakarta, Indonesia

Email untuk Korespondensi: [email protected], [email protected], [email protected]


�ABSTRAK��������������������������������������������������������������������������������������������������������

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kata kunci:

PKPU

Restrukturisasi Utang Kepailitan

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

Suspension��� of���� Debt Payment

Debt Restructuring Bankruptcy


Perkembangan sektor konstruksi yang fluktuatif dan tantangan ekonomi global yang tidak menentu menambah kompleksitas masalah keuangan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan konstruksi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penyebab restrukturisasi utang Organisasi dengan Kewajiban Terbatas yang tidak dikelola secara jelas dalam Peraturan No. 37 Tahun 2004. Selain itu, pendalaman ini juga akan membedah upaya- upaya yang dapat dilakukan oleh Organisasi Kewajiban Terbatas untuk menyelamatkan organisasinya jika kewajiban tidak dilakukan. Eksplorasi ini menggunakan metodologi yang sah dan teratur (pemeriksaan yang sah) di mana eksplorasi ini mencari bahan-bahan sah yang berkaitan dengan objek eksplorasi, dan didukung oleh wawancara penjaga di mana pendukung adalah sumbernya. Penelusuran informasi dalam eksplorasi ini menggunakan penyelidikan subjektif, setelah informasi dibedah dan dibicarakan, barulah ditarik tujuan dengan teknik rasional.Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Peraturan No. 37 Tahun 2004 tidak mengatur kewajiban pembentukan kembali Organisasi Tanggung Jawab Terbatas karena pedoman peluang kesepakatan dalam pedoman umum sehari-hari. Hal ini dapat mengakibatkan Pemegang Utang yang bermaksud baik dan mempunyai sumber daya yang lebih besar dari kewajibannya namun tidak diberikan bantuan oleh Pemberi Pinjaman, salah satunya dengan memberikan jangka waktu angsuran yang sangat singkat yang akan menyebabkan Badan Tanggung Jawab Terbatas Peminjam tetap bangkrut.

The volatile development of the construction sector and uncertain global economic challenges add to the complexity of financial problems faced by construction companies in Indonesia. This study aims to analyze the causes of debt restructuring of Organizations with Limited Obligations that are not clearly managed in Regulation No. 37 of 2004. In addition, this deepening will also dissect the efforts that can be made by Limited Liability Organizations to save their organizations if obligations are not carried out. This exploration uses a legitimate and regular methodology (legitimate examination) in which this exploration searches for legitimate materials related to the object of exploration, and is supported by guardian interviews in which the proponent is the source. The search for information in this exploration uses subjective investigation, after the information is dissected and discussed, then the goal is drawn with rational techniques. The results of the examination show that Regulation No. 37 of 2004 does not regulate the obligation to re-establish a Limited Liability Organization because of the agreement opportunity guidelines in the general day-to-day guidelines. This can result in a Debtor who is well-intentioned and has resources greater than his obligations but is not given assistance by the Lender, one of which is by providing a very short installment period which will cause the Borrower's Limited Liability Agency to remain bankrupt.


 

������������������

Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA . This is an open access article under the CC BY-SA license.

 

 


Homepage: https://arl.ridwaninstitute.co.id/index.php/arl


PENDAHULUAN

Organisasi Kewajiban Terbatas memberikan kesempatan yang cukup untuk memperbaiki masalah moneter organisasi dan terdapat niat yang benar- benar jujur sehubungan dengan pemegang rekening untuk membayar kewajiban kepada banknya, maka, pada saat itu, adalah sesuatu yang bijaksana bahwa organisasi kemungkinan besar akan pulih dan Likuidasi orang yang berhutang dapat dicegah. Hal ini sesuai dengan standar koherensi bisnis dalam Peraturan No. 37 Tahun 2004 yang memperbolehkan organisasi pemegang rekening tetap direncanakan untuk terus dilaksanakan (Apriani, 2019; Nasution, 2018).

Restrukturisasi utang dan proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan mekanisme penting dalam sistem hukum kepailitan di Indonesia. PT Totalindo Eka Persada Tbk, sebuah perusahaan konstruksi terkemuka, menghadapi tantangan keuangan yang signifikan yang mengharuskan mereka untuk mempertimbangkan langkah-langkah strategis guna menghindari kebangkrutan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana PKPU dan restrukturisasi utang dapat berfungsi sebagai alat untuk mencegah kepailitan dan memastikan kelangsungan bisnis.

Pada dasarnya, PKPU adalah upaya hukum yang diberikan kepada debitur yang menghadapi kesulitan keuangan untuk melakukan restrukturisasi utangnya dengan persetujuan kreditur (Mantili & Dewi, 2021; Saija, 2019). perusahaan dari kebangkrutan.

Perkembangan sektor konstruksi yang fluktuatif dan tantangan ekonomi global yang tidak menentu menambah kompleksitas masalah keuangan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan konstruksi di Indonesia (Akbar Pahlevi et al., n.d.). Hal ini diperburuk dengan tekanan likuiditas dan beban utang yang tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji secara mendalam bagaimana implementasi PKPU dan strategi restrukturisasi utang dapat menjadi instrumen efektif dalam menanggulangi potensi kebangkrutan PT Totalindo Eka Persada Tbk.

Melalui analisis kasus PT Totalindo Eka Persada Tbk, penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan wawasan mengenai praktik terbaik dalam pelaksanaan PKPU dan restrukturisasi utang di Indonesia. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemangku kepentingan dalam industri konstruksi, termasuk praktisi hukum, manajemen perusahaan, dan pembuat kebijakan, dalam upaya meningkatkan stabilitas dan keberlanjutan bisnis di tengah tantangan keuangan yang kompleks.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis peran dan efektivitas Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan restrukturisasi utang dalam mencegah kepailitan pada PT Totalindo Eka Persada Tbk. Penelitian ini berfokus pada bagaimana mekanisme PKPU diterapkan dalam konteks perusahaan tersebut serta bagaimana upaya restrukturisasi utang dapat mengubah kondisi keuangan perusahaan dari potensi kebangkrutan menjadi situasi yang lebih stabil dan berkelanjutan. Dengan mengkaji langkah-langkah yang telah diambil oleh PT Totalindo Eka Persada Tbk dalam menghadapi tekanan finansial, penelitian ini bertujuan untuk memberikan wawasan yang mendalam mengenai strategi yang efektif dalam mengatasi krisis keuangan dan mencegah kepailitan di perusahaan. Manfaat dari penelitian ini mencakup beberapa aspek penting. Pertama, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan panduan praktis bagi perusahaan lain yang mengalami situasi serupa, sehingga dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam mengelola utang dan mencegah kepailitan. Kedua, penelitian ini juga akan memberikan kontribusi akademis berupa pemahaman yang lebih mendalam tentang implementasi PKPU dan strategi restrukturisasi utang di Indonesia. Ketiga, temuan penelitian ini dapat digunakan oleh pemangku kepentingan, termasuk regulator dan lembaga keuangan, untuk mengembangkan kebijakan yang lebih efektif dalam mendukung perusahaan yang menghadapi kesulitan keuangan. Dengan demikian, penelitian ini berpotensi memberikan dampak positif baik dari segi praktis maupun teoritis dalam bidang manajemen keuangan dan hukum kepailitan.

 

METODE

Penelitian ini menggunakan metodologi yang sah (legitimate examination) dengan melakukan pencarian bahan-bahan yang sah terkait dengan objek eksplorasi, dan dikuatkan melalui wawancara kustodian dimana pendukungnya adalah individu aset.

Sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto membakukan pemeriksaan yang sah adalah menyelidiki bahan pustaka atau informasi pilihan, yang meliputi laporan yang benar, buku referensi, hasil penelitian berupa laporan, dalil, proposal, eksposisi dan pedoman hukum. Pengumpulan informasi dilakukan melalui penyelesaian latihan konsentrasi perpustakaan, studi catatan, studi catatan dan studi catatan yang sah.

Pemeriksaan informasi dalam penelitian ini menggunakan pemeriksaan subyektif, setelah informasi dipecah dan dibicarakan, barulah diambil tujuan dengan menggunakan strategi rasional.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaturan Restrukturisasi Utang Perseroan Terbatas dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

Restrukturisasi utang perusahaan Debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1.     Dengan metodologi antar Bank dan Pemegang Rekening untuk melakukan upaya pembangunan kembali kewajiban berdasarkan pemikiran dan kesepakatan.

2.     Dengan mengusulkan dan menyebutkan penundaan komitmen angsuran kewajiban yang diatur dalam Peraturan No. 37 Tahun 2004.

Menunda komitmen angsuran kewajiban merupakan suatu cara untuk menghindarinya yang biasanya mengakibatkan likuidasi sumber daya pemegang Rekening (Sudarma, 2023; Usriyati et al., 2022). Khususnya dalam Organisasi Risiko Terbatas, penangguhan komitmen angsuran kewajiban berencana untuk memajukan keadaan keuangan dan kemampuan organisasi Peminjam untuk menciptakan keuntungan, dengan cara ini tidak diragukan lagi organisasi Pemegang Rekening dapat menjaga komitmennya.

Alasan penundaan komitmen angsuran kewajiban adalah memberikan kesempatan kepada Peminjam untuk menyelesaikan kemungkinan pembangunan kembali kewajiban termasuk angsuran seluruh atau sebagian kewajiban kepada pemberi pinjaman secara simultan. Jika hal ini dapat diselesaikan dengan baik, pada akhirnya organisasi pemegang utang siap memenuhi komitmennya dan melanjutkan usahanya.

Pihak yang berhutang mempunyai pilihan untuk mengajukan permohonan penundaan kewajiban angsuran komitmen atau kemudian menawarkan penyelesaian kepada Pemberi Pinjaman. Kedamaian menjadi komponen utama sekaligus penangguhan tujuan batin dari komitmen angsuran kewajiban, sehingga penting bagi peminjam untuk mengetahui perkembangan pengaturan yang menyusun alasan pengajuan permohonan tersebut. Mengingat Pasal 224 ayat (2) Peraturan No. 37 Tahun 2004 mengarahkan bahwa:

�Jika calon adalah Orang yang Berhutang, maka permohonan penundaan angsuran Kewajiban Komitmen harus disertai dengan rincian yang memuat sifat dan jumlah piutang dan kewajiban pemegang Rekening disertai bukti-bukti yang cukup.�

Pembangunan kembali kewajiban tersebut dilakukan oleh Pemegang Rekening karena pihak yang Berutang masih merasa siap untuk membayar kewajibannya kepada Penyewa, hal ini mengingat sumber daya Pemegang Rekening lebih besar dibandingkan dengan kewajibannya terhadap Bank (Siombo, 2019; Usanti & Shomad, 2022). Dalam likuidasi terdapat pedoman kelangsungan usaha, dimana Pemegang Hutang bermaksud baik namun dapat melanjutkan usahanya harus diberikan kesempatan untuk melanjutkan usahanya, Kelangsungan usaha Peminjam sangat bergantung pada keinginan Pemberi Pinjaman yang memberikan keringanan dan cara mengurus kewajiban kepada Debitur Organisasi Risiko Terbatas (Riana, 2022; Widana, 2020). Berikutnya adalah gambaran rencana permainan dan pelaksanaan kewajiban pembangunan kembali, selanjutnya hubungannya dengan Peraturan No. 37 Tahun 2004, antara lain:

1.     Restrukturisasi utang tidak diatur dalam Peraturan No. 37 Tahun 2004 karena sudah memasuki ranah pelatihan (kasuistik). Dengan asumsi bahwa pembangunan kembali kewajiban diarahkan pada Peraturan No. 37 Tahun 2004, maka hal ini akan mengabaikan pedoman umum yang umum, khususnya �Standar Peluang Kesepakatan�. Pada dasarnya pembangunan kembali atau kompromi merupakan hak masing- masing pihak, baik dari pihak Penanggung Hutang maupun pihak Bos Pinjaman, sehingga apabila tidak diselesaikan seluruhnya maka akan membatasi sejauh mana restrukturisasi utang.

2.     Kewajiban membangun kembali tidak diatur dalam Peraturan No. 37 Tahun 2004 karena kondisi keuangan atau sumber daya suatu organisasi pemegang utang tidak akan sama dengan organisasi lain, demikian pula orang dan kondisi dana setiap penyewa juga berbeda-beda. Jadi Peraturan No. 37 Tahun 2004 hanya mengatur cara penyampaian rencana kerukunan, pemungutan suara hingga diperoleh dukungan kerukunan dengan membatasi kekuasaan yang sah, dan tidak mengatur substansi atau hal-hal baku yang perlu diingat dalam rencana kerukunan.

3.     Pembangunan kembali kewajiban tidak menggunakan teknik unik. Pada dasarnya Kustodian memberikan kesempatan kepada Peminjam untuk menyusun keselarasan pengaturan yang akan diusulkan kepada Pemberi Pinjaman dengan demikian dengan Pemberi Pinjaman juga diberikan kesempatan untuk memberikan reaksi rekomendasi rencana keselarasan yang telah disampaikan karena terdapat standar peluang kesepakatan.

Dari pengaturan di atas, kontribusi wali pada dasarnya sebesar yang diharapkan. Sejauh mungkin adalah 270, dimana salah satu tugasnya adalah menyesuaikan jumlah pandangan antara individu yang berhutang dan Penyewa sehubungan dengan kondisi dan keadaan Rekening Terbatas Organisasi pemegang sehingga pemahaman pengakuan dapat terjadi proposisi keselarasan yang diajukan oleh Peminjam dan kemudian persetujuan keselarasan dapat disebutkan dari dewan hakim bisnis yang memilih kasus tersebut 22 Ada beberapa kendala yang sebagian besar dihadapi oleh kustodian ketika mengajukan upaya untuk membangun kembali kewajiban kepada pemberi pinjaman, termasuk:


1.     Debitor positif tidak dapat lagi mengurus kewajibannya meskipun pemegang Hutang diberi kesempatan untuk membayar sebagian utang-utangnya.

2.     Peminjam dapat melunasi kewajibannya secara porsi dalam jangka waktu tertentu, namun Penyewa tidak dapat memberikan kesempatan kepada pemegang Utang untuk menunda komitmen angsuran di bawah air, biasanya hal ini terjadi sehubungan dengan kewajiban ini adalah Pinjaman modal pokok bos dalam menjalankan usahanya, sehingga pemberi pinjaman lebih suka tidak menyadari bahwa piutang peminjam harus segera dilunasi.

3.     Salah satu Pemberi Pinjaman (biasanya pemegang kebebasan demokratis terbesar dan satu-satunya) tidak menyatakan bahwa kewajiban tersebut harus dibayar dengan uang tunai, namun permintaan untuk dimasukkan berubah menjadi investor dalam komitmen angsuran kewajiban Organisasi Tanggung Jawab Terbatas Peminjam, bertekad untuk menjamin bahwa Organisasi Tanggung Jawab Terbatas Peminjam Penundaan komitmen angsuran kewajiban mungkin terjadi pada pemberi pinjaman tersebut. Biasanya hal ini dapat terjadi dengan asumsi Organisasi Kewajiban Terbatas milik pemegang Rekening adalah sebuah Organisasi Risiko Terbatas atau Organisasi Kewajiban Terbatas milik Peminjam adalah pesaing dari Organisasi Kewajiban Terbatas Pemberi Pinjaman sehingga jika bos Pinjaman dapat berubah menjadi investor di Organisasi Kewajiban Terbatas Peminjam, maka Organisasi Dibatasi Bos pinjaman tidak lagi memiliki persaingan.

Penting untuk ditegaskan kembali bahwa pedoman peluang kesepakatan dapat berujung pada pengkhianatan, dengan alasan bahwa untuk mencapai aturan peluang kesepakatan harus dilandasi oleh postur perundingan yang adil dalam pertemuan-pertemuan, pihak yang memiliki postur perundingan lebih tinggi seringkali memaksakan kehendaknya sehingga ia dapat mengarahkan kepada pihak selanjutnya untuk menuruti kemauannya dalam menentukan butir-butir perjanjian.

Pihak Leaser mempunyai postur negosiasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Pihak Peminjam sehingga yang terjadi adalah kewajiban pembangunan kembali yang selama ini dilakukan oleh Pemegang Hutang menjadi menjadi tidak efektif mengingat kepentingan antara Debtholder dan Loan boss menjadi tidak setara yang tertuang dalam butir-butir perjanjian non-agresi yang telah dihomologasi oleh pengadilan bisnis.

Pengarah memiliki hak istimewa untuk menolak dan menegaskan perjanjian non-agresi antara Orang yang Berutang dan Penyewa, namun hakim pengelola tidak dapat memberikan penilaian terhadap item-item dalam pengaturan melalui membangun kembali kewajiban.

Hal ini berbeda di Portugis, Singapura, Hong Kong dan Thailand. UU No. 37 Tahun 2004 yang berlaku di Indonesia berbeda dengan peraturan pasal 11 di beberapa negara lain, misalnya Peraturan Likuidasi Singapura yang lebih fokus pada penanganan permasalahan moneter Organisasi Kewajiban Terbatas dibandingkan menjual Organisasi Kewajiban Terbatas. Di Hong Kong, hal ini dilakukan dengan cara seperti ini, pengadilan memilih seorang pengawas untuk membantu pembentukan kembali Organisasi Kewajiban Terbatas yang mengalami kesulitan keuangan dengan penugasan untuk menyelesaikan kesepahaman dengan pemberi pinjaman sehingga Organisasi Risiko Terbatas menghindari pasal 11.

Dalam peraturan kepailitan di Thailand bergantung pada administrasi hukum untuk membangun kembali dana Pemegang Utang yang telah ditentukan Organisasi Risiko Terbatas oleh pengadilan dan peraturan bab 11-nya tidak salah lagi, misalnya mengizinkan Bank untuk menyajikan rencana yang harmonis dan memberikan rentang waktu agar desain ulang Kewajiban Terbatas tetap sesuai target berada di jalur yang benar. Keharmonisan struktur dengan membangun kembali kewajiban di dalam negeri Hal ini unik jika dibandingkan dengan di Indonesia, hal ini bergantung pada negara. Mereka merasa bahwa pembangunan kembali kewajiban adalah cara terbaik untuk menyelamatkan Organisasi Kewajiban Terbatas milik Debtholder dari kegagalan dengan tujuan agar kursus tersebut berjalan dengan baik. Tindakan Pembangunan kembali kewajiban jelas ditujukan untuk memberikan asuransi kepada individu yang berhutang sehingga Leaser memberikan kesempatan kepada Organisasi Resiko Terbatas yang masih memiliki kemungkinan untuk menciptakan atau menyelesaikan bisnis latihan, dengan alasan bahwa sumber daya yang dimiliki oleh orang

yang berhutang lebih besar dibandingkan dengan yang dimiliki oleh orang yang berhutang.

Kewajiban pemegang rekening. Dengan asumsi Organisasi Risiko Terbatas diberi kesempatan untuk menyelesaikan bisnisnya akan berdampak pada bagian keuangan negara dengan alasan akan memberikan pendapatan tambahan dan menyelamatkan ratusan bahkan ribuan pekerja di Organisasi Kewajiban Terbatas.

Pertimbangan dari pembuat Peraturan no. 37 Tahun 2004 adalah dengan memberikan ruang bagi pihak - pihak untuk menguburkan kapak melalui kewajiban pembangunan kembali, maka pada saat itu justifikasi di balik peluang kesepakatan dalam perjanjian non-agresi akan bertentangan dengan aturan koherensi bisnis dalam likuidasi dan, hal ini terjadi praktisnya dalam bidang dimana Peminjam menuntut sumber daya yang lebih besar daripada kewajibannya tidak diperkenankan bantuan dari Kreditor. Terlepas dari kenyataan bahwa para bos Pinjaman mengakui rancangan perjanjian non- agresi yang dibuat oleh Peminjam, namun hal-hal dalam perjanjian tersebut adalah sebagai kewajiban membangun kembali pemberi pinjaman yang memutuskannya.


UU No. 37 Tahun 2004 tidak memberikan ruang bagi juri administratif untuk menilai apakah item- item dalam perjanjian non-agresi disesuaikan antara kepentingan individu yang berhutang dan Leaser.

Hakim pengawas seharusnya mendatangkan pemegang buku umum dari Peminjam dan Bank untuk memaparkan hasil pemeriksaan Organisasi Risiko yang Dibatasi Orang yang Berhutang dan seluruh sumber daya dari Organisasi Tanggung Jawab Terbatas Peminjam, sehingga item-item dalam perjanjian non-agresi akan membantu pertemuan di dengan alasan bahwa Perjanjian non-agresi adalah kemunduran terakhir bagi Orang yang Berhutang untuk menghindari likuidasi. Jika pasal-pasal dalam perjanjian non- agresi tidak memberikan keuntungan kepada pemegang Rekening, maka yang terjadi adalah Organisasi Risiko Terbatas milik Orang yang Berutang akan gagal. Kasus yang terjadi di Makasar merupakan bukti bahwa dengan asumsi keharmonisan diserahkan sepenuhnya kepada Pemegang Rekening terlebih dahulu, Pemberi Pinjaman dan pejabat yang ditunjuk secara administratif tidak dapat melakukan evaluasi terhadap pemahaman barang- barang tersebut, maka Organisasi Risiko Terbatas Peminjam dapat dinyatakan pailit.

UU No. 37 Tahun 2004 direncanakan untuk mengatasi kekurangan yang terdapat dalam Peraturan No. 4 Tahun 1998, namun Peraturan No. 37 Tahun 2004 juga masih mempunyai kekurangan, khususnya permasalahan penduduk miskin yang sudah tercukupi, peluang untuk membangun kembali kewajiban belum terkendali. UU No. 37 Tahun 2004 hanya menyinggung persoalan rentang waktu yang kuat. Secara umum yang menjadi persoalan adalah Peraturan No. 37 Tahun 2004 masih belum memberikan sistem yang sah terhadap penataan kembali Organisasi Kewajiban Terbatas atau pembangunan kembali kewajiban memaksa Peminjam.

UU No. 37 Tahun 2004 hendaknya menjadi suatu kerangka yang dibuat untuk persiapan-persiapan antara para Pemberi Pinjaman dan Pemegang Utang sehingga mereka dapat mengaturnya dalam rangka penelaahan terhadap kejadian di masa yang akan datang (ex bet). Sehingga ketidakmampuan Pemegang Rekening untuk menunda komitmen angsuran kewajiban tidak diharapkan karena Pemegang Hutang tidak menyampaikan rencana keselarasan, namun pada umumnya tidak sepakat dalam siklus keselarasan.

Hal ini terjadi karena pemberi pinjaman lebih mencari keuntungan dimana apabila pemegang Rekening gagal maka Bank akan lebih banyak memperoleh keuntungan, sehingga keselarasan diselenggarakan oleh Peminjam melalui pembangunan kembali kewajiban sebagai perjanjian non-agresi, baik dalam proses angsuran, angsuran. Periode, penurunan biaya pembiayaan, atau penggunaan strategi yang lebih ringan bagaimanapun juga akan menyulitkan Organisasi Risiko Terbatas Peminjam untuk tetap memenuhi kewajibannya berdasarkan Peraturan no. 37 Tahun 2004 tidak mengatur mengenai jenis pembangunan kembali atau penataan ulang Organisasi Kewajiban Terbatas dalam penyelamatan Organisasi Tanggung Jawab Terbatas Peminjam.

PKPU dan Rekstrukturisasi Utang PT Totalindo Eka Persada Tbk dalam Mencegah Kepailitan

Rencana keharmonisan ini didukung oleh sebagian besar bos pinjaman dan berdasarkan pilihan pengadilan, statusnya berubah menjadi Gencatan Senjata. Pengadilan melakukan homologasi dan memberikan pilihan dukungan terhadap perjanjian Non- Agresi. Sejalan dengan itu, komitmen angsuran kewajiban yang sah ditangguhkan (PKPU) dinyatakan selesai dan terbatas pada pemegang rekening dan pemberi pinjaman.

Dengan disahkannya rencana keselarasan PKPU oleh penyewa, Organisasi akan menyelesaikan semua kewajiban melalui berbagai rencana mengingat seberapa besar kewajiban pertemuan bos pinjaman. Proposisi keselarasan ini, yang telah disetujui, disusun dengan mempertimbangkan kepentingan pemberi pinjaman dan kemampuan Organisasi untuk memenuhi kewajiban komitmen pembangunan kembali kepada bank.

PKPU selesai dengan sanksi perjanjian non-agresi sesuai asumsi Totalindo. Terbukti dalil kerukunan yang diajukan mampu memenuhi silaturahmi. Artinya, pemberi pinjaman menaruh saham pada proposisi kesepakatan Totalindo dapat terlaksana dengan baik. Setelah pilihan ini, kewajiban komitmen angsuran kepada penyewa, dapat diselesaikan dengan baik mulai saat ini.

Peraturan Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Angsuran Komitmen (PKPU) (selanjutnya disebut UUK- PKPU). Sebelum membuahkan hasil, pedoman kepailitan UUK-PKPU yang substansial di Indonesia adalah Peraturan Tidak Resmi Pengganti (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pembetulan Peraturan Kepailitan tersebut di atas yang selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Nomor 4 Tahun 1998 tentang (selanjutnya disebut Peraturan Kepailitan). Bab 11 Peraturan), UU Bab 11 cukup banyak mengarahkan PKPU, khususnya pada Bagian II. Padahal, rencana PKPU tersebut hanya merupakan perubahan pedoman kebangkrutan warisan Belanda, Failistment Verordenning.

Bagaimanapun, PKPU bukanlah cara terbaik untuk membebaskan pemegang utang dari pasal 11 dan likuidasi harta benda, ada dua cara untuk membebaskan pemegang utang dari pasal 11 ini:

1.     Dengan mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU);

2.     Dengan mendamaikan antara peminjam dan pemberi pinjaman, setelah peminjam dinyatakan pailit oleh pengadilan. Keharmonisan ini sebenarnya tidak dapat menghindarkan diri dari kebangkrutan, karena saat


ini sudah terjadi kebangkrutan, namun jika keharmonisan tercapai maka likuidasi pemegang hutang yang telah dipilih oleh pengadilan itu berakhir.

Salah satu syarat untuk mengajukan permohonan PKPU adalah kewajiban. Kewajiban pengertian tersebut diberikan dalam pengaturan Pengerjaan 1 angka 6 UUK-PKPU (Hartini, 2020; MANURUNG, 2024). Dengan adanya kewajiban maka antara pihak-pihak yang dibatasi oleh kewajiban itu Pitang bertindak sebagai bank, sedangkan pihak-pihak lain bertindak sebagai pemegang utang. Pengertian penyewa dan pemegang rekening sepanjang permohonan PKPU telah diajukan digambarkan Sampai batas tertentu I subbab A khusus berkenaan dengan Proklamasi Likuidasi Permohonan, dimana arti pentingnya penyewa dan orang yang berhutang sebagaimana mestinya dengan pengaturan Pasal 1 angka 2 UUK- PKPU (penyewa) dan Pasal 1 angka 3 UUK- PKPU (pemegang utang) (Anisaa & SH & Muhammad Adiguna Bimasakti, 2019; Serlika Aprita, 2019).

Kadang kala terjadi kebangkrutan para pengelola pinjaman yang tidak mempunyai niat murni untuk mengambil keuntungan dari interaksi PKPU dengan menanyakan banyak keperluan kepada pemegang rekening, jika peminjam tidak menyetujui pemegang rekening usaha akan berakhir dengan likuidasi dan berasumsi bahwa Anda menyetujui persyaratan yang akan menindas dan menjerumuskan individu yang berhutang ke dalam kewajiban yang semakin besar. Dalam kondisi ini kadang-kadang permohonan PKPU harus dilakukan oleh pemegang rekening dengan maksud banding terhadap pasal 11 telah diajukan oleh pemberi pinjamannya karena pemegang rekening merasa kondisinya masih memiliki uang tunai dan organisasi dapat bekerja dengan baik jika memperoleh pembangunan kembali atau untuk memastikan kondisi pemegang rekening masih dapat dilarutkan.

 

KESIMPULAN

UU No. 37 Tahun 2004 tidak mengatur kewajiban pembentukan kembali Organisasi Risiko Terbatas karena standar peluang kesepakatan dalam pedoman umum sehari-hari. Hal ini dapat mendatangkan Peminjam yang bermaksud baik dan mempunyai banyak sumber daya yang lebih besar dari kewajiban namun tidak diberikan bantuan oleh Penyewa, salah satunya dengan memberikan jangka waktu angsuran yang sangat singkat dengan tujuan agar dapat mewujudkan Organisasi Tanggung Jawab Terbatas Peminjam tetap bangkrut.

Keselarasan perjanjian akan membantu Bank dalam sudut pandang moneter karena situasi Leaser lebih beralasan, sementara itu akan menghambat bagi Pemegang Hutang karena berada dalam posisi lemah karena mereka dihadapkan dengan struktur dan isi dari pemahaman yang tidak benar. Sebenarnya tidak diinginkan oleh Peminjam namun terpaksa menyetujui karena tidak ada lagi keputusan baginya untuk mengajukan opsi dengan alasan bahwa hal-hal yang disepakati harus sesuai dengan keinginan bank. Tentang Peraturan No. 37 Tahun 2004 tidak memberikan kesempatan kepada Peminjam untuk melakukan tindakan lain, misalnya mengajukan tuntutan secara umum secara umum kepada pengadilan setempat dengan alasan penyalahgunaan syarat-syarat yang telah diselesaikan oleh Penyewa dalam perjanjian non-agresi.

 

REFERENSI

Akbar Pahlevi, S. M., Aksenta, M. M. A., Kom, S., Budiman, I. D., Sebayang, T. E., Kom, S., MM, M. H., PMP, C. S. M., Novel, C. N. J. A., & AB, S. (n.d.). BUKU AJAR PENGANTAR BISNIS. 2020.

Anisaa, A., & SH & Muhammad Adiguna Bimasakti, S. H. (2019). Kedudukan Debitor Utama Dan Personal Guarantor Dalam Permohonan Pernyataan Pailit. GUEPEDIA.

Apriani, R. (2019). Hukum Perbankan Dan Surat Berharga. Deepublish. Hartini, R. (2020). Hukum kepailitan. UMMPress.

Mantili, R., & Dewi, P. E. T. (2021). Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Terkait Penyelesaian Utang Piutang Dalam Kepailitan. Jurnal Aktual Justice, 6(1), 1�19.

Manurung, R. S. D. Y. (2024). Analisis Proses Keefektifan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Dalam Menyelesaikan Utang Perusahaan.

Nasution, M. L. I. (2018). Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Riana, D. (2022). Investasi dan Pasar Modal. Penerbit NEM.

Saija, R. (2019). Perlindungan Kreditur Atas Pailit Yang Diajukan Debitur Dalam Proses Peninjauan Kembali Di Pengadilan Niaga. Sasi, 24(2), 114�123.

Serlika Aprita, S. H. (2019). Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Menggunakan Uji Insolvensi: Upaya Mewujudkan Perlindungan Hukum Berbasis Keadilan Restrukturitatif Bagi Debitor Pailit dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan. Pustaka Abadi.

Siombo, M. R. (2019). Lembaga pembiayaan dalam perspektif hukum. Penerbit Unika Atma Jaya Jakarta. Sudarma, A. (2023). Analisis Penanganan Kredit Bermasalah Pada PT. BPR Supra Artapersada Cabang

Sukabumi. Jurnal Inspirasi Ilmu Manajemen, 2(1), 45�54.


Usanti, T. P., & Shomad, A. (2022). Transaksi bank syariah. Bumi Aksara.

Usriyati, R., Priyono, N., & Khabibah, N. A. (2022). Penanganan Kredit Bermasalah (Non Performing Loan) Pada PT. BPR BKK Muntilan (Perseroda). Akuntansi Dan Manajemen, 17(1), 60�71.

Widana, I. K. (2020). Buku Ajar Technopreneurship�Panduan Bisnis Berbasis Teknologi. Pantera Publishing.