PERAN BIROKRASI INDONESIA DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI TERKAIT PERLINDUNGAN ANAK BUAH KAPAL (ABK) DI KAPAL ASING

 

 

Meicel Anandia Rizaldi

Universitas Indonesia

Email: [email protected]

 

kata kunci:

Kebijakan Luar Negeri, aktor birokrasi, perlindungan ABK Indonesia, ILO 188 2007, Model Politik Birokratik.

 

 

 

 

 

keywords:

Foreign Policy, Bureaucratic Actors, Protection of Indonesian Crew Members, ILO 188 2007, Bureaucratic Political Model.

 

ABSTRAK

 

Kebijakan luar negeri Indonesia merupakan keputusan yang diambil dari aksi tawar menawar para aktor birokrasi yang terlibat. Aktor birokrasi yang terlibat dan muncul beragam tergantung kepada kepentingannya dalam suatu isu tertentu. Kemunculan dan peran beberapa aktor dalam isu perlindungan Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal asing, menunjukkan bahwa adanya kepentingan mereka dalam isu tersebut. Perlindungan ABK yang mengalami kekerasan fisik, jam istirahat, gaji yang kurang sesuai ataupun hak pekerja yang terpenuhi masih terus terjadi. Di sisi lain, ILO mempunyai konvensi 188 tahun 2007 tentang perlindungan ABK yang bisa menjadi alat Indonesia melindungi ABK yang bekerja di kapal asing dengan meratifikasi konvensi tersebut. Maka dari itu pertanyaan penelitiannya yaitu mengapa Indonesia tidak juga meratifikasi konvensi ILO 188 tahun 2007? Pertanyaan ini akan dijawab dengan satu variabel dari teori Model Politik Birokratik dari Graham Allison.� Metode penelitian yang digunakan yaitu kualitatif dengan sumber data primer dan sekunder. Pada akhirnya Indonesia memilih untuk tidak meratifikasi Konvensi ILO no 188 tahun 2007 yang disebabkan tumpang tindih kebijakan dari aktor birokrasi yang terlibat.

Indonesia's foreign policy is a decision taken from the bargaining action of the bureaucratic actors involved. The bureaucratic actors involved and emerging vary depending on their interests in a particular issue. The emergence and role of several actors in the issue of protecting Indonesian crew members working on foreign ships shows that there is an interest in the issue. The protection of crew members who experience physical violence, rest hours, inappropriate salaries or fulfilled workers' rights still occurs. On the other hand, the ILO has Convention 188 of 2007 on the protection of crew members which can be a tool for Indonesia to protect crew members working on foreign ships by ratifying the convention. Therefore, the research question is why did Indonesia not also ratify ILO Convention 188 of 2007? This question will be answered with one variable from Graham Allison's theory of the Bureaucratic Political Model.� The research method used is qualitative with primary and secondary data sources. In the end, Indonesia chose not to ratify ILO Convention No. 188 of 2007 due to the overlapping policies of the bureaucratic actors involved.

Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA .

This is an open access article under the CC BY-SA license.

 

 

 

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebijakan luar negeri merupakan hasil akhir dari keputusan-keputusan yang telah dibuat aktor nasional sebelumnya. Keputusan-kseputusan tersebut merupakan kepentingan nasional dimana peran nasional merupakan bagian penting suatu negara yang mencakup pola sikap, keputusan, respon, fungsi, dan komitmen terhadap negara lain atau hubungan internasional (Holsti, 1970). Peran nasional di sini maksudnya berfungsi melindungi atau menjadi mediator dengan fungsi berkelanjutan membantu penyelesaian di ranah internasional. Kebijakan luar negeri menjadi hasil final dari keputusan-keputusan yang telah dibuat para aktor birokrasi suatu negara sebelumnya (Halperin, Clapp, & Kanter, 2006). Keputusan tersebut dibuat sesuai dengan kepentingan negara pada suatu isu masalah. Maka hasil politik, atau keputusan, muncul dari interaksi antara para pembuat kebijakan, dimana hal ini dapat melihat peran aktor birokrasi dalam proses pengambilan keputusan Kebijakan Luar Negeri (Dorani, 2018). Sebagaimana yang diteliti dalam penelitian ini tentang peran birokrasi Indonesia dalam kebijakan luar negeri terkait permasalahan keamanan Anak Buah Kapal (ABK) perikanan. Dimana keamanan ABK termasuk yang kompleks penanganannya.

Keamanan ABK termasuk pada cakupan keamanan maritim yang termasuk sangat sulit untuk diatasi. Luasnya perairan di dunia dan juga karena berbatas yurisdiksi dan kedaulatan antar negara, menjadikan faktor sulitnya negara-negara di dunia internasional mengatasi hal tersebut. Selain keamanan ABK, keamanan maritim yang lain yaitu keamanan dari kejahatan di laut seperti perdagangan manusia, perdagangan barang ilegal, Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, perbudakan di laut, perompak, atau ancaman seperti terorisme lewat jalur laut. Dari semua isu kejahatan di laut, selama ini luput pada eksploitasi, kejahatan, maupun perbudakan pada pekerja kapal perikanan yang dikenal Anak Buah Kapal (ABK). Isu ini juga termasuk pada ranah isu keamanan manusia.

Keamanan ABK selama ini luput karena fokus kepada perdagangan manusia maupun barang ilegal melalui kapal-kapal perikanan. Banyak dari ABK mengalami kekerasan, eksploitasi, maupun kerja paksa saat bekerja di kapal perikanan. Kerja paksa, eksploitasi, perbudakan di zaman modern ini belum benar-benar hilang. Dari data ILO tahun 2016 terdapat sekitar 16 juta orang menjadi korban kerja paksa dengan 11% di antaranya bekerja di sektor pertanian, kehutanan, atau perikanan (McDonald, et al., 2021). Dan dari data IOM, ILO, Walk Free, ada sekitar 128.000 ABK di dunia yang mengalami kerja paksa pada tahun 2021 (International Labour Organization (ILO); Walk Free; International Organization for Migration (IOM), 2022). Dari data tersebut, kemungkinan jumlah lebih banyak lagi, terutama pada ABK. Hal ini dikarenakan saat kerja di laut, ABK sulit untuk kabur dan melapor terkait eksploitasi atau perbudakan yang terjadi di kapal dan juga jauh dari daratan.

Di Asia, juga banyak terjadi kerja paksa, eksploitasi, maupun perbudakan pada ABK di kapal perikanan. Kapal-kapal perikanan tersebut mayoritas milik Myanmar, Kamboja, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, dan Cina yang menjadi faktor utama adanya kerja paksa di kapalnya. Dan kapal-kapal tersebut mayoritasnya mempekerjakan ABK dari beberapa negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Filipina, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja (Yea, 2022). Dari data IOM pada tahun 2019 saja sudah sekitar 30.000 ABK dari Indonesia dan Filipina dilaporkan bekerja di kapal penangkap ikan perairan jauh Taiwan (Muamar, 2023). Pada tahun berikutnya, tahun 2021-2023 sekitar 12.409 nelayan migran Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing (IOM Indonesia, 2024).

Greenpeace dalam tulisannya dengan SBMI yang berjudul �Seabound: The Journey to Modern Slavery on the High Seas� menganalisis pengaduan dari nelayan migran Indonesia selama periode 13 bulan antara tahun 2019 � 2020 untuk menunjukkan bagaimana indikator kerja paksa telah meningkat. Mengidentifikasi indikator kerja paksa teratas yang mencakup penahanan upah (87%), kondisi kerja dan kehidupan yang kasar (82%), penipuan (80%), dan penyalahgunaan kerentanan (67%). Pengaduan datang dari 62 nelayan migran Indonesia di 41 kapal penangkap ikan dan empat kapal pengangkut berpendingin yang dikenal sebagai reefer yang semuanya diduga terlibat dalam kegiatan kerja paksa (Greenpeace, 2019).

ABK Indonesia sering mendapat perlakuan buruk dan tidak menyenangkan dari kapten kapal, seperti tidak mendapatkan gaji seperti yang telah dijanjikan, paspor ditahan oleh kapten kapal. Dari data Greenpeace yang dikutip oleh The Jakarta Post, terdapat 34 ABK Indonesia mengalami tanda-tanda kerja paksa di 13 kapal penangkap ikan asing yang diduga, 62 lainnya di 41 kapal penangkap ikan dan 4 kapal pengangkut berpendingin mengeluhkan pelanggaran hak asasi manusia dan ketenagakerjaan (Erou & Shahrin, 2021). Untuk mengetahui data pelanggaran dan jumlah ABK yang mengalami hal tersebut sulit untuk didapatkan berapa jumlah yang pasti.

Namun data-data yang telah dijabarkan di atas, menggambarkan betapa sulit dan menakutkannya sebagai ABK di kapal perikanan asing. Dalam segi bahasa sudah berbeda, bekerja untuk perekonomian keluarga tapi berujung disiksa, waktu kerja yang lebih banyak dari waktu istirahat, saat sakit tidak ditangani dengan layak dan berujung kematian dan dilarungkan ke laut saat meninggal.� Untuk melapor kepada pihak yang berwewenang juga ABK Indonesia sulit saat kapal berada di laut jauh dari daratan. Sistem pengaduan dan sistem perlindungan pun, ABK dilanda bingung harus melapor pada siapa. Alhasil, mayoritas mereka meminta tolong kepada warga setempat jika sudah berhenti di pelabuhan dan sudah di daratan.

Ironi kasus ini dimana tugas Indonesia sebagai negara untuk melindungi warga negaranya dimanapun berada. Dan juga Indonesia menjadi penyumbang ABK terbanyak terutama di kawasan Asia. Perlindungan yang diberikan ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran, dimana peraturan tersebut melindungi secara umum pekerja-pekerja migran Indonesia. Belum ada konvensi Internasional yang diratifikasi Indonesia khusus untuk perlindungan khusus pada ABK. Namun tetangga Indonesia di kawasan Asia Tenggara, Thailand telah lebih dahulu meratifikasi konvensi internasional terkait perlindungan ABK . Thailand sudah meratifikasi Konvensi ILO 188 Tahun 2007 tentang perlindungan ABK�(ILO, 2019). Saat itu Thailand diberikan peringatan atas massive nya IUU Fishing yang terjadi, juga dari data yang telah dijabarkan, kapal-kapal serta ABK nya terlibat isu kerja paksa di kapal perikanan. International Labour Organization (ILO) mengidentifikasi beberapa hal yang mendukung perlunya penanganan khusus, antara lain sulitnya upaya pengawasan, keterbatasan akses ke kapal tempat kejadian, kompleksitas isu yang melibatkan banyak aktor, proses rekrutmen yang tidak sesuai prosedur, serta peningkatan permintaan ABK seiring bertumbuhnya industri perikanan. ILO berupaya memastikan bahwa standar-standar ketenagakerjaan ini dihormati baik secara prinsip maupun prakteknya (ILO, About the ILO: History of the ILO, n.d.). Maka dari itu, pemerintah Thailand mengurus semua aturan terkait perikanan termasuk meratifikasi konvensi ILO, sebagai bentuk tanggung jawab negara melindungi warga negaranya. Selain itu para aktivis, organisasi, bahkan ABK Indonesia menuntut, mengkritik, dan menggugat pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 untuk melindungi ABK perikanan (SBMI, 2024)

Untuk itu Indonesia perlu mengeluarkan kebijakan luar negerinya sebagai tindakan perlindungan ABK. Indonesia dan Thailand memiliki permasalahan yang serupa seharusnya sudah mengikuti jejak Thailand dalam ratifikasi konvensi ILO 188 tersebut. Konvensi tersebut dapat membantu Indonesia secara hubungan internasinal dengan negara-negara yang terlibat dalam permasalahan ABK Indonesia. Dari respon lambatnya pemerintah Indonesia dalam mengambil keputusan kebijakan luar negerinya, membuat bertanya-tanya mengapa Indonesia tidak juga meratifikasi ILO 188? Pertanyaan ini akan dikaji dengan teori Model Politik Birokratik dari Graham Allison, dengan membahas satu variabel saja dari teori tersebut. Hal ini untuk mengetahui proses birokrasi Indonesia dalam mengambil keputusan ratifikasi atau tidaknya. Dan alasan pemerintah Indonesia begitu lama mengambil aksi perlindungan, sementara itu terus terjadi pelanggaran HAM pada ABK nya yang membutuhkan pertolongan.

Kajian Pustaka

Studi yang membahas tentang kebijakan Indonesia dalam misi perlindungan warga negaranya di luar negeri sudah cukup banyak dengan berbagai studi kasus. Misalnya, yang pertama penelitian tentang perlindungan terhadap anak-anak yang lahir tanpa memiliki kewarganegaraan (Sopyan, 2021). Ini diakibatkan oleh orang tua yang merupakan pekerja migran Indonesia yang secara ilegal bekerja di Sarawak, Malaysia. Kedua, mixed marriage seperti isu yang terjadi antara warga negara Indonesia dengan pengungsi Rohingya (Allagan, Salsa, & Sekarlangit, 2020). Dari jumlah tersebut, hanya beberapa yang telah dilaporkan ke otoritas pengungsi. Ada yang menikah sebelum datang ke Indonesia, ada yang setelah datang, keadaan ini menyebabkan pertanyaan tentang legalitas pernikahan dan konsekuensinya. Ketiga, kajian tentang isu hukuman mati Ruyat tahun 2011 menjadi eksekusi pertama terhadap buruh migran Indonesia di Arab Saudi (Lasim, Bainus, Setiabudi, & Darmawan, 2021). Menurut Kementerian Luar Negeri Indonesia pada tahun 2018, 103 pekerja migran terancam hukuman mati di Arab Saudi dan 85 orang berhasil diselamatkan. Eksekusi ini memicu konflik di Indonesia karena tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada Indonesia dan keluarga migran. Dibalik alasan Indonesia menjadi salah satu negara yang menyumbang pekerja migran terbesar di ASEAN, karena Indonesia dikategorikan sebagai negara pengikut dan posisi politiknya dalam kebijakan perlindungan pekerja migran mengakibatkan tawar menawar yang lemah dalam melindungi warga negaranya (Eriyanti, Makmur, & Intansari, 2022).

Dalam usaha perlindungan Indonesia terhadap warga negaranya di luar negeri tidak selalu lancar dalam prakteknya. Misalnya hak-hak pekerja migran belum ditetapkan secara tegas di Indonesia (Dewi, Chandrawulan, Hendrawan, & Nugraha, 2019), kurangnya komunikasi antar pemangku kepentingan dengan pemerintah dan kurang ketanggapan dalam merespon warga negara yang meminta perlindungan (Hasugian & Rahayu, 2018), rumitnya jalur untuk melapor kepada instansi pemerintah atau swasta (Juddi, Perbawasari, & Zubair, 2021), dan kurangnya persiapan bekal pendidikan, karena perusahaan penyalur jasa Indonesia, atau karena tidak aktifnya fungsi regulatif dan punitif Pemerintah Indonesia (Widyawati, 2018). Kebanyakan dari isu perlindungan warga Negara Indonesia di luar negeri dikarenakan adanya pelanggaran HAM, gaji yang tidak sesuai dengan jam kerja yang melebihi dari kontrak kerja (Mustofa, Solihin, Desyana, & & Hardianto, 2022).

Selanjutnya upaya-upaya yang telah dilakukan Indonesia dalam melindungi warga negaranya yaitu dikaji dari kacamata hukum. Pertama, dengan meratifikasi International Convention on the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (ICRMW) untuk melindungi pekerja migran beserta keluarganya (Farida, Rahayu, & Wijaningsih, 2019); kedua, dengan UU no 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UUPPMI) (Izzati, 2019); ketiga, bekerjasama dengan negara tempat migrannya bekerja untuk berkolaborasi dalam payung hukum yang sama untuk melindungi warga negaranya (Rahayu, 2018). Keempat, dengan persiapan perlindungan migran yaitu platform digital dan tempat penampungan (Setiawan, Sulastri, & Sumarno, 2018), kelima, dibantu dengan organisasi maupun aktivis seperti aktivis perempuan Indonesia dalam melindungi migran perempuan dengan membuat kebijakan perlindungan migran perempuan, membantu memberikan akses pendidikan, dan pengembangan diri (Dewi & Yazid, Protecting Indonesia�s Women Migrant Workers from the Grassroots: A Story of Paguyuban Seruni, 2017). Keenam adanya UU no 18 Tahun 2017 tentang perlindungan tenaga kerja Indonesia secara umum maupun pelaut (Hamid, 2019). Tetapi, hukum tersebut belum dapat melindungi ABK Indonesia yang sering menerima perlakuan yang berbeda dan mendapatkan hak yang berbeda dari ABK negara lain. Dan alasan Indonesia belum meratifikasi ILO 188 tahun 2007 tentang perlindungan ABK yang dikaji dengan teori pilihan rasional yang mana melihat untung dan rugi bilamana Indonesia meratifikasi konvensi tersebut (Ibrahim, 2023). Juga dari Kementerian Ketenagakerjaan yang belum ingin untuk meratifikasi konvensi ini.

Setelah melihat studi terdahulu, terlihat banyaknya isu tentang perlindungan warga negara Indonesia yang beragam. Perlindungan yang diberikan negara merupakan kewajiban. Dan warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan dari negaranya. Yang mengkaji tentang isu perlindungan ABK Indonesia telah banyak, akan tetapi itu hamper semua dikaji dengan sudut pandang hukum. Kajian terdahulu ini terdapat satu penelitian yang membahas alasan kebijakan Indonesia yang tidak meratifikasi konvensi internasional dalam perlindungan warga negara terkhusus ABK dengan melihat untung rugi. Maka dari itu peneliti akan mengkaji pertanyaan yang sama dengan penelitian Ibrahim mengenai mengapa kebijakan luar negeri Indonesia belum memutuskan untuk meratifikasi konvensi ILO 188 tentang perlindungan awak kapal perikanan. Dengan teori yang berbeda yaitu dari para actor birokrasi Indonesia yang terlibat dalam perlidungan ABK. Hal ini untuk melihat bagaimana para actor birokrasi muncul sesuai kepentinganna dan melakukan aksi tawar menawar untuk memenangkan sebuah keputusan yang bermuara pada kebijakan luar negeri Indonesia dengan meratifikasi atau tidak.

Kerangka Analisis

Untuk menganalisis dan menjawab pertanyaan penelitian ini menggunakan teori Model III Bureaucratic Politics Model dari Graham Allison (Allison G. T., 1969). Allison memiliki 3 Model Kebijakan Luar Negeri yaitu Model I Rational Policy Model, model II Organizational Process Model, dan model III Bureaucratic Politics Model. Model I Rational Policy Model, teori ini menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara dibuat oleh aktor rasional yaitu pemerintah pusat. Pemerintah dalam hal ini mempertimbangkan keputusan dengan melihat isu-isu internasional yang terjadi, tujuan negara, kepentingan nasional, mempertimbangkan konsekuensi dari pengambilan keputusan. Kemudian model II yaitu organizational process, teori ini menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara merupakan keputusan organisasi. Proses pengambilan keputusan harus sesuai dengan standar kegiatan (SOP). Kegiatan dan keputusan-keputusan diambil sesuai aturan dan kebiasaan organisasi. Yang mana organisasi ini yaitu pemerintah yang mengkoordinasikan dengan standar SOP untuk membuat suatu keputusan.

Sedangkan model III Bureaucratic Politics Model, teori ini menjelaskan bagaimana internal pemerintah yaitu aktor birokrasi memproses dan mengambil keputusan, dengan isu-isu internasional sebagai referensinya. Keputusan yang diambil dari hasil proses tawar menawar antar birokrasi. Proses tawar menawar ini juga ada poin-poin yang dipertimbangkan yaitu kerja sama atau koalisi antara birokrasi, kepentingan masing-masing maupun kepentingan nasional sesuai dengan isu atau permasalahan yang terjadi. Dan tiap pemain birokrasi tentunya memiliki kekuasaan hirarki yang berbeda-beda. Dan aksi tawar menawar tersebut menjadi tempat aksi para pemain untuk memenangkan kepentingan mereka yang di satu sisi juga bertumpang tindih dengan kepentingan nasional negara. Semua hal-hal tersebut dapat mempengaruhi pengambilan hasil keputusan. Dibalik aksi tawar menawar antar birokrasi pada Model III ini terdapat individu-individu di dalamnya. Selain kepentingan birokrasi terdapat kepentingan individu yang bertindak, dari sinilah muncul adanya keberpihakkan antar birokrasi yang saling bekerja sama (koalisi).

Graham Allison menjelaskan dalam Model Politik Birokrasi ini terdapat tiga pertanyaan dan jawaban yang merupakan variabel dari konsep birokrasi ini yaitu siapa aktor yang terlibat (who plays?), faktor apa yang menentukan sikap masing-masing aktor (who determines each player�s stand?), dan bagaimana sikap aktor dalam menyatukan pertimbangan untuk menghasilkan keputusan dan tindakan pemerintah (how are players stand aggregated to yield governmental decisions and actions?)�(Allison & Halperin, 1972). Variabel pertama adalah siapa aktor yang terlibat (who plays?). Aktor dalam lingkup pemerintahan, terdapat pembagian antara senior dan junior dalam pembuatan kebijakan. Lingkaran pemerintahan ini meliputi tokoh-tokoh politik utama, kepala organisasi keamanan nasional utama, termasuk intelijen, militer dan, untuk beberapa tujuan, organisasi yang mengelola alokasi anggaran dan ekonomi. Aktor birokrasi yang terlibat beragam jenis tergantung pada isu permasalahan yang terjadi. Tiap aktor memiliki berbagai kepentingannya sendiri. Maka dalam hal ini, setiap aktor akan muncul serta terlibat dalam suatu isu yang sesuai dengan bidangnya dan melakukan aksi tawar menawar untuk menunjukkan kepentingannya dalam isu yang muncul.

Variabel kedua adalah apa yang menentukan sikap masing-masing aktor (who determines each player�s stand?). Yang mempengaruhi sikap para pemain dalam pembuatan kebijakan ada dua yaitu pengaruh dari individu dan organisasi. Para pemain adalah individu yang memiliki presepsi dan preferensinya masing-masing sesuai dengan karakteristik tiap individunya. Dan pengaruh dari organisasi (kelompok) maksudnya adalah peran dan kekuatan pemain tergantung pada kepentingan organisasinya. Hal itu meliputi otonomi dan moral, esensi, peran dan misi, dan anggaran organisasi.

Variabel ketiga yaitu sikap aktor dalam menyatukan pertimbangan untuk menghasilkan keputusan dan tindakan pemerintah (how are players stand aggregated to yield governmental decisions and actions?). Dalam hal ini antar birokrasi saling berkompromi dan tawar menawar pada kepentingan masing-masing. Dalam tawar menawar tersebut pertama-tama, mempertimbangkan bagaimana pendirian para pemain secara agregat dalam menghasilkan kebijakan dan keputusan dari para pemain senior dan kedua, mempertimbangkan bagaimana kebijakan, keputusan, dan faktor-faktor lain menghasilkan tindakan pemerintah.

Permainan aksi ini merupakan kelanjutan dari permainan keputusan, tidak berjalan secara acak. Keputusan yang memicu permainan dan aturan permainan memberikan aksi kepada pemain dan memilih saluran aksi. Namun, kemungkinan ada beberapa sub-saluran. Pemain akan bermanuver untuk memasukkan masalah ke dalam saluran yang mereka yakini menawarkan prospek terbaik untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Seperti dalam permainan keputusan, probabilitas keberhasilan para pemain bergantung pada kekuatan mereka. Dalam hal ini, keuntungan tawar-menawar berasal dari: otoritas formal, kontrol atas sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan, tanggung jawab untuk melaksanakan tindakan, kontrol atas informasi yang memungkinkan seseorang untuk menentukan kelayakan tindakan dan konsekuensinya, kontrol atas informasi yang memungkinkan para pemain senior untuk menentukan apakah keputusan tersebut dilaksanakan, dan kemampuan persuasif dengan para pemain lain, terutama mereka yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan. Tindakan juga dipengaruhi oleh kendala yang diberlakukan oleh prosedur operasi standar organisasi besar.

Dengan demikian, karakter isu yang muncul, dan kecepatan permainan yang dimainkan, bertemu untuk menghasilkan kolase keputusan dan tindakan pemerintah. Pilihan-pilihan yang diambil oleh satu pemain (misalnya, untuk mengesahkan tindakan oleh departemennya, berpidato, atau menahan diri untuk tidak mendapatkan informasi tertentu), keputusan-keputusan dan "pelanggaran-pelanggaran" (misalnya, poin-poin yang tidak diputuskan karena tidak dikenali, terlambat diajukan, atau di salah pahami) merupakan potongan-potongan yang, ketika ditempelkan di atas kanvas yang sama, akan menjadi aksi-aksi yang relevan terhadap suatu hasil.

Dari proses ketiga variabel tersebut hasil akhirnya yaitu kebijakan luar negeri Indonesia. Teori ini akan menjawab pertanyaan penelitian �mengapa kebijakan luar negeri Indonesia tidak meratifikasi konvensi ILO 188?� Dengan melihat siapa aktor yang terlibat (who plays?), faktor apa yang menentukan sikap masing-masing aktor (who determines each player�s stand?), dan bagaimana sikap aktor dalam menyatukan pertimbangan untuk menghasilkan keputusan dan tindakan pemerintah (how are players stand aggregated to yield governmental decisions and actions?) Berdasarkan teori tersebut, dapat dilihat alasan Indonesia tidak meratifikasi konvensi ILO 188, berdasarkan proses pengambilan keputusan Indonesia terkait perlindungan ABK untuk meratifikasi atau tidaknya konvensi ILO dalam melindungi ABK. Birokrasi yang terlibat dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri Indonesia yaitu Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pemilihan aktor-aktor tersebut didapat dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya tentang perlindungan ABK perikanan, dimana mereka terlibat dalam perlindungan, pengiriman, pendataan para ABK. Lalu penelitian ini dijawab dengan satu variabel saja yaitu siapa aktor yang terlibat (who plays?) dalam keputusan tidak meratifikasi Konvensi ILO 188 dalam perlindungan ABK.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Politik Birokrasi Indonesia

 

Bagan 1: Model Analisis Teori

 

��������������������������������������������������

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dipakai adalah kualitatif. Dalam penelitian ini memakai dua jenis data yaitu data primer dan sekunder. Data primer ditinjau dari dokumen Konvensi ILO No 188 Tahun 2007 tentang perlindungan ABK perikanan. Selain itu dokumen dari pihak-pihak berwenang yang terlibat dalam pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia, khususnya kebijakan untuk tidak meratifikasi Konvensi ILO 188. Pihak-pihak berwenang yang terlibat tersebut yaitu Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk data sekunder didapat dari buku, artikel yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri Indonesia terkait perlindungan ABK perikanan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah desk research, dan library research. Setelah data dikumpulkan, data akan diolah dengan cara klasifikasi atau kategorisasi sesuai kebutuhan penelitian yaitu sesuai dengan kerangka analisis teori. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan di antara data-data yang telah terkumpul. Dan teknik pengolahan data lainnya yaitu triangulasi, dengan tujuan untuk mengkonfirmasi benar atau tidaknya data yang telah dikumpulkan dan dikategorisasikan. Maka selanjutnya data dianalisis dengan menjabarkan dan menjelaskan variabel sebab dan akibat dari kerangka analisis teori dengan data yang telah didapatkan. Lalu saat penelitian telah selesai, maka dapat diambil kesimpulan dari jawaban penelitian dengan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan dalam penelitian ini.

Pembahasan

Kasus eksploitasi ABK Indonesia yang dilakukan oleh ABK dari negara lain ataupun pemilik kapal asing sering terjadi. Hal ini belum ditindak lebih serius lagi oleh Indonesia selaku negara penyumbang ABK terbanyak di Asia. Permasalahan banyaknya ABK Indonesia yang dieksploitasi di kapal asing salah satunya yaitu oleh China contoh kasus yang telah dijelaskan sebelumnya eksploitasi ini diketahui ketika kapal berada di perairan Korea Selatan. Kasus ini terus terjadi diantara kedua negara tersebut ditambah negara yang terlibat yaitu China, Indonesia, dan Korea Selatan sejauh ini belum atau tidak meratifikasi Konvensi ILO no 188 tahun 2007 tentang perlindungan pelaut perikanan. Negara-negara yang sudah meratifikasi konvensi ini adalah Angola, Argentina, Bosnia and Herzegovina, Congo, Estonia, Prancis, Lithuania, Maroko, Namibia, Norway, Senegal, Afrika Selatan, Inggris, dan Thailand. Dari negara-negara yang telah meratifikasi, hanya Thailand negara dari Asia yang telah meratifikasi konvensi ini. Dengan meratifikasi Konvensi Buruh Perikanan ILO, Thailand menjadi contoh yang baik untuk kawasan ini dan merupakan negara pertama di Asia yang meratifikasi konvensi yang sangat penting ini. Proyek Hak Kapal-ke-Pantai ILO yang didanai Uni Eropa terus mendukung Thailand, organisasi pengusaha dan buruh untuk meningkatkan standar dalam industri perikanan komersial Thailand (ILO, Newsroom, 2019). Konvensi ini berisi persyaratan wajib untuk menangani isu-isu utama terkait pekerjaan di kapal penangkap ikan, termasuk keselamatan dan kesehatan kerja serta perawatan kesehatan di laut dan darat, waktu istirahat, kontrak kerja tertulis dan asuransi sosial yang setara dengan pekerja lain. Tujuannya untuk memastikan agar kapal penangkap ikan dibangun dan dipelihara sedemikian rupa sehingga para nelayan memiliki kondisi kehidupan yang layak di atas kapal. Konvensi ini membantu melindungi hak-hak para pekerja di kapal ikan karena kejahatan di laut tidak dapat diawasi oleh siapapun. Negara tidak dapat mengawasi secara penuh warga negaranya saat bekerja di laut lepas, di saat kedaulatan negaranya tidak berlaku di beberapa kawasan. Dengan menandatangani konvensi ini setidaknya dapat membantu untuk mengawasi perusahaan kapal yang akan menjadi tempat bekerja para pekerja kapal.

Konvensi ILO no 188 tahun 2007 yang disahkan pada 14 Juni 2007 merupakan konvensi internasional yang dibuat untuk melindungi pekerja awak kapal perikanan. Sejauh ini ada 19 negara yang baru meratifikasi konvensi ini yaitu Angola, Bosnia, Kongo, Argentina, Prancis, Maroko, Lithuania, Estonia, Norwegia, Inggris, Namibia, Senegal, Denmark, Afrika Selatan, Belanda, Portugal, Polandia, Irlandia Utara, dan Thailand. Di dalam konvensi mengatur definisi dan ruang lingkup, prinsip umum pelaksanaan, persyaratan minimal untuk bekerja di kapal penangkap ikan, persyaratan layanan Awak kapal dan masa istirahat, akomodasi dan makanan, perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja, penegakkan hukum, perubahan lampiran, dan ketentuan akhir (ILO, 2007). Dalam instrumen ini menjelaskan dengan detail bahwa kapal ikan yang diatur dalam konvensi ini yaitu kapal ikan yang berada di laut, sungai, dan danau, kecual kapal rekreasi. Dalam prinsip umum pelaksanaan menjelaskan bahwa negara anggota harus memiliki pihak yang berwenang untuk mengkoordinasi jalannya tugas dan tanggungjawab negara anggota dalam perlindungan awak kapal. Persyaratan minimal untuk menjadi awak kapal pun diatur yaitu umur minimal 15 atau 16 tahun dan pemeriksaan medis. Penyediaan kebutuhan makanan, medis, jam istirahat dan kerja pun diatur dalam konvensi ini. Agensi perekrutan dan kontrak kerja juga diatur, juga tahapan cara pengaduan awak kapal apabila terdapat pelanggaran di kapal akan dikirim langsung surat pengaduan ke ILO. Dan perselisihan yang terjadi antar negara yang meratifikasi, maka ILO akan mengambil tindakan. Maka tujuan dari ratifikasi Konvensi ILO 188 bukan hanya untuk melindungi pekerja perikanan, melainkan dapat membuat negara yang menjadi tempat bekerja (kapal perikanan bendera asing) dan tempat berlabuh kapal perikanan dapat membantu memberikan perlindungan (Komnas HAM RI, 2021). �

Dengan tidak meratifikasi Konvensi ILO 188, tentunya Indonesia telah merundingkan keputusan tersebut dengan beberapa birokrasi yang terlibat. Dalam isu kerja paksa dan kekerasan pada ABK Indonesia di kapal asing, munculnya empat birokrasi yang terlibat saling terkai dan berkepentingan pada isu ini. Pertama, Kementerian Luar Negeri merupakan aktor birokrasi yang kuat kaitannya terhadap setiap hubungan luar negeri Indonesia, terkhusus dalam penelitian ini. Membantu dan melindungi dari permasalahan yang terjadi pada warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.

Kementerian luar negeri Indonesia di sini tentunya menjadi garda terdepan dengan segala hubungan internasional Indonesia termasuk perlindungan warga negara di luar negeri seperti ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing dalam penelitian ini. Dari beberapa kasus yang ABK lalui, Kemenlu memfasilitasi misi penyelamatan dan pemulangan ABK ke Indonesia. Dari data Kementerian Luar Negeri pada tahun 2021, sudah sebanyak 27 ribu ABK yang dibantu kementerian untuk balik ke tanah air (Kementerian Luar Negeri, 2021). Arti dari garda terdepan sendiri benar-benar definisi Kementerian Luar Negeri, menjadi birokrasi yang bisa berdialog langsung dengan negara-negara yang terlibat pada isu ABK. Memfasilitasi kepulangan ABK pun tentunya sudah ada dialog dan kerja sama dengan otoritas negara bersangkutan. Seperti pada data dari Kementerian Luar Negeri, tahun 2022 ABK Indonesia ditelantarkan selama 7 bulan di sebuah kapal Filipina (Kementerian Luar Negeri, 2022). Hal ini dikarenakan kapal tersebut telah memasuki kawasan yang dilanggar untuk pergantian awak kapal sehingga dituntut oleh pemilik kapal tersebut yang mengakibatkan ABK Indonesia tidak dapat keluar dari kapal. Hal-hal yang dialami oeh ABK Indonesia saat bekerja sangat beragam seperti halnya kejadian tadi. Tentunya Kementerian Luar Negeri Indonesia langsung berdialog dan bekerja sama dengan otoritas Filipina untuk membantu proses penyelesaian masalah guna melindungi ABK Indonesia.

Dalam Kementerian Luar Negeri terdapat internal birokrasi yang mengurus perlindungan ABK Indonesia. Seperti pada gambar 1 struktur organisasi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, perlindungan warga negara Indonesia ditangani oleh Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (Kementerian Luar Negeri , 2024). Perlindungan warga negara ini termasuk juga para pekerja ABK yang bekerja di kapal asing dan berada di luar teritori Indonesia. Direktorat ini yang akan mengatur perlindungan warga negara Indonesia dan akan diteruskan pada alur birokrasi ke yang lebih tinggi yaitu Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler lalu kepada Menteri dan Wakil Menteri Kementerian Luar Neeri. Selain itu, Kementerian Luar Negeri juga saling bekerjasama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dalam perlindungan ABK.

Gambar 1: Struktur Organisasi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

 

Selanjutnya, membahas keterlibatan Kementerian Perhubungan terhadap isu perlindungan ABK Indonesia di kapal asing sangatlah penting. Sebelumnya, Kementerian Perhubungan sudah berwenang (memiliki kuasa) dalam mengatur dan mengorganisir Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK). Sudah ada 314 perusahaan yang terdaftar dan mendapatkan izin SIUPPAK dari Kementerian Perhubungan (Kementerian Perhubungan , 2024). Izin usaha ini tentunya sebagai tindakan preventif Indonesia sebagai perlindungan awal ABK. Selain itu dari data Direktorat Kepelabuhan Kementerian Perhubungan, Indonesia memiliki 636 pelabuhan�(Direktorat Kepelabuhan, 2024). Meskipun dalam kasus ini ABK Indonesia dieksploitasi di luar negeri, tetapi untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 diperlukan fasilitas pelabuhan sebagai standar perlindungan ABK. Ini diperlukan bila terjadi hal-hal yang krusial seperti ABK Indonesia maupun ABK asing ingin membuat pengaduan dan perlindungan saat terjadinya eksploitasi saat berada di kapal. Pelabuhan salah satu tempat pertama yang ABK tuju saat sampai di darat. Selain hal yang krusial, pelabuhan juga menjadi tempat ABK beristirahat di darat atau juga tempat kapal mengisi bahan bakar karena notabene paling dekat dengan laut atau tempat kapal bersandar.

Di dalam internal birokrasi Kementerian Perhubungan yang terlihat pada gambar 2 dan 3, perlindungan ABK ditangani oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Kementerian Perhubungan, 2009). Direktorat Kepelabuhan dan Direktorat Perkapalan dan Kepelautan menangani aturan SIUPPAK dimana proses perekrutan ABK dan juga surat izin kapal diatur. Dari struktur yang terlihat pada gambar 2 dan 3 Direktorat Perhubungan Laut bertanggung jawab tugas dan fungsinya langsung kepada Menteri Perhubungan.

 

Gambar 2: Struktur Organisasi Kementerian Perhubungan Republik Indonesia

 

 

Gambar 3: Struktur Birokrasi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik Indonesia

 

Kemudian birokrasi selanjutnya yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri (PerMen) Kelautan dan Perikanan nomor 39/PERMEN-KP/2019. Dalam PerMen tersebut yang diatur yaitu dermaga pelabuhan; alur pelayaran; Tempat Pemasaran Ikan (TPI); Navigasi Pelayaran dan komunikasi yang meliputi telepon, internet, radio komunikasi, dan lampu suar; instalasi perbekalan meliputi instalasi suplai air bersih, instalasi Bahan Bakar Minyak (BBM), instalasi pabrik es, dan Instalasi Listrik; cold storage; tesmpat pemeliharaan kapal dan alat penangkapan ikan; tempat penanganan dan pengolahan hasil perikanan; perkantoran meliputi pos pelayanan terpadu dan kantor administrasi pelabuhan; fasilitas K5 yaitu alat pemadam kebakaran, hydrant, amphibious, mobil pembersih lantai, dump truck dan Tempat Pembuangan Sementara (TPS); Balai Pertemuan Nelayan; Mess Operator; Wisma Nelayan; Fasilitas Sosial dan Umum, meliputi tempat peribadatan dan Mandi Cuci Kakus (MCK); dan pos jaga (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2019). Dari semua fasilitas tersebut sangat penting ada di setiap pelabuhan di Indonesia. Kelengkapan fasilitas infrastruktur inilah yang perlu Indonesia perhatikan dan menambah fasilitas. Penambahan fasilitas ini bukan hanya untuk Indonesia yang perlu meratifikasi Konvensi ILO tetapi juga memang hal ini diperlukan untuk kesejahteraan ABK Indonesia maupun ABK asing yang berlayar di pelabuhan Indonesia. Ini merupakan tindakan perlindungan yang Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia lakukan.

Dalam pengambilan keputusan, alur birokrasi internal Kementerian Kelautan dan Perikanan pada gambar 4, yang mengatur tentang ABK yaitu Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPPSDM KP). BPPSDM KP ini yang langsung bertanggung jawab tugas dan fungsinya kepada Menteri Kelautan dan Perikanan. Dan terdapat Biro Hukum yang mengatur kebijakan di kementerian tersebut.

Gambar 4: Struktur Organisasi Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2024)

 

Yang terakhir kemunculan Kementerian Ketenagakerjaan pada isu ABK sangatlah penting, mengingat kementerian ini yang berperan pada pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri untuk bekerja. Sementara ini, Kementerian Ketenagakerjaan masih melaksanakan peraturan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Peraturan ini melindungi pekerja migran Indonesia secara umum. Dalam struktur organisasinya, Kementerian Ketenagakerjaan membagi tugas dan fungsi khusus untuk mengatur penempatan dan perlindungan pekerja Indonesia di luar negeri yaitu Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Kementerian Ketenagakerjaan, 2018). Dalam birokrasi internal Kementerian Ketenagakerjaan yang menangani ABK yaitu Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja. Direktorat ini yang akan merumuskan, mengurus, melaksanakan kebijakan terkait perlindungan tenaga kerja. Secara struktural dari gambar 5, tugas dan fungsi direktorat tersebut bertanggung jawab langsung kepada Menteri Ketenagakerjaan (Kementerian Ketenagakerjaan, 2024).

 

Gambar 5 : Struktur Organisasi Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia

 

 

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini menjawab pertanyaan penelitian dengan salah satu variabel teori Model III Politik Birokrasi Graham Allison, bisa diambil kesimpulan bahwa keputusan kebijakan Indonesia dilatarbelakangi dengan aksi tawar menawar dengan banyaknya birokrasi yang terlibat. Dari munculnya isu kerja paksa dan tindak kekerasan kepada ABK Indonesia di kapal asing, ada beberapa birokrasi yang muncul yaitu Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Ketenagakerjaan. Empat kementerian tersebut memiliki wewenang, kepentingan dan tanggung jawab yang berbeda terkait isu ABK. Maka hal ini menimbulkan tumpang tindih yang membingungkan bagi negara maupun para pekerja ABK Indonesia. Dikarenakan saat terjadinya tindak kekerasaan ataupun ada kepentingan yang ingin disampaikan ABK kepada pemerintah Indonesia, mereka bingung untuk melapor dan menghubungi siapa untuk meminta perlindungan. Dan untuk meratifkasi Konvensi ILO 188 tahun 2007, birokrasi Indonesia yang terlibat harus terintegrasi baik dalam data maupun skema perlindungan ABK.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Allagan, T., Salsa, S., & Sekarlangit, A. (2020). Legal Protection of Indonesia Citizens in Mixed Marriage with Rohingya Refugees. Indonesian Journal of International Law, 17(2), 273-296. doi:10.17304/ijil.vol17.2.787

Allison, G. T. (1969). Conceptual Models and the Cuban Missile Crisis. The American Political Science Review, 63(3), 689-718. doi:https://doi.org/10.2307/1954423

Allison, G. T., & Halperin, M. H. (1972). Bureaucratic Politics: A Paradigm and Some Policy Implications. World Politics, 24, 40�79. Retrieved from https://doi.org/10.2307/2010559

Dewi, E., & Yazid, S. (2017). Protecting Indonesia�s Women Migrant Workers from the Grassroots: A Story of Paguyuban Seruni. Journal of the Indian Ocean Region, 13(1), 76-91. doi:10.1080/19480881.2016.1272812

Dewi, E., Chandrawulan, A., Hendrawan, D., & Nugraha, I. (2019). Evaluation on indonesian Labour Law to Protect Migrant Labour Rights in an ASEAN Economic Community Framework. International Journal of Innovation, Creativity and Change, 8(5), 105-119.

Direktorat Kepelabuhan. (2024, October 31). Data Indformasi Pelabuhan Nasional. Retrieved from Sistem Informasi Pelabuhan: https://simpel.dephub.go.id/front

Dorani, D. S. (2018). The Bureaucratic Politics Approach: Its Application, Its LimitationS, and Its Strengths. Political Reflection Magazine, 4(5), 36-46. Retrieved from https://cesran.org/the-bureaucratic-politics-approach-its-application-its-limitations-and-its-strengths.html

Eriyanti, L., Makmur, M., & Intansari, D. (2022). Indonesia's political position on the protection policy of migrant workers in ASEAN. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 26(1), 33-48. doi:10.22146/jsp.64224

Erou, A., & Shahrin, T. M. (2021, September 26). Opinion. Retrieved from The Jakarta Post: https://www.thejakartapost.com/academia/2021/09/26/dear-asean-modern-slavery-at-sea-is-worsening-on-your-watch.html

Farida, E., Rahayu, & Wijaningsih, D. (2019). Politics and Legal Philosophy of Indonesian Migrant Worker Protection: Case Study in Malaysia. International Journal of Scientific and Technology Research, 8(11), 2002-2004.

Greenpeace. (2019, December 9). Publication. Retrieved from Greenpeace: https://www.greenpeace.org/southeastasia/publication/3428/seabound-the-journey-to-modern-slavery-on-the-high-seas/

Halperin, M. H., Clapp, P. A., & Kanter, A. (2006). Bureaucratic Politics and Foreign Policy. Brookings Institution Press. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/10.7864/j.ctt6wpfmn

Hamid, A. (2019). Legal Policy in Protection for Indonesian Seafarers. International Journal of Civil Engineering and Technology, 10(1), 444-450.

Hasugian, L., & Rahayu, T. (2018). Requirement Analysis of Monitoring Information System for Indonesian Migrant Workers Protection. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 407(1). doi:10.1088/1757-899X/407/1/012150

Holsti, K. J. (1970). National Role Conceptions in the Study of Foreign Policy. International Studies Quarterly, 14(3), 233�309. doi:https://doi.org/10.2307/3013584

Ibrahim, A. M. (2023). Kebijakan Indonesia Tidak Meratifikasi Konvensi ILO No. 188/2007 tentang Pekerjaan Penangkapan Ikan. Indonesian Perspective, 8(1), 71-95.

ILO. (2007). Normlex. Retrieved from ILO: https://normlex.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:C188

ILO. (2019, January 30). ILO NEWS. Retrieved from ILO: https://www.ilo.org/resource/news/thailand-ratifies-work-fishing-convention

ILO. (2019, January 30). Newsroom. Retrieved from ILO: https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/newsroom/news/WCMS_666581/lang--en/index.htm#:~:text=Angola%2C%20Argentina%2C%20Bosnia%20and%20Herzegovina,14th%20country%20to%20ratify%20it

ILO. (n.d.). About the ILO: History of the ILO. Retrieved from ILO: https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/history/lang--en/index.htm

International Labour Organization (ILO); Walk Free; International Organization for Migration (IOM). (2022, September 12). Report. Retrieved from ILO: https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_norm/---ipec/documents/publication/wcms_854733.pdf

IOM Indonesia. (2024, September 17). News Local. Retrieved from IOM Indonesia: https://indonesia.iom.int/news/addressing-forced-labour-and-trafficking-persons-fisheries-sector

Izzati, N. R. (2019). Indonesian migrant workers protection through the law number 18 of 2017: New direction and its implementation challenges. [Arah Baru Perlindungan Pekerja Migran Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 dan Tantangan Implementasinya]. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, 6(1), 190-210. doi:10.22304/pjih.v6n1.a10

Juddi, M., Perbawasari, S., & Zubair, F. (2021). The Communication Flow in The Protection of Indonesian Female Migrant Workers Through The Migrant Worker Family Community (KKBM). Journal of International Women's Studies, 22(5), 19-37.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2019). Peraturan. Retrieved from Database Peraturan JDIH BPK: https://peraturan.bpk.go.id/Details/159350/permen-kkp-no-39permen-kp2019-tahun-2019

Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2024). Tentang KKP. Retrieved from Kementerian Kelautan dan Perikanan: https://kkp.go.id/tentang-kkp/struktur-organisasi/kkp.html

Kementerian Ketenagakerjaan. (2018). Unit Kerja. Retrieved from Kementerian Ketenagakerjaan: https://kemnaker.go.id/unit/binapenta-pkk

Kementerian Ketenagakerjaan. (2024). Unit Kerja. Retrieved from Kementerian Ketenagakerjaan: https://kemnaker.go.id/unit/menteri-ketenagakerjaan

Kementerian Luar Negeri . (2024). PPID. Retrieved from Kementerian Luar Negeri: https://e-ppid.kemlu.go.id/detail-informasi-publik/struktur-organisasi-kementerian-luar-negeri

Kementerian Luar Negeri. (2021, Maret 5). Berita. Retrieved from Kementerian Luar Negeri: https://kemlu.go.id/berita/perkuat-pelindungan-bagi-para-awak-kapal-perikanan,-indonesia-bersiap-ratifikasi-c188?type=publication

Kementerian Luar Negeri. (2022, September 29). Berita. Retrieved from Kementerian Luar Negeri: https://kemlu.go.id/berita/pemulangan-6-abk-wni-kapal-mv-sky-fortune-dari-filipina?type=publication

Kementerian Perhubungan . (2024, September 6). Dokumen Pelaut. Retrieved from Kementerian Perhubungan: https://dokumenpelaut.dephub.go.id/listsiuppak

Kementerian Perhubungan. (2009). Profil. Retrieved from Kementerian Perhubungan: https://www.dephub.go.id/post/read/struktur-organisasi-kemenhub

Komnas HAM RI. (2021, July 15). Kabar Latuharhary. Retrieved from Komnas HAM: komnasham.go.id/n/1844

Lasim, R., Bainus, A., Setiabudi, W., & Darmawan, W. (2021). Protection of Indonesian Migrant Workers After Moratorium Policy on Consignment of Migrant Workers and Its Impact to Indonesia Saudi Arabia Relations. Webology, 18(Special Issue), 785-797. doi:10.14704/WEB/V18SI04/WEB18165

McDonald, G. G., Costello, C., Bone, J., Cabral, R. B., Farabee, V., Hochberg, T., . . . Zahn, O. (2021). Satellites can reveal global extent of forced labor in the world�s fishing fleet. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A., 118(3), 1-9. doi:https://doi.org/10.1073/pnas.2016238117

Muamar, A. (2023, May 1). Brief. Retrieved from Green Network Asia: https://greennetwork.asia/featured/modern-sea-slavery-in-indonesia-and-beyond/

Mustofa, A., Solihin, A., Desyana, C., & & Hardianto, B. (2022). Study of Law on Indonesian Migrant Fishers� Protection in Foreign Fishing Vessels. Earth and Environmental Science, 967(1).

Rahayu, D. (2018). Is the State of Indonesia in Charge to Provide Law Protection to the Indonesian Migrant Workers? Journal of Physics: Conference Series.

SBMI. (2024, April 4). DPN SBMI. Retrieved from SBMI: https://sbmi.or.id/aksi-damai-jelang-hari-nelayan-nasional-di-tiga-kota-masyarakat-sipil-desak-presiden-ratifikasi-konvensi-ilo-188/

Setiawan, A., Sulastri, E., & Sumarno. (2018). Model of Pro-People Foreign Policy as Indonesia�s Response Toward Better Citizen Protection. Central European Journal of International & Security Studies, 12(4).

Sopyan, Y. (2021). Access to Justice of Citizenship Rights for Stateless Indonesian Migrant Workers Children in Sarawak, Malaysia. Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial, 16(2), 476-502. doi:10.19105/AL-LHKAM.V16I2.5285

Widyawati, A. (2018). Legal Protection Model for Indonesia Migrant Workers. Journal of Indonesian Legal Studies, 3(2), 291-304.

Yea, S. (2022, December 1). AMTI Update. Retrieved from Asia Maritime Transparency Initiative: https://amti.csis.org/forced-labor-as-an-evolving-threat-to-southeast-asias-maritime-security/