PERAN BIROKRASI INDONESIA DALAM KEBIJAKAN
LUAR NEGERI TERKAIT PERLINDUNGAN ANAK BUAH KAPAL (ABK) DI KAPAL ASING
Meicel Anandia Rizaldi
Universitas Indonesia
Email:
[email protected]
kata kunci: Kebijakan Luar Negeri, aktor birokrasi, perlindungan ABK Indonesia,
ILO 188 2007, Model Politik Birokratik. keywords: Foreign Policy, Bureaucratic Actors, Protection of Indonesian Crew
Members, ILO 188 2007, Bureaucratic Political Model. |
|
ABSTRAK
|
|
Kebijakan luar negeri Indonesia merupakan
keputusan yang diambil dari aksi tawar
menawar para aktor birokrasi yang terlibat. Aktor birokrasi yang terlibat dan muncul beragam tergantung kepada kepentingannya dalam suatu isu tertentu. Kemunculan dan peran beberapa aktor dalam isu perlindungan Anak Buah Kapal
(ABK) Indonesia yang bekerja di kapal
asing, menunjukkan bahwa adanya kepentingan mereka dalam
isu tersebut. Perlindungan ABK yang mengalami
kekerasan fisik, jam istirahat, gaji yang kurang sesuai ataupun hak pekerja yang terpenuhi masih terus terjadi. Di sisi lain, ILO mempunyai konvensi 188 tahun 2007 tentang perlindungan ABK yang
bisa menjadi alat
Indonesia melindungi ABK yang bekerja
di kapal asing dengan meratifikasi konvensi tersebut. Maka dari itu pertanyaan penelitiannya yaitu mengapa Indonesia tidak
juga meratifikasi konvensi ILO 188 tahun 2007? Pertanyaan ini akan dijawab
dengan satu variabel dari teori Model Politik Birokratik dari Graham
Allison.� Metode
penelitian yang digunakan yaitu
kualitatif dengan sumber
data primer dan sekunder. Pada akhirnya
Indonesia memilih untuk tidak meratifikasi
Konvensi ILO no 188 tahun
2007 yang disebabkan tumpang
tindih kebijakan dari aktor birokrasi
yang terlibat. Indonesia's foreign policy is
a decision taken from the bargaining action of the bureaucratic actors
involved. The bureaucratic actors involved and emerging vary depending on
their interests in a particular issue. The emergence and role of several
actors in the issue of protecting Indonesian crew members working on foreign
ships shows that there is an interest in the issue. The protection of crew
members who experience physical violence, rest hours, inappropriate salaries
or fulfilled workers' rights still occurs. On the other hand, the ILO has
Convention 188 of 2007 on the protection of crew members which can be a tool
for Indonesia to protect crew members working on foreign ships by ratifying
the convention. Therefore, the research question is why did Indonesia not
also ratify ILO Convention 188 of 2007? This question will be answered with
one variable from Graham Allison's theory of the Bureaucratic Political
Model.� The research method used is
qualitative with primary and secondary data sources. In the end, Indonesia
chose not to ratify ILO Convention No. 188 of 2007 due to the overlapping
policies of the bureaucratic actors involved. |
|
Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA . This is an open access article
under the CC BY-SA license. |
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Kebijakan
luar negeri merupakan hasil
akhir dari keputusan-keputusan yang telah dibuat aktor nasional
sebelumnya. Keputusan-kseputusan tersebut
merupakan kepentingan nasional dimana peran nasional merupakan bagian penting suatu negara yang mencakup pola sikap, keputusan,
respon, fungsi, dan komitmen
terhadap negara lain atau hubungan
internasional
Keamanan ABK termasuk pada cakupan keamanan
maritim yang termasuk sangat sulit untuk diatasi. Luasnya perairan di dunia dan
juga karena berbatas yurisdiksi dan kedaulatan antar negara, menjadikan faktor
sulitnya negara-negara di dunia internasional mengatasi hal tersebut. Selain
keamanan ABK, keamanan maritim yang lain yaitu keamanan dari kejahatan di laut
seperti perdagangan manusia, perdagangan barang ilegal, Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, perbudakan di laut, perompak, atau ancaman seperti
terorisme lewat jalur laut. Dari semua isu kejahatan di laut, selama ini luput pada
eksploitasi, kejahatan, maupun perbudakan pada pekerja kapal perikanan yang
dikenal Anak Buah Kapal (ABK). Isu ini juga termasuk pada ranah isu keamanan
manusia.
Keamanan ABK selama ini luput karena
fokus kepada perdagangan manusia maupun barang ilegal melalui kapal-kapal
perikanan. Banyak dari ABK mengalami kekerasan, eksploitasi, maupun kerja paksa
saat bekerja di kapal perikanan. Kerja paksa, eksploitasi, perbudakan di zaman
modern ini belum benar-benar hilang. Dari data ILO tahun 2016 terdapat sekitar
16 juta orang menjadi korban kerja paksa dengan 11% di antaranya bekerja di
sektor pertanian, kehutanan, atau perikanan
Di Asia, juga banyak terjadi kerja
paksa, eksploitasi, maupun perbudakan pada ABK di kapal perikanan. Kapal-kapal
perikanan tersebut mayoritas milik Myanmar, Kamboja, Korea Selatan, Taiwan,
Thailand, dan Cina yang menjadi faktor utama adanya kerja paksa di kapalnya.
Dan kapal-kapal tersebut mayoritasnya mempekerjakan ABK dari beberapa negara di
Asia Tenggara yaitu Indonesia, Filipina, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja
Greenpeace dalam tulisannya dengan SBMI
yang berjudul �Seabound: The Journey to Modern Slavery on the High Seas�
menganalisis pengaduan dari nelayan migran Indonesia selama periode 13 bulan
antara tahun 2019 � 2020 untuk menunjukkan bagaimana indikator kerja paksa
telah meningkat. Mengidentifikasi indikator kerja paksa teratas yang mencakup
penahanan upah (87%), kondisi kerja dan kehidupan yang kasar (82%), penipuan
(80%), dan penyalahgunaan kerentanan (67%). Pengaduan datang dari 62 nelayan
migran Indonesia di 41 kapal penangkap ikan dan empat kapal pengangkut
berpendingin yang dikenal sebagai reefer yang semuanya diduga terlibat dalam
kegiatan kerja paksa
ABK Indonesia sering mendapat perlakuan
buruk dan tidak menyenangkan dari kapten kapal, seperti tidak mendapatkan gaji
seperti yang telah dijanjikan, paspor ditahan oleh kapten kapal. Dari data
Greenpeace yang dikutip oleh The Jakarta Post, terdapat 34 ABK Indonesia mengalami
tanda-tanda kerja paksa di 13 kapal penangkap ikan asing yang diduga, 62
lainnya di 41 kapal penangkap ikan dan 4 kapal pengangkut berpendingin
mengeluhkan pelanggaran hak asasi manusia dan ketenagakerjaan
Namun data-data yang telah dijabarkan
di atas, menggambarkan betapa sulit dan menakutkannya sebagai ABK di kapal
perikanan asing. Dalam segi bahasa sudah berbeda, bekerja untuk perekonomian
keluarga tapi berujung disiksa, waktu kerja yang lebih banyak dari waktu
istirahat, saat sakit tidak ditangani dengan layak dan berujung kematian dan
dilarungkan ke laut saat meninggal.�
Untuk melapor kepada pihak yang berwewenang juga ABK Indonesia sulit saat kapal berada di
laut jauh dari daratan. Sistem pengaduan dan sistem
perlindungan pun, ABK dilanda
bingung harus melapor pada siapa. Alhasil,
mayoritas mereka meminta tolong kepada
warga setempat jika sudah berhenti
di pelabuhan dan sudah di daratan.
Ironi kasus ini dimana tugas Indonesia sebagai negara untuk melindungi warga negaranya dimanapun berada. Dan juga Indonesia menjadi
penyumbang ABK terbanyak terutama di kawasan Asia. Perlindungan yang diberikan ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran, dimana peraturan tersebut melindungi secara umum pekerja-pekerja migran Indonesia. Belum ada konvensi Internasional yang diratifikasi
Indonesia khusus untuk perlindungan khusus pada ABK. Namun tetangga Indonesia di kawasan Asia Tenggara, Thailand telah
lebih dahulu meratifikasi konvensi internasional terkait perlindungan ABK . Thailand sudah meratifikasi Konvensi ILO 188 Tahun 2007 tentang perlindungan ABK
Untuk itu Indonesia perlu mengeluarkan
kebijakan luar negerinya sebagai tindakan perlindungan ABK. Indonesia dan
Thailand memiliki permasalahan yang serupa seharusnya sudah mengikuti jejak
Thailand dalam ratifikasi konvensi ILO 188 tersebut. Konvensi
tersebut dapat membantu Indonesia secara
hubungan internasinal
dengan negara-negara yang terlibat dalam permasalahan ABK Indonesia. Dari respon lambatnya
pemerintah Indonesia dalam mengambil
keputusan kebijakan luar negerinya, membuat bertanya-tanya mengapa Indonesia tidak juga meratifikasi
ILO 188? Pertanyaan ini
akan dikaji dengan teori Model Politik Birokratik dari Graham Allison, dengan
membahas satu variabel saja dari teori tersebut. Hal ini untuk mengetahui
proses birokrasi Indonesia dalam mengambil keputusan ratifikasi atau tidaknya.
Dan alasan pemerintah Indonesia begitu lama mengambil aksi perlindungan,
sementara itu terus terjadi pelanggaran HAM pada ABK nya yang membutuhkan
pertolongan.
Kajian Pustaka
Studi yang membahas tentang kebijakan
Indonesia dalam misi perlindungan warga negaranya di luar negeri sudah cukup
banyak dengan berbagai studi kasus. Misalnya, yang pertama penelitian tentang
perlindungan terhadap anak-anak yang lahir tanpa memiliki kewarganegaraan
Dalam usaha perlindungan Indonesia
terhadap warga negaranya di luar negeri tidak selalu lancar dalam prakteknya.
Misalnya hak-hak pekerja migran belum ditetapkan secara tegas di Indonesia
Selanjutnya upaya-upaya yang telah
dilakukan Indonesia dalam melindungi warga negaranya yaitu dikaji dari kacamata
hukum. Pertama, dengan meratifikasi International
Convention on the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families
(ICRMW) untuk melindungi pekerja migran beserta keluarganya
Setelah
melihat studi terdahulu, terlihat banyaknya isu tentang
perlindungan warga negara
Indonesia yang beragam. Perlindungan
yang diberikan negara merupakan
kewajiban. Dan warga negara
Indonesia berhak mendapatkan
perlindungan dari negaranya. Yang mengkaji tentang isu perlindungan
ABK Indonesia telah banyak,
akan tetapi itu hamper semua
dikaji dengan sudut pandang hukum. Kajian terdahulu
ini terdapat satu penelitian yang membahas alasan kebijakan Indonesia yang
tidak meratifikasi konvensi
internasional dalam perlindungan
warga negara terkhusus ABK
dengan melihat untung rugi. Maka dari itu peneliti akan mengkaji
pertanyaan yang sama dengan penelitian
Ibrahim mengenai mengapa kebijakan luar negeri Indonesia
belum memutuskan untuk meratifikasi
konvensi ILO 188 tentang perlindungan awak kapal perikanan. Dengan teori yang berbeda yaitu dari para actor birokrasi Indonesia yang terlibat
dalam perlidungan ABK. Hal ini untuk melihat bagaimana para actor birokrasi muncul sesuai kepentinganna
dan melakukan aksi tawar menawar untuk memenangkan sebuah keputusan yang bermuara pada kebijakan luar negeri Indonesia
dengan meratifikasi atau tidak.
Kerangka Analisis
Untuk
menganalisis dan menjawab pertanyaan penelitian ini menggunakan teori Model III
Bureaucratic Politics Model dari Graham Allison
Sedangkan model
III Bureaucratic Politics Model, teori ini menjelaskan bagaimana internal
pemerintah yaitu aktor birokrasi memproses dan mengambil
keputusan, dengan isu-isu internasional sebagai referensinya. Keputusan yang diambil dari hasil proses tawar menawar antar birokrasi.
Proses tawar menawar ini
juga ada poin-poin yang dipertimbangkan yaitu kerja sama atau koalisi antara birokrasi, kepentingan masing-masing maupun kepentingan nasional sesuai dengan isu atau permasalahan yang terjadi. Dan tiap pemain birokrasi
tentunya memiliki kekuasaan hirarki yang berbeda-beda. Dan aksi tawar menawar tersebut
menjadi tempat aksi para pemain untuk memenangkan kepentingan mereka yang di satu sisi juga bertumpang tindih dengan kepentingan nasional negara. Semua hal-hal tersebut dapat mempengaruhi pengambilan hasil keputusan. Dibalik aksi tawar
menawar antar birokrasi pada Model III ini terdapat
individu-individu di dalamnya.
Selain kepentingan birokrasi
terdapat kepentingan individu yang bertindak, dari sinilah muncul
adanya keberpihakkan antar birokrasi yang saling bekerja sama (koalisi).
Graham Allison menjelaskan
dalam Model Politik Birokrasi ini terdapat
tiga pertanyaan dan jawaban yang merupakan variabel dari konsep
birokrasi ini yaitu siapa aktor yang terlibat (who plays?), faktor
apa yang menentukan sikap masing-masing aktor (who determines each player�s stand?),
dan bagaimana sikap aktor dalam menyatukan pertimbangan untuk menghasilkan keputusan dan tindakan pemerintah (how are
players stand aggregated to yield governmental decisions and actions?)
Variabel
kedua adalah apa yang menentukan sikap masing-masing aktor (who determines
each player�s stand?). Yang mempengaruhi sikap para pemain dalam pembuatan
kebijakan ada dua yaitu pengaruh dari individu dan organisasi. Para pemain adalah individu yang memiliki presepsi dan preferensinya
masing-masing sesuai dengan karakteristik
tiap individunya. Dan pengaruh dari organisasi (kelompok)
maksudnya adalah peran dan kekuatan pemain tergantung pada kepentingan
organisasinya. Hal itu meliputi otonomi dan moral, esensi, peran dan misi, dan
anggaran organisasi.
Variabel
ketiga yaitu sikap aktor dalam menyatukan pertimbangan untuk menghasilkan keputusan dan tindakan pemerintah (how are players stand aggregated to yield
governmental decisions and actions?). Dalam hal
ini antar birokrasi saling berkompromi dan tawar menawar pada kepentingan masing-masing. Dalam tawar
menawar tersebut pertama-tama, mempertimbangkan bagaimana pendirian para pemain secara agregat
dalam menghasilkan kebijakan
dan keputusan dari para pemain senior dan kedua, mempertimbangkan bagaimana kebijakan, keputusan, dan faktor-faktor lain menghasilkan tindakan pemerintah.
Permainan aksi ini merupakan kelanjutan
dari permainan keputusan, tidak berjalan secara acak. Keputusan yang memicu
permainan dan aturan permainan memberikan aksi kepada pemain dan memilih
saluran aksi. Namun, kemungkinan ada beberapa sub-saluran. Pemain akan
bermanuver untuk memasukkan masalah ke dalam saluran yang mereka yakini
menawarkan prospek terbaik untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Seperti
dalam permainan keputusan, probabilitas keberhasilan para pemain bergantung
pada kekuatan mereka. Dalam hal ini, keuntungan tawar-menawar berasal dari:
otoritas formal, kontrol atas sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan
tindakan, tanggung jawab untuk melaksanakan tindakan, kontrol atas informasi
yang memungkinkan seseorang untuk menentukan kelayakan tindakan dan
konsekuensinya, kontrol atas informasi yang memungkinkan para pemain senior
untuk menentukan apakah keputusan tersebut dilaksanakan, dan kemampuan
persuasif dengan para pemain lain, terutama mereka yang bertanggung jawab untuk
pelaksanaan. Tindakan juga dipengaruhi oleh kendala yang diberlakukan oleh
prosedur operasi standar organisasi besar.
Dengan demikian, karakter isu yang
muncul, dan kecepatan permainan yang dimainkan, bertemu untuk menghasilkan
kolase keputusan dan tindakan pemerintah. Pilihan-pilihan yang diambil oleh
satu pemain (misalnya, untuk mengesahkan tindakan oleh departemennya,
berpidato, atau menahan diri untuk tidak mendapatkan informasi tertentu),
keputusan-keputusan dan "pelanggaran-pelanggaran" (misalnya,
poin-poin yang tidak diputuskan karena tidak dikenali, terlambat diajukan, atau
di salah pahami) merupakan potongan-potongan yang, ketika ditempelkan di atas
kanvas yang sama, akan menjadi aksi-aksi yang relevan terhadap suatu hasil.
Dari proses ketiga variabel tersebut
hasil akhirnya yaitu kebijakan luar negeri Indonesia. Teori ini akan menjawab
pertanyaan penelitian �mengapa kebijakan luar negeri Indonesia tidak
meratifikasi konvensi ILO 188?� Dengan
melihat siapa aktor yang terlibat (who plays?),
faktor apa yang menentukan sikap masing-masing aktor (who determines
each player�s stand?), dan bagaimana sikap aktor dalam menyatukan pertimbangan untuk menghasilkan keputusan dan tindakan pemerintah (how are players stand aggregated to yield
governmental decisions and actions?) Berdasarkan teori tersebut, dapat dilihat alasan Indonesia tidak meratifikasi konvensi ILO 188, berdasarkan proses pengambilan keputusan Indonesia terkait perlindungan ABK untuk meratifikasi
atau tidaknya konvensi ILO
dalam melindungi ABK. Birokrasi
yang terlibat dalam pengambilan
keputusan kebijakan luar negeri Indonesia yaitu
Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan,
Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pemilihan aktor-aktor tersebut didapat dari hasil penelitian-penelitian
sebelumnya tentang perlindungan
ABK perikanan, dimana mereka terlibat
dalam perlindungan, pengiriman,
pendataan para ABK. Lalu penelitian
ini dijawab dengan satu variabel saja yaitu siapa aktor yang terlibat (who plays?) dalam keputusan
tidak meratifikasi Konvensi
ILO 188 dalam perlindungan ABK.
Politik
Birokrasi Indonesia
Bagan 1: Model Analisis Teori
��������������������������������������������������
METODE PENELITIAN
Metode
penelitian yang dipakai
adalah kualitatif. Dalam penelitian
ini memakai dua jenis data yaitu data primer dan sekunder.
Data primer ditinjau dari dokumen Konvensi ILO No 188 Tahun 2007 tentang perlindungan ABK perikanan.
Selain itu dokumen dari pihak-pihak berwenang yang terlibat dalam pembuatan kebijakan
luar negeri Indonesia, khususnya
kebijakan untuk tidak meratifikasi
Konvensi ILO 188. Pihak-pihak berwenang yang terlibat
tersebut yaitu Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, Kementerian
Tenaga Kerja, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Untuk data sekunder didapat dari buku, artikel yang berkaitan dengan kebijakan
luar negeri Indonesia terkait perlindungan ABK perikanan. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian kualitatif
ini adalah desk research, dan library research. Setelah
data dikumpulkan, data akan
diolah dengan cara klasifikasi atau kategorisasi sesuai kebutuhan penelitian yaitu sesuai dengan kerangka analisis teori. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan di antara data-data yang
telah terkumpul. Dan teknik pengolahan data lainnya yaitu triangulasi, dengan tujuan untuk mengkonfirmasi benar
atau tidaknya data yang telah
dikumpulkan dan dikategorisasikan.
Maka selanjutnya data dianalisis dengan menjabarkan dan menjelaskan variabel sebab dan akibat dari kerangka
analisis teori dengan data
yang telah didapatkan. Lalu
saat penelitian telah selesai, maka dapat diambil kesimpulan dari jawaban penelitian
dengan hasil uji hipotesis yang telah
dilakukan dalam penelitian
ini.
Pembahasan
Kasus
eksploitasi ABK Indonesia yang dilakukan
oleh ABK dari negara lain ataupun
pemilik kapal asing sering terjadi.
Hal ini belum ditindak lebih serius
lagi oleh Indonesia selaku negara penyumbang
ABK terbanyak di Asia. Permasalahan
banyaknya ABK Indonesia yang dieksploitasi
di kapal asing salah satunya yaitu oleh China contoh kasus yang telah dijelaskan sebelumnya eksploitasi ini diketahui ketika kapal berada
di perairan Korea Selatan. Kasus ini terus terjadi diantara
kedua negara tersebut ditambah negara yang terlibat yaitu China, Indonesia, dan Korea Selatan sejauh ini belum atau tidak meratifikasi
Konvensi ILO no 188 tahun
2007 tentang perlindungan pelaut perikanan. Negara-negara
yang sudah meratifikasi konvensi ini adalah Angola, Argentina, Bosnia and
Herzegovina, Congo, Estonia, Prancis, Lithuania, Maroko, Namibia, Norway, Senegal, Afrika Selatan, Inggris,
dan Thailand. Dari negara-negara yang telah meratifikasi, hanya Thailand negara dari
Asia yang telah meratifikasi
konvensi ini. Dengan meratifikasi
Konvensi Buruh Perikanan ILO, Thailand menjadi contoh yang baik untuk kawasan
ini dan merupakan negara pertama di Asia yang meratifikasi konvensi yang sangat
penting ini. Proyek Hak
Kapal-ke-Pantai ILO yang didanai Uni Eropa terus mendukung
Thailand, organisasi pengusaha
dan buruh untuk meningkatkan
standar dalam industri perikanan komersial Thailand
Konvensi ILO no 188 tahun
2007 yang disahkan pada 14 Juni 2007 merupakan konvensi internasional yang
dibuat untuk melindungi pekerja awak kapal perikanan. Sejauh ini ada 19 negara
yang baru meratifikasi konvensi ini yaitu Angola, Bosnia, Kongo, Argentina,
Prancis, Maroko, Lithuania, Estonia, Norwegia, Inggris, Namibia, Senegal,
Denmark, Afrika Selatan, Belanda, Portugal, Polandia, Irlandia Utara, dan
Thailand. Di dalam konvensi mengatur definisi dan ruang lingkup, prinsip umum
pelaksanaan, persyaratan minimal untuk bekerja di kapal penangkap ikan,
persyaratan layanan Awak kapal dan masa istirahat, akomodasi dan makanan,
perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja, penegakkan hukum,
perubahan lampiran, dan ketentuan akhir
Dengan tidak meratifikasi
Konvensi ILO 188, tentunya Indonesia telah merundingkan keputusan tersebut
dengan beberapa birokrasi yang terlibat. Dalam isu kerja paksa dan kekerasan
pada ABK Indonesia di kapal asing, munculnya empat birokrasi yang terlibat
saling terkai dan berkepentingan pada isu ini. Pertama, Kementerian Luar Negeri
merupakan aktor
birokrasi yang kuat kaitannya terhadap setiap hubungan luar negeri Indonesia,
terkhusus dalam penelitian ini. Membantu dan melindungi dari permasalahan yang
terjadi pada warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.
Kementerian luar negeri
Indonesia di sini tentunya menjadi garda terdepan dengan segala hubungan
internasional Indonesia termasuk perlindungan warga negara di luar negeri
seperti ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing dalam penelitian ini. Dari
beberapa kasus yang ABK lalui, Kemenlu memfasilitasi misi penyelamatan dan
pemulangan ABK ke Indonesia. Dari data Kementerian Luar Negeri pada tahun 2021,
sudah sebanyak 27 ribu ABK yang dibantu kementerian untuk balik ke tanah air
Dalam Kementerian Luar
Negeri terdapat internal birokrasi yang mengurus perlindungan ABK Indonesia.
Seperti pada gambar 1 struktur organisasi Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, perlindungan warga negara Indonesia ditangani oleh Direktorat
Pelindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia
Gambar
1: Struktur Organisasi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia
Selanjutnya,
membahas keterlibatan
Kementerian Perhubungan terhadap
isu perlindungan ABK
Indonesia di kapal asing sangatlah penting. Sebelumnya, Kementerian
Perhubungan sudah berwenang (memiliki kuasa) dalam mengatur dan mengorganisir Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak
Kapal (SIUPPAK). Sudah ada 314 perusahaan
yang terdaftar dan mendapatkan izin SIUPPAK dari Kementerian Perhubungan
Di dalam internal birokrasi
Kementerian Perhubungan yang terlihat pada gambar 2 dan 3, perlindungan ABK
ditangani oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
Gambar 2: Struktur Organisasi
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia
Gambar 3: Struktur Birokrasi
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik Indonesia
Kemudian birokrasi selanjutnya
yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan
mengeluarkan Peraturan Menteri (PerMen) Kelautan dan Perikanan nomor
39/PERMEN-KP/2019. Dalam PerMen tersebut yang diatur yaitu dermaga pelabuhan;
alur pelayaran; Tempat Pemasaran Ikan (TPI); Navigasi Pelayaran dan komunikasi
yang meliputi telepon, internet, radio komunikasi, dan lampu suar; instalasi
perbekalan meliputi instalasi suplai air bersih, instalasi Bahan Bakar Minyak
(BBM), instalasi pabrik es, dan Instalasi Listrik; cold storage; tesmpat
pemeliharaan kapal dan alat penangkapan ikan; tempat penanganan dan pengolahan
hasil perikanan; perkantoran meliputi pos pelayanan terpadu dan kantor
administrasi pelabuhan; fasilitas K5 yaitu alat pemadam kebakaran, hydrant,
amphibious, mobil pembersih lantai, dump truck dan Tempat Pembuangan Sementara
(TPS); Balai Pertemuan Nelayan; Mess Operator; Wisma Nelayan; Fasilitas Sosial
dan Umum, meliputi tempat peribadatan dan Mandi Cuci Kakus (MCK); dan pos jaga
Dalam pengambilan
keputusan, alur birokrasi internal Kementerian Kelautan dan Perikanan pada
gambar 4, yang mengatur tentang ABK yaitu Badan Penyuluhan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPPSDM KP). BPPSDM KP ini yang
langsung bertanggung jawab tugas dan fungsinya kepada Menteri Kelautan dan
Perikanan. Dan terdapat
Biro Hukum yang mengatur kebijakan
di kementerian tersebut.
Gambar
4: Struktur Organisasi Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Yang terakhir kemunculan Kementerian
Ketenagakerjaan pada isu ABK sangatlah penting, mengingat kementerian ini yang
berperan pada pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri untuk
bekerja. Sementara ini, Kementerian Ketenagakerjaan masih melaksanakan
peraturan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran
Indonesia (UU PPMI). Peraturan ini melindungi pekerja migran Indonesia secara
umum. Dalam struktur organisasinya, Kementerian Ketenagakerjaan membagi tugas
dan fungsi khusus untuk mengatur penempatan dan perlindungan pekerja Indonesia
di luar negeri yaitu Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan
Perluasan Kesempatan Kerja
Gambar 5 :
Struktur Organisasi Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia
KESIMPULAN
Dari
hasil penelitian ini menjawab
pertanyaan penelitian dengan salah
satu variabel teori Model III Politik Birokrasi
Graham Allison, bisa diambil kesimpulan
bahwa keputusan kebijakan Indonesia dilatarbelakangi
dengan aksi tawar menawar dengan banyaknya birokrasi yang terlibat. Dari munculnya isu kerja
paksa dan tindak kekerasan kepada ABK Indonesia di
kapal asing, ada beberapa birokrasi yang muncul yaitu Kementerian Luar
Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
dan Kementerian Ketenagakerjaan. Empat
kementerian tersebut memiliki wewenang, kepentingan dan tanggung jawab yang berbeda terkait isu ABK. Maka hal ini menimbulkan tumpang tindih yang membingungkan bagi negara maupun para pekerja ABK Indonesia. Dikarenakan
saat terjadinya tindak kekerasaan ataupun ada kepentingan
yang ingin disampaikan ABK kepada
pemerintah Indonesia, mereka bingung untuk melapor dan menghubungi siapa
untuk meminta perlindungan. Dan untuk meratifkasi Konvensi ILO 188
tahun 2007, birokrasi Indonesia yang terlibat harus terintegrasi baik dalam
data maupun skema perlindungan ABK.
DAFTAR
PUSTAKA
Allagan, T., Salsa, S., &
Sekarlangit, A. (2020). Legal Protection of Indonesia
Citizens in Mixed Marriage with Rohingya Refugees. Indonesian Journal of
International Law, 17(2), 273-296. doi:10.17304/ijil.vol17.2.787
Allison, G. T. (1969).
Conceptual Models and the Cuban Missile Crisis. The American Political
Science Review, 63(3), 689-718. doi:https://doi.org/10.2307/1954423
Allison, G. T., &
Halperin, M. H. (1972). Bureaucratic Politics: A Paradigm and Some Policy
Implications. World Politics, 24, 40�79. Retrieved from
https://doi.org/10.2307/2010559
Dewi, E., & Yazid,
S. (2017). Protecting Indonesia�s Women Migrant Workers from the Grassroots:
A Story of Paguyuban Seruni. Journal of the Indian Ocean Region, 13(1),
76-91. doi:10.1080/19480881.2016.1272812
Dewi, E., Chandrawulan,
A., Hendrawan, D., & Nugraha, I. (2019). Evaluation on indonesian Labour
Law to Protect Migrant Labour Rights in an ASEAN Economic Community
Framework. International Journal of Innovation, Creativity and Change, 8(5),
105-119.
Direktorat Kepelabuhan.
(2024, October 31). Data Indformasi Pelabuhan Nasional. Retrieved from
Sistem Informasi Pelabuhan: https://simpel.dephub.go.id/front
Dorani, D. S. (2018).
The Bureaucratic Politics Approach: Its Application, Its LimitationS, and Its
Strengths. Political Reflection Magazine, 4(5), 36-46. Retrieved from https://cesran.org/the-bureaucratic-politics-approach-its-application-its-limitations-and-its-strengths.html
Eriyanti,
L., Makmur, M., & Intansari, D. (2022). Indonesia's
political position on the protection policy of migrant workers in ASEAN. Jurnal
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 26(1), 33-48. doi:10.22146/jsp.64224
Erou, A., &
Shahrin, T. M. (2021, September 26). Opinion. Retrieved from The
Jakarta Post:
https://www.thejakartapost.com/academia/2021/09/26/dear-asean-modern-slavery-at-sea-is-worsening-on-your-watch.html
Farida,
E., Rahayu, & Wijaningsih, D. (2019). Politics and Legal
Philosophy of Indonesian Migrant Worker Protection: Case Study in Malaysia. International
Journal of Scientific and Technology Research, 8(11), 2002-2004.
Greenpeace. (2019,
December 9). Publication. Retrieved from Greenpeace:
https://www.greenpeace.org/southeastasia/publication/3428/seabound-the-journey-to-modern-slavery-on-the-high-seas/
Halperin, M. H., Clapp,
P. A., & Kanter, A. (2006). Bureaucratic Politics and Foreign Policy.
Brookings Institution Press. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/10.7864/j.ctt6wpfmn
Hamid, A. (2019). Legal
Policy in Protection for Indonesian Seafarers. International Journal of
Civil Engineering and Technology, 10(1), 444-450.
Hasugian, L., &
Rahayu, T. (2018). Requirement Analysis of Monitoring Information System for
Indonesian Migrant Workers Protection. IOP Conference Series: Materials
Science and Engineering, 407(1). doi:10.1088/1757-899X/407/1/012150
Holsti, K. J. (1970).
National Role Conceptions in the Study of Foreign Policy. International
Studies Quarterly, 14(3), 233�309. doi:https://doi.org/10.2307/3013584
Ibrahim, A. M. (2023). Kebijakan Indonesia Tidak Meratifikasi
Konvensi ILO No. 188/2007 tentang Pekerjaan Penangkapan Ikan. Indonesian Perspective, 8(1), 71-95.
ILO. (2007). Normlex.
Retrieved from ILO:
https://normlex.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:C188
ILO. (2019, January
30). ILO NEWS. Retrieved from ILO:
https://www.ilo.org/resource/news/thailand-ratifies-work-fishing-convention
ILO. (2019, January
30). Newsroom. Retrieved from ILO:
https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/newsroom/news/WCMS_666581/lang--en/index.htm#:~:text=Angola%2C%20Argentina%2C%20Bosnia%20and%20Herzegovina,14th%20country%20to%20ratify%20it
ILO. (n.d.). About
the ILO: History of the ILO. Retrieved from ILO:
https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/history/lang--en/index.htm
International Labour
Organization (ILO); Walk Free; International Organization for Migration
(IOM). (2022, September 12). Report. Retrieved from ILO:
https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_norm/---ipec/documents/publication/wcms_854733.pdf
IOM Indonesia. (2024,
September 17). News Local. Retrieved from IOM Indonesia:
https://indonesia.iom.int/news/addressing-forced-labour-and-trafficking-persons-fisheries-sector
Izzati, N. R. (2019).
Indonesian migrant workers protection through the law number 18 of 2017: New
direction and its implementation challenges. [Arah Baru Perlindungan Pekerja
Migran Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 dan Tantangan
Implementasinya]. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, 6(1), 190-210.
doi:10.22304/pjih.v6n1.a10
Juddi, M., Perbawasari,
S., & Zubair, F. (2021). The Communication Flow in The Protection of
Indonesian Female Migrant Workers Through The Migrant Worker Family Community
(KKBM). Journal of International Women's Studies, 22(5), 19-37.
Kementerian Kelautan
dan Perikanan. (2019). Peraturan. Retrieved from Database Peraturan
JDIH BPK:
https://peraturan.bpk.go.id/Details/159350/permen-kkp-no-39permen-kp2019-tahun-2019
Kementerian
Kelautan dan Perikanan. (2024). Tentang KKP. Retrieved from
Kementerian Kelautan dan Perikanan:
https://kkp.go.id/tentang-kkp/struktur-organisasi/kkp.html
Kementerian
Ketenagakerjaan. (2018). Unit Kerja. Retrieved from Kementerian
Ketenagakerjaan: https://kemnaker.go.id/unit/binapenta-pkk
Kementerian
Ketenagakerjaan. (2024). Unit Kerja. Retrieved from Kementerian
Ketenagakerjaan: https://kemnaker.go.id/unit/menteri-ketenagakerjaan
Kementerian Luar Negeri
. (2024). PPID. Retrieved from Kementerian Luar Negeri:
https://e-ppid.kemlu.go.id/detail-informasi-publik/struktur-organisasi-kementerian-luar-negeri
Kementerian Luar
Negeri. (2021, Maret 5). Berita. Retrieved from Kementerian Luar
Negeri:
https://kemlu.go.id/berita/perkuat-pelindungan-bagi-para-awak-kapal-perikanan,-indonesia-bersiap-ratifikasi-c188?type=publication
Kementerian Luar
Negeri. (2022, September 29). Berita. Retrieved from Kementerian Luar
Negeri:
https://kemlu.go.id/berita/pemulangan-6-abk-wni-kapal-mv-sky-fortune-dari-filipina?type=publication
Kementerian Perhubungan
. (2024, September 6). Dokumen Pelaut. Retrieved from Kementerian
Perhubungan: https://dokumenpelaut.dephub.go.id/listsiuppak
Kementerian
Perhubungan. (2009). Profil. Retrieved from Kementerian Perhubungan:
https://www.dephub.go.id/post/read/struktur-organisasi-kemenhub
Komnas HAM RI. (2021,
July 15). Kabar Latuharhary. Retrieved from Komnas HAM:
komnasham.go.id/n/1844
Lasim, R., Bainus, A.,
Setiabudi, W., & Darmawan, W. (2021). Protection of Indonesian Migrant
Workers After Moratorium Policy on Consignment of Migrant Workers and Its
Impact to Indonesia Saudi Arabia Relations. Webology, 18(Special
Issue), 785-797. doi:10.14704/WEB/V18SI04/WEB18165
McDonald, G. G.,
Costello, C., Bone, J., Cabral, R. B., Farabee, V., Hochberg, T., . . . Zahn,
O. (2021). Satellites can reveal global extent of forced labor in the world�s
fishing fleet. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A., 118(3), 1-9.
doi:https://doi.org/10.1073/pnas.2016238117
Muamar, A. (2023, May
1). Brief. Retrieved from Green Network Asia: https://greennetwork.asia/featured/modern-sea-slavery-in-indonesia-and-beyond/
Mustofa,
A., Solihin, A., Desyana, C., & & Hardianto, B. (2022). Study of Law on Indonesian Migrant Fishers� Protection in Foreign
Fishing Vessels. Earth and Environmental Science, 967(1).
Rahayu, D. (2018). Is
the State of Indonesia in Charge to Provide Law Protection to the Indonesian
Migrant Workers? Journal of Physics: Conference Series.
SBMI. (2024, April 4). DPN
SBMI. Retrieved from SBMI: https://sbmi.or.id/aksi-damai-jelang-hari-nelayan-nasional-di-tiga-kota-masyarakat-sipil-desak-presiden-ratifikasi-konvensi-ilo-188/
Setiawan,
A., Sulastri, E., & Sumarno. (2018). Model of
Pro-People Foreign Policy as Indonesia�s Response Toward Better Citizen
Protection. Central European Journal of International & Security
Studies, 12(4).
Sopyan, Y. (2021).
Access to Justice of Citizenship Rights for Stateless Indonesian Migrant
Workers Children in Sarawak, Malaysia. Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata
Sosial, 16(2), 476-502. doi:10.19105/AL-LHKAM.V16I2.5285
Widyawati, A. (2018).
Legal Protection Model for Indonesia Migrant Workers. Journal of
Indonesian Legal Studies, 3(2), 291-304.
Yea, S. (2022, December
1). AMTI Update. Retrieved from Asia Maritime Transparency Initiative:
https://amti.csis.org/forced-labor-as-an-evolving-threat-to-southeast-asias-maritime-security/