FAKTOR DOMESTIK KEPUTUSAN AMERIKA SERIKAT MENGUNDURKAN DIRI DARI ARMS TRADE TREATY PADA TAHUN 2019

 

 

Vina Putri Elisabeth Zega

Universitas Indonesia

Email : [email protected]

 

kata kunci:

Arms Trade Treaty, decision making process, kebijakan luar negeri, Amerika Serikat

 

 

keywords:

Arms Trade Treaty, decision making process, foreign policy, United States

 

ABSTRAK

 

Terjadinya perubahan sikap atas suatu perjanjian internasional merupakan suatu refleksi dari dinamika politik domestik negara yang bersangkutan. Dinamika politik Amerika Serikat terhadap Arms Trade Treaty (ATT) terjadi sejak awal perjanjian tersebut ditandatangani pada tahun 2013, hingga pada tahun 2019 Presiden Trump menarik tanda tangan Amerika Serikat dari ATT dan menolak kelanjutan proses ratifikasi. Keputusan untuk mengundurkan diri dari ATT dikarenakan adanya pengaruh dari policy influencer, yaitu kelompok kepentingan yang memiliki pengaruh besar dalam pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dengan menggunakan teori decision making process dari Coplin, akan dijabarkan faktor domestik yang mempengaruhi keputusan Amerika Serikat mengundurkan diri dari ATT. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang menggunakan dokumen-dokumen resmi terkait ATT dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat sebagai sumber data.

The change in attitude towards an international agreement is a reflection of the domestic political dynamics of the country concerned. The political dynamics of the United States towards the Arms Trade Treaty (ATT) occurred from the beginning of the agreement was signed in 2013, until in 2019 President Trump withdrew the United States' signature from the ATT and refused to continue the ratification process. The decision to resign from ATT was due to the influence of policy influencers, which are interest groups that have a great influence on US foreign policymaking. Using Coplin's decision-making process theory, domestic factors that influenced the decision of the United States to withdraw from the ATT will be described. This study uses a qualitative research method that uses official documents related to ATT and U.S. foreign policy as data sources.

Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA .

This is an open access article under the CC BY-SA license.

 

 

PENDAHULUAN

Setiap negara yang memiliki kebebasan dan kedaulatan dalam menentukan politik kebijakan luar negerinya masing-masing. Politik luar negeri dipandang sebagai suatu kebijaksanaan suatu negara terhadap negara lain atau unsur di luar negara tersebut dan mengendalikan hubungan-hubungan luar negeri yang didasari oleh kepentingan nasionalnya (Singadilaga, 1973). Politik kebijakan luar negeri tiap negara merupakan lanjutan dan refleksi politik dari politik dalam negeri yang tidak dapat dipisahkan yang bersandar pada faktor-faktor dan kekuatan, terutama dari dalam negeri sendiri, seperti faktor sejarah, geografis, watak bangsa, kekuatan ideologi, ekonomi, dan militer (Abdulgani, 1957). Faktor-faktor dan kekuatan yang dimiliki negara menjadi penentu hakikat dan tujuan politik luar negeri suatu negara, yang kemudian menentukan program politik luar negeri dan kebijakan luar negerinya, untuk mencapai tujuan dan kepentingan nasionalnya. Sikap suatu negara dalam merespon suatu perjanjian luar negeri juga dipengaruhi oleh faktor-faktor politik luar negerinya. Terjadinya perubahan sikap terhadap suatu perjanjian luar negeri dapat dikatakan sebagai refleksi politik dari politik dalam negeri negara tersebut.

Sejak dahulu, perdagangan senjata internasional menjadi suatu isu yang penting namun sering diabaikan, hingga kemudian menjadi suatu isu sangat penting dan darurat yang harus segera ditindak lanjuti dalam agenda keamanan dunia (Hartung, 1992). Pada tahun 1980an aturan kontrol formal mengenai perdagangan senjata mulai dipertimbangkan dalam konteks peraturan perdagangan budak. Namun, Perang Dingin menimbulkan perhatian baru dalam mengembangkan kontrol senjata konvensional. Konsekuensi dari berakhirnya Perang Dingin adalah melimpahnya penjualan senjata ilegal dari bekas Uni Soviet ke negara-negara berkembang. Potensi besar dari bisnis perdagangan senjata ilegal menarik para pedagang senjata untuk mencoba peruntungan di area peperangan. Perdagangan senjata tersebut memiliki bahaya yang harus diwaspadai karena rentan untuk disalahgunakan, terutama oleh pemegang kekuasaan dan kelompok teroris. Senjata yang digunakan dalam konflik bersenjata, baik internasional maupun nasional, menjadikan masyarakat sipil sebagai korban terbesar. Selain itu, senjata rentan disalahgunakan oleh masyarakat sipil dalam konflik antar kelompok. Penggunaan senjata sering digunakan oleh rezim penguasa yang represif untuk menekan individu atau kelompok oposisi. Penggunaan senjata juga merusak pemukiman dan fasilitas umum, mendorong masyarakat sipil untuk hidup di bawah kualitas yang layak dan rentan kemiskinan.

Perdagangan senjata menjadi suatu bisnis yang paling menguntungkan dengan peningkatan yang dapat diprediksi dari tahun ke tahun. Ketersediaan senjata dan amunisinya menyebabkan penderitaan manusia, represi politik, kejahatan dan teror di kalangan masyarakat sipil. Transfer senjata yang tidak bertanggung jawab dapat mengganggu stabilitas wilayah, memungkinkan terjadinya pelanggaran embargo senjata, dan berkontribusi terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Perdagangan senjata yang tidak terkendali menjadi suatu kekhawatiran global yang mengancam keamanan manusia. Korban jiwa yang dibantai dengan senjata yang dijual secara bebas sangat banyak, dan mengganggu pembangunan ekonomi dan stabilitas negara.

Kurangnya kerangka kerja global internasional untuk perdagangan senjata sangat mengkhawatirkan, mengingat besarnya volume perdagangan global senjata konvensional, dan dampak potensialnya dalam mengganggu perdamaian dan pembangunan berkelanjutan. Sejak tahun 1900-an, perdagangan senjata telah menjadi isu yang mengkhawatirkan, dimana perang dunia pertama menghasilkan senjata baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang meningkat, dan dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas dunia apabila tidak ada penanganan dan pengendalian. Oleh sebab itu pada tahun 1919 The Convention for the Control of the Trade in Arms and Ammunition disetujui sebagai respon dari kekhawatiran tersebut. Tidak adanya peraturan mengenai perdagangan senjata internasional membuat peredaran senjata menjadi tidak terkontrol, yang mengakibatkan krisis terhadap kemanusiaan. Setelah melalui proses diskusi yang panjang, PBB memulai proses untuk merundingkan perjanjian internasional yang mengatur perdagangan senjata yang sah, yang mengakhiri celah dalam regulasi pengendalian perdagangan senjata (Olabuenaga, 2019).

Salah satu organisasi internasional pertama yang fokus pada masalah pengendalian perdagangan senjata muncul pada tahun 1949 saat anggota NATO dan Jepang membentuk Coordinating Committee for Multilateral Export (COCOM) untuk mengendalikan penjualan barang-barang strategis ke negara-negara blok Komunis (Stohl, 2017). Setelah Perang Dingin berakhir, COCOM digantikan oleh Wassenaar Arrangement on Export Controls for Conventional Arms and Dual-Use Goods and Technologies, satu-satunya organisasi multilateral yang berfokus pada senjata konvensional dan barang-barang penting yang dapat digunakan ganda (Stohl, 2017). Yang paling signifikan adalah perundingan Conventional Arms Transfer (CAT) pada tahun 1977 dan 1978 antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang meskipun gagal, namun membawa kemajuan dalam pengendalian senjata konvensional pada tahun 1980an.

Negara-negara anggota PBB mengadopsi Konvensi PBB tentang Larangan atau Pembatasan Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu yang Mungkin Dianggap Sangat Merugikan atau Memiliki Dampak yang Tidak Pandang Bulu atau yang dikenal sebagai Inhumane Weapons Convention (CCW) pada tahun 1980, yang bertujuan untuk melarang atau membatasi penggunaan senjata-senjata yang menyebabkan penderitaan yang tidak perlu atau tidak dapat dibenarkan terhadap para kombatan, maupun berdampak pada warga sipil tanpa pandang bulu, di dalam dan di luar situasi konflik bersenjata internasional (Stohl, 2017). Kemudian di abad ke-20 menjelang akhir Perang Dingin, Perjanjian Kekuatan Konvensional di Eropa (CFE Treaty) dibuat dengan maksud untuk mewujudkan kesetaraan, meningkatkan transparansi, dan meningkatkan stabilitas mengenai kekuatan konvensional di Eropa. Batasan diberikan terhadap lima kategori sistem senjata konvensional, dan negara anggota tidak diizinkan untuk memiliki lebih dari sepertiga dari total batas di setiap kategori. Semua persenjataan yang melebihi batas harus dimusnahkan, dan sistem verifikasi dan inspeksi yang ketat dibentuk untuk mengawasi proses pemusnahan tersebut. Namun, tidak semua senjata yang melebihi batas telah disingkirkan dan dimusnahkan, dan ketidaksepakatan muncul di antara negara-negara pihak.

Keadaan yang meresahkan masyarakat global tersebut menjadi kekhawatiran dari organisasi internasional seperti Amnesty International, Oxfam International dan beberapa organisasi lain untuk mencari langkah dalam membatasi perdagangan senjata yang terjadi. Organisasi tersebut berpendapat bahwa negaralah yang dapat mengatur secara terikat dengan hukum dalam hal membatasi perdagangan senjata, karena negara memiliki otoritas tertinggi. Amnesty International telah mengupayakan kampanye sosial mengenai hal ini sejak tahun 1993, dan pada 6 Desember 2006 di Sidang Umum PBB resolusi 61/89 menyatakan bahwa: the absence of common international standards on the import, export and transfer and conventional arms� was a contributory factor to conflict, the displacement of people, crime and terrorism� and that it undermined peace, reconciliation, safety, stability, and sustainable development. (Casey-Maslen, 2021).

Resolusi tersebut menyatakan bahwa akibat dari belum adanya standar internasional yang disepakati secara bersama-sama oleh negara-negara yang berdaulat mengenai impor, ekspor, dan transfer senjata menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada konflik, tindak kriminal, terorisme, serta pembangunan yang berkelanjutan.

Hal ini mendorong negara-negara di dunia untuk membentuk suatu aturan yang mengikat untuk menekan angka penyalahgunaan senjata yang menjadi penyebab berbagai permasalahan yang dapat melanggar hak asasi manusia. PBB mengambil langkah untuk membentuk sebuah rezim perdagangan internasional dan sebuah aturan yang mengikat, yaitu melalui Arms Trade Treaty.

Arms Trade Treaty (ATT) merupakan perjanjian perdagangan senjata yang mengatur regulasi perdagangan senjata resmi internasional. ATT menetapkan standar internasional umum setinggi mungkin untuk mengatur atau meningkatkan aturan perdagangan internasional senjata konvensional, untuk mencegah dan memberantas perdagangan gelap senjata konvensional dan mencegah pengalihannya, yang bertujuan untuk perdamaian, keamanan, dan stabilitas internasional dan regional, mengurangi penderitaan manusia, dan mempromosikan kerja sama, transparansi, dan tindakan yang bertanggung jawab oleh negara pihak dalam perdagangan internasional senjata konvensional, sehingga membangun kepercayaan di antara negara pihak. Aturan ini ada untuk membantu mengidentifikasi di mana dan bagaimana senjata dialihkan ke pasar gelap, dan meningkatkan batasan mengenai akuntabilitas atas transfer senjata yang tidak bertanggung jawab.

Setelah melalui proses yang panjang, pada Maret 2013 rancangan perjanjian perdagangan senjata disahkan dengan disponsori oleh 64 negara anggota PBB, termasuk Amerika Serikat. Pada tanggal 2 April 2013 ATT diadopsi oleh Majelis Umum PBB dengan didukung oleh 156 negara, 3 negara menentang, dan 23 negara memilih abstain (Kimball, 2017).

Rumusan Masalah

Sebagai negara pengekspor senjata konvensional terbesar dunia, Amerika Serikat telah berpartisipasi dalam diskusi tentang regulasi perdagangan senjata internasional, dan mendukung resolusi PBB yang menetapkan diskusi ATT. Amerika Serikat memiliki kepentingan dalam memimpin dukungan atas ATT yang efektif. Selama periode waktu 2013-2017, Amerika Serikat merupakan negara pengekspor senjata terbesar di dunia, dengan peningkatan ekspor sebesar 4% sejak periode tahun 2008-2012 (SIPRI, 2018), dengan jumlah ekspor tertinggi disalurkan pada Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Australia. Selain itu, Amerika Serikat juga mengekspor senjatanya pada dua negara yang sedang konflik, yaitu Afganistan dan Irak.

Dengan mencegah peralatan militer (termasuk senjata kecil dan senjata ringan) agar tidak sampai ke tangan teroris, diktator, dan penjahat, ATT akan membantu mitra dan sekutu Amerika Serikat dalam mengupayakan perlindungan terhadap hak asasi manusia, mempromosikan demokrasi yang stabil, dan membangun keamanan dan masyarakat yang produktif (Kimball, 2011). Kesepakatan atas ATT didapatkan dengan persetujuan yang disponsori oleh negara anggota PBB, termasuk Amerika Serikat, dan ditandatangani oleh 130 negara, yang kemudian diadopsi oleh PBB sebagai perjanjian yang mengikat. ATT mewajibkan negara untuk mengatur secara terikat dengan hukum dalam hal membatasi perdagangan senjata sesuai dengan ATT, karena negara memiliki otoritas tertinggi.

Pemerintah tetap menjadi penyedia utama keamanan masyarakat dan negara. Ini adalah hak dan tanggung jawab kedaulatan negara yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum. Untuk melaksanakan tugasnya secara efektif, anggota militer diizinkan menggunakan berbagai persenjataan yang diperoleh melalui produksi nasional maupun melalui impor. Eksportir dan importir senjata perlu memastikan senjata yang ada diransfer dan disimpan dengan aman, dan tidak jatuh ke tangan yang salah (United Nations, 2012). Pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin keamanan publik dan memiliki kepentingan untuk menyediakan keamanan bagi warga negaranya. Oleh sebab itu, setiap negara harus bisa memastikan bahwa senjata yang dimiliki secara pribadi tidak masuk ke dalam perdagangan bebas.

Meskipun telah menunjukkan dukungannya terhadap ATT, Amerika Serikat belum meratifikasi ATT sejak ditandatanganinya persetujuan perjanjian tahun 2013. Bahkan, pada tahun 2019 Amerika Serikat menyatakan pengunduran diri dari perjanjian tersebut. Keputusan Amerika Serikat mengundurkan diri dari ATT dapat merusak kredibilitas ATT, melemahkan kemitraan internasional, bahkan menghilangkan kepercayaan negara-negara lain terhadap Amerika Serikat. Berdasarkan paparan latar belakang di atas, pertanyaan penelitian yang diangkat dalam tulisan ini adalah �Mengapa Amerika Serikat mengundurkan diri dari Arms Trade Treaty (ATT) pada tahun 2019?�. Penelitian ini akan menganalisis faktor yang mempengaruhi keputusan Amerika Serikat mengundurkan diri dari ATT meskipun sejak awal mendukung terbentuknya perjanjian tersebut.

 

Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Amerika Serikat dalam mengambil suatu keputusan kebijakan luar negeri, secara khusus terhadap ATT. Penelitian ini ditujukan untuk menelusuri proses negara mengambil suatu keputusan sehingga dapat dijadikan sebagai suatu kebijakan luar negeri.

Adapun signifikansi dari penelitian ini adalah secara teoritis untuk menambah literasi mengenai proses perumusan kebijakan luar negeri oleh suatu negara, dalam hal ini adalah Amerika Serikat, khususnya terkait dengan perdagangan senjata internasional. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi mengenai dinamika kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap perjanjian Internasional. Sedangkan secara empirik penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan atas kebijakan terkait dengan ATT.

Tinjauan Kepustakaan

Suatu negara menerima, mendukung, dan meratifikasi suatu perjanjian internasional sebagai wujud kesediaan negara untuk patuh pada hukum internasional yang berlaku. Kesediaan untuk patuh terhadap hukum internasional tersebut terwujud dalam kebijakan luar negeri yang menjadi pedoman dalam negeri. Sebagai negara great power, kebijakan luar negeri Amerika Serikat merupakan suatu hal menarik untuk didiskusikan oleh para peneliti, terutama atas respon yang diberikan terhadap perjanjian luar negeri. Berdasarkan literatur terdahulu mengenai kebijakan Amerika Serikat terhadap ATT, tinjauan pustaka berikut dibagi menjadi dua kategori, yaitu sikap Amerika Serikat terhadap perjanjian internasional dan kepentingan ATT bagi negara.

Kajian yang pertama memberi fokus pada sikap Amerika Serikat terhadap perjanjian internasional. Pengaruh suatu negara dalam membentuk suatu perjanjian ditentukan oleh kekuatan dan independensinya. Kekuatan adalah kemampuan untuk membentuk isi perjanjian dan menekan untuk penerimaannya dan independen merupakan kemampuan untuk mengejar kepentingan sendiri tanpa tunduk pada tekanan orang lain. Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki kemampuan luar biasa dalam mendorong perjanjian dan mempengaruhi negara-negara lain untuk mendukung perjanjian tersebut. Meskipun ada negara-negara kuat dan independen selain Amerika Serikat yang memiliki pengaruh signifikan terhadap adapsi dan pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut, namun tidak seperti Amerika Serikat, negara-negara tersebut hanya dapat mempengaruhi perjanjian tersebut melalui ratifikasi (Milewicz & Snidal, 2016).

Setiap negara di dunia tidak memiliki kewajiban untuk meratifikasi atau bahkan menandatangani suatu perjanjian, namun sebagian besar negara tersebut tetap melakukannya (Kanter, 2020). Hampir seluruh negara anggota PBB telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian terhadap hak asasi manusia, namun Amerika Serikat tidak meratifikasi perjanjian tersebut. Suatu negara meratifikasi suatu perjanjian karena berbagai alasan. Ada negara yang meratifikasi perjanjian untuk mendapatkan pengakuan dari komunitas internasional atau agar tidak dikucilkan karena gagal meratifikasi perjanjian tertentu. Sebagian negara mungkin memutuskan untuk mengikuti negara tetangganya, atau sebagai hal yang membantunya mendapatkan bantuan internasional. Selain itu, alasan untuk meratifikasi dapat bergantung pada sejarah negara bersangkutan atas ratifikasi perjanjian, sistem hukum dan politik, tradisi budaya dan agama, atau kaya miskinnya negara tersebut (Kanter, 2020).

Amerika Serikat dikenal sebagai negara yang memiliki catatan paling buruk di dunia terhadap ratifikasi perjanjian. Dari sembilan perjanjian inti tentang hak asasi manusia yang diadopsi oleh PBB, Amerika Serikat hanya meratifikasi tiga perjanjian. Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara industri yang gagal meratifikasi konvensi tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu Amerika Serikat juga menarik diri dari the Iran Nuclear Deal dan Paris Agreement, meninggalkan beberapa organisasi atau badan internasional seperti Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan WHO, atau melumpuhkan pihak lain seperti WTO (Farah, et.al., 2023; Jeong, 2017; Peake, 2017; Jones & Marsh, 2014). Sikap Amerika Serikat tersebut memiliki implikasi yang penting terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Pada kajian kedua, difokuskan kepada kepentingan ATT bagi negara-negara. ATT merupakan perjanjian multilateral yang berupaya untuk memberikan standar internasional terhadap pengaturan perdagangan senjata internasional untuk meningkatkan ketelitian proses pengawasan nasional dan meminimalkan penjualan senjata yang akan berkontribusi pada pelanggaran hak asasi manusia, konflik, atau praktik kriminal. Tidak ada batasan terhadap jumlah atau jenis senjata yang dijual, namun perjanjian tersebut berupaya untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi atas penjualan yang terjadi. Dalam penerapan yang ideal, negara akan membuat daftar kontrol nasional yang transparan dan menahan penjualan senjata kepada pihak yang melanggar hukum humaniter internasional, atau pihak yang tidak dapat mengontrol tujuan akhirnya. ATT membebankan suatu kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional kepada negara-negara yang menandatangani dan meratifikasinya (Lustgarten, 2015). Namun studi terdahulu mengungkapkan bahwa meskipun ATT memiliki kekuatan yang mengikat, masih terdapat celah yang membuat ATT tidak dapat sepenuhnya berlaku secara efektif. ATT memiliki bahasa perlindungan dan ambiguitas yang dapat menciptakan celah. Hal ini menyebabkan kewajiban hukum terhadap ATT bersifat lunak, dan menciptakan suatu fleksibilitas dalam penerapannya (Fukui, 2015). Secara abstrak, perjanjian pengendalian senjata tidaklah baik atau buruk. Nilainya bergantung pada persyaratannya, dan terlebih lagi, pada dampaknya. Jika suatu perjanjian dapat mengurangi risiko perang, memperkuat norma-norma internasional yang sehat, dan memberikan kontribusi terhadap stabilitas dunia, seperti halnya Perjanjian Non-Proliferasi tahun 1968, maka perjanjian tersebut layak dilakukan. Namun jika suatu perjanjian melebih-lebihkan ekspektasi tanpa banyak, jika ada, manfaat nyata, seperti yang terjadi pada pakta senjata antar perang dan khususnya Pakta Kellogg-Briand, maka perjanjian tersebut tidak akan memberikan banyak manfaat dan bahkan dapat menimbulkan dampak yang merugikan�(Adelman, 1984).

Banyak negara pihak yang berargumentasi bahwa pembicaraan mengenai transfer senjata terlalu sensitif, baik karena alasan politik atau keamanan, atau bahwa hal tersebut akan menghalangi eksportir besar lainnya untuk bergabung dengan ATT. Namun ketika menutup mata menjadi praktik standar dalam pertemuan ATT, aspirasi awal yang mendorong proses Perjanjian ini � dan tertanam dalam teksnya � menjadi tidak masuk akal dan mengikis kredibilitas instrumen tersebut (Pytlak, 2020). ATT membebankan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional kepada mereka yang meratifikasinya, dan kewajiban-kewajiban yang lebih kecil bagi mereka yang sekadar menandatanganinya. Namun hukum internasional bukanlah tingkat dimana suatu Perjanjian yang efektif akan mempunyai dampak yang paling besar. Yang paling penting adalah bagaimana ketentuan-ketentuannya diterjemahkan ke dalam kebijakan dalam negeri serta hukum dan praktik administratif�(Lustgarten, 2015). Bertentangan dengan penilaian yang sebagian besar optimis mengenai perjanjian tersebut, bahwa dampak utama dari ATT adalah legitimasi bentuk-bentuk militerisme liberal yang dilakukan oleh negara-negara besar di Barat. Salah satu ironi dari proses ATT adalah konsensus bahwa perjanjian tersebut seharusnya hanya menangani perdagangan yang �terlarang� dan tidak diatur merupakan hal yang mendasar terhadap tingkat daya tarik yang akhirnya diperoleh; namun kesenjangan produktif antara konsep transfer dana yang �tidak sah� dan �tidak bertanggung jawab� berarti ATT tidak dapat dipahami secara memadai sebagai agenda apolitis dan berorientasi pada keamanan manusia yang digunakan oleh beberapa negara untuk bermain politik. Rumusannya sendiri sangat bersifat politis�(Stavrianakis, 2016).

Karena besarnya volume transfer senjata global AS dan karena model AS turut mempengaruhi ATT, pengendalian ekspor senjata AS mempunyai konsekuensi di luar kebijakan luar negeri AS terhadap dinamika konflik di seluruh dunia dan penerapan ATT yang sedang berlangsung. Fleksibilitas peraturan ekspor senjata AS memastikan bahwa sistem kontrol ekspor AS akan kesulitan menerapkan pembatasan yang berarti terhadap pengiriman senjata ke zona konflik�(Erickson J. L., 2023). ATT memiliki banyak ambiguitas serta bahasa pengamanan yang dapat menciptakan celah. sebagian besar kasus-kasus ini merupakan hasil kompromi selama negosiasi perjanjian. Meskipun ada kritik terhadap kewajiban hukum lunak ATT, hal ini merupakan trade-off antara ambiguitas perjanjian dan fleksibilitas, sehingga negara dapat menyimpulkan bahwa ATT sedang mempertimbangkan penerapannya secara nasional. Jadi, dalam kasus ATT, yang mencatat banyak abstain dan oposisi, bahasa pengamanan dan ambiguitasnya adalah 'kejahatan yang diperlukan' untuk universalisasi ATT�(Fukui, 2015).

Amerika Serikat merupakan negara yang mendukung perlindungan terhadap kemanusiaan, dan menjadi negara dengan tingkat ekspor senjata tertinggi di dunia. Dibentuknya ATT merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kepentingan Amerika Serikat dalam mendukung perlindungan terhadap kemanusiaan, mempromosikan demokrasi yang stabil, dan membangun keamanan dan masyarakat yang produktif (Kimball, 2011). Namun, adanya fleksibilitas dalam aturan ATT tidak dapat menjamin kontrol ekspor senjata Amerika Serikat kepada daerah-daerah konflik�(Erickson J. L., 2023). Sebagai negara yang ikut menandatangani persetujuan ATT, Amerika Serikat diharapkan dapat memberikan kontrol terhadap kebijakan luar negeri atas ekspor senjata. ATT sebagai suatu instrumen kebijakan luar negeri tidak dapat diimplementasikan dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap cara-cara di mana persenjataannya ditransfer. Sikap Amerika Serikat yang belum melakukan ratifikasi terhadap ATT akan mempengaruhi politik perjanjian Amerika Serikat, dan membuat bidang kontrol senjata Amerika Serikat menjadi terpolitisasi, dan kemampuan untuk menjalankan peran sebagai penjaga rezim kontrol senjata internasional menjadi terganggu.

Berdasarkan temuan kajian literatur yang telah dilakukan, terdapat kajian yang membahas sikap Amerika Serikat terhadap perjanjian internasional. Namun, kajian tersebut menekankan pada konsekuensi atas sikap Amerika Serikat terhadap perjanjian-perjanjian tersebut, dan belum terdapat kajian yang membahas secara spesifik mengenai faktor-faktor yang menyebabkan Amerika Serikat mundur dari persetujuan ATT. Kajian mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat penting dilakukan untuk dapat memahami dinamika kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap perjanjian internasional yang disepakati secara global. Untuk dapat melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat tersebut digunakan kerangka analisis decision making process theory, sehingga terlihat faktor utama yang mempengaruhi keputusan Amerika Serikat mengundurkan diri dari ATT pada tahun 2019.

Kerangka Analisis

 

Kebijakan luar negeri suatu negara erat kaitannya dengan kepentingan nasional negara tersebut. Kepentingan nasional dapat dikatakan sebagai konsep dasar dalam menganalisis dan melihat arah politik luar negeri suatu negara yang direfleksikan melalui kebijakan luar negerinya. Secara umum, Joshua Goldstein menyatakan bahwa kebijakan luar negeri merupakan serangkaian strategi yang direncanakan dan diterapkan oleh suatu negara dalam mengambil tindakan dan melancarkan aksinya di dalam politik internasional (Goldstein, 1999). Selain itu, Mark R. Amstutz menyatakan lebih lanjut bahwa kebijakan luar negeri dianggap sebagai explicit and implicit actions of governmental officials designed to promote national interests beyond a country�s territorial boundaries, yang memberikan arti bahwa kebijakan luar negeri didasarkan pada tindakan pemerintah dalam mencapai kepentingan nasional yang melalui batas wilayah dari negara lain, dengan kata lain kebijakan luar negeri suatu negara akan memberikan dampak bagi negara lain di luar teritorinya (Jemadu, 2014). Setiap negara memiliki tujuan untuk mencapai kepentingan nasionalnya masing-masing, dan untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan kebijakan luar negeri yang dianggap sesuai untuk mencapai kepentingan tersebut.

Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi keputusan Amerika Serikat mengundurkan diri dari ATT digunakan teori decision making process oleh William D. Coplin. Menurut Coplin untuk mengambil suatu keputusan atau kebijakan luar negeri dibutuhkan sebuah proses yang mempertimbangkan berbagai hal, sehingga keputusan yang diambil oleh seorang aktor dapat menguntungkan dan mampu memenuhi kepentingannya�(Coplin, 1971). Lebih lanjut Coplin menyatakan bahwa untuk memahami suatu perilaku negara terhadap wilayah kepentingannya, diperlukan pemahaman terhadap latar belakang diambilnya suatu keputusan oleh para pemimpin yang berwenang. Proses pengambilan keputusan yang rasional dan menguntungkan harus didasarkan pada kebutuhan masyarakat di dalam negara yang mampu menata kehidupan sosial secara struktur dan sistematis, mampu beradaptasi satu sama lain, dan mampu berintegrasi dengan modal ekonomi, politik, sosial budaya, dan pendidikan.

Suatu keputusan atau kebijakan luar negeri yang dibuat oleh suatu negara dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama kondisi politik domestik. Kondisi politik dalam negeri berpotensi untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri (Coplin, 1971). Adanya isu-isu domestik dan interaksi dengan aktor domestik yang dianggap berpengaruh akan mempengaruhi kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemimpin, sehingga keputusan yang dibuat sesuai dengan tujuan dan kepentingan nasional. Keputusan yang diambil oleh Amerika Serikat untuk mundur dari ATT dipengaruhi oleh kondisi domestik negara, dimana dalam pengambilan suatu kebijakan internasional, terdapat aktor-aktor berkepentingan dalam negeri yang mempengaruhi keputusan pemimpin negara.

Sumber: Coplin (1971)

 

Kondisi politik domestik merupakan hubungan antara pengambil kebijakan luar negeri dengan aktor-aktor politik dalam negeri (Coplin, 1971). Politik yang dimaksud oleh Coplin juga menyertakan faktor-faktor budaya yang secara mendasar dipengaruhi oleh perilaku orang-orang dan kondisi politik domestik yang sedang terjadi. Para pengambil kebijakan membutuhkan dukungan dari policy influencer untuk memperkuat kebijakan yang dikeluarkan. Policy influencer kemudian dibagi menjadi empat kategori, yaitu bureaucratic influencer, partisan influencer, interest influencer, dan mass influencer.

Bureaucratic influencer mengacu kepada para individu dan organisasi yang ada di dalam badan pemerintah dan memiliki akses langsung kepada para pengambil keputusan dengan memberikan informasi-informasi penting terkait dengan kebijakan yang akan diambil. Partisan influencer merupakan partai-partai politik atau kelompok politik yang membawa aspirasi dari masyarakat untuk diambil dalam pertimbangan pada pembuatan suatu kebijakan. Interest influencer merupakan kelompok yang memiliki kepentingan yang sama, akan tetapi tidak memiliki kekuatan yang besar untuk dapat dikatakan sebagai suatu partai politik. Sebagian besar motif dari kelompok ini adalah kepentingan ekonomi, namun hal tersebut tidak selalu menjadi dasar berkumpulnya interest influencer. Kesamaan etnis dapat menjadi salah satu dasar dari berkumpulnya kelompok interest influencer, yang menggunakan cara-cara seperti pendanaan finansial, kritik dan kecaman untuk mempengaruhi para pengambil kebijakan luar negeri. Mass influencer adalah opini publik yang dibentuk oleh media massa dan digunakan oleh para pengambil keputusan dan para policy influencer untuk menggiring opini dalam mendukung atau kecaman yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan (Coplin, 1971).

Salah satu faktor domestik yang menentukan pembuatan kebijakan luar negeri suatu negeri suatu negara adalah keputusan aktor individu, yaitu pemimpin negara sebagai pembuat keputusan. Pada tahun 2019, Amerika Serikat memutuskan untuk keluar dari ATT setelah menyatakan persetujuannya dengan menandatangani perjanjian tersebut pada tahun 2013. Keputusan tersebut dikeluarkan oleh Presiden Trump pada 26 April 2019, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat menarik tanda tangannya dari ATT, dengan alasan untuk melindungi kepentingan Amerika Serikat, membela kedaulatan dan hak konstitusional Amerika Serikat, terutama pada Amandemen Kedua, mengenai hak untuk membawa senjata. Keputusan Presiden Trump mundur dari ATT sejalan dengan pendekatan kebijakan luar negeri pemerintahannya, yang secara konsisten menyerang multilateralisme dan menantang hukum internasional (Olabuenaga, 2019). Meskipun demikian, hal ini berbeda dengan pernyataan Presiden Obama sebelumnya, yang berpendapat bahwa perjanjian tersebut konsisten dengan Amandemen Kedua, mendukung ATT dan mempertimbangkan untuk meratifikasi ATT sebagai suatu hukum nasional yang sah dan berlaku serta memiliki kekuatan yang mengikat, serta mendorong negara-negara lain untuk membawa standar sesuai dengan standar Amerika Serikat (The White House, 2016).

Penundaan ratifikasi ATT bahkan setelah adanya rekomendasi pertimbangan proses ratifikasi dari Presiden Obama kepada Senat Amerika Serikat menunjukkan bahwa dalam pengambilan suatu keputusan kebijakan luar negeri Amerika Serikat, dukungan dari policy influencer dibutuhkan dan memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam pengambilan keputusan. Policy influencer, khususnya bureaucratic influencer dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat memiliki andil yang besar.

Kedua, situasi ekonomi dan militer domestik. Faktor ekonomi dan militer mempengaruhi pembentukan suatu kebijakan luar negeri, karena negara memiliki perilaku yang bergantung pada perdagangan dan kemampuan militernya. Negara yang memiliki kemampuan ekonomi rendah, terutama dalam hal produksi barang, cenderung mengharapkan arus impor dari negara lain. Selain itu, negara membutuhkan dukungan militer untuk mengamankan wilayah dan kedaulatan negara, sehingga negara harus memiliki pasukan militer yang mumpuni, serta memiliki ketersediaan senjata yang memadai. Adanya keuntungan ekonomi dalam perdagangan senjata menjadi salah satu faktor pendukung mundurnya Amerika Serikat dari ATT.

Kapabilitas militer dan ekonomi dari suatu negara turut menentukan pengambilan kebijakan luar negeri. Penafsiran dari kapasitas ekonomi harus mencakup tentang kemakmuran dari suatu negara, sejauh mana negara dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya, sejauh mana negara dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya, dan juga mencakup tentang pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Dalam bidang militer terdapat tiga aspek dari kekuatan dan kelemahan militer yang harus mencakup dalam analisis pembuatan suatu kebijakan luar negeri, yaitu kapasitas negara tersebut dalam bidang militer, tingkat ketergantungan negara pada sumber luar negeri, dan kestabilan militer dalam negeri (Coplin, 1971).

Ketiga, konteks internasional. Penentuan arah kebijakan luar negeri suatu negara juga dipicu oleh konteks internasional yang memiliki tiga elemen penting, yaitu geografis, ekonomis, dan politis. Lingkungan internasional setiap negara terdiri atas lokasi yang didudukinya, dalam kaitannya dengan negara-negara lain dalam sistem itu, serta hubungan ekonomi yang berkaitan dengan pola perdagangan dan politis yang berkaitan dengan pola aliansi antar negara. Konteks internasional merupakan hal-hal yang terjadi di luar negara dan diluar kontrol negara. Faktor geografis merupakan keterkaitan baik dalam hal politis maupun ekonomis dari negara-negara dalam lingkup geografis yang sama, sedangkan faktor ekonomis dipandang sebagai arus barang dan jasa yang mempengaruhi ketergantungan antara satu negara dengan negara lainnya, sehingga turut memainkan peran penting dalam menentukan kebijakan politik luar negeri (Coplin, 1971).

Tulisan ini akan menjabarkan pengaruh faktor kondisi politik domestik Amerika Serikat dalam mengambil keputusan untuk keluar dari ATT pada tahun 2019.

 

 

METODE PENELITIAN

Metode penelitian kualitatif digunakan untuk menganalisis keputusan Amerika Serikat mengundurkan diri dari ATT. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menekankan pada proses dan pemaknaan atas realitas sosial yang tidak diuji dan diukur secara ketat dari segi kuantitas ataupun frekuensi (Neuman, 2014). Fokus dari penelitian kualitatif adalah bagaimana gejala sosial dibentuk dan diberi makna. Tujuan dari penggunaan metode kualitatif adalah untuk memperoleh pemahaman mendalam tentang suatu fenomena, kenyataan, dan peristiwa yang dapat dipahami jika peneliti mempelajari hal tersebut secara mendalam dan tidak terbatas pada pemahaman mendasar. Melalui penelitian kualitatif, penulis dapat membahas suatu hal tertentu secara mendalam dengan mengumpulkan data yang terkait.

Penelitian ini menggunakan teknik riset dan studi pustaka dalam pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada dokumen-dokumen resmi yang didapat dari institusi resmi terkait ATT dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap perjanjian luar negeri lainnya. Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah data ataupun informasi yang didapatkan dari buku, artikel jurnal, surat kabar, ataupun media elektronik resmi yang kredibel. Setelah mengumpulkan data tersebut, proses triangulasi dilakukan untuk menguji keabsahan data. Peneliti melakukan perbandingan antara data yang diperoleh dengan temuan yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian yang telah diajukan.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada tanggal 26 April 2019, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan menghapus tanda tangan yang dibubuhkan oleh John Kerry pada bulan Spetember 2013 selaku Menteri Luar Negeri saat itu, dari ATT (Abramson & Webb, 2019). Lebih lanjut Presiden Trump mengungkapkan Amerika Serikat tidak akan lagi berusaha meratifikasi ATT yang mengatur tentang perdagangan internasional senjata konvensional dan meminta Senat untuk membatalkan perjanjian tersebut, kemudian mengeluarkan surat resmi kepada Senat untuk mengembalikan ATT.

��������������� ATT merupakan perjanjian internasional pertama yang mengikat secara hukum untuk mengatur perdagangan internasional senjata konvensional, mulai dari senjata ringan hingga tank, jet tempur, dan kapal perang. ATT menetapkan standar umum untuk mengatur transfer senjata internasional. Sejak Desember 2014 ATT mulai berlaku dengan 105 negara menjadi pihak dalam perjanjian dan 33 negara lainnya telah menandatangani perjanjian. Amerika Serikat ikut serta menandatangani ATT pada September 2013, namun Senat tidak pernah meratifikasinya�(Stohl, 2020).

Dalam memutuskan suatu kebijakan luar negeri konstitusi Amerika Serikat membagi kekuasaan pada tiga cabang pemerintahan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif (Foreign Policy Association, 2018). Konstitusi memberikan beberapa kewenangan, seperti komando militer secara eksklusif kepada Presiden dan kewenangan lain seperti regulasi perdagangan luar negeri kepada Kongres, sementara kewenangan lainnya dibagi di antara keduanya, atau tidak diberikan sama sekali�(Masters, 2017). Selain itu, Konstitusi juga memberikan masing-masing kekuasaan untuk dapat mengawasi satu sama lainnya. Presiden dapat memveto undang-undang, Kongres dapat membatalkan veto Presiden, pengadilan dapat menyatakan undang-undang Kongres atau tindakan Presiden tidak konstitusional. Dengan demikian, kebijakan luar negeri Amerika Serikat terbagi di antara berbagai struktur pemerintahan�(Foreign Policy Association, 2018).

Pasal I Konstitusi menjabarkan kewenangan Kongres dalam urusan luar negeri, termasuk kewenangan untuk mengatur perdagangan dengan negara asing, menyatakan perang, membentuk dan mendukung Angkatan darat, menyediakan dan meemlihara Angkatan laut, dan membuat peraturan untuk pemerintahan dan pengaturan Angkatan darat dan laut. Konstitusi juga membuat dua kewenangan presiden untuk urusan luar negeri, yaitu membuat perjanjian dan menunjuk diplomat, bergantung pada persetujuan Senat (Masters, 2017). Selain itu, Kongres memiliki kewenangan umum untuk menetapkan memungut pajak, menarik uang dari Departemen Keuangan, dan membuat semua undang-undang yang diperlukan dan tepat, yang secara kolektif memungkinkan legislator untuk mempengaruhi hamper semua jenis isu kebijakan luar negeri. Kongres memiliki kewenangan luas untuk melakukan pemeriksaan terhadap kebijakan luar negeri tertentu atau masalah keamanan nasional. Lebih lanjut, Kongres memiliki kewenangan untuk membentuk, menghapus, atau merestrukturisasi badan-badan cabang eksekutif, yang lebih sering dilakukan setelah konflik atau krisis besar (Masters, 2017).

Kemudian Pasal II Konstitusi menyatakan bahwa presiden diberikan kewenangan untuk membuat perjanjian dan menunjuk duta besar dengan saran dan persetujuan dari Senat, dimana perjanjian memerlukan persetujuan dua pertiga senator yang hadir, dan pengangkatan duta besar memerlukan persetujuan mayoritas yang lebih sederhana. Presiden mengandalkan klausul lain untuk mendukung tindakan kebijakan luar negeri mereka, khususnya memberikan kekuasaan eksekutif dan peran panglima tertinggi Angkatan darat dan laut pada jabatan tertentu. Kongres telah mengesahkan undang-undang yang memberikan kewenangan tambahan kepada eksekutif untuk bertindak atas isu-isu kebijakan luar negeri tertentu (Masters, 2017).

Berdasarkan decision making process yang dikemukakan oleh Coplin (1971), keadaan politik dalam negeri menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara. Pengambil kebijakan membutuhkan dukungan dari policy influencer untuk memperkuat kebijakan yang diambil�(Coplin, 1971). Policy influencer merupakan individu atau organisasi yang mempengaruhi atau memimpin keputusan dalam pengembangan suatu kebijakan dan penerapannya �(Culleton, 2024). Para policy influencer dapat ditemukan pada lembaga pemerintah dan non-pemerintah. Policy influencer penting karena mereka dapat meningkatkan kesadaran dan dukungan pada implementasi kebijakan. Adanya pengaruh dari aktor berkepentingan dalam negeri turut serta mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut. Salah satu faktor yang mendukung keputusan Amerika Serikat untuk mengundurkan diri dari ATT adalah adanya tekanan yang diberikan oleh National Rifle Association (NRA), kelompok yang fokus pada isu mengenai senjata. Kelompok kepentingan tersebut banyak mempengaruhi keputusan yang berkaitan dengan senjata, yang mempromosikan aturan yang lebih longgar dan leluasa dalam kepemilikan dan penggunaan senjata, serta menentang setiap isu dan tindakan yang berkaitan dengan kontrol senjata�(NRA, n.d.).

Salah satu cara agar sebuah kelompok kepentingan dapat mencapai kepentingannya adalah dengan meyakinkan para pemilik kekuasaan penting di Amerika Serikat. Kelompok kepentingan memberikan dukungan kepada para politisi atau calon politisi yang dianggap mampu menyampaikan kepentingannya di Kongres. NRA memberikan dukungan kepada politisi, baik Senat maupun Representative, yang diharapkan dapat mewakili kepentingan kelompok dalam isu terkait senjata, yaitu kemudahan dalam peredaran, kepemilikan, dan penggunaan senjata serta menghalangi adanya kontrol yang lebih ketat untuk senjata. Dukungan yang diberikan NRA kepada para politisi membentuk suatu hubungan antara Kongres dan Kelompok yang memberikan kemudahan dalam meloloskan hukum maupun peraturan yang menjadi fokus dari kelompok kepentingan tersebut. NRA memiliki sumber daya untuk mempengaruhi penilaian Kongres, berupa dana yang memadai dan dukungan electoral dari lebih dari 5 juta anggota yang tersebar di seluruh negara bagian Amerika. Selain itu, NRA merupakan suatu kelompok yang memiliki anggota dengan pengaruh kuat di Washington yang saling mendukung, sehingga apabila seorang politisi Senat dapat bergabung di dalamnya, maka dapat memperluas relasi dan kemungkinan untuk mendapat dukungan politik.

Cabang-cabang politik Amerika Serikat sering berselisih pendapat mengenai kebijakan luar negeri, terutama saat presiden berasal dari partai yang berbeda dengan pimpinan setidaknya satu majelis Kongres. Pada November 2014 PBB mengumumkan bahwa ATT yang telah diadopsi oleh majelis umum pada 2013 akan berlaku dalam jangka waktu 90 hari, karena telah memenuhi syarat minimum ratifikasi, yaitu 50 ratifikasi. Penolakan dilakukan oleh Amerika Serikat dengan adanya pernyataan dari legislatif bahwa ATT melanggar hak warga negara Amerika Serikat dan Amandemen Kedua, serta conventional arms transfer policy�(Mikkelson, 2010). Meskipun Senat menyatakan untuk tidak akan mendukung ATT, penandatangan ATT tetap dilakukan oleh John Kerry pada tahun 2013, sebagai bentuk dukungan dalam penghapusan perdagangan senjata konvensional secara illegal. Selain itu, penandatangan ATT merupakan suatu bentuk usaha dalam menjaga perdamaian dunia, mempromosikan keamanan dunia, serta memajukan tujuan kemanusiaan lainnya.

Terdapat perbedaan pendapat di antara para pemegang kekuasaan di Amerika Serikat, yang mengakibatkan semakin menjauhnya Amerika dari ratifikasi ATT. Amerika Serikat tidak menemukan keuntungan dalam meratifikasi ATT, dan merasa terhalangi dalam kepentingannya dalam transfer senjata. Perubahan pandangan Amerika Serikat terhadap ATT disebabkan adanya pengkajian ulang terhadap teks ATT yang pada awalnya dianggap dapat membantu Amerika Serikat dalam menjalankan kepentingannya, namun dapat berpotensi melanggar Amandemen Kedua, kedaulatan serta kepentingan nasional Amerika Serikat terhadap negara sekutu.

Pada pemerintahan Presiden Obama, hubungan antara Presiden dan Kongres tidak terlalu kondusif. Meskipun presiden memiliki kekuasaan eksekutif, namun berdasarkan Konstitusi, pembuatan undang-undang merupakan kewenangan dari Kongres, dan presiden hanya mampu memprakarsai usulan dan inisiatif. Penolakan Kongres untuk meratifikasi ATT terus berlanjut, hingga pada tahun 2019 Presiden Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat menarik tanda tangannya dari ATT dan mundur dari perjanjian tersebut. Pernyataan tersebut diungkapkan Presiden Trump pada konferensi tahunan NRA dengan menandatangani surat yang meminta Senat untuk mengembalikan ATT ke Gedung Putih�(Stohl, 2019). ATT telah lama menjadi target NRA yang mengklaim bahwa perjanjian tersebut akan merugikan pemilik senjata di Amerika Serikat. Kemudian, Presiden Trump turut serta menyatakan bahwa ATT merupakan ancaman terhadap Amandemen Kedua�(Chappell, 2019).

Tindakan para Senat yang menolak ratifikasi ATT sejak tahun 2013 hingga pernyataan Presiden Trump yang memilih untuk mengundurkan diri dari ATT, tidak lepas dari pengaruh para policy influencer. Para Senat paham bahwa NRA memiliki sumber daya dan kemampuan untuk mempengaruhi penilaian Kongres. Untuk itu para Senat mencari dukungan dari kelompok kepentingan tersebut dengan mempermudah legislasi yang akan mewujudkan kepentingan mereka. NRA akan meyakinkan orang-orang yang memiliki posisi dalam pemerintahan agar dapat mempengaruhi pemerintah. Dengan sumber daya dan kemampuan yang dimiliki, NRA berusaha mempengaruhi pemerintah dengan mempengaruhi orang-orang yang memiliki posisi di pemerintahan. Para anggota Senat yang membutuhkan electoral support kemudian membantu mewujudkan kepentingan dari NRA, dengan menolak ratifikasi ATT. Kemudian, pada tahun 2019, Presiden Trump turut serta menolak dan mengundurkan diri dari ATT, dengan menandatangani surat permintaan pengembalian ATT pada konferensi tahunan NRA.

 

KESIMPULAN

Keputusan Amerika Serikat untuk keluar dari ATT diungkapkan oleh Presiden Trump pada pertemuan tahunan NRA tahun 2019. Sejak Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry menandatangani ATT pada tahun 2013, Amerika Serikat belum meratifikasi perjanjian tersebut. Pada pertemuan tahunan NRA tersebut Presiden Trump menandatangani pesan yang meminta Senat untuk menghentikan proses ratifikasi ATT.

Pengunduran diri Amerika Serikat dari ATT dikarenakan adanya pengaruh internal dalam pengambilan keputusan atas kebijakan luar negeri. Faktor internal yang sangat mempengaruhi keputusan Amerika Serikat adalah pengaruh dari policy interest, yaitu NRA sebagai kelompok kepentingan yang menganggap bahwa ATT akan memberi batasan pada penjualan senjata domestik Amerika Serikat, serta melanggar Amandemen Kedua. Sumber daya dan kemampuan yang dimiliki oleh NRA dalam mempengaruhi orang-orang di pemerintahan menjadi salah satu faktor domestik yang mempengaruhi keputusan Amerika Serikat mengundurkan diri dari ATT.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, R. (1957). Mendajung dalam taufan: ichtisar dan ichtiar politik luar negeri Indonesia 1956. Jakarta: Endang.

Abramson, J., & Webb, G. (2019, May 1). U.S. to quit Arms Trade Treaty. Retrieved from Arms Control Association: https://www.armscontrol.org/act/2019-05/news/us-quit-arms-trade-treaty

Adelman, Kenneth L. (1984). Arms control with and without agreement. Foreign Affairs, 63 (2), 240-263.

Auerswald, David, Forrest Maltzman. (2003). Policy making through advice and consent: treaty consideration by the United States senate. Journal of Politics, 65 (4), 1097-1110.

Blanton, Shannon Lindsey. (2005). Foreign policy in transition? human rights, democracy, and U.S. arms exports. International Studies Quarterly, 49 (4), 647- 667.

Böller, Florian. (2021). Brakeman or booster? Presidents, ideological polarization, reciprocity, and the politics of US arms control. International Politics, 59 (4), 725-748.

Bromley, Mark. Neil Cooper, Paul Holtom. (2012). The UN Arms Trade Treaty: arms export controls, the human security agenda and the lessons of history. International Affairs, 88 (5), 1029-1048.

Chappell, B. (2019, April 26). Trump moves to withdraw U.S. from U.N. Arms Trade Treaty. Retrieved from NPR: https://www.npr.org/2019/04/26/717547741/trump-moves-to-withdraw-u-s-from-u-n-arms-trade-treaty

Casey-Maslen, S. (2021). Arms control and disarmment law. United Kingdom: Oxford University Press.

Coplin, W. D. (1971). Foreign policy decision-making. United States: Markham Pub. Co.

Culleton, B. (2024, March 14). State Government Affairs: What are policy influencer groups and why should you engage with them? Retrieved from MultiState: https://www.multistate.us/insider/2024/3/14/what-are-policy-influencer-groups-and-why-should-you-engage-with-them

Erickson, Jennifer L. (2023). Demystifying the �gold standard� of arms export controls: US arms exports to conflict zones. Global Policy, 14 (1), 131-138.

Farah, P. D., Gruszczynski, L., Menkes, M., & Bilkova, V. (2023). Introduction: mapping the crisis of multilateralism. In P. D. Farah, L. Gruszczynski, M. Menkes, & V. Bilkova, The Crisis of Multilateral Legal Order Causes, Dynamics, and Implications (pp. 1-18). New York: Routledge.

Foreign Policy Association. (2018, April 17). How U.S. foreign policy is made. Retrieved from Foreign Policy Association: https://www.fpa.org/features/index.cfm?act=feature&announcement_id=45&show_sidebar=0

Fukui, Yasuhito. (2015). The arms trade treaty: Pursuit for the effective control of arms transfer. Journal of Conflict and Security Law, 20 (2), 301- 321.

Goldstein, J. (1999). International relations. New York: Longman.

Hartung, W. D. (1992). Curbing the arms trade: from rhetoric to restraint. World Policy Journal, 9(2), 219-247.

Jemadu, A. (2014). Politik global dalam teori dan praktik. Jakarta: Graha Ilmu.

Jeong, G.-H. (2017). The supermajority core of the US Senate and the failure to join the League of Nations. Public Choice, 173, 325-343.

Jones, C. M., & Marsh, K. P. (2014). The odyssey of the comprehensive nuclear-test-ban treaty Clinton, Obama, and the politics of treaty ratification. Nonpoliferation Review, 21(2), 207-227.

Kanter, A. S. (2020). The failure of the United States to ratify the CRPD. In E. J. Kakoullis, & K. J. (eds.), Recognising Human Rights in Different Cultural (pp. 97-132). Singapore: Palgrave Macmillan.

Kelley, Judith G., Jon, C.W. Pevehouse. (2015). An opportunity cost theory of US treaty behavior. International Studies Quarterly, 59 (3), 531-543.

Kimball, D. G. (2011, August). America and the arms trade treaty. Retrieved from Arms Control Association: https://www.armscontrol.org/act/2011-08/america-arms-trade-treaty

Kimball, D. G. (2017, August). The arms trade treaty at a glance. Retrieved from Arms Control Association: https://www.armscontrol.org/factsheets/arms_trade_treaty

Krutz, G. S., & Peake, J. S. (2009). Treaty Politics and the Rise of Executive Agreements: International Commitments in a System of Shared Powers. Ann Arbor: MI: The University of Michigan Press.

Lantis, J. S. (2009). The Life and Death of International Treaties. New York: Oxford University Press.

Lustgarten, Laurence. (2015). The arms trade treaty: achievements, failings, future. International and Comparative Law Quarterly, 64 (3), 569- 600.

Masters, J. (2017, March 2). U.S. foreign policy powers: Congress and the President. Retrieved from Council on Foreign Relations: https://www.cfr.org/backgrounder/us-foreign-policy-powers-congress-and-president

Mikkelson, D. (2010, May 22). U.N. Arms Trade Treaty. Retrieved from Snopes: http://www.snopes.com/politics/guns/untreaty.asp

Milewicz, K. M., & Snidal, D. (2016). Cooperation by treaty: the role of multirateral powers. International Organization, 70(4), 823-844.

Neuman, L. W. (2014). Social research methods: qualitative and quantitative approaches, 7th ed. Harlow: Pearson.

NRA. (n.d.). A brief history of the NRA. Retrieved from National Rifle Association: https://home.nra.org/about-the-nra/

Olabuenaga, P. A. (2019, May 8). Why the arms trade treaty matters - and why it matters that the US is walking away. Retrieved from Just Security: https://www.justsecurity.org/63968/why-the-arms-trade-treaty-matters-and-why-it-matters-that-the-us-is-walking-away/

Ozga. Deborah A. (2003). The reluctant giant of arms control. Security Dialogue, 34 (1), 87-102.

Peake, J. S. (2013). The Domestic Politics of US Treaty Ratification: Bilateral Treaties from 1949-2012. Clemson University, Department of Political Science. Chicago: Clemson University.

Pytlak, Allison. (2020). Are arms trade treaty meetings being used to their full potential?. Global Responsibility to Protect, 12 (2), 156-177.

Singadilaga, D. (1973). Politik luar negeri Indonesia: suatu esai popular. Bandung: Alumni.

SIPRI. (2018). Trends in international arms transfer, 2017. Solna: SIPRI.

Skidmore, David. (2005). Understanding the unilateralist turn in U.S. foreign policy. Foreign Policy Analysis, 1 (2), 207-228.

Stavrianakis, A. (2016). Legitimising liberal militarism: politics, law and war in the Arms Trade Treaty. Third World Quarterly, 37(5), 840-865.

Stohl, R. (2017). Understanding the conventional arms trade. Nuclear Weapons and Related Security Issues (pp. 1-8). New York: AIP Publishing.

Stohl, R. (2019, May 3). Trump unsign the Arms Trade Treaty: how did we get here? Retrieved from War On The Rocks: https://warontherocks.com/2019/05/trump-unsigns-the-arms-trade-treaty-how-did-we-get-here/

Stohl, R. (2020, April 26). Unhappy anniversary: the US 'unsign' the Arms Trade Treaty a year ago. Retrieved from Defense One: https://www.defenseone.com/ideas/2020/04/unhappy-anniversary-us-unsigned-arms-trade-treaty-year-ago/164914/

The White House. (2016, December 09). Message to the senate � arms trade treaty. Retrieved from The White House President Barack Obama: https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-office/2016/12/09/message-senate-arms-trade-treaty

United Nations. Arms Trade Treaty, https://thearmstradetreaty.org/hyper-images/file/ATT_English/ATT_English.pdf?templateId=137253

United Nations. (2012, June 8). The arms trade treaty. Retrieved from United Nations Office for Disarmament Affairs (UNODA): https://www.un.org/disarmament/att/

Wahal, A. (2022, January 7). On International Treaties, the United States Refuses to Play Ball. Retrieved June 7, 2023, from Council on Foreign Relations: https://www.cfr.org/blog/international-treaties-united-states-refuses-play-ball#:~:text=Arms%20Trade%20Treaty&text=Concerns%20that%20the%20ATT%20would,limits%20on%20domestic%20gun%20sales