FAKTOR DOMESTIK
KEPUTUSAN AMERIKA SERIKAT MENGUNDURKAN DIRI DARI ARMS TRADE TREATY PADA TAHUN
2019
Vina Putri Elisabeth Zega
Universitas Indonesia
Email : [email protected]
kata
kunci: Arms Trade Treaty, decision making process, kebijakan
luar negeri, Amerika Serikat keywords: Arms Trade Treaty, decision making process, foreign
policy, United States |
|
ABSTRAK |
|
Terjadinya perubahan sikap atas suatu perjanjian internasional merupakan suatu refleksi dari dinamika politik domestik negara yang bersangkutan.
Dinamika politik Amerika Serikat
terhadap Arms Trade Treaty (ATT) terjadi sejak awal perjanjian tersebut ditandatangani pada tahun 2013, hingga pada tahun 2019 Presiden Trump menarik tanda tangan Amerika Serikat dari ATT dan menolak kelanjutan proses ratifikasi.
Keputusan untuk mengundurkan diri
dari ATT dikarenakan adanya pengaruh dari policy influencer, yaitu
kelompok kepentingan yang memiliki
pengaruh besar dalam pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Dengan menggunakan teori
decision making process dari Coplin, akan dijabarkan faktor domestik yang mempengaruhi keputusan Amerika Serikat mengundurkan diri dari ATT. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif
yang menggunakan dokumen-dokumen
resmi terkait ATT dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat sebagai sumber data. The
change in attitude towards an international agreement is a
reflection of the domestic political dynamics of the country
concerned. The political dynamics of the United States towards the Arms Trade
Treaty (ATT) occurred from the beginning of the agreement was signed in 2013,
until in 2019 President Trump withdrew the United States' signature from the
ATT and refused to continue the ratification process. The decision to resign
from ATT was due to the influence of policy influencers, which are interest
groups that have a great influence on US foreign policymaking. Using Coplin's
decision-making process theory, domestic factors that influenced the decision
of the United States to withdraw from the ATT will be described. This study
uses a qualitative research method that uses official documents related to
ATT and U.S. foreign policy as data sources. |
|
Ini
adalah artikel akses terbuka
di bawah lisensi CC BY-SA . This is
an open access article under the CC BY-SA license. |
PENDAHULUAN
Setiap negara yang memiliki
kebebasan dan kedaulatan dalam menentukan politik kebijakan luar negerinya masing-masing. Politik luar negeri dipandang sebagai suatu kebijaksanaan suatu negara terhadap negara lain
atau unsur di luar negara tersebut dan mengendalikan hubungan-hubungan luar negeri yang didasari oleh kepentingan nasionalnya (Singadilaga, 1973). Politik kebijakan luar negeri tiap negara merupakan lanjutan dan refleksi politik dari politik
dalam negeri yang tidak dapat dipisahkan yang bersandar pada faktor-faktor dan kekuatan, terutama dari dalam negeri sendiri, seperti faktor sejarah, geografis, watak bangsa, kekuatan ideologi, ekonomi, dan militer (Abdulgani, 1957). Faktor-faktor
dan kekuatan yang dimiliki
negara menjadi penentu hakikat dan tujuan politik luar negeri suatu negara, yang kemudian menentukan program politik luar negeri dan kebijakan luar negerinya, untuk mencapai tujuan dan kepentingan nasionalnya. Sikap suatu negara dalam merespon suatu perjanjian luar negeri juga dipengaruhi oleh faktor-faktor politik luar negerinya.
Terjadinya perubahan sikap terhadap suatu perjanjian luar negeri dapat dikatakan sebagai refleksi politik dari politik dalam
negeri negara tersebut.
Sejak dahulu, perdagangan senjata internasional menjadi suatu isu
yang penting namun sering diabaikan, hingga kemudian menjadi suatu isu
sangat penting dan darurat
yang harus segera ditindak lanjuti
dalam agenda keamanan dunia
Perdagangan senjata menjadi suatu bisnis yang paling menguntungkan dengan
peningkatan yang dapat diprediksi dari tahun ke tahun. Ketersediaan senjata dan
amunisinya menyebabkan penderitaan manusia, represi politik, kejahatan dan
teror di kalangan masyarakat sipil. Transfer senjata yang tidak bertanggung
jawab dapat mengganggu stabilitas wilayah, memungkinkan terjadinya pelanggaran
embargo senjata, dan berkontribusi terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Perdagangan senjata yang tidak
terkendali menjadi suatu kekhawatiran global yang mengancam keamanan manusia.
Korban jiwa yang dibantai dengan senjata yang dijual secara bebas sangat
banyak, dan mengganggu pembangunan ekonomi dan stabilitas negara.
Kurangnya kerangka kerja global
internasional untuk perdagangan senjata sangat mengkhawatirkan, mengingat
besarnya volume perdagangan global senjata konvensional, dan dampak
potensialnya dalam mengganggu perdamaian dan pembangunan berkelanjutan. Sejak
tahun 1900-an, perdagangan senjata telah menjadi isu yang mengkhawatirkan,
dimana perang dunia pertama menghasilkan senjata baik dari segi kualitas maupun
kuantitas yang meningkat, dan dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas dunia
apabila tidak ada penanganan dan pengendalian. Oleh sebab itu
pada tahun 1919 The
Convention for the Control of the Trade in Arms and Ammunition disetujui sebagai respon dari kekhawatiran
tersebut. Tidak adanya peraturan mengenai perdagangan senjata internasional membuat peredaran senjata menjadi tidak terkontrol,
yang mengakibatkan krisis terhadap kemanusiaan. Setelah melalui proses diskusi yang panjang, PBB memulai proses untuk merundingkan perjanjian internasional yang mengatur perdagangan senjata yang sah, yang mengakhiri celah dalam regulasi
pengendalian perdagangan senjata (Olabuenaga, 2019).
Salah satu organisasi
internasional pertama yang fokus
pada masalah pengendalian perdagangan senjata muncul pada tahun 1949 saat anggota NATO dan Jepang membentuk Coordinating
Committee for Multilateral Export (COCOM) untuk mengendalikan
penjualan barang-barang strategis ke negara-negara blok Komunis
Negara-negara anggota PBB mengadopsi
Konvensi PBB tentang Larangan atau Pembatasan Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu yang
Mungkin Dianggap Sangat Merugikan
atau Memiliki Dampak yang
Tidak Pandang Bulu atau yang dikenal sebagai Inhumane
Weapons Convention (CCW) pada tahun 1980, yang bertujuan untuk melarang atau membatasi penggunaan senjata-senjata yang menyebabkan penderitaan yang tidak perlu atau tidak dapat dibenarkan terhadap para kombatan, maupun berdampak pada warga sipil tanpa pandang
bulu, di dalam dan di luar situasi konflik bersenjata internasional
Keadaan yang meresahkan
masyarakat global tersebut menjadi kekhawatiran dari organisasi internasional seperti Amnesty
International, Oxfam International dan beberapa organisasi lain untuk mencari langkah dalam membatasi perdagangan senjata yang terjadi. Organisasi tersebut berpendapat bahwa negaralah yang dapat mengatur secara terikat dengan hukum dalam
hal membatasi perdagangan senjata, karena negara memiliki otoritas tertinggi. Amnesty
International telah mengupayakan
kampanye sosial mengenai hal ini
sejak tahun 1993, dan pada
6 Desember 2006 di Sidang
Umum PBB resolusi 61/89 menyatakan
bahwa: the absence of common international
standards on the import, export and transfer and conventional arms� was a contributory factor to conflict, the
displacement of people, crime and terrorism� and that it undermined peace,
reconciliation, safety, stability, and sustainable development.
Resolusi tersebut menyatakan bahwa akibat dari belum
adanya standar internasional yang disepakati secara bersama-sama oleh
negara-negara yang berdaulat mengenai
impor, ekspor, dan transfer
senjata menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada konflik, tindak kriminal, terorisme, serta pembangunan yang berkelanjutan.
Hal ini mendorong negara-negara di dunia untuk
membentuk suatu aturan yang mengikat untuk menekan angka
penyalahgunaan senjata yang
menjadi penyebab berbagai permasalahan yang dapat melanggar hak asasi manusia.
PBB mengambil langkah untuk membentuk sebuah rezim perdagangan
internasional dan sebuah aturan yang mengikat, yaitu melalui Arms Trade
Treaty.
Arms
Trade Treaty (ATT)
merupakan perjanjian perdagangan senjata yang mengatur regulasi perdagangan senjata resmi internasional. ATT menetapkan standar internasional umum setinggi mungkin untuk mengatur atau meningkatkan aturan perdagangan internasional senjata konvensional, untuk mencegah dan memberantas perdagangan gelap senjata konvensional dan mencegah pengalihannya, yang bertujuan untuk perdamaian, keamanan, dan stabilitas internasional dan
regional, mengurangi penderitaan
manusia, dan mempromosikan kerja sama, transparansi,
dan tindakan yang bertanggung
jawab oleh negara pihak dalam perdagangan internasional senjata konvensional, sehingga membangun kepercayaan di antara negara pihak. Aturan ini ada
untuk membantu mengidentifikasi di mana dan bagaimana
senjata dialihkan ke pasar gelap, dan meningkatkan batasan mengenai akuntabilitas atas transfer senjata yang tidak bertanggung jawab.
Setelah melalui
proses yang panjang, pada Maret 2013 rancangan perjanjian perdagangan senjata disahkan dengan disponsori oleh 64 negara anggota
PBB, termasuk Amerika Serikat.
Pada tanggal 2 April 2013 ATT diadopsi oleh Majelis
Umum PBB dengan didukung
oleh 156 negara, 3 negara menentang, dan 23 negara memilih abstain (Kimball, 2017).
Sebagai negara pengekspor
senjata konvensional terbesar dunia, Amerika Serikat telah berpartisipasi dalam diskusi tentang
regulasi perdagangan senjata internasional, dan mendukung resolusi PBB yang menetapkan diskusi ATT. Amerika Serikat memiliki kepentingan dalam memimpin dukungan atas ATT yang efektif. Selama periode waktu 2013-2017, Amerika Serikat merupakan negara pengekspor senjata terbesar di dunia, dengan peningkatan ekspor sebesar 4% sejak periode tahun
2008-2012
Dengan mencegah peralatan militer (termasuk senjata kecil dan senjata ringan) agar tidak sampai ke tangan
teroris, diktator, dan penjahat, ATT akan membantu mitra dan sekutu Amerika Serikat dalam mengupayakan perlindungan terhadap hak asasi manusia,
mempromosikan demokrasi
yang stabil, dan membangun keamanan dan masyarakat yang produktif (Kimball, 2011). Kesepakatan
atas ATT didapatkan dengan persetujuan yang disponsori oleh negara anggota
PBB, termasuk Amerika Serikat,
dan ditandatangani oleh 130 negara, yang kemudian diadopsi oleh PBB sebagai perjanjian yang mengikat. ATT mewajibkan negara untuk mengatur secara terikat dengan hukum dalam
hal membatasi perdagangan senjata sesuai dengan ATT, karena negara memiliki otoritas tertinggi.
Pemerintah tetap menjadi penyedia utama
keamanan masyarakat dan negara. Ini adalah hak dan tanggung jawab kedaulatan
negara yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum. Untuk
melaksanakan tugasnya secara efektif, anggota militer diizinkan menggunakan
berbagai persenjataan yang diperoleh melalui produksi nasional maupun melalui
impor. Eksportir dan importir
senjata perlu memastikan senjata yang ada diransfer dan disimpan dengan aman, dan tidak jatuh ke tangan
yang salah (United Nations, 2012). Pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin
keamanan publik dan memiliki kepentingan untuk menyediakan keamanan bagi warga
negaranya. Oleh sebab itu, setiap negara harus bisa memastikan
bahwa senjata yang dimiliki secara pribadi tidak masuk
ke dalam perdagangan bebas.
Meskipun telah menunjukkan dukungannya terhadap ATT, Amerika Serikat belum meratifikasi ATT sejak ditandatanganinya persetujuan perjanjian tahun 2013. Bahkan, pada tahun 2019 Amerika Serikat menyatakan
pengunduran diri dari perjanjian tersebut. Keputusan Amerika Serikat
mengundurkan diri dari ATT dapat merusak kredibilitas ATT, melemahkan kemitraan
internasional, bahkan menghilangkan kepercayaan negara-negara lain terhadap
Amerika Serikat. Berdasarkan paparan latar belakang di atas, pertanyaan
penelitian yang diangkat dalam tulisan ini adalah �Mengapa Amerika Serikat mengundurkan diri dari Arms Trade Treaty (ATT)
pada tahun 2019?�. Penelitian ini akan menganalisis faktor yang
mempengaruhi keputusan Amerika Serikat mengundurkan diri dari ATT meskipun
sejak awal mendukung terbentuknya perjanjian tersebut.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Amerika
Serikat dalam mengambil suatu keputusan kebijakan luar negeri, secara khusus
terhadap ATT. Penelitian ini ditujukan untuk menelusuri proses negara mengambil
suatu keputusan sehingga dapat dijadikan sebagai suatu kebijakan luar negeri.
Adapun signifikansi dari penelitian ini adalah secara teoritis untuk menambah
literasi mengenai proses perumusan kebijakan luar negeri oleh suatu negara,
dalam hal ini adalah Amerika Serikat, khususnya terkait dengan perdagangan
senjata internasional. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan
informasi mengenai dinamika kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap
perjanjian Internasional. Sedangkan secara empirik penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bahan pertimbangan atas kebijakan terkait dengan ATT.
Suatu negara menerima, mendukung, dan
meratifikasi suatu perjanjian internasional sebagai wujud kesediaan negara
untuk patuh pada hukum internasional yang berlaku. Kesediaan untuk patuh
terhadap hukum internasional tersebut terwujud dalam kebijakan luar negeri yang
menjadi pedoman dalam negeri. Sebagai negara great power, kebijakan luar
negeri Amerika Serikat merupakan suatu hal menarik untuk didiskusikan oleh para
peneliti, terutama atas respon yang diberikan terhadap perjanjian luar negeri.
Berdasarkan literatur terdahulu mengenai kebijakan Amerika Serikat terhadap
ATT, tinjauan pustaka berikut dibagi menjadi dua kategori, yaitu sikap Amerika
Serikat terhadap perjanjian internasional dan kepentingan ATT bagi negara.
Kajian yang pertama memberi fokus pada
sikap Amerika Serikat terhadap perjanjian internasional. Pengaruh suatu negara
dalam membentuk suatu perjanjian ditentukan oleh kekuatan dan independensinya.
Kekuatan adalah kemampuan untuk membentuk isi perjanjian dan menekan untuk
penerimaannya dan independen merupakan kemampuan untuk mengejar kepentingan
sendiri tanpa tunduk pada tekanan orang lain. Amerika Serikat merupakan negara
yang memiliki kemampuan luar biasa dalam mendorong perjanjian dan mempengaruhi
negara-negara lain untuk mendukung perjanjian tersebut. Meskipun ada
negara-negara kuat dan independen selain Amerika Serikat yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap adapsi dan pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut,
namun tidak seperti Amerika Serikat, negara-negara tersebut hanya dapat
mempengaruhi perjanjian tersebut melalui ratifikasi
Setiap negara di dunia tidak memiliki
kewajiban untuk meratifikasi atau bahkan menandatangani suatu perjanjian, namun
sebagian besar negara tersebut tetap melakukannya
Amerika Serikat dikenal sebagai negara
yang memiliki catatan paling buruk di dunia terhadap ratifikasi perjanjian.
Dari sembilan perjanjian inti tentang hak asasi manusia yang diadopsi oleh PBB,
Amerika Serikat hanya meratifikasi tiga perjanjian. Amerika Serikat merupakan
satu-satunya negara industri yang gagal meratifikasi konvensi tentang
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu Amerika Serikat juga
menarik diri dari the Iran Nuclear Deal dan Paris Agreement,
meninggalkan beberapa organisasi atau badan internasional seperti Dewan Hak
Asasi Manusia PBB dan WHO, atau melumpuhkan pihak lain seperti WTO (Farah,
et.al., 2023; Jeong, 2017; Peake, 2017; Jones
& Marsh, 2014). Sikap Amerika Serikat tersebut memiliki implikasi
yang penting terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Pada kajian kedua, difokuskan kepada
kepentingan ATT bagi negara-negara. ATT merupakan perjanjian multilateral yang
berupaya untuk memberikan standar internasional terhadap pengaturan perdagangan
senjata internasional untuk meningkatkan ketelitian proses pengawasan nasional
dan meminimalkan penjualan senjata yang akan berkontribusi pada pelanggaran hak
asasi manusia, konflik, atau praktik kriminal. Tidak ada batasan terhadap
jumlah atau jenis senjata yang dijual, namun perjanjian tersebut berupaya untuk
meningkatkan akuntabilitas dan transparansi atas penjualan yang terjadi. Dalam
penerapan yang ideal, negara akan membuat daftar kontrol nasional yang
transparan dan menahan penjualan senjata kepada pihak yang melanggar hukum
humaniter internasional, atau pihak yang tidak dapat mengontrol tujuan
akhirnya. ATT membebankan suatu kewajiban yang mengikat dalam hukum
internasional kepada negara-negara yang menandatangani dan meratifikasinya
Banyak negara pihak yang berargumentasi
bahwa pembicaraan mengenai transfer senjata terlalu sensitif, baik karena alasan politik atau keamanan, atau bahwa hal tersebut akan
menghalangi eksportir besar lainnya untuk bergabung
dengan ATT. Namun ketika menutup mata menjadi
praktik standar dalam pertemuan ATT, aspirasi awal yang mendorong proses Perjanjian ini � dan tertanam
dalam teksnya � menjadi
tidak masuk akal dan mengikis
kredibilitas instrumen tersebut
Karena besarnya volume transfer senjata global AS dan karena
model AS turut mempengaruhi
ATT, pengendalian ekspor senjata AS mempunyai konsekuensi di luar kebijakan luar negeri AS terhadap dinamika konflik di seluruh dunia dan penerapan ATT yang sedang berlangsung. Fleksibilitas
peraturan ekspor senjata AS memastikan bahwa sistem kontrol
ekspor AS akan kesulitan menerapkan pembatasan yang berarti terhadap pengiriman senjata ke zona konflik
Amerika Serikat
merupakan negara yang mendukung
perlindungan terhadap kemanusiaan, dan menjadi negara dengan tingkat ekspor senjata tertinggi di dunia. Dibentuknya
ATT merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan
kepentingan Amerika Serikat
dalam mendukung perlindungan terhadap kemanusiaan, mempromosikan demokrasi yang stabil, dan membangun keamanan dan masyarakat yang produktif
(Kimball, 2011). Namun, adanya
fleksibilitas dalam aturan ATT tidak dapat menjamin kontrol ekspor senjata Amerika Serikat kepada daerah-daerah konflik
Berdasarkan temuan kajian literatur
yang telah dilakukan, terdapat kajian yang membahas sikap Amerika Serikat
terhadap perjanjian internasional. Namun, kajian tersebut menekankan pada
konsekuensi atas sikap Amerika Serikat terhadap perjanjian-perjanjian tersebut,
dan belum terdapat kajian yang membahas secara spesifik mengenai faktor-faktor
yang menyebabkan Amerika Serikat mundur dari persetujuan ATT. Kajian mengenai
kebijakan luar negeri Amerika Serikat penting dilakukan untuk dapat memahami
dinamika kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap perjanjian
internasional yang disepakati secara global. Untuk dapat melihat faktor-faktor
yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat tersebut digunakan
kerangka analisis decision making process
theory, sehingga terlihat faktor utama yang mempengaruhi keputusan Amerika
Serikat mengundurkan diri dari ATT pada tahun 2019.
Kebijakan luar
negeri suatu negara erat kaitannya dengan kepentingan nasional negara tersebut.
Kepentingan nasional dapat dikatakan sebagai konsep dasar dalam menganalisis
dan melihat arah politik luar negeri suatu negara yang direfleksikan melalui
kebijakan luar negerinya. Secara umum, Joshua Goldstein menyatakan bahwa
kebijakan luar negeri merupakan serangkaian strategi yang direncanakan dan
diterapkan oleh suatu negara dalam mengambil tindakan dan melancarkan aksinya
di dalam politik internasional (Goldstein, 1999). Selain itu, Mark R. Amstutz
menyatakan lebih lanjut bahwa kebijakan luar negeri dianggap sebagai explicit
and implicit actions of governmental officials designed to promote national
interests beyond a country�s territorial boundaries, yang memberikan arti
bahwa kebijakan luar negeri didasarkan pada tindakan pemerintah dalam mencapai
kepentingan nasional yang melalui batas wilayah dari negara lain, dengan kata
lain kebijakan luar negeri suatu negara akan memberikan dampak bagi negara lain
di luar teritorinya (Jemadu, 2014). Setiap negara memiliki tujuan untuk
mencapai kepentingan nasionalnya masing-masing, dan untuk mencapai hal tersebut
dibutuhkan kebijakan luar negeri yang dianggap sesuai untuk mencapai
kepentingan tersebut.
Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi keputusan Amerika Serikat mengundurkan diri dari ATT digunakan
teori decision making process oleh William D. Coplin.
Menurut Coplin untuk mengambil suatu keputusan atau kebijakan luar negeri dibutuhkan sebuah proses yang mempertimbangkan berbagai hal, sehingga keputusan
yang diambil oleh seorang aktor dapat menguntungkan
dan mampu memenuhi kepentingannya
Suatu keputusan atau kebijakan luar negeri yang dibuat oleh suatu negara dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama
kondisi politik domestik. Kondisi politik dalam negeri berpotensi untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri
Sumber:
Coplin (1971)
Kondisi politik domestik merupakan hubungan antara pengambil kebijakan luar negeri dengan aktor-aktor politik dalam negeri
Bureaucratic
influencer
mengacu kepada para individu dan organisasi yang ada di dalam badan pemerintah dan memiliki akses langsung kepada para pengambil keputusan dengan memberikan informasi-informasi penting terkait dengan kebijakan yang akan diambil. Partisan
influencer merupakan partai-partai
politik atau kelompok politik yang membawa aspirasi dari masyarakat untuk diambil dalam
pertimbangan pada pembuatan
suatu kebijakan. Interest
influencer merupakan kelompok
yang memiliki kepentingan
yang sama, akan tetapi tidak memiliki
kekuatan yang besar untuk dapat dikatakan
sebagai suatu partai politik. Sebagian besar motif dari kelompok ini adalah
kepentingan ekonomi, namun hal tersebut
tidak selalu menjadi dasar berkumpulnya
interest influencer. Kesamaan etnis dapat menjadi
salah satu dasar dari berkumpulnya kelompok interest influencer, yang menggunakan cara-cara seperti pendanaan finansial, kritik dan kecaman untuk mempengaruhi
para pengambil kebijakan luar negeri. Mass influencer adalah
opini publik yang dibentuk oleh media massa dan digunakan oleh para pengambil keputusan dan para policy influencer untuk menggiring opini dalam mendukung
atau kecaman yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan
Salah satu faktor domestik
yang menentukan pembuatan kebijakan luar negeri suatu negeri suatu negara adalah keputusan aktor individu, yaitu pemimpin negara sebagai pembuat keputusan. Pada tahun 2019,
Amerika Serikat memutuskan untuk keluar dari ATT setelah menyatakan
persetujuannya dengan menandatangani perjanjian tersebut pada tahun 2013. Keputusan
tersebut dikeluarkan oleh Presiden Trump pada 26 April 2019, yang menyatakan bahwa
Amerika Serikat menarik tanda tangannya dari ATT, dengan alasan untuk
melindungi kepentingan Amerika Serikat, membela kedaulatan dan hak
konstitusional Amerika Serikat, terutama pada Amandemen Kedua, mengenai hak
untuk membawa senjata. Keputusan Presiden Trump mundur dari ATT sejalan dengan
pendekatan kebijakan luar negeri pemerintahannya, yang secara konsisten
menyerang multilateralisme dan menantang hukum internasional (Olabuenaga,
2019). Meskipun demikian, hal ini berbeda dengan pernyataan Presiden Obama
sebelumnya, yang berpendapat bahwa perjanjian tersebut konsisten dengan Amandemen
Kedua, mendukung ATT dan mempertimbangkan untuk meratifikasi ATT sebagai suatu
hukum nasional yang sah dan berlaku serta memiliki kekuatan yang mengikat, serta
mendorong negara-negara lain untuk membawa standar sesuai dengan standar
Amerika Serikat (The White House, 2016).
Penundaan ratifikasi ATT bahkan setelah adanya rekomendasi pertimbangan
proses ratifikasi dari Presiden Obama kepada Senat Amerika Serikat menunjukkan
bahwa dalam pengambilan suatu keputusan kebijakan luar negeri Amerika Serikat,
dukungan dari policy influencer dibutuhkan dan memberikan pengaruh yang
cukup kuat dalam pengambilan keputusan. Policy influencer, khususnya bureaucratic influencer dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat memiliki andil yang besar.
Kedua, situasi ekonomi dan militer domestik. Faktor ekonomi dan militer mempengaruhi
pembentukan suatu kebijakan luar negeri, karena negara memiliki perilaku yang
bergantung pada perdagangan dan kemampuan militernya. Negara yang memiliki kemampuan
ekonomi rendah, terutama dalam hal produksi barang, cenderung mengharapkan arus
impor dari negara lain. Selain itu, negara membutuhkan dukungan militer untuk mengamankan
wilayah dan kedaulatan negara, sehingga negara harus memiliki pasukan militer
yang mumpuni, serta memiliki ketersediaan senjata yang memadai. Adanya keuntungan
ekonomi dalam perdagangan senjata menjadi salah satu faktor pendukung mundurnya
Amerika Serikat dari ATT.
Kapabilitas militer dan ekonomi dari suatu negara turut menentukan
pengambilan kebijakan luar negeri. Penafsiran dari kapasitas ekonomi harus
mencakup tentang kemakmuran dari suatu negara, sejauh mana negara dapat
memenuhi kebutuhan rakyatnya, sejauh mana negara dapat memenuhi kebutuhan
rakyatnya, dan juga mencakup tentang pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Dalam
bidang militer terdapat tiga aspek dari kekuatan dan kelemahan militer yang
harus mencakup dalam analisis pembuatan suatu kebijakan luar negeri, yaitu
kapasitas negara tersebut dalam bidang militer, tingkat ketergantungan negara
pada sumber luar negeri, dan kestabilan militer dalam negeri
Ketiga, konteks internasional. Penentuan arah kebijakan luar negeri suatu
negara juga dipicu oleh konteks internasional yang memiliki tiga elemen
penting, yaitu geografis, ekonomis, dan politis. Lingkungan internasional
setiap negara terdiri atas lokasi yang didudukinya, dalam kaitannya dengan
negara-negara lain dalam sistem itu, serta hubungan ekonomi yang berkaitan
dengan pola perdagangan dan politis yang berkaitan dengan pola aliansi antar
negara. Konteks internasional merupakan hal-hal yang terjadi di luar negara dan diluar kontrol negara. Faktor geografis merupakan keterkaitan baik dalam hal
politis maupun ekonomis dari negara-negara dalam lingkup geografis
yang sama, sedangkan faktor ekonomis dipandang sebagai arus barang dan jasa yang mempengaruhi ketergantungan antara satu negara dengan negara lainnya, sehingga turut memainkan peran penting dalam
menentukan kebijakan politik luar negeri
Tulisan ini akan menjabarkan pengaruh faktor kondisi politik domestik
Amerika Serikat dalam mengambil keputusan untuk keluar dari ATT pada tahun
2019.
Metode penelitian kualitatif digunakan untuk menganalisis keputusan Amerika
Serikat mengundurkan diri dari ATT. Penelitian kualitatif merupakan penelitian
yang menekankan pada proses dan pemaknaan atas realitas sosial yang tidak diuji
dan diukur secara ketat dari segi kuantitas ataupun frekuensi (Neuman, 2014).
Fokus dari penelitian kualitatif adalah bagaimana gejala sosial dibentuk dan
diberi makna. Tujuan dari penggunaan metode kualitatif adalah untuk memperoleh
pemahaman mendalam tentang suatu fenomena, kenyataan, dan peristiwa yang dapat
dipahami jika peneliti mempelajari hal tersebut secara mendalam dan tidak
terbatas pada pemahaman mendasar. Melalui penelitian kualitatif, penulis dapat
membahas suatu hal tertentu secara mendalam dengan mengumpulkan data yang
terkait.
Penelitian ini menggunakan teknik riset dan studi pustaka dalam pengumpulan
data primer dan sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada dokumen-dokumen resmi yang didapat dari institusi resmi terkait
ATT dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap perjanjian luar negeri
lainnya. Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah data ataupun informasi
yang didapatkan dari buku, artikel jurnal, surat kabar, ataupun media
elektronik resmi yang kredibel. Setelah mengumpulkan data tersebut,
proses triangulasi dilakukan
untuk menguji keabsahan data. Peneliti melakukan perbandingan antara data yang diperoleh dengan temuan yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian yang telah diajukan.
Pada tanggal
26 April 2019, Presiden Amerika Serikat,
Donald Trump, mengumumkan bahwa
Amerika Serikat akan menghapus tanda tangan yang dibubuhkan oleh John
Kerry pada bulan Spetember
2013 selaku Menteri Luar Negeri saat
itu, dari ATT
��������������� ATT
merupakan perjanjian internasional pertama yang mengikat secara hukum untuk mengatur
perdagangan internasional senjata konvensional, mulai dari senjata
ringan hingga tank, jet tempur, dan kapal perang. ATT menetapkan standar umum untuk
mengatur transfer senjata internasional. Sejak Desember 2014 ATT mulai berlaku dengan 105 negara menjadi pihak dalam
perjanjian dan 33 negara lainnya
telah menandatangani perjanjian. Amerika Serikat ikut serta menandatangani ATT
pada September 2013, namun Senat tidak pernah meratifikasinya
Dalam memutuskan suatu
kebijakan luar negeri konstitusi Amerika Serikat membagi kekuasaan pada tiga cabang
pemerintahan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif
Pasal I Konstitusi menjabarkan kewenangan Kongres dalam urusan luar
negeri, termasuk kewenangan
untuk mengatur perdagangan dengan negara asing, menyatakan perang, membentuk dan mendukung Angkatan darat, menyediakan dan meemlihara
Angkatan laut, dan membuat peraturan untuk pemerintahan dan pengaturan
Angkatan darat dan laut. Konstitusi juga membuat dua kewenangan presiden untuk urusan luar
negeri, yaitu membuat perjanjian dan menunjuk diplomat,
bergantung pada persetujuan
Senat
Kemudian Pasal II
Konstitusi menyatakan bahwa presiden diberikan kewenangan untuk membuat
perjanjian dan menunjuk duta besar dengan saran dan persetujuan dari Senat,
dimana perjanjian memerlukan persetujuan dua pertiga senator yang hadir, dan
pengangkatan duta besar memerlukan persetujuan mayoritas yang lebih sederhana.
Presiden mengandalkan klausul lain untuk mendukung tindakan kebijakan luar
negeri mereka, khususnya memberikan kekuasaan eksekutif dan peran panglima
tertinggi Angkatan darat dan laut pada jabatan tertentu. Kongres telah
mengesahkan undang-undang yang memberikan kewenangan tambahan kepada eksekutif
untuk bertindak atas isu-isu kebijakan luar negeri tertentu
Berdasarkan decision
making process yang dikemukakan oleh Coplin
Salah satu cara agar sebuah kelompok kepentingan dapat mencapai kepentingannya adalah dengan meyakinkan
para pemilik kekuasaan penting di Amerika Serikat. Kelompok kepentingan memberikan dukungan kepada para politisi atau calon politisi
yang dianggap mampu menyampaikan kepentingannya di Kongres. NRA memberikan dukungan kepada politisi, baik Senat maupun Representative,
yang diharapkan dapat mewakili kepentingan kelompok dalam isu terkait senjata,
yaitu kemudahan dalam peredaran, kepemilikan, dan penggunaan senjata serta menghalangi
adanya kontrol yang lebih ketat untuk
senjata. Dukungan yang diberikan NRA kepada para politisi membentuk suatu hubungan antara Kongres dan Kelompok yang memberikan kemudahan dalam meloloskan hukum maupun peraturan yang menjadi fokus dari
kelompok kepentingan tersebut. NRA memiliki sumber daya untuk
mempengaruhi penilaian Kongres, berupa dana yang memadai dan dukungan electoral
dari lebih dari 5 juta anggota
yang tersebar di seluruh
negara bagian Amerika. Selain itu,
NRA merupakan suatu kelompok yang memiliki anggota dengan pengaruh kuat di Washington yang saling mendukung, sehingga apabila seorang politisi Senat dapat bergabung
di dalamnya, maka dapat memperluas relasi dan kemungkinan untuk mendapat dukungan politik.
Cabang-cabang politik Amerika Serikat sering berselisih pendapat mengenai kebijakan luar negeri, terutama saat presiden berasal
dari partai yang berbeda dengan pimpinan setidaknya satu majelis Kongres.
Pada November 2014 PBB mengumumkan bahwa ATT yang telah diadopsi oleh majelis umum pada 2013 akan berlaku dalam jangka
waktu 90 hari, karena telah memenuhi
syarat minimum ratifikasi, yaitu 50 ratifikasi. Penolakan dilakukan oleh Amerika Serikat dengan adanya pernyataan dari legislatif bahwa ATT melanggar hak warga negara Amerika Serikat dan Amandemen Kedua, serta conventional arms
transfer policy
Terdapat perbedaan pendapat
di antara para pemegang kekuasaan di Amerika Serikat, yang mengakibatkan
semakin menjauhnya Amerika dari ratifikasi ATT. Amerika Serikat tidak menemukan
keuntungan dalam meratifikasi ATT, dan merasa terhalangi dalam kepentingannya
dalam transfer senjata. Perubahan pandangan Amerika Serikat terhadap ATT
disebabkan adanya pengkajian ulang terhadap teks ATT yang pada awalnya dianggap
dapat membantu Amerika Serikat dalam menjalankan kepentingannya, namun dapat
berpotensi melanggar Amandemen Kedua, kedaulatan serta kepentingan nasional
Amerika Serikat terhadap negara sekutu.
Pada pemerintahan Presiden
Obama, hubungan antara Presiden dan Kongres tidak terlalu kondusif. Meskipun
presiden memiliki kekuasaan eksekutif, namun berdasarkan Konstitusi, pembuatan
undang-undang merupakan kewenangan dari Kongres, dan presiden hanya mampu
memprakarsai usulan dan inisiatif. Penolakan Kongres untuk meratifikasi ATT
terus berlanjut, hingga pada tahun 2019 Presiden Trump menyatakan bahwa Amerika
Serikat menarik tanda tangannya dari ATT dan mundur dari perjanjian tersebut.
Pernyataan tersebut diungkapkan Presiden Trump pada konferensi tahunan NRA
dengan menandatangani surat yang meminta Senat untuk mengembalikan ATT ke
Gedung Putih
Tindakan para Senat yang menolak ratifikasi
ATT sejak tahun 2013 hingga pernyataan Presiden Trump yang memilih untuk
mengundurkan diri dari ATT, tidak lepas dari pengaruh para policy influencer.
Para Senat paham bahwa NRA memiliki sumber daya dan kemampuan untuk
mempengaruhi penilaian Kongres. Untuk itu para Senat mencari dukungan dari
kelompok kepentingan tersebut dengan mempermudah legislasi yang akan mewujudkan
kepentingan mereka. NRA akan meyakinkan orang-orang yang memiliki posisi dalam
pemerintahan agar dapat mempengaruhi pemerintah. Dengan sumber daya dan
kemampuan yang dimiliki, NRA berusaha mempengaruhi pemerintah dengan
mempengaruhi orang-orang yang memiliki posisi di pemerintahan. Para anggota
Senat yang membutuhkan electoral support kemudian membantu mewujudkan
kepentingan dari NRA, dengan menolak ratifikasi ATT. Kemudian, pada tahun 2019,
Presiden Trump turut serta menolak dan mengundurkan diri dari ATT, dengan
menandatangani surat permintaan pengembalian ATT pada konferensi tahunan NRA.
KESIMPULAN
Keputusan Amerika Serikat
untuk keluar dari ATT diungkapkan oleh Presiden Trump pada pertemuan tahunan
NRA tahun 2019. Sejak Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry
menandatangani ATT pada tahun 2013, Amerika Serikat belum meratifikasi
perjanjian tersebut. Pada pertemuan tahunan NRA tersebut Presiden Trump
menandatangani pesan yang meminta Senat untuk menghentikan proses ratifikasi
ATT.
Pengunduran diri Amerika
Serikat dari ATT dikarenakan adanya pengaruh internal dalam pengambilan
keputusan atas kebijakan luar negeri. Faktor internal yang sangat mempengaruhi
keputusan Amerika Serikat adalah pengaruh dari policy interest, yaitu
NRA sebagai kelompok kepentingan yang menganggap bahwa ATT akan memberi batasan
pada penjualan senjata domestik Amerika Serikat, serta melanggar Amandemen
Kedua. Sumber daya dan kemampuan yang dimiliki oleh NRA dalam mempengaruhi
orang-orang di pemerintahan menjadi salah satu faktor domestik yang
mempengaruhi keputusan Amerika Serikat mengundurkan diri dari ATT.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani,
R. (1957). Mendajung dalam taufan: ichtisar dan ichtiar politik luar negeri Indonesia 1956. Jakarta: Endang.
Abramson, J., & Webb, G. (2019,
May 1). U.S. to quit Arms Trade Treaty. Retrieved from Arms Control
Association:
https://www.armscontrol.org/act/2019-05/news/us-quit-arms-trade-treaty
Adelman,
Kenneth L. (1984). Arms control with and without agreement. Foreign Affairs, 63
(2), 240-263.
Auerswald,
David, Forrest Maltzman. (2003). Policy making through advice and consent:
treaty consideration by the United States senate. Journal of Politics, 65 (4),
1097-1110.
Blanton,
Shannon Lindsey. (2005). Foreign policy in transition? human rights, democracy,
and U.S. arms exports. International Studies Quarterly, 49 (4), 647- 667.
Böller, Florian. (2021). Brakeman or booster? Presidents, ideological
polarization, reciprocity, and the politics of US arms control. International
Politics, 59 (4), 725-748.
Bromley,
Mark. Neil Cooper, Paul Holtom. (2012). The UN Arms Trade Treaty: arms export
controls, the human security agenda and the lessons of
history. International Affairs, 88 (5), 1029-1048.
Chappell, B. (2019, April 26). Trump
moves to withdraw U.S. from U.N. Arms Trade Treaty. Retrieved from NPR: https://www.npr.org/2019/04/26/717547741/trump-moves-to-withdraw-u-s-from-u-n-arms-trade-treaty
Casey-Maslen, S. (2021). Arms control
and disarmment law. United Kingdom: Oxford University Press.
Coplin, W. D. (1971). Foreign policy
decision-making. United States: Markham Pub. Co.
Culleton, B. (2024, March 14). State
Government Affairs: What are policy influencer groups and why should you engage
with them? Retrieved from MultiState:
https://www.multistate.us/insider/2024/3/14/what-are-policy-influencer-groups-and-why-should-you-engage-with-them
Erickson, Jennifer L.
(2023). Demystifying the �gold standard� of arms export controls: US arms
exports to conflict zones. Global Policy, 14 (1), 131-138.
Farah, P. D., Gruszczynski, L.,
Menkes, M., & Bilkova, V. (2023). Introduction: mapping the crisis of
multilateralism. In P. D. Farah, L. Gruszczynski, M. Menkes, & V. Bilkova, The
Crisis of Multilateral Legal Order Causes, Dynamics, and Implications (pp.
1-18). New York: Routledge.
Foreign Policy Association. (2018,
April 17). How U.S. foreign policy is made. Retrieved from Foreign Policy
Association:
https://www.fpa.org/features/index.cfm?act=feature&announcement_id=45&show_sidebar=0
Fukui,
Yasuhito. (2015). The arms trade treaty: Pursuit for the effective control of
arms transfer. Journal of Conflict and Security Law, 20 (2), 301- 321.
Goldstein,
J. (1999). International relations. New York: Longman.
Hartung, W. D. (1992). Curbing the
arms trade: from rhetoric to restraint. World Policy Journal, 9(2), 219-247.
Jemadu, A. (2014). Politik global dalam teori dan praktik. Jakarta: Graha Ilmu.
Jeong, G.-H.
(2017). The supermajority core of the US
Senate and the failure to join the League of Nations. Public Choice, 173,
325-343.
Jones, C. M., & Marsh, K. P.
(2014). The odyssey of the comprehensive nuclear-test-ban treaty Clinton,
Obama, and the politics of treaty ratification. Nonpoliferation Review, 21(2),
207-227.
Kanter, A. S. (2020). The failure of
the United States to ratify the CRPD. In E. J. Kakoullis, & K. J. (eds.), Recognising
Human Rights in Different Cultural (pp. 97-132). Singapore: Palgrave Macmillan.
Kelley,
Judith G., Jon, C.W. Pevehouse. (2015). An opportunity cost theory of US treaty
behavior. International Studies Quarterly, 59 (3),
531-543.
Kimball,
D. G. (2011, August). America and the arms trade treaty. Retrieved from Arms Control
Association: https://www.armscontrol.org/act/2011-08/america-arms-trade-treaty
Kimball,
D. G. (2017, August). The arms trade treaty at a glance.
Retrieved from Arms Control Association:
https://www.armscontrol.org/factsheets/arms_trade_treaty
Krutz, G. S., & Peake, J. S.
(2009). Treaty Politics and the Rise of Executive Agreements: International
Commitments in a System of Shared Powers. Ann Arbor: MI: The University of
Michigan Press.
Lantis, J. S. (2009). The Life and
Death of International Treaties. New York: Oxford University Press.
Lustgarten,
Laurence. (2015). The arms trade treaty: achievements, failings, future.
International and Comparative Law Quarterly, 64 (3), 569- 600.
Masters, J. (2017, March 2). U.S.
foreign policy powers: Congress and the President. Retrieved from Council on
Foreign Relations:
https://www.cfr.org/backgrounder/us-foreign-policy-powers-congress-and-president
Mikkelson, D. (2010, May 22). U.N.
Arms Trade Treaty. Retrieved from Snopes:
http://www.snopes.com/politics/guns/untreaty.asp
Milewicz, K. M., & Snidal, D.
(2016). Cooperation by treaty: the role of multirateral powers. International
Organization, 70(4), 823-844.
Neuman,
L. W. (2014). Social research methods: qualitative and quantitative approaches,
7th ed. Harlow: Pearson.
NRA. (n.d.). A brief history of the
NRA. Retrieved from National Rifle Association:
https://home.nra.org/about-the-nra/
Olabuenaga, P. A. (2019, May 8). Why the arms trade treaty matters - and why
it matters that the US is walking away. Retrieved from Just Security:
https://www.justsecurity.org/63968/why-the-arms-trade-treaty-matters-and-why-it-matters-that-the-us-is-walking-away/
Ozga.
Deborah A. (2003). The reluctant giant of arms control. Security Dialogue, 34
(1), 87-102.
Peake, J. S. (2013). The Domestic
Politics of US Treaty Ratification: Bilateral Treaties from 1949-2012. Clemson
University, Department of Political Science. Chicago: Clemson University.
Pytlak,
Allison. (2020). Are arms trade treaty meetings being used to their full potential?. Global Responsibility to Protect, 12 (2),
156-177.
Singadilaga, D. (1973). Politik luar
negeri Indonesia: suatu esai
popular. Bandung: Alumni.
SIPRI.
(2018). Trends in international arms transfer, 2017. Solna: SIPRI.
Skidmore,
David. (2005). Understanding the unilateralist turn in U.S. foreign policy.
Foreign Policy Analysis, 1 (2), 207-228.
Stavrianakis, A. (2016). Legitimising
liberal militarism: politics, law and war in the Arms Trade Treaty. Third World
Quarterly, 37(5), 840-865.
Stohl, R. (2017). Understanding the
conventional arms trade. Nuclear Weapons and Related Security Issues (pp. 1-8).
New York: AIP Publishing.
Stohl, R. (2019, May 3). Trump unsign
the Arms Trade Treaty: how did we get here? Retrieved from War On The Rocks:
https://warontherocks.com/2019/05/trump-unsigns-the-arms-trade-treaty-how-did-we-get-here/
Stohl, R. (2020, April 26). Unhappy
anniversary: the US 'unsign' the Arms Trade Treaty a year ago. Retrieved from
Defense One:
https://www.defenseone.com/ideas/2020/04/unhappy-anniversary-us-unsigned-arms-trade-treaty-year-ago/164914/
The
White House. (2016, December 09). Message to the senate � arms trade treaty.
Retrieved from The White House President Barack Obama: https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-office/2016/12/09/message-senate-arms-trade-treaty
United
Nations. Arms Trade Treaty, https://thearmstradetreaty.org/hyper-images/file/ATT_English/ATT_English.pdf?templateId=137253
United Nations. (2012, June 8). The
arms trade treaty. Retrieved from United Nations Office for Disarmament Affairs
(UNODA): https://www.un.org/disarmament/att/
Wahal, A. (2022, January 7). On
International Treaties, the United States Refuses to Play Ball. Retrieved June
7, 2023, from Council on Foreign Relations:
https://www.cfr.org/blog/international-treaties-united-states-refuses-play-ball#:~:text=Arms%20Trade%20Treaty&text=Concerns%20that%20the%20ATT%20would,limits%20on%20domestic%20gun%20sales