KEDUDUKAN KARYAWAN SEBAGAI
KREDITUR PREFEREN AKIBAT PENETAPAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG SUATU
PERUSAHAAN
Benyamin
Purba1, �John Pieries2,
Wiwik Sri Widiarty3
Universitas Kristen Indonesia
Email : [email protected]
Kata kunci: pandemi Covid-19, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, debitur, kreditur, hak karyawan. Keywords: Covid-19 pandemic, Postponement of Debt Payment Obligations, debtor, creditor, employee rights. |
|
ABSTRAK |
|
Pandemi Covis-19 menyebabkan perekonomian di berbagai sektor mengalami dampak yang signifikan sehingga banyak perusahaan tidak dapat beroperasi secara normal dan berisiko mengalami kebangkrutan. Krisis ini berdampak negatif pada karyawan yang kehilangan hak-hak mereka. Dalam konteks ini, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menjadi pilihan bagi karyawan untuk mendapatkan kepastian hukum atas hak-hak yang belum dipenuhi. PKPU merupakan mekanisme yang diberikan pengadilan kepada debitur untuk merundingkan utang dengan krediturnya, baik untuk membayar sebagian atau seluruh utang. Proses PKPU harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, termasuk persetujuan dari pengurus yang ditunjuk. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsekuensi hukum antara perusahaan sebagai debitur dan karyawan sebagai kreditur dalam PKPU. Metode yang diterapkan adalah yuridis normatif dengan analisis terhadap undang-undang dan teori hukum yang relevan. Selama PKPU, debitor tidak dapat mengalihfungsikan aset tanpa izin, dan tidak dapat membayar utang di luar proses ini hingga tercapai homologasi. Begitu pula, kreditur tidak dapat menagih utang selama proses berlangsung. Kesimpulannya, PKPU menjadi langkah hukum penting bagi karyawan untuk menuntut pemenuhan hak-hak mereka dari perusahaan. The Covid-19 pandemic has significantly impacted the economy in various sectors, leaving many companies unable to operate normally and at risk of bankruptcy. This crisis adversely affects employees who lose their rights. In this context, Postponement of Debt Payment Obligations (PDPO) emerges as an option for employees to gain legal certainty regarding their unmet rights. PDPO is a mechanism provided by the court for debtors to negotiate their debts with creditors, either by paying part or all of the debt. The PDPO process must adhere to applicable legal provisions, including approval from appointed administrators. This study aims to analyze the legal implications between companies as debtors and employees as creditors within the PDPO framework. The method used is normative juridical, focusing on relevant laws and legal theories. During the PDPO, the debtor cannot transfer assets without permission and cannot pay debts outside this process until homologation is achieved. Similarly, creditors cannot collect debts during this period. In conclusion, PDPO is a vital legal step for employees to demand the fulfillment of their rights from the company. |
|
Ini adalah artikel
akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA . This is an open access article under the CC BY-SA license. |
Seperti yang diketahui akibat pandemi
covid-19 sangat mempengaruhi perekonomian segala sektor yang menyebabkan banyak
perusahaan yang tidak dapat menjalankan transaksi perusahaan secara normal dan
akibat krisis ini juga berdampak pada karyawan-karyawan sehingga mereka tidak
memperoleh haknya untuk mendapatkan hak mereka sebagai karyawan seperti
biasanya (Alfiani
& Mulyati, 2022). Keadaan tersebut membawa para karyawan untuk
menempuh Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) agar mendapatkan kepastian
hukum dari hak mereka yang belum di peroleh dari perusahaan akibat pihak
perusahaan juga tidak memberikan solusi atau jalan keluar dari keadaan tersebut
(Rifqi,
2020).
PKPU diatur dalam Bab III, Pasal 222
hingga Pasal 294, dan berfungsi sebagai mekanisme bagi debitor untuk menawarkan
pembayaran utang kepada kreditor, baik sebagian maupun seluruhnya, sebagai
solusi penyelesaian sengketa kepailitan (Casanova,
2017). Berbeda dari kepailitan, PKPU memiliki tujuan
khusus untuk memberikan ruang bagi debitor dalam mengatasi kendala pembayaran
tanpa harus menghentikan aktivitas usahanya (Hartini,
2020). Sebelum diakomodasi dalam Undang-Undang No. 37
Tahun 2004, konsep ini dikenal dengan nama Penundaan Pembayaran (Bachry
& Nrangwesti, n.d.). Istilah tersebut pertama kali diatur melalui
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998, yang kemudian
disahkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Penundaan Pembayaran dirancang
untuk membantu debitor menjaga keberlangsungan usahanya meskipun menghadapi
kesulitan finansial, sehingga memungkinkan mereka melanjutkan operasional
bisnis dan melunasi kewajiban kepada kreditor dalam jangka waktu tertentu (Pahsyah,
2023).
PKPU merupakan fasilitas hukum yang
diberikan pengadilan kepada debitor sebagai solusi untuk menyelesaikan
utang-piutang melalui kesepakatan perdamaian dengan kreditor (Yudha et
al., 2022). Proses ini mencakup pembayaran sebagian atau
seluruh utang dan dilaksanakan sesuai tahapan yang diatur oleh undang-undang
serta ketentuan pengadilan (SIAHAAN,
2023). Pasal 222 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa �permohonan PKPU dapat diajukan oleh
debitor yang memiliki lebih dari satu kreditor. Tujuannya adalah untuk
mengajukan rencana perdamaian yang mencakup tawaran pembayaran, baik secara
parsial maupun penuh, kepada para kreditor sebagai langkah penyelesaian yang
lebih damai dan konstruktif.�
PKPU terdiri dari dua tahapan: PKPU
Sementara (PKPU-S), yang berlangsung maksimal 45 hari, dan PKPU Tetap (PKPU-T),
yang dapat berlangsung hingga 270 hari. Selama periode PKPU, debitor dapat
mengajukan rencana perdamaian kepada kreditor melalui pemungutan suara. Rencana
perdamaian ini dapat mencakup restrukturisasi utang, baik sebagian maupun
keseluruhan. Setelah disetujui dalam rapat melalui pemungutan suara, Hakim
Pengawas wajib mengeluarkan keputusan untuk mengesahkan perdamaian tersebut,
lengkap dengan alasan yang jelas, dalam sidang yang bersangkutan.
Dalam pengabulan PKPU Sementara, hakim
pada dasarnya wajib menyetujui permohonan selama persyaratan administratif dan
bukti-bukti yang diajukan telah lengkap. Putusan terkait permohonan PKPU ini
bersifat final dan tidak dapat diajukan upaya hukum lebih lanjut (Hakim
& Pratiwi, 2022). Oleh karena itu, efektivitas PKPU sebagai upaya
pencegahan kepailitan sangat bergantung pada itikad baik serta sikap kooperatif
dari debitor dan kreditor, sehingga rencana perdamaian dapat tercapai sebagai
solusi penyelesaian utang (Pasaribu,
2018).
Dalam proses PKPU sendiri terdiri atas dua
jenis: PKPU Sementara, yang diberikan oleh hakim saat sidang pertama permohonan
PKPU, dan PKPU Tetap, yang merupakan hasil perundingan antara debitor dan
kreditor dalam Rapat Kreditor (Agitha
& Afriana, 2021). Dengan struktur seperti ini, putusan Majelis
Hakim untuk memberikan PKPU Sementara pada dasarnya berfungsi sebagai langkah
awal untuk mempertemukan debitor dan kreditor guna membahas kemungkinan
tercapainya perdamaian atau pemberian PKPU Tetap (Maniah,
2022). Jika PKPU Tetap disetujui, jangka waktu
penundaan beserta perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 hari sejak putusan
PKPU Sementara diucapkan. Dengan kata lain, proses PKPU harus menghasilkan
homologasi atau persetujuan terhadap proposal perdamaian dalam batas waktu 270
hari (Junaedi,
2022). Jika perdamaian tidak tercapai dalam periode
tersebut, maka perusahaan akan dinyatakan pailit dan masuk ke dalam tahap
kepailitan.
Rencana perdamaian menjadi elemen kunci
dalam proses PKPU, berfungsi sebagai sarana utama untuk mencapai
restrukturisasi utang melalui kesepakatan antara debitor dan kreditor.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 268 Ayat (1) UUK & PKPU, �setelah rencana
perdamaian diajukan kepada panitera, hakim pengawas wajib menentukan batas
waktu terakhir penyampaian tagihan kepada pengurus, serta menetapkan jadwal dan
waktu pembahasan rencana perdamaian dalam rapat kreditor.� Jeda waktu antara
tenggat pengajuan tagihan dan pelaksanaan rapat perdamaian minimal adalah 14
hari. Proses ini hanya dapat berjalan jika debitor telah menyerahkan rencana
perdamaian. Dalam rapat tersebut, pengurus dan, jika diperlukan, ahli akan
memberikan laporan tertulis terkait rencana perdamaian yang diajukan, menjadi
dasar pembahasan dan keputusan kreditor. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan
PKPU sangat bergantung pada terstruktur dan transparannya proses pembahasan
rencana perdamaian.
Pembahasan rencana perdamaian dimungkinkan
berubah apabila debitor berpendapat bahwa rencana perdamaian yang telah dibuat
sebelumnya tidak sesuaidengan daftar tagihan yang dibuat oleh pengurus.
Sebagaimana diketahui tidak menutup kemungkinan pada tenggang waktu pengajuan
tagihan muncul kreditor baru sehingga untuk mengakomodasi munculnya kreditor
baru tersebut, debitor dapat mengubah rencana perdamaiannya. Perubahan ini
dapat dirundingkan dengan para kreditor yang hadir dalam rapat pembahasan
rencana perdamaian. Rencana perdamaian dengan demikian memiliki kemungkinan
diterima maupun ditolak oleh para kreditor. Sering kali kemungkinan yang
demikian menemui jalan buntu. Untuk memberi kepastian hukum, Undang-Undang
Kepailitan & PKPU memberikan penyelesaian berupa rapat pemungutan suara
atas perjanjian perdamaian. Melalui rapat pemungutan suara akan ditemukan suara
mayoritas dan minoritas atas penolakan atau penerimaan perjanjian perdamaian.
Secara umum, hubungan utang-piutang
biasanya didasarkan pada perjanjian, dan jika salah satu pihak gagal memenuhi
kewajibannya, dapat diajukan gugatan wanprestasi. Namun, kreditor sering
memilih opsi lain, yaitu mengajukan permohonan pailit. Pilihan ini dianggap
lebih efisien dan memberikan tekanan lebih besar pada debitor karena
konsekuensi hukumnya yang signifikan. Ancaman kepailitan sering kali mendorong
debitor untuk mencari solusi, seperti mengajukan perdamaian atau mengajukan
PKPU, guna mencegah perusahaannya jatuh dalam kepailitan. PKPU sendiri dapat
diajukan oleh debitor maupun kreditor sebagai upaya untuk menghindari
kepailitan. Dalam hal ini, terdapat dua jenis PKPU: PKPU tangkisan, yang
diajukan untuk menghalangi proses kepailitan, dan PKPU murni, yang diajukan
atas inisiatif para pihak sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Ayat (2)
UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.�
METODE PENELITIAN
Penulis
menganalisis data dengan memanfaatkan metode analisis kualitatif, yaitu menarik
kesimpulan dengan cara mengumpulkan data, yang kemudian dikaitkan dengan teori
dan konsep, serta dapat menjawab permasalahan yang dijabarkan dalam perumusan
masalah dalam tulisan ini untuk memahami penyelesaian kasus melalui PKPU.
Akibat Hukum Bagi Debitor Dan Kreditor Dalam
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
1. Akibat Hukum Debitur�
Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Perdamaian
menjadi solusi yang paling diandalkan dalam proses PKPU, karena memungkinkan
kreditor dan debitor menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil dan
menguntungkan kedua belah pihak. Melalui mekanisme ini, kreditor dapat menerima
pembayaran atas tagihannya, sementara debitor diberi kesempatan untuk
mempertahankan dan melanjutkan usahanya. Perdamaian umumnya dapat terlaksana
jika nilai aset debitor melebihi jumlah utang yang dimilikinya, menjadikannya
alternatif utama dibandingkan keputusan kepailitan.
Perdamaian
dalam proses PKPU harus diajukan sebelum debitor dinyatakan bangkrut. Apabila
proposal perdamaian yang diajukan selama proses PKPU ditolak oleh kreditor,
maka proposal tersebut tidak dapat diajukan kembali dalam proses kepailitan,
menegaskan pentingnya strategi dan negosiasi yang matang selama tahap PKPU.
Dalam
hukum kepailitan dikenal prinsip structured creditors, yang mengatur pembagian
kreditor berdasarkan kedudukan dan hak masing-masing. Setiap kreditor dapat
memiliki nilai piutang yang berbeda, dengan sebagian memegang hak jaminan
tertentu, sementara lainnya hanya memiliki hak sebagai pemegang jaminan umum.
Prinsip ini digunakan untuk mendukung tujuan utama kepailitan, yaitu memastikan
pemenuhan utang debitor kepada kreditor secara tertib dan adil, sehingga
menghindari perebutan klaim di antara para kreditor. Berbeda dengan hukum
perdata yang hanya mengelompokkan kreditor dalam dua kategori berdasarkan
preferensi, hukum kepailitan membagi kreditor menjadi tiga jenis: kreditor
separatis, yang memiliki hak atas barang jaminan tertentu; kreditor preferen,
yang memiliki hak istimewa di atas kekayaan debitor; dan kreditor konkuren,
yang haknya hanya berdasarkan sisa aset setelah pemenuhan hak kreditor
separatis dan preferen. Pembagian ini memastikan adanya struktur yang jelas
dalam proses penyelesaian utang.
Kreditor
dalam hukum kepailitan dikelompokkan berdasarkan apakah mereka memiliki hak
kebendaan atas piutangnya atau tidak. Kreditor separatis adalah kreditor yang
memiliki hak kebendaan atas utangnya, yang memberi mereka hak untuk
mengeksekusi objek jaminan. Sebaliknya, kreditor konkuren tidak memiliki hak
kebendaan, melainkan hanya memiliki jaminan umum yang dijelaskan dalam Pasal
1131 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua harta milik debitor, baik bergerak
maupun tidak, menjadi jaminan bagi pembayaran utang. Namun, kreditor konkuren
memiliki posisi yang lebih rendah dibandingkan kreditor lainnya. Sementara itu,
kreditor preferen adalah kreditor yang diberikan hak prioritas dalam pemenuhan
utang menurut ketentuan Undang-Undang. Meskipun tidak memiliki hak kebendaan,
kreditor preferen memiliki posisi lebih tinggi dari kreditor konkuren karena
mendapat prioritas khusus dalam pembayaran utang.
Terkait
dengan proses perdamaian dalam PKPU, yang memerlukan persetujuan berdasarkan
kuorum suara lebih dari setengah dari kreditor separatis dan kreditor konkuren,
terdapat ketidakjelasan mengenai hak suara kreditor preferen, karena
undang-undang tidak mengaturnya secara eksplisit. Meskipun Pasal 281 Ayat (1)
UU Kepailitan dan PKPU tidak memberikan hak suara kepada kreditor preferen,
perjanjian perdamaian yang disahkan tetap mengikat semua kreditor, termasuk
kreditor preferen. Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan, karena kreditor
preferen juga memiliki kepentingan dalam menentukan persetujuan atau penolakan
terhadap rencana pembayaran yang diajukan. Namun, meskipun tidak diberikan hak
suara secara formal, dalam praktiknya, proposal perdamaian yang disusun oleh
debitor seringkali mencakup mekanisme pembayaran yang memperhatikan kreditor
preferen. Dengan cara ini, kreditor preferen, termasuk buruh, tetap mendapat
prioritas dalam pembayaran utang dan tidak terabaikan.
Dalam
proses PKPU, hanya kreditor separatis dan konkuren yang memiliki hak suara,
karena kedudukan kreditor konkuren yang lebih rendah membuat mereka berisiko
hanya menerima pembayaran yang sangat minim atau bahkan tidak sama sekali jika
aset debitor telah habis terbagi. Di sisi lain, kreditor separatis berusaha
mengatur hak suara mereka untuk menghindari eksekusi terhadap objek jaminan
yang dapat merusak kelangsungan usaha debitor, guna memastikan tercapainya
perdamaian. Setelah kesepakatan tercapai, langkah selanjutnya yang krusial
adalah homologasi, yaitu pengesahan oleh hakim atas rencana perdamaian yang
telah disepakati oleh debitor dan kreditor.
Rencana
perdamaian dapat ditetapkan apabila mayoritas kreditor menyetujuinya dan kuorum
suara terpenuhi sesuai dengan Pasal 281 UU Kepailitan dan PKPU. Pengadilan juga
memiliki hak untuk menolak pengesahan perdamaian jika terdapat alasan yang sah,
sesuai dengan Pasal 285 ayat (2). Putusan homologasi yang disahkan memiliki
kekuatan mengikat sesuai Pasal 286 UU Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan
bahwa �perdamaian yang disahkan mengikat seluruh kreditor, kecuali kreditor
yang menolak rencana perdamaian dan telah menerima kompensasi yang sebanding
dengan nilai jaminan terendah.� Ini juga berarti bahwa keputusan homologasi
tetap mengikat kreditor preferen meskipun mereka tidak memiliki hak suara dalam
rapat pemungutan suara.
PKPU dapat
berakhir jika terbukti adanya kolusi antara debitor dan kreditor tertentu yang
berusaha memanipulasi hasil pemungutan suara demi kepentingan pribadi mereka,
tanpa memperhatikan hak-hak kreditor lainnya. Hal serupa juga berlaku jika
debitor menciptakan kreditor fiktif yang memberikan suara yang menguntungkan
pihak debitor dan merugikan kreditor yang sah. Situasi ini dapat menyebabkan
kegagalan dalam mencapai perdamaian, sehingga Pengadilan Niaga menolak
pengesahan perdamaian dan PKPU berakhir, dengan debitor dinyatakan pailit.
Penting
untuk dicatat bahwa setelah pengadilan menolak pengesahan perdamaian dan
debitor dinyatakan pailit, debitor tidak lagi dapat mengajukan rencana
perdamaian. Pasal 292 UU Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa �jika pailit
diputuskan berdasarkan alasan dalam Pasal 285, Pasal 286, atau Pasal 291,
debitor tidak berhak mengajukan rencana perdamaian lagi.� Debitor yang merasa
tidak puas dengan keputusan tersebut dapat mengajukan kasasi sesuai Pasal 285
ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU, namun hal ini tidak berlaku pada keputusan
penolakan pengesahan perdamaian, di mana pengajuan kasasi tidak diperkenankan.
Proses
pembahasan dan pemungutan suara terkait rencana perdamaian merupakan tahap
krusial dalam PKPU. PKPU bertujuan untuk merestrukturisasi utang piutang
melalui perdamaian, dan Rencana Perdamaian dan Pembayaran Utang (RPPS) menjadi
sarana utama untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan Pasal 268 Ayat (1) UU
Kepailitan dan PKPU, �setelah rencana perdamaian diserahkan kepada panitera,
hakim pengawas harus menetapkan batas waktu untuk penyampaian tagihan kepada
pengurus, serta menentukan tanggal dan waktu rapat kreditor yang akan membahas
dan memutuskan rencana perdamaian.� Batas waktu antara penyampaian tagihan
terakhir dan RPPS minimal 14 hari. Oleh karena itu, pengajuan tagihan dan RPPS
hanya dapat dilakukan setelah debitor mengajukan rencana perdamaian. Dalam
rapat pembahasan tersebut, pengurus dan ahli (jika ada) akan memberikan laporan
tertulis mengenai rencana perdamaian yang diajukan. Sesuai Pasal 278 Ayat (2)
UU Kepailitan, debitor juga berhak untuk memberikan keterangan terkait rencana
perdamaian selama proses perundingan berlangsung.
Pembahasan
rencana perdamaian dimungkinkan berubah apabila debitor berpendapat bahwa
rencana perdamaian yang telah dibuat sebelumnya tidak sesuai dengan daftar
tagihan yang dibuat oleh pengurus. Sebagaimana diketahui tidak menutup
kemungkinan pada tenggang waktu pengajuan tagihan muncul kreditor baru sehingga
untuk mengakomodasi munculnya kreditor baru tersebut, debitor dapat mengubah
rencana perdamaiannya. Perubahan ini dapat dirundingkan dengan para kreditor
yang hadir dalam rapat pembahasan rencana perdamaian. Rencana perdamaian dengan
demikian memiliki kemungkinan diterima maupun ditolak oleh para kreditor.
Sering kali kemungkinan yang demikian menemui jalan buntu. Untuk memberi
kepastian hukum, Undang-Undang Kepailitan & PKPU memberikan penyelesaian
berupa rapat pemungutan suara atas perjanjian perdamaian. Melalui rapat
pemungutan suara akan ditemukan suara mayoritas dan minoritas atas penolakan
atau penerimaan perjanjian perdamaian.
Nantinya,
hasil rapat pemungutan suara akan disahkan melalui sidang homologasi oleh
Pengadilan. Pemungutan suara atas rencana perdamaian ditentukan oleh keputusan
suara dari para kreditor yang ditentukan oleh tagihan yang telah didaftarkan
kepada pengurus selama proses verifikasi tagihan. Secara hukum, pengurus
diberikan wewenang untuk menentukan apakah tagihan diakui atau diabantah. Kreditor
memiliki hak untuk membantah piutang yang diakui atau dibantah oleh pengurus,
baik sebagian maupun seluruhnya. Proses pengakuan dan bantahan tersebut, baik
yang dilakukan oleh pengurus maupun kreditor, harus dicatat secara jelas dalam
daftar piutang.
Pasal 291
jo. Pasal 170 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU memberikan hak kepada kreditor
untuk membatalkan perdamaian PKPU jika mereka merasa dirugikan, karena mereka
seharusnya menerima pembayaran atas piutang yang dimiliki dari debitor. Semua
jenis kreditor, termasuk buruh atau karyawan yang berstatus sebagai kreditor
preferen, dapat mengajukan pembatalan perdamaian, mengingat perjanjian
perdamaian yang disahkan bersifat mengikat bagi seluruh kreditor.
Dalam
proses PKPU, debitor kehilangan kendali atas pembayaran utangnya karena ia
tidak dapat melakukan tindakan pengelolaan atau penguasaan terhadap harta
miliknya tanpa persetujuan dari pengurus. Kewajiban debitor yang muncul setelah
dimulainya PKPU hanya dapat dibebankan pada harta debitor jika hal tersebut
memberikan keuntungan bagi debitor. Selain itu, debitor tidak diwajibkan untuk
membayar utangnya, kecuali untuk utang yang diatur dalam Pasal 144. Selama
proses PKPU berlangsung, pembayaran utang lainnya tidak dapat dilakukan,
kecuali jika pembayaran dilakukan secara proporsional kepada seluruh kreditor
sesuai dengan jumlah piutang masing-masing.
Akibat
hukum yang timbul bagi debitor selama proses PKPU adalah penangguhan terhadap
semua perkara yang melibatkan debitor. Apabila terdapat gugatan mengenai
pembayaran piutang yang telah diakui oleh debitor, dan penggugat tidak memiliki
kepentingan langsung terkait pelaksanaan hak terhadap pihak ketiga, hakim dapat
menunda putusan tersebut hingga proses PKPU selesai. Di sisi lain, debitor yang
tengah menjalani proses PKPU tidak dapat bertindak sebagai penggugat atau
tergugat dalam perkara yang melibatkan hak atau kewajiban atas harta
kekayaannya tanpa persetujuan dari pengurus. Semua tindakan yang melibatkan
harta kekayaan debitor harus mendapat izin pengurus, yang menegaskan bahwa
selama PKPU, segala urusan hukum terkait harta debitor akan ditunda sampai
proses tersebut berakhir.
2.�� Akibat
Hukum Kreditur Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Berdasarkan
Pasal 222 Ayat (2) UUK & PKPU, dasar dari seorang debitor untuk mengajukan
permohonan PKPU secara volunteer adalah dengan mwngakui didepan persidangan
bahwa dirinya secara teknical telah insolvent, sehingga tidak lagi mampu untuk
membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Debitor
pemohon PKPU juga mendalilkan dan membuktikan bahwa status dari
ketidakmampuannya tersebut adalah bersifat temporer, dan masih memiliki potensi
untuk kembali sehat apabila diberikan kesempatan untuk penyelesaian utang
melalui skema restrukturisasi. Sehingga sama halnya, apabila permohonan PKPU
diajukan oleh kreditor terhadap debitor, maka permohonan PKPU tersebut haruslah
juga berisikan alasan-alasan yang mendasari kreditor untuk mengajukan, sebagai
berikut :
a.�� Mengapa
kreditor pemohon PKPU lebih memilih penyelesaian sengketa utang piutangnya
terhadap debitor melalui PKPU, daripada melalui permohonan pernyataan pailit;
b.�� Gambaran
umum tentang keadaan keuangan debitor yang diketahui kreditor pemohon PKPU
sebagai dasar untuk meyakinkan mengapa utang-utang debitor lebih patut
diselesaikan melalui skema restrukturisasi utang;
b.�� Dukungan
kreditor pemohon PKPU terhadap debitor agar skema penyelesaian utang melalui
restrukturisasi utang berhasil dicapai.
Dengan
pengertian lain, ketiga poin tersebut seharusnya menjadi bagian dalil dalam
posita kreditor dalam permohonan PKPU nya. Artinya, kreditor tidak sekedar
hanya mendalilkan kekhawatirannya terhadap ketidakmampuan debitor untuk
melunasi salah satu utangnya yang terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih,
karena terhadap fakta tersebut kreditor dapat langsung mengajukan permohonan
pernyataan pailit terhadap debitor tersebut berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UUK
& PKPU. Sangat perlu dipertanyakan motif dari pengajuan PKPU, bila seorang
kreditor mengajukan permohonan PKPU akan tetapi kreditor tersebut juga yang
paling lantang untuk menyuarakan penolakan-penolakan, walau hanya terhadap
usulan perpanjangan waktu PKPU. Sikap tersebut sebenarnya merefleksikan maksudnya
untuk mempercepat dilakukannya voting terhadap usulan perdamaian. Dengan
kekuatan mayoritas kreditor yang dimilikinya, baik ats porsi suaranya sendiri
atau bersama dengan kreditor-kreditor afiliasinya ataupun kreditor yang
memiliki kesamaan tujuan agar debitor tersebut segera dinyatakan insolvent,
akan menolak setiap setiap usulan perdamaian yang diajukan oleh debitor dalam
PKPU, sehingga akan mengakibatkan debitor tersebut insolvent tanpa adanya lagi
kewenangan untuk melakukan upaya hukum kasasi ataupun Peninjauan Kembali.
Sebelumnya,
pelaksanaan Pasal 217 Ayat (6) UUK & PKPU No.4 Tahun 1998 yang mengatur
bahwa dalam hal diperiksanya permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU
secara bersamaan, akan mengakibatkan Pengadilan Niaga memeriksa permohonan PKPU
terlebih dahulu, hanya mempengaruhi dasar hak debitor untuk mengajukan
permohonan PKPU secara volunteer atau non volunteer, atau sebagai reaksi
debitor terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor terhadapnya.
Pada Pasal
240 Ayat (1), diatur bahwa selama proses PKPU, �debitor tidak dapat melakukan
tindakan pengelolaan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tanpa
persetujuan dari pengurus. Sementara itu, Ayat (3) mengatur bahwa kewajiban
debitor yang timbul setelah dimulainya PKPU, yang dilakukan tanpa persetujuan
pengurus, hanya dapat dibebankan kepada harta debitor apabila hal tersebut
menguntungkan harta debitor.� Berdasarkan ketentuan ini, jelas bahwa pengurus
memiliki wewenang untuk mengawasi dan memberikan persetujuan terhadap tindakan
hukum debitor. Namun, ada pengecualian bagi perkara-perkara debitor yang sudah
diperiksa sebelumnya, yang tidak terhenti atau terganggu oleh proses PKPU.
Sementara
itu, selama proses PKPU berlangsung, pemeriksaan atas semua perkara yang
melibatkan debitor akan ditunda. Artinya, apabila terdapat gugatan mengenai
pembayaran piutang yang diakui debitor, dan penggugat tidak memiliki
kepentingan langsung dalam menuntut pelaksanaan hak terhadap pihak ketiga,
hakim dapat menunda putusan hingga proses PKPU selesai. Selain itu, debitor
yang tengah menjalani proses PKPU tidak boleh bertindak sebagai penggugat atau
tergugat dalam perkara yang berkaitan dengan hak atau kewajiban atas harta
kekayaannya, kecuali mendapatkan persetujuan dari pengurus. Hal ini karena
segala tindakan terkait pengelolaan harta debitor harus dilakukan dengan izin
dari pengurus.
Konsekuensi
dari putusan PKPU bagi kreditor adalah tidak dapat menagih utang selama kepada
debitor masa PKPU, karena tidak ada kewajiban pada debitor untuk membayarnya.
Di sisi lain, bagi debitor, PKPU mengakibatkan seluruh kekayaannya berada di
bawah pengawasan pengurus, sehingga debitor kehilangan kendali atas pengelolaan
atau peralihan harta kekayaannya tanpa persetujuan pengurus. Setiap tindakan
yang diambil debitor terhadap harta kekayaannya tanpa izin pengurus tidak akan
memiliki kekuatan hukum. Jika debitor bertindak di luar kewenangannya, pengurus
berhak untuk mengambil langkah-langkah guna melindungi aset debitor dari
potensi kerugian. Dengan demikian, PKPU secara signifikan membatasi kewenangan
dan kewajiban debitor sepanjang proses berlangsung.
Apabila
setelah proses PKPU debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam perjanjian
perdamaian, maka kreditor berhak mengajukan permohonan untuk membatalkan
perdamaian tersebut sesuai dengan Pasal 291 UU Kepailitan dan PKPU. Namun,
sebelum pembatalan terjadi, debitor diberikan kesempatan untuk pembuktian
terhadap pemenuhan dalam perjanjian tersebut. Pengadilan memberikan waktu
hingga 30 hari bagi debitor untuk melaksanakan kewajiban tersebut setelah
diberikan kelonggaran.
Jika
setelah kelonggaran tersebut debitor masih gagal memenuhi kewajibannya,
kreditor dapat mengajukan permohonan pembatalan perdamaian dan permohonan
pernyataan pailit terhadap debitor, sebagaimana diatur dalam Pasal 171 UU
Kepailitan dan PKPU. Terhadap kepailitan yang timbul karena sebab-sebab
ditolaknya pengesahan perdamaian dan pembatalan perdamaian tidak dapat
ditawarkan suatu perdamaian. Berkenaan dengan kepailitan yang timbul karena
pembatalan perdamaian, maka sesuai dengan ketentuan dalam pasal 171 UUK &
PKPU, dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum seperti diatur dalam pasal 11
UUK & PKPU. �Jika upaya hukum tersebut tidak berhasil, maka kepailitan
tersebut diikuti dengan keadaan insolvensi. Setelah permohonan pernyataan
pailit diajukan terhadap debitur, pengadilan akan memberikan putusan atas
permohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 60 hari (Pasal 8 ayat (5)
UUK & PKPU).�
Jika permohonan pailit
diterima, maka Kurator, yang bekerja di bawah pengawasan Hakim Pengawas, akan
mengambil alih dan menyita seluruh harta milik debitor untuk digunakan dalam
pelunasan utang kepada para kreditor. Sehubungan dengan putusan pailit yang terjadi
akibat pembatalan perdamaian, debitor tidak dapat mengajukan upaya hukum atau
menawarkan perdamaian kembali. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 292, yang
melarang pengajuan perdamaian dalam putusan pailit yang diambil berdasarkan
Pasal 285, 286, atau 291. Selain itu, Pasal 293 ayat (1) mengatur bahwa �tidak
ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan ini,
kecuali jika ada ketentuan khusus yang mengaturnya dalam undang-undang.� Dengan
demikian, debitur tidak dapat melakukan perlawanan, sehingga kreditur dapat
melanjutkan proses PKPU.
Dalam hal
ketika hak untuk mengajukan permohonan PKPU diberikan kepada kreditor
berdasarkaan Pasal 222 Ayat (3) UUK & PKPU. Permohonan PKPU yang diajukan
kreditor cenderung tidak lagi genuine, karena tidak lagi semata-mata untuk
tujuan penyelesaian utang debitor melalui skema restrukturisasi utang, akan
tetapi lebih pada upaya untuk mengantisipasi respond debitor yang akan
mengajukan permohonan PKPU bila kreditor memulainya dengan permohonan
pernyataan pailit berdasarkan Pasal 229 Ayat (3) UUK & PKPU.
Jika
debitor mengajukan permohonan PKPU sebagai respons pertama terhadap permohonan
pailit yang diajukan oleh kreditor, maka Pengadilan Niaga akan memprioritaskan
pemeriksaan permohonan PKPU. Pasal 229 Ayat (3) UUK & PKPU mengatur bahwa �jika
permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU diperiksa secara bersamaan,
maka permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu.� Akibatnya, permohonan
PKPU menjadi trend gerakan kreditor tidak hanya untuk mengantisipasi counter
respond debitor, yaitu dengan mengajukan permohonan PKPU terhadap permohonan
pernyataan pailit yang diajukan terhadapnya, akan tetapi juga sangat
berhubungan denga strategi penentuan siapa Pengurus atau Tim pengurus yang akan
diangkat untuk menangani PKPU tersebut. Dengan kalimat lain, kreditor ingin
memastikan bahwa penentuan terhadap penunjukan kurator ataupun pengurus yang
akan diangkat sehubungan dengan kepailitan ataupun PKPU harus ditentukan oleh
kreditor. Fakta tersebut tidak hanya menggeser motif dasar dari pengajuan
permohonan PKPU yang merupakan �strategi pembayaran utang melalui
restrukturisasi utang�, menjadi �strategi untuk cepat dapat mempailitkan
debitor�, akan tetapi juga menjadi ajang menentukan siapa Pengurus yang harus
diangkat untuk menangani PKPU tersebut.
Perdamaian
merupakan solusi yang palimg dicari dalam proses PKPU. Melalui perdamaian,
kreditor dan debitor dapat mencapai penyelesaian atas masalah utang-piutang
dengan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam
hal ini, kreditor menerima pembayaran atas tagihannya, sementara debitor diberi
kesempatan untuk melanjutkan usahanya. Perdamaian akan lebih mungkin tercapai
apabila harta debitor lebih besar dari utangnya. Oleh karena itu, perdamaian
menjadi pilihan utama dibandingkan dengan proses kepailitan. Dalam hukum
kepailitan, dikenal dua jenis perdamaian: perdamaian dalam proses kepailitan
dan perdamaian dalam proses PKPU. Perdamaian dalam proses PKPU wajib diajukan
sebelum debitor dinyatakan pailit. Apabila rencana perdamaian yang diajukan
dalam PKPU ditolak oleh kreditur, debitor tidak memiliki kesempatan untuk
mengajukan perdamaian serupa di tahap proses kepailitan.
Dalam hukum kepailitan, dikenal
prinsip structured creditors, yang mengelompokkan kreditor berdasarkan
kedudukan dan hak-hak yang dimiliki masing-masing. Kreditor memiliki piutang
dengan nilai yang bervariasi, dan sebagian di antaranya memiliki hak jaminan
atas aset debitor. Prinsip ini dirancang untuk memastikan penyelesaian utang
debitor yang memiliki banyak kreditor dilakukan secara tertib, sehingga
menghindari persaingan antar kreditor dan memungkinkan pembagian yang adil.
Berbeda dengan hukum perdata yang hanya membagi kreditor menjadi dua kategori
berdasarkan preferensi, hukum kepailitan mengelompokkan kreditor ke dalam tiga
kategori utama: kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren.
Dalam hukum kepailitan,
kreditor diklasifikasikan berdasarkan keberadaan hak jaminan kebendaan.
Kreditor separatis adalah mereka yang memiliki hak kebendaan (in rem)
atas piutangnya, sehingga berwenang mengeksekusi objek jaminan tanpa terikat
proses kepailitan. Sebaliknya, kreditor konkuren tidak memiliki hak kebendaan
dan hanya mengandalkan jaminan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata,
yang menetapkan bahwa semua aset debitor, baik bergerak maupun tidak bergerak,
menjadi jaminan atas utangnya. Namun, posisi kreditor konkuren berada di bawah
kreditor lainnya dalam prioritas pelunasan. Kreditor preferen, meskipun tidak
memegang hak kebendaan, memiliki hak istimewa berdasarkan undang-undang untuk
menerima pelunasan terlebih dahulu, mendahului kreditor konkuren, karena
diutamakan secara hukum.
Rencana perdamaian dapat
disetujui jika memenuhi syarat kuorum sebagaimana diatur dalam Pasal 281 UU
Kepailitan dan PKPU. Jika kuorum tidak tercapai atau mayoritas kreditor menolak
rencana tersebut dalam rapat pemungutan suara, maka debitor akan dinyatakan
pailit. Selain itu, Pengadilan Niaga juga berwenang menolak pengesahan rencana
perdamaian apabila terdapat alasan yang sesuai dengan Pasal 285 Ayat (2).
Putusan homologasi yang
mengesahkan perdamaian memiliki daya mengikat sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 286 UU Kepailitan dan PKPU. Pasal tersebut menegaskan bahwa perdamaian
yang telah disahkan berlaku bagi semua kreditor, termasuk kreditor preferen dan
mereka yang tidak memberikan suara, kecuali bagi kreditor yang menolak rencana
tersebut dan telah menerima kompensasi setara dengan nilai jaminan terendah.
Keputusan homologasi ini menciptakan kewajiban yang mengikat baik bagi debitor
maupun kreditor.
Namun, jika debitor merasa
dirugikan oleh pengesahan rencana perdamaian, ia berhak mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 285 Ayat (4). Dengan demikian,
mekanisme ini memastikan proses yang adil dan transparan bagi semua pihak yang
terlibat.
Sebelum perjanjian perdamaian
disahkan, debitor tidak diwajibkan melakukan pembayaran utang, dan ketentuan
waktu sebelumnya tidak berlaku lagi. Umumnya, perjanjian perdamaian memberikan
jangka waktu yang cukup panjang untuk memberikan kesempatan kepada debitor
untuk memenuhi kewajibannya, mengingat pemulihan kondisi keuangan yang sedang
terpuruk memerlukan waktu dan upaya yang lebih besar.�
Sebagai contoh, pelaksanaan
perdamaian dengan jangka waktu baru dapat mencakup penjadwalan ulang
(rescheduling) yang diajukan oleh debitor, termasuk pemberian masa tenggang
(grace period). Terdapat dua kemungkinan yang bisa terjadi: pertama, debitor
berhasil memenuhi seluruh ketentuan dalam perjanjian perdamaian, dan kedua,
debitor gagal memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Pada tahap ini, debitor perlu lebih berhati-hati, karena meskipun perdamaian
telah disahkan, ada kemungkinan proses PKPU berakhir dan debitor bisa
dinyatakan pailit jika gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya.
PKPU juga dapat berakhir jika
terungkap adanya kolusi antara debitor dan salah satu kreditor, di mana mereka
bekerja sama untuk memperoleh suara mayoritas yang hanya menguntungkan pihak
mereka tanpa memperhatikan kepentingan kreditor lainnya. Selain itu, penciptaan
kreditor fiktif oleh debitor, yang memberikan suara hanya untuk menguntungkan
debitor, juga bisa terjadi. Situasi seperti ini dapat menggagalkan perdamaian
dalam PKPU dan menyebabkan penolakan dari Pengadilan Niaga.
Perlu dipahami bahwa apabila
Pengadilan menolak untuk mengesahkan perdamaian dan debitor dinyatakan pailit,
debitor tidak diperkenankan untuk mengajukan rencana perdamaian kembali. Hal
ini diatur dalam Pasal 292 UU Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan bahwa
"apabila putusan pailit didasarkan pada alasan yang tercantum dalam Pasal
285, Pasal 286, atau Pasal 291, debitor tidak dapat mengajukan perdamaian
lagi." Bagi debitor yang merasa dirugikan atau tidak puas dengan
pengesahan perdamaian dalam PKPU, mereka dapat mengajukan kasasi sesuai dengan
Pasal 285 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU. Namun, ketentuan ini tidak berlaku
untuk putusan penolakan pengesahan perdamaian, di mana tidak ada kesempatan
untuk mengajukan kasasi.
Proses pembahasan dan
pemungutan suara terhadap rencana perdamaian merupakan langkah krusial dalam
tahapan PKPU. PKPU bertujuan untuk mencapai restrukturisasi utang melalui
perdamaian, dan RPPS berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Berdasarkan Pasal 268 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, �setelah rencana
perdamaian diajukan kepada panitera, hakim pengawas akan menentukan batas waktu
terakhir bagi kreditor untuk menyampaikan tagihan kepada pengurus, serta
menetapkan waktu dan tanggal rapat kreditor yang akan membahas dan memutuskan
rencana perdamaian yang diajukan.� Tenggat waktu antara batas akhir penyampaian
tagihan dan rapat pembahasan perdamaian minimal adalah 14 hari. Dalam rapat
tersebut, pengurus dan ahli (jika ada) memberikan laporan tertulis mengenai
rencana perdamaian, dan debitor berhak untuk menyampaikan penjelasan terkait
rencana tersebut selama perundingan berlangsung, sesuai dengan Pasal 278 Ayat
(2) UU Kepailitan.
Pembahasan rencana perdamaian
dimungkinkan berubah apabila debitor berpendapat bahwa rencana perdamaian yang
telah dibuat sebelumnya tidak sesuai dengan daftar tagihan yang dibuat oleh
pengurus. Sebagaimana diketahui tidak menutup kemungkinan pada tenggang waktu
pengajuan tagihan muncul kreditor baru sehingga untuk mengakomodasi munculnya
kreditor baru tersebut, debitor dapat mengubah rencana perdamaiannya. Perubahan
ini dapat dirundingkan dengan para kreditor yang hadir dalam rapat pembahasan
rencana perdamaian. Rencana perdamaian dengan demikian memiliki kemungkinan
diterima maupun ditolak oleh para kreditor. Sering kali kemungkinan yang
demikian menemui jalan buntu. Untuk memberi kepastian hukum, Undang-Undang
Kepailitan & PKPU memberikan penyelesaian berupa rapat pemungutan suara
atas perjanjian perdamaian.
Melalui rapat pemungutan suara
akan ditemukan suara mayoritas dan minoritas atas penolakan atau penerimaan
perjanjian perdamaian. Nantinya, hasil rapat pemungutan suara akan disahkan
melalui sidang homologasi oleh Pengadilan. Pemungutan suara atas rencana
perdamaian ditentukan oleh keputusan suara dari para kreditor yang ditentukan
oleh tagihan yang telah didaftarkan kepada pengurus selama proses verifikasi
tagihan. Secara hukum, pengurus diberikan wewenang untuk menentukan apakah
tagihan diakui atau diabantah. Baik atas pengakuan maupun bantahan atas tagihan
yang dilakukan oleh pengurus, kreditor dapat menggunakan haknya membantah
piutang yang oleh pengurus seluruhnya atau sebagian.� Seluruh proses pengakuan ataupun bantahan ini
baik oleh pengurus maupun kreditor harus dicatat dalam daftar piutang.
3.�� Kasus � Kasus Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
1)� Apotik AA selaku Pemohon PKPU
terhadap PT. Karya Utama Srhat Sejahtera (Rumah Sakit Martha Friska Medan)
Awal mula kasus ini bergulir
yaitu pada 11 Februari 2022 Apotik AA selaku Pemohon PKPU yang merupakan
supplayer obat-obatan pada Rumah Sakit Martha Friska mengajukan permohonan PKPU
ke Pengadilan Niaga Medan. Bahwa selain Apotik AA sebagai Pemohon PKPU, Termohon
PKPU yaitu PT. Karya Utama Sehat Sejahtera juga memiliki utang kepada kreditor
lainnya termasuk 92 (sembilan puluh dua) karyawan. Utang-utang Termohon PKPU
kepada kreditor lain tersebut akan tetap ada dan tidak hapus sebelum kreditor
yang bersangkutan memberikan Surat Keterangan Lunas. Bahwa Piutang Kreditor
Lainnya juga telah jatuh tempo dan dapat ditagihkan berdasarkan aturan hukum
yang berlaku sehingga syarat Pasal 222 Ayat (1) dan Ayat (3) UUK & PKPU
dapat terpenuhi. Pasal tersebut memberikan kesempatan kepada debitor yang
memiliki lebih dari satu kreditor, atau bahkan kreditor itu sendiri, untuk
mengajukan PKPU jika debitor diperkirakan tidak mampu membayar utang yang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih. Tujuan dari PKPU adalah untuk memberikan waktu
tambahan kepada debitor agar dapat merestrukturisasi utangnya dan mengajukan
rencana perdamaian kepada kreditor. Rencana perdamaian ini dapat berupa tawaran
untuk membayar sebagian atau seluruh utang debitor, yang kemudian akan dibahas
serta disetujui atau ditolak oleh kreditor.�
Mengenai Kreditor Preferen yang
merupakan 92 (sembilan puluh dua) orang karyawan PT. Karya Utama Sehat
Sejahtera yang bekerja di Rumah Sakit Martha Friska diantaranya memiliki
jabatan sebagai Perawat, Receptionist, Kasir, Administrasi, Security, Staf Maintenance,
Supir Ambulance menuntut hak mereka berupa sisa upah/gaji yang dibayarkan
dibawah Upah Minimum Aktivitas Rumah Sakit Swasta sebagai mana termaktub dalam
Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 188.44/13/KPTS/2020 yang seharusnya
para karyawan menerima upah sebesar Rp. 3.544.812,- (tiga juta lima ratus empat
puluh empat ribu delapan ratus dua belas rupiah), namun pada kenyataannya upah
terakhir yang diterima oleh para karyawan sebesar 3.222.557,- (tiga juta dua
ratus dua pulu dua lima ratus lima puluh tujuh rupiah) setelah dikeluarkannya
surat Pemutusan Hubungan Kerja terhadap mereka pada 23 Juli 2020. Adapun alasan
perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap karyawan-karyawannya
karena kerugian perusahaan dan operasional tidak tertutupi selama pandemi
covid-19. Tapi pada kenyataannya Rumah Sakit Martha Friska tetap beroperasional
seperti biasanya dan bahkan menerima karyawan baru, sehingga Pemutusan Hubungan
Kerja terhadap para karyawannya tidak berdasarkan hukum dan bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 164 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
menyatakan, �Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami
kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force
majeur) serta kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit
oleh akuntan publik.� Bahwa Pandemi Covid 19 yang dijadikan Tergugat sebagai
alasan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja belum dapat dianggap sebagai keadaan
Force Majeur yang dimaksud dalam Undang-undang Ketenagakerjaan, karena Force
Majeur atau Keadaan Memaksa diartikan lebih kepada suatu keadaan yang tidak
dapat dihindari lagi dan dampak dari keadaan tersebet dapat mengakibatkan
penutupan terhadap perusahaan yaitu penghentian kegiatan usaha yang dijalankan.
Konsekuensi hukum yang dihadapi
debitor selama masa PKPU salah satunya adalah larangan bagi debitor untuk
mengajukan permohonan pailit, karena tujuan dari PKPU adalah memberikan
kesempatan bagi debitor untuk mencapai perdamaian dengan kreditor. Selama
proses PKPU berlangsung, debitor tidak boleh melakukan tindakan pengelolaan
atau penguasaan harta miliknya tanpa izin dari pengurus yang ditunjuk. Setiap
transaksi yang dilakukan oleh debitor, seperti Rumah Sakit Martha Friska dalam
hal ini, harus dilaporkan kepada pengurus agar tetap diawasi. Jika debitor
melanggar ketentuan ini, pengurus memiliki hak untuk mengambil langkah-langkah
yang diperlukan untuk melindungi harta debitor. Namun, jika tindakan debitor
tersebut menguntungkan harta debitor, maka kewajiban yang timbul akibat
tindakan tersebut dapat dibebankan pada harta debitor.
Pada penjelasan Pasal 239 Ayat
(1), yaitu �setiap 3 (tiga) bulan sejak putusan penundaan kewajiban pembayaran
utang diucapkan pengurus wajib melaporkan keadaan harta Debitor, dan laporan
tersebut harus disediakan pula di Kepaniteraan Pengadilan.� Dalam hal ini
artinya setiap transaksi dari berjalannya Rumah Sakit Martha Friska maka secara
rutin setiap 3 (tiga) bulan sekali mereka harus melaporkan keuangannya kepada
pengurus. Dalam hal ini bertujuan agar pengurus dapat memastikan bahwa cash
flow perusahaan masih berjalan dengan baik untuk dapat menyelesaikat proses
PKPU yang sedang berjalan.
Agar rencana perdamaian dalam PKPU
dapat tercapai maka pembahasan dan pemungutan suara (RPPS) atas rencana
perdamaian dilakukan sebagai salah satubagian penting dalam proses penundaan
kewajiban pembayaran utang. Karena PKPU bertujuan untuk mencapai
restrukturisasi utang piutang melalui perdamaian, RPPS menjadi media untuk
mencapai tujuan tersebut. Sesuai denga ketentuan Pasal 268 Ayat (1) UUK &
PKPU yaitu �apabila rencana perdamaian telah diajukan kepada panitera, hakim
pengawas harus menentukan hari terakhir tagihan harus disampaikan kepada
pengurus serta tanggal dan waktu rencana perdamaian yang diusulkan itu akan
dibicarakan dan diputuskan dalam rapat kreditor yang dipimpin oleh Hakim
Pengawas. Tenggang waktu antara hari terakhir tagihan harus disampaikan kepada
pengurus dengan RPPS paling singkat 14 (empat belas) hari.� Dengan demikian,
jadwal pengajuan tagihan dan RPPS hanya dapat dilakukan apabila debitor telah
mengajukan rencana perdamaian.
Dalam
rencana perdamaian yang diajukan PT. Karya Utama Sehat Sejahtera kepada para
kreditor pada tanggal 10 oktober 2022 di Pengadilan Niaga Medan yang menyatakan
�Rencana perdamaian yang terlampir telah dibuat untuk membantu tercapainya
restrukturisasi secara konsensual dengan para kreditor dan debitor. Rencana
Perdamaian disusun dan disiapkan oleh PIHAK PERTAMA untuk kepentingan
pemungutan suara (voting) kreditor pada rapat kreditor yang diselenggarakan di
Pengadilan Niaga Medan berdasarkan ketentuan�
Pasal 281 Ayat (1) UUK & PKPU dan menjadi satu kesatuan dalam
Perjanjian Perdamaian ini. Serta dalam membuat keputusan, Para Kreditor telah
mempertimbangkan dan menganalisan terhadap Rencana Perdamaian,
ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat serta seluruh informasi yang terdapat
didalam Rencan Perdamaian yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dari Perjanjian Perdamaian ini, dan termasuk seluruh manfaat dan risiko yang
tergantung didalamnya.�� Pada proposal
perdamaian ini pihak debitor merincinkan bahwa tagihan kreditor preferen
terdaftar yang merupakan tagihan dari 92 (sembilan puluh dua) orang dengan
jumlah tagihan Rp 8.932.978.314,- (delapan milyar sembilan ratus tiga puluh dua
juta sembilan ratus tujuh puluh delapan tiga ratus empat belas rupiah) yang
terdiri dari tagihan upah sejumlah Rp 615.157.638,- serta pesangon dan lain
lain sejumlah Rp 8.317.820.676,30,-Skema penyelesaian kreditor preferen
dilakukan dengan cara dan syarat-syarat yaitu setelah proposal perdamaian
disetujui oleh para kreditor preferen dan setelah putusan homologasi di
Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tagihan gaji atau upah sejumlah
Rp 615.157.638,- dibayar lunas dalam tahun 2022. Tagihan sementara atas
pesangon dan lain-lain sejumlah Rp 8.317.820.676,30,- terdiri dari :
a)� Putusan
Mahkamah Agung No. 315K/Pdt.Sus-PHI/2021 terdiri dari 26 orrang sejumlah Rp.
1.724.384.132,00. Penyelesaian pembayaran akan dilakukan setiap akhir bulan,
mulai Januari 2026 dengan cicilan setiap bulan sebesar Rp. 1.500.000,00;
b)� Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Medan No. 71/Pdt-Sus-PHI/2021/PN. Mdn atas nama Almarhun Robert P.H Siahaan sejumlah Rp. 414.000.000,00. Penyelesaian
pembayaran akan dilakukan setiap akhir bulan, mulai januari 2026 sampai dengan Desember 2033 sebesar Rp. 1.500.000,00 setiap
bulan dan Januari 2034 sampai dengan Desember tahun
2034 sebesar Rp. 22.500.000,00 per bulan;
c)�� Putusan Mahkamah Agung No. 27K/Pdt.Sus-PHI/2022 tanggal 25 Januari 2022, amar putusan berbunyi
menolak permohonan kasasi ELSYA TRI SUCI dan kawan-kawan
(25 orang). Sebanyak 18 orang diantaranya tercantum dalam
daftar tagihan sementara dengan jumlah pesangon dll sejumlah Rp.
1.686.350.224,00. Oleh karena itu, tagihan sementara sebanyak 18 orang ini
ditolak (tidak dapat diterima).
d)� Sebanyak
47 orang kreditor preference dengan jumlah tagihan sementara sejumlah Rp.
4.493.086.320,00. Dalam tagihan sementara ini ada yang telah mengajukan gugatan
ke Pengadilan Hubunga Idstrial, yaitu Perkara Nomor 73/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Mdn.
Perkara Nomor 84/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Mdn dan perkara Nomor
85/Pdt.Sus-PHI/2022/PN/Mdn. Jumlah tagihan sementara ini belum ada Putusan
Pengadilan. Oleh karena itu, jumlah tagihan sementara ini ditangguhkan, kaena
menunggu Putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah berkekuatan hukum
tetap. Serta syarat lainnya yaitu pembayaran dilakukan secara tunai pada saat
jatuh tempo pembayaran dan pembayaran harus diterima oleh yang bersangkutan
tidak dapat diwakilkan atau dikuasakan dengan membawa Kartu Tanda Penduduk dan
kartu NPWP. Untuk kreditor yang telah meninggal dunia harus diterima oleh ahli
warisnya dengan membawa Surat Keterangan Ahli Waris, Kartu Tanda Penduduk, dan
kartu NPWP.
2)� PT.
Multiplus Medilab selaku Pemohon PKPU terhadap PT. Permata Ayah Bunda (Rumah
Sakit Permata Bunda)
Rumah
sakit ini didirikan pada Juli 1987 dan resmi dibuka pada 9 Juli 1988. Namun,
akibat pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia, rumah sakit ini
turut terdampak. Puncaknya terjadi pada tahun 2020, di mana berbagai masalah
muncul, seperti tunggakan gaji pegawai yang menyebabkan sejumlah karyawan
melakukan aksi protes. Dampak lainnya adalah diajukannya permohonan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap Rumah Sakit Permata Bunda.
Permohonan PKPU ini diajukan pada 2 Juli 2022 oleh kreditor, yaitu PT.
Multiplus Medilab dan ratusan karyawan rumah sakit yang menuntut pembayaran
hak-hak mereka yang sudah lama tertunda.
Konsekuensi
hukum yang timbul bagi debitor ketika status PKPU diterapkan adalah penghentian
hak kreditor untuk melakukan tindakan eksekusi secara individu guna menagih
utang debitor. Hal ini berarti kreditor tidak dapat lagi secara langsung
memaksa debitor untuk membayar utangnya selama masa PKPU berlangsung. Selain
itu, status hukum debitor sebagai pemilik penuh atas harta kekayaannya juga
dibatasi. Dalam kondisi normal, hak kebendaan memberikan kekuasaan penuh kepada
pemilik terhadap benda atau asetnya, termasuk kemampuan untuk melawan klaim
dari pihak lain. Namun, dalam proses PKPU, kekuasaan debitor atas harta
kekayaannya terbatas oleh aturan yang ada dalam Undang-undang Kepailitan dan
PKPU, yang mengatur bahwa pengelolaan dan penguasaan aset debitor akan diawasi
dan diatur oleh pengurus yang ditunjuk.
Dengan
dimohonkannya PKPU terhadap Rumah Sakit Permata Bunda maka proses persidangan
berjalan selama 9 (sembilan) bulan. Dengan hasil putusan seperti yang tertuang
pada Putusan Nomor 34/Pdt.Sus-PKPU-Homologasi/2022/PN Niaga Mdn dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1.�� Mengabulkan
Permohonan PKPU yang diajukan Pemohon PKPU terhadap PT. Permata Ayah Bunda
seluruhnya;
2.�� Bahwa
Tim Pengurus PT. Permata Ayah Bunda menerima total tagihan seluruh kreditor
adala sejumlah Rp. 114.525.828.301,- (seratus empat belas milyar lima ratus dua
puluh lima juta delapan ratus dua puluh delapan ribu tiga ratus satu rupiah);
3.�� Bahwa
dengan pemungutan suara (voting) yang disetujui 107 (seratus tujuh) kreditor
dan 30 (tiga puluh) kreditor tidak setuju makan Homologasi dapat dijalankan
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku;
4.�� Bahwa
dengan demikian maka� PT. Permata Ayah
Bunda selaku Termohon PKPU harus membayarkan tagihan-tagihan sesuai Daftar
Piutang Tetap (DPT) sesuai nominal yang telah diterima oleh pengurus kepada
para kreditornya sesuai dengan perjanjian perdamaian yang sudah di sepakati;
5.�� Bahwa
skema pembayaran tiap kreditor memiliki tenggat waktu yang berbeda-beda sesuai
yang tercantum pada perjanjian perdamaian.
Dengan
adanya putusan PKPU terhadap Rumah Sakit Permata Bunda tersebut selaku Termohon
PKPU maka Rumah Sakit Permata Bunda wajib patuh terhadap isi putusan dan
menjalankan isi putusan. Karena jika tidak, hal tersebut dapat menyebabkan
Kepailitan jika ada kreditor yang mengajukan Permohonan Pembatalan Homologasi.
Tentu saj hal tersebut dapat menyebkan Termohon PKPU berada dikeadaan Pailit.
Kedudukan Karyawan Sebagai Kreditor� Preferen Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang
1.�� Kedudukan
Karyawan Sebagai Kreditor Preferen
Kreditur preferen adalah
kreditur yang memiliki hak untuk diprioritaskan dalam penerimaan pelunasan
utang dibandingkan kreditur lainnya. Hak ini diberikan kepada kreditur preferen
karena adanya jaminan atau agunan yang diberikan oleh debitor. Namun, sejak
dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013, terjadi
perubahan penting dalam prioritas pembayaran utang. Putusan MK tersebut
menyatakan bahwa �pembayaran upah buruh harus didahulukan atas semua jenis
kreditur, termasuk kreditur separatis, tagihan hak negara, dan badan umum yang
dibentuk oleh pemerintah.� Putusan ini menegaskan bahwa pembayaran hak pekerja,
khususnya upah yang terhutang, harus diutamakan, sementara pembayaran hak-hak
pekerja lainnya juga lebih diutamakan daripada kewajiban terhadap kreditur,
kecuali kreditur separatis yang memiliki jaminan.
Dalam hukum perdata, kreditor
hanya dibagi menjadi dua kategori berdasarkan preferensi, yaitu kreditur yang
memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran lebih dahulu dan kreditur lainnya.
Sementara itu, dalam hukum kepailitan, pembagian kreditor lebih rinci menjadi
tiga kategori: kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren.
Kreditor separatis adalah kreditor yang memiliki hak kebendaan atau hak in rem
atas piutangnya, yang memberinya wewenang untuk mengeksekusi objek jaminannya.
Kreditor konkuren, di sisi lain, tidak memiliki hak kebendaan khusus, tetapi hanya
bergantung pada jaminan umum sesuai dengan Pasal 1131 KUHPerdata, yang
menjadikan semua barang milik debitor sebagai jaminan. Kedudukannya lebih
rendah dibandingkan kreditor separatis. Sedangkan kreditor preferen, meskipun
tidak memiliki jaminan kebendaan, memiliki posisi yang lebih diutamakan dalam
pelunasan utang karena adanya ketentuan undang-undang yang memberi prioritas
kepada mereka.
Beberapa contoh kreditor yang dapat digolongkan sebagai kreditor
preferen antara lain:�
a. Utang gaji buruh atau karyawan yang belum dibayar, yang diatur
dalam Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.�
b. Utang pajak, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) dan
(3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang mengubah Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.�
c. Pemegang polis dan tertanggung asuransi, apabila perusahaan
asuransi mengalami kebangkrutan, yang diatur dalam Pasal 52 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.�
d. Tagihan pabean, yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1) dan (3)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Kreditor preferen meimiliki
posisi yang lebih tinggi dibandingkan kreditor lain, termasuk kreditor
separatis, jika hak mereka dilindungi oleh undang-undang. Contoh hak istimewa
ini adalah utang upah buruh dan utang pajak, yang diatur secara khusus dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Perpajakan. Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 mempertegas prioritas upah buruh di atas semua
kreditor, termasuk kreditor separatis dan kreditor terkait pajak. Dalam PKPU,
persetujuan perdamaian melibatkan pemenuhan kuorum hak suara yang terdiri dari
kreditor separatis dan kreditor konkuren, sebagaimana diatur dalam Pasal 281
ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Namun, pasal ini tidak memberikan hak suara
kepada kreditor preferen, meskipun keputusan perdamaian akan tetap mengikat
mereka.
Meskipun kreditor preferen
tidak memiliki hak suara secara hukum dalam rapat perdamaian, mereka tetap
menjadi bagian yang penting dalam skema penyelesaian utang debitor. Praktik
yang umum dilakukan adalah memasukkan mekanisme pembayaran khusus untuk kreditor
preferen dalam proposal perdamaian yang diajukan oleh debitor. Langkah ini
bertujuan untuk mengakomodasi prioritas kreditor preferen, seperti buruh yang
berhak atas upah, sehingga kepentingan mereka tidak diabaikan meskipun mereka
tidak terlibat langsung dalam proses pengambilan Keputusan.
Putusan Pengadilan Hubungan
Industrial yang sudah berkekuatan hukum tetap memiliki efek hukum yang setara
dengan putusan perdata pada umumnya, yaitu memiliki kekuatan eksekusi. Secara
prinsip, hanya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap yang dapat
dijalankan. Sebuah putusan dapat dianggap memiliki kekuatan hukum tetap apabila
mengandung pengertian mengenai hubungan hukum yang pasti dan tetap antara
pihak-pihak yang terlibat dalam perkara, yang harus dipatuhi dan dipenuhi oleh
pihak tergugat.�
Putusan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap dapat berlanjut ke tahap eksekusi apabila pihak yang kalah
menolak untuk secara sukarela melaksanakan isi putusan. Proses eksekusi ini
dilakukan atas dasar permohonan dari pihak yang menang untuk memastikan
pelaksanaan isi putusan sesuai hukum. Sebagaimana diketahui, pelaksanaan
eksekusi bukanlah hal yang mudah, termasuk dalam kasus eksekusi Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial. Dalam kasus ini, upaya hukum yang diambil oleh
karyawan Rumah Sakit Martha Friska melalui Pengadilan Hubungan Industrial tidak
membuahkan hasil. Beberapa karyawan bahkan telah mengajukan kasasi, namun tetap
tidak mendapatkan pembayaran, meskipun pengadilan telah mengeluarkan anjuran
(aanmaning) hingga dua kali, namun tetap tidak ada solusi. Aanmaning adalah
somasi yang dikeluarkan oleh pengadilan sebagai peringatan kepada pihak yang
kalah untuk melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata yang telah
berkekuatan hukum tetap.
Untuk memastikan bahwa segala
upaya hukum yang telah dilakukan tidak sia-sia, mengingat putusan-putusan yang
sudah berkekuatan hukum tetap dan terbatasnya kemampuan pekerja, para pekerja
akhirnya mengambil jalur hukum lain dengan mengajukan permohonan PKPU terhadap
PT Karya Utama Sehat Sejahtera sebagai Termohon PKPU. Mengingat adanya
kendala-kendala dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai
Pasal 57 UU PHI, pekerja mencari alternatif jalur hukum perdata yang lebih
efektif dan efisien, yaitu dengan mengajukan permohonan PKPU terhadap
perusahaan. Hal ini dilakukan karena perusahaan belum memenuhi kewajiban untuk
membayar hak-hak normatif pekerja, yang pada dasarnya merupakan utang yang
harus dilunasi.
2.�� Kewajiban Debitor Terhadap
Kreditor Preferen Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Penangguhan pembayaran pada
dasarnya hanya berdampak pada kewajiban debitor terhadap kreditor konkuren yang
tidak memiliki jaminan. Namun, jika aset yang menjadi jaminan bagi kreditor
preferen, seperti hak gadai, hak tanggungan, atau bentuk agunan lainnya, tidak
mencukupi untuk melunasi seluruh utang, maka kreditor preferen tersebut akan
beralih status menjadi kreditor konkuren. Dalam kondisi ini, mereka berhak
berpartisipasi dan memberikan suara dalam rapat atau sidang yang berlangsung
selama masa PKPU. Selain itu, penetapan status PKPU secara tetap juga
menghentikan tindakan eksekusi dan penyitaan atas aset yang tidak dijaminkan,
bahkan jika tindakan tersebut berkaitan dengan klaim dari kreditor yang
memiliki hak kebendaan atau hak istimewa lainnya sebagaimana diatur oleh
undang-undang.
Pasal 244 Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU mengatur kedudukan tagihan kreditor yang dijamin dengan hak
jaminan, seperti gadai, fidusia, hak tanggungan, dan hipotek, serta tagihan
yang memiliki hak istimewa. Berdasarkan Pasal 244 Ayat (1), dengan tetap memperhatikan
ketentuan Pasal 246, PKPU tidak berlaku terhadap:�
a. Tagihan yang dijamin dengan gadai, fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau hak agunan kebendaan lainnya;�
b. Tagihan yang mencakup biaya pemeliharaan, pengawasan, atau
pendidikan yang telah jatuh tempo dan wajib dibayarkan, di mana hakim pengawas
harus menentukan jumlah tagihan tersebut, asalkan bukan tagihan dengan hak
istimewa;�
c. Tagihan yang memiliki hak istimewa terhadap benda tertentu milik
debitor atau seluruh harta debitor, yang tidak termasuk dalam Ayat (1) huruf
(b).
Akibat berlangsungnya PKPU,
kreditor yang memiliki hak jaminan tidak dapat melaksanakan eksekusi terhadap
jaminannya hingga periode PKPU berakhir. Demikian pula, kreditor dengan hak
istimewa tidak diizinkan menagih piutangnya lebih awal dibandingkan kreditor
lain. Ketentuan dalam Pasal 246 menyebabkan Pasal 244 Ayat (1) menjadi tidak
efektif bagi kreditor separatis dan kreditor preferen, karena keduanya tidak
dapat mengeksekusi hak-haknya selama masa PKPU. Apabila aset yang dijaminkan,
seperti hak gadai, hak tanggungan, atau bentuk agunan lainnya, tidak mencukupi
untuk melunasi tagihan, kreditor dengan jaminan tersebut akan diberikan
kedudukan sebagai kreditor konkuren, termasuk hak untuk ikut serta dalam
pemungutan suara selama proses PKPU berlangsung.
Dari penjelasan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pemberlakuan PKPU membawa konsekuensi hukum bagi kreditor
preferen dan separatis, di mana kedudukan mereka sementara waktu disamakan
dengan kreditor konkuren, terutama terkait pelaksanaan eksekusi jaminan atau
penagihan utang. Selain itu, jika nilai harta yang dijaminkan tidak cukup untuk
melunasi seluruh tagihan, kreditor separatis akan memperoleh status tambahan
sebagai kreditor konkuren. Dalam hal ini, mereka dapat bersama-sama dengan
kreditor lainnya melakukan tuntutan terhadap sisa kekayaan debitor yang tidak
dibebani hak jaminan.
Dalam PKPU, tujuan utamanya
adalah mencapai homologasi atau kesepakatan perdamaian antara debitor dan
kreditor guna mencegah terjadinya kepailitan. Perdamaian ini diwujudkan melalui
kesepakatan mengenai cara dan waktu pelunasan utang debitor kepada kreditor,
baik secara penuh maupun sebagian. Istilah tawaran pembayaran sebagian atau
seluruh utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004 juga
mencakup konsep "restrukturisasi utang" oleh debitor. Berdasarkan
Pasal 265, debitor memiliki hak untuk mengajukan tawaran perdamaian kepada
kreditor, baik saat mengajukan permohonan PKPU maupun setelahnya. Kemudian,
Pasal 267 menyebutkan bahwa �apabila sebelum putusan pengesahan perdamaian
berkekuatan hukum tetap terdapat putusan pengadilan yang menyatakan PKPU
berakhir, maka rencana perdamaian tersebut menjadi batal. Namun, jika rencana
perdamaian disetujui, Hakim Pengawas wajib melaporkan secara tertulis kepada
Pengadilan Niaga pada tanggal yang telah ditetapkan untuk pengesahan
perdamaian,� sebagaimana diatur dalam Pasal 284. Selanjutnya, pengadilan wajib
memutuskan pengesahan perdamaian beserta alasan-alasannya.
Perdamaian yang disahkan
memiliki kekuatan hukum yang mengikat seluruh kreditor, kecuali kreditor yang
menolak rencana tersebut sesuai dengan Pasal 286. PKPU akan berakhir setelah
putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya,
pengurus diwajibkan untuk mengumumkan berakhirnya PKPU melalui Berita Negara
Republik Indonesia dan minimal dua surat kabar harian.
Pada PKPU PT. Karya Utama Sehat
Sejahtera ini, perjanjian perdamaian disepakati pada tanggal 10 Oktober 2022
dengan beberapa kali perubahan dan revisi dari perjanjian perdamaian
sebelum-sebelumnya yang cukup banyak melaui pro kontra karena banyak ketidaksepakatan
antara debitor dan kreditor. Pada perjanjian perdamaian yang akhirnya
disepakati dari total 92 (sembilan puluh dua) orang� kreditor preferen selaku karyawan terdapat 18
(delapan belas) orang yang tidak diterima untuk menjadi kreditor preferen yang akan
dibayarkan tagihannya dengan alasan bahwa pada tahap kasasi yaitu Putusan
Mahkamah Agung No. 27K/Pdt.Sus-PHI/2022 hasil dari putusannya adalah di tolak.
Maka mengacu pada putusan tersebut debitor juga tidak mengakui tagihan tersebut
atau menolak tagihan dalam perjanjian perdamaian. Dari jumlah tersebut yaitu 92
(sembilan puluh dua) orang karyawan yang terbagi menjadi 4 (empat) putusan
pengadilan yang masuk sebagai kreditor preferen dalam proses PKPU maka ada 74
(tujuh puluh empat) karyawan yang diakui tagihannya dan masuk kedalam
perjanjian perdamaian sehingga bisa mendapatkan restrukturisasi utang yang
jangka waktu pembayarannya sesuai isi dari perjanjian perdamaian.
Penetapan PKPU berdampak pada
status hukum debitor, terutama terkait tindakan yang melibatkan pengelolaan
atau kepemilikan hartanya. Pasal 240 Ayat (1) UUK & PKPU menetapkan bahwa
debitor dalam status PKPU dibatasi dalam mengelola atau menguasai asetnya tanpa
persetujuan dari pengurus. Ketentuan ini memastikan bahwa setiap tindakan
terhadap seluruh atau sebagian harta debitor harus mendapatkan persetujuan
terlebih dahulu. Dampak lain dari status PKPU adalah penghentian sementara hak
kreditor untuk menuntut pembayaran utang secara individu. Selain itu, proses
eksekusi yang telah dimulai untuk pelunasan utang juga wajib dihentikan selama
periode PKPU berlangsung.�
Selama masa PKPU, kendali penuh
debitor atas harta kekayaannya tidak lagi berlaku secara mutlak. Hak kebendaan
yang biasanya memberikan wewenang langsung terhadap suatu aset serta
perlindungan terhadap klaim pihak lain, mengalami pembatasan. Kekuasaan debitor
atas hartanya dibatasi oleh aturan yang tercantum dalam Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU. Apabila debitor melanggar ketentuan ini, pengurus memiliki
otoritas untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjaga agar aset
debitor tetap terlindungi dari potensi kerugian akibat tindakan yang tidak
sesuai.
Menurut Pasal 242 Ayat (1) UUK
& PKPU, �selama berlangsungnya masa penundaan kewajiban pembayaran utang,
debitor tidak dapat dipaksa untuk melunasi utangnya. Selain itu, setiap
tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk pelunasan utang harus dihentikan
sementara.� Pasal 245 lebih lanjut menegaskan bahwa pelunasan utang yang timbul
sebelum masa penundaan tidak diperbolehkan, kecuali dilakukan secara
proporsional kepada seluruh kreditor sesuai dengan besaran piutang
masing-masing. Ketentuan ini tetap berlaku dengan memperhatikan Pasal 185 Ayat
(3), yang memberikan dasar hukum tambahan dalam pelaksanaannya.
Dalam konteks hukum perjanjian,
Pasal 240 Ayat (4) Undang-Undang Kepailitan secara tegas mengatur bahwa debitor
hanya dapat mengadakan perjanjian pinjaman dengan pihak ketiga setelah
memperoleh persetujuan dari pengurus. Persetujuan ini diberikan dengan syarat
bahwa perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan nilai aset debitor.
Selain itu, sesuai dengan Pasal 240 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004,
�setiap pembebanan atas harta debitor hanya dapat dilakukan terhadap bagian
harta yang belum dijadikan jaminan utang.�
Selama masa PKPU, debitor tidak
dapat mengajukan permohonan pailit, karena tujuan utama dari penundaan ini
adalah untuk memberikan kesempatan bagi debitor dan kreditor mencapai
perdamaian. Selain itu, debitor tidak diperbolehkan melakukan tindakan
pengelolaan atas harta miliknya, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa
persetujuan dari pengurus. Oleh karena itu, setiap transaksi yang dilakukan
oleh debitor, seperti Rumah Sakit Martha Friska, harus dilaporkan kepada
pengurus. Jika debitor melanggarnya, pengurus berhak mengambil langkah-langkah
untuk melindungi harta debitor. Selain itu, kewajiban debitor yang timbul
setelah penundaan dimulai hanya dapat dibebankan pada harta debitor jika hal
tersebut memberikan manfaat bagi peningkatan nilai asetnya.
Menurut penjelasan Pasal 239
Ayat (1), �setiap tiga bulan setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran
utang dibacakan, pengurus wajib menyampaikan laporan mengenai keadaan harta
debitor.� Laporan tersebut juga harus diserahkan ke Kepaniteraan Pengadilan.
Dalam hal ini artinya setiap transaksi dari berjalannya Rumah Sakit Martha
Friska maka secara rutin setiap 3 (tiga) bulan sekali mereka harus melaporkan
keuangannya kepada pengurus. Dalam hal ini bertujuan agar pengurus dapat
memastikan bahwa cash flow perusahaan masih berjalan dengan baik untuk dapat
menyelesaikat proses PKPU yang sedang berjalan.
Agar rencana perdamaian dalam PKPU
dapat tercapai maka pembahasan dan pemungutan suara (RPPS) atas rencana
perdamaian dilakukan sebagai salah satubagian penting dalam proses PKPU. Karena
PKPU bertujuan untuk mencapai restrukturisasi utang piutang melalui perdamaian,
RPPS menjadi media untuk mencapai tujuan tersebut. Sesuai denga ketentuan Pasal
268 Ayat (1) UUK & PKPU yaitu �apabila rencana perdamaian telah diajukan
kepada panitera, hakim pengawas harus menentukan hari terakhir tagihan harus
disampaikan kepada pengurus serta tanggal dan waktu rencana perdamaian yang
diusulkan itu akan dibicarakan dan diputuskan dalam rapat kreditor yang
dipimpin oleh Hakim Pengawas. Tenggang waktu antara hari terakhir tagihan harus
disampaikan kepada pengurus dengan RPPS paling singkat 14 (empat belas) hari.� Dengan
demikian, pengajuan tagihan dan RPPS baru dapat dilakukan setelah debitor
mengajukan rencana perdamaian.
Dalam
rencana perdamaian yang diajukan PT. Karya Utama Sehat Sejahtera kepada para
kreditor pada tanggal 10 oktober 2022 di Pengadilan Niaga Medan yang menyatakan
�Rencana perdamaian yang terlampir telah dibuat untuk membantu tercapainya
restrukturisasi secara konsensual dengan para kreditor dan debitor. Rencana
Perdamaian disusun dan disiapkan oleh PIHAK PERTAMA untuk kepentingan
pemungutan suara (voting) kreditor pada rapat kreditor yang diselenggarakan di
Pengadilan Niaga Medan berdasarkan ketentuan�
Pasal 281 Ayat (1) UUK & PKPU dan menjadi satu kesatuan dalam
Perjanjian Perdamaian ini. Serta dalam membuat keputusan, Para Kreditor telah
mempertimbangkan dan menganalisan terhadap Rencana Perdamaian,
ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat serta seluruh informasi yang terdapat
didalam Rencan Perdamaian yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dari Perjanjian Perdamaian ini, dan termasuk seluruh manfaat dan risiko yang
tergantung didalamnya��
3. Perjanjian Perdamaian Dalam Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa PKPU merupakan suatu mekanisme hukum yang
memberikan kesempatan kepada debitor yang menghadapi kesulitan keuangan atau
yang memperkirakan ketidakmampuan untuk membayar utang-utangnya yang telah
jatuh tempo, untuk mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Tujuan dari PKPU adalah untuk menyusun rencana perdamaian yang menawarkan
pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor konkuren. Proses ini
memberikan kesempatan bagi debitor untuk menunda pembayaran utang, dengan
harapan bahwa dalam periode yang ditentukan, debitor dapat memperoleh dana yang
cukup untuk melunasi kewajibannya secara penuh.
Selama
masa PKPU, baik debitor maupun kreditor memiliki kesempatan untuk merundingkan
penyelesaian utang melalui rencana perdamaian (composition plan), yang dapat
mencakup pembayaran sebagian atau seluruh utang, serta kemungkinan
restrukturisasi utang. PKPU dapat diajukan oleh debitor atau kreditor dengan
itikad baik, asalkan permohonan diajukan sebelum putusan pailit dijatuhkan.
Rencana perdamaian ini memberikan kesempatan bagi debitor untuk
merestrukturisasi kewajibannya kepada kreditor. Secara hukum, selama PKPU
berlangsung, debitor tidak dapat dipaksa untuk membayar utang, dan semua
tindakan eksekusi yang telah dimulai harus dihentikan sementara.
Tujuan
utama pemberian PKPU kepada debitor adalah untuk memberikan kesempatan bagi
mereka yang menghadapi kesulitan finansial (insolvensi) untuk mengajukan
rencana perdamaian dan menghindari status pailit. Selama masa PKPU, debitor
tidak dapat diajukan permohonan pailit, memberikan ruang bagi mereka untuk
menyelesaikan kewajiban utangnya. PKPU terbagi menjadi dua periode: pertama,
PKPU sementara yang berlaku maksimal 45 hari setelah disetujui pengadilan, dan
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia serta dua surat kabar harian.
PKPU
tetap adalah tahap berikutnya setelah PKPU sementara, yang ditetapkan setelah
sidang dan mendapat persetujuan dari kreditor. Periode ini bisa berlangsung
hingga 270 hari jika disetujui melalui pemungutan suara oleh kreditor. Batas
waktu ini bukanlah tenggat untuk debitor melunasi utangnya, melainkan waktu
tambahan yang diberikan oleh pengadilan niaga untuk merundingkan dan mencapai
kesepakatan rencana perdamaian antara debitor dan kreditor. Jika kesepakatan
tidak tercapai meskipun waktu perpanjangan telah diberikan, pengadilan niaga
akan memutuskan untuk menyatakan debitor pailit. Menurut Prof. R. Subekti,
perdamaian adalah suatu perjanjian tertulis yang bertujuan mengakhiri atau
mencegah timbulnya perkara baru, dengan kedua pihak sepakat untuk menyerahkan,
menjanjikan, atau menahan barang sebagai bagian dari penyelesaian.�
Perdamaian
dapat diajukan sebagai langkah untuk mengakhiri proses PKPU, yang diatur dalam
Bab III, Bagian Kedua, Pasal 265-294 UU No. 37 Tahun 2004. Prinsip dasar dari
PKPU adalah memberikan kesempatan bagi debitor dan kreditor untuk melakukan
restrukturisasi utang selama masa penundaan yang ditetapkan (Pasal 243 Ayat (1)
dan Pasal 244 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004). Selama periode ini, debitor tidak
dapat dipaksa untuk membayar utangnya, kecuali untuk utang yang diajukan oleh
kreditor separatis dan kreditor konkuren, serta kewajiban tertentu seperti
utang yang dijamin dengan gadai (Pasal 242 Ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004). Untuk
memastikan kelancaran proses, baik debitor maupun kreditor dilarang mengajukan
gugatan atau menjadi tergugat dalam perkara yang sama selama PKPU berlangsung
(Pasal 243 Ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004). Rencana perdamaian dalam PKPU diatur
lebih lanjut dalam Pasal 265 UU No. 37 Tahun 2004.
Berbeda
dengan rencana perdamaian dalam kepailitan yang bertujuan untuk menghindari
insolvensi dan membagi harta pailit, PKPU bertujuan untuk mencapai kesepakatan
antara debitor dan kreditor. Akibat hukum dari PKPU adalah penundaan pembayaran
utang bagi debitor dan penundaan penagihan utang bagi kreditor. Hal ini
dijelaskan dalam Pasal 222 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004,
yang menyatakan bahwa �debitor dapat mengajukan PKPU untuk menawarkan rencana
perdamaian yang mencakup pembayaran sebagian atau seluruh utangnya kepada
kreditor, sementara kreditor juga dapat mengajukan permohonan PKPU agar debitor
dapat menyusun rencana perdamaian tersebut.� Rencana perdamaian yang diajukan
mencakup informasi penting seperti kondisi perusahaan debitor, daftar pemegang
saham, rincian kreditor separatis dan konkuren, jumlah utang yang terutang,
serta rencana penyelesaian utang dan langkah-langkah restrukturisasi yang
meliputi utang dan struktur organisasi perusahaan.
Rencana perdamaian yang
diajukan oleh debitor dalam proses PKPU merupakan tawaran untuk membayar
sebagian atau seluruh utangnya kepada para kreditur. Salah satu langkah yang
sering ditempuh dalam proses ini adalah rescheduling, yaitu penjadwalan ulang
pembayaran utang yang mencakup pelunasan utang pokok, bagi hasil, margin
keuntungan, atau biaya lain yang menjadi kewajiban debitor. Selain itu,
rescheduling juga dapat dipadukan dengan berbagai mekanisme restrukturisasi
utang lainnya, seperti debt to equity swap (konversi utang menjadi
saham), pengurangan utang (haircut), penundaan pembayaran bunga
tertunggak, penjualan aset, pemisahan ekuitas (equity carve-outs), serta
penambahan utang baru, untuk membantu debitor mengatasi kesulitan finansialnya
dan melanjutkan operasional bisnisnya.
Dalam rencana perdamaian, para
pihak memiliki kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak. Asas ini memberikan hak kepada setiap individu untuk
membuat perjanjian dengan ketentuan apa pun, sepanjang perjanjian tersebut sah,
dibuat dengan itikad baik, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau
kesusilaan. Kebebasan berkontrak ini mencerminkan prinsip kehendak bebas dan
hak asasi manusia. Rencana perdamaian dalam PKPU akan disetujui oleh pengadilan
niaga apabila lebih dari setengah jumlah kreditor yang hadir dalam rapat, yang
haknya diakui, sepakat, dan mewakili paling sedikit dua pertiga jumlah total
piutang kreditor konkuren yang diakui. Setelah disetujui oleh kreditor, rencana
perdamaian tersebut harus memperoleh homologasi dari pengadilan niaga untuk
memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Begitu disahkan, perjanjian
perdamaian tersebut akan mengikat secara hukum bagi semua pihak yang terlibat,
baik debitor maupun kreditor, dengan akibat hukum yang mengikat baik dengan
atau tanpa perubahan.
Perjanjian perdamaian yang
telah disahkan dan memperoleh kekuatan hukum tetap menandakan berakhirnya
penundaan kewajiban pembayaran utang, di mana debitor diwajibkan untuk memenuhi
kewajibannya kepada kreditor sesuai dengan kesepakatan. Kreditor, pada
gilirannya, berhak menerima pembayaran sesuai jumlah tagihan dan cara yang
telah disetujui bersama. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya.
Dalam konteks PKPU, perdamaian
merupakan suatu bentuk perjanjian yang sah. Mengacu pada Pasal 1320 KUH
Perdata, agar suatu perjanjian sah, harus memenuhi empat syarat: adanya
kesepakatan, kewenangan untuk membuat perjanjian, objek yang jelas, dan kuasa yang
sah. Dalam hal ini, kesepakatan harus tercapai antara debitor yang sedang dalam
proses PKPU dan kreditor konkuren, dengan masing-masing pihak memiliki
kewenangan untuk membuat perdamaian. Objek perdamaian yang dimaksud adalah
utang-piutang, yang harus sah dan tidak melanggar hukum, ketertiban umum, atau
kesusilaan. Rencana perdamaian itu sendiri berisi tawaran debitor untuk
melakukan restrukturisasi utangnya, yang bisa mencakup pembayaran seluruh atau
sebagian utang kepada kreditor. Pihak-pihak terkait memiliki kebebasan untuk
menentukan isi perjanjian, mengikuti asas kebebasan berkontrak. Setelah
disahkan oleh pengadilan melalui homologasi, perjanjian perdamaian tersebut
akan mengikat secara hukum bagi semua pihak yang terlibat.
Secara tegas, Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tidak melarang debitor untuk
mengajukan PKPU lebih dari sekali. Ini berarti, tidak ada aturan yang mencegah
debitor untuk mengajukan permohonan PKPU berulang kali. Contoh nyata dari hal
ini terlihat dalam Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 80/2020, yang
mengabulkan permohonan PKPU berulang terhadap debitor yang sama. Dengan
demikian, penting untuk membahas aspek PKPU berulang ini, guna memahami
dampaknya terhadap perjanjian perdamaian yang telah disepakati sebelumnya,
serta implikasinya terhadap perjanjian perdamaian yang baru. Pembahasan ini
juga relevan untuk membahas situasi yang serupa, seperti ketika kreditor yang
tidak terdaftar dalam perjanjian perdamaian sebelumnya mengajukan permohonan
pailit.
KESIMPULAN
PKPU adalah langkah
hukum yang krusial bagi karyawan untuk menuntut pemenuhan hak-hak mereka dari
perusahaan. Proses ini menciptakan peluang bagi debitor untuk memperbaiki
situasi keuangannya, sementara kreditor, termasuk karyawan, berusaha mencapai
penyelesaian yang adil. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk
berpartisipasi secara kooperatif dalam proses PKPU untuk mencapai perdamaian
yang saling menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Agitha, A. P. A. H., & Afriana, A.
(2021). Penundaan Pengesahan Perdamaian Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang Oleh Hakim Dikaitkan Dengan Asas Kepastian Hukum. Jurnal Poros Hukum
Padjadjaran, 3(1), 19�36.
Alfiani, A., & Mulyati, H. (2022).
Analisis Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Struktur Aktiva Dan Struktur Modal
Pada Perusahaan BUMN Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia. Mandiri: Jurnal
Akuntansi Dan Keuangan, 1(2), 1�8.
Bachry, R. A., & Nrangwesti, A. (N.D.).
Aspek Hukum Acara Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu)(Https://E-Journal. Trisakti.
Ac. Id/Index. Php/Hpph/Article/View/15872).
Casanova, F. Y. (2017). Analisis Putusan
Homologasi dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagai Upaya
Pencegah Terjadinya Kepailitan (Studi Putusan No. 59/Pdt. Sus-PKPU/2014/PN.
Niaga. Jkt. Pst).
Hakim, A. R., & Pratiwi, Y. D. (2022).
Positive Legislature dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Upaya Hukum
Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Jurnal Konstitusi, 19(4), 952.
Hartini, R. (2020). Hukum kepailitan.
UMMPress.
Junaedi, D. (2022). Perdamaian Dalam Proses
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan
Syariah (Kspps) Berkah Bersama Dalam Perspektif Hukum Kepailitan. Fakultas
Hukum Universitas Pasundan.
Maniah, M. (2022). Rekonstruksi Regulasi
Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Konkuren Dalam Penyelesaian Kewajiban Debitor
Pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berbasis Nilai Keadilan. Universitas
Islam Sultan Agung.
Pahsyah, H. (2023). Rekonstruksi Regulasi
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berbasis Nilai Hukum Islam.
Universitas Islam Sultan Agung.
Pasaribu, E. W. A. (2018). Tinjauan Yuridis
Peran Dan Efektivitas Pkpu Dalam Mencegah Terjadinya Kepailitan Menurut
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kapailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
Rifqi, A. F. (2020). Akibat Hukum Pelepasan
Hak Istimewa Oleh Corporate Guarantor Terhadap Hak-Hak Kreditor Dalam Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
SIahaan, A. (2023). Peran Mahkamah Konstitusi
Dalam Menyetujui Upaya Hukum Kasasi Atas Putusan Pengadilan Niaga Yang
Memeriksa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berdasarkan Putusan Mk No.
23/Puu-Xix/2021.
Yudha, G. N. W., Budiartha, I. N. P., &
Widyantara, I. M. M. (2022). Akibat Hukum Penolakan Rencana Perdamaian Debitur
oleh Kreditur dalam Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Jurnal
Konstruksi Hukum, 3(1), 196�200.
Ahmad Yani, Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Asikin Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Darwis Anatami, Pengenalan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan, Deepublish, Langsa, 2021.
Elyta Ras Ginting, Hukum Kepailitan-Teori Kepailitan, Sinar
Grafika. 2018.
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata : Hak-hak Yang
Memberikan Kenikmatan, Ind-Hil-Co, Jakarta, 2005.
R. Anton Suyatno. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kencana Pranada Media Group, 2016.
Ricardo Simanjuntak, Undang-undang Kepailitan dan PKPU Indonesia Teori dan Praktek, Kontan Publishing, Jakarta, 2023.
Rio Christiawan, Hukum Kepailitan & Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2020
Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan
Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kencana, Jakarta, 2018.