KEDUDUKAN KARYAWAN SEBAGAI KREDITUR PREFEREN AKIBAT PENETAPAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG SUATU PERUSAHAAN

 

 

Benyamin Purba1, John Pieries2, Wiwik Sri Widiarty3

Universitas Kristen Indonesia

Email : [email protected]

 

 

Kata kunci:

pandemi Covid-19, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, debitur, kreditur, hak karyawan.

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

Covid-19 pandemic, Postponement of Debt Payment Obligations, debtor, creditor, employee rights.

 

ABSTRAK

 

Pandemi Covis-19 menyebabkan perekonomian di berbagai sektor mengalami dampak yang signifikan sehingga banyak perusahaan tidak dapat beroperasi secara normal dan berisiko mengalami kebangkrutan. Krisis ini berdampak negatif pada karyawan yang kehilangan hak-hak mereka. Dalam konteks ini, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menjadi pilihan bagi karyawan untuk mendapatkan kepastian hukum atas hak-hak yang belum dipenuhi. PKPU merupakan mekanisme yang diberikan pengadilan kepada debitur untuk merundingkan utang dengan krediturnya, baik untuk membayar sebagian atau seluruh utang. Proses PKPU harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, termasuk persetujuan dari pengurus yang ditunjuk. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsekuensi hukum antara perusahaan sebagai debitur dan karyawan sebagai kreditur dalam PKPU. Metode yang diterapkan adalah yuridis normatif dengan analisis terhadap undang-undang dan teori hukum yang relevan. Selama PKPU, debitor tidak dapat mengalihfungsikan aset tanpa izin, dan tidak dapat membayar utang di luar proses ini hingga tercapai homologasi. Begitu pula, kreditur tidak dapat menagih utang selama proses berlangsung. Kesimpulannya, PKPU menjadi langkah hukum penting bagi karyawan untuk menuntut pemenuhan hak-hak mereka dari perusahaan.

The Covid-19 pandemic has significantly impacted the economy in various sectors, leaving many companies unable to operate normally and at risk of bankruptcy. This crisis adversely affects employees who lose their rights. In this context, Postponement of Debt Payment Obligations (PDPO) emerges as an option for employees to gain legal certainty regarding their unmet rights. PDPO is a mechanism provided by the court for debtors to negotiate their debts with creditors, either by paying part or all of the debt. The PDPO process must adhere to applicable legal provisions, including approval from appointed administrators. This study aims to analyze the legal implications between companies as debtors and employees as creditors within the PDPO framework. The method used is normative juridical, focusing on relevant laws and legal theories. During the PDPO, the debtor cannot transfer assets without permission and cannot pay debts outside this process until homologation is achieved. Similarly, creditors cannot collect debts during this period. In conclusion, PDPO is a vital legal step for employees to demand the fulfillment of their rights from the company.

Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA .

This is an open access article under the CC BY-SA license.

PENDAHULUAN

Seperti yang diketahui akibat pandemi covid-19 sangat mempengaruhi perekonomian segala sektor yang menyebabkan banyak perusahaan yang tidak dapat menjalankan transaksi perusahaan secara normal dan akibat krisis ini juga berdampak pada karyawan-karyawan sehingga mereka tidak memperoleh haknya untuk mendapatkan hak mereka sebagai karyawan seperti biasanya (Alfiani & Mulyati, 2022). Keadaan tersebut membawa para karyawan untuk menempuh Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) agar mendapatkan kepastian hukum dari hak mereka yang belum di peroleh dari perusahaan akibat pihak perusahaan juga tidak memberikan solusi atau jalan keluar dari keadaan tersebut (Rifqi, 2020).

PKPU diatur dalam Bab III, Pasal 222 hingga Pasal 294, dan berfungsi sebagai mekanisme bagi debitor untuk menawarkan pembayaran utang kepada kreditor, baik sebagian maupun seluruhnya, sebagai solusi penyelesaian sengketa kepailitan (Casanova, 2017). Berbeda dari kepailitan, PKPU memiliki tujuan khusus untuk memberikan ruang bagi debitor dalam mengatasi kendala pembayaran tanpa harus menghentikan aktivitas usahanya (Hartini, 2020). Sebelum diakomodasi dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, konsep ini dikenal dengan nama Penundaan Pembayaran (Bachry & Nrangwesti, n.d.). Istilah tersebut pertama kali diatur melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Penundaan Pembayaran dirancang untuk membantu debitor menjaga keberlangsungan usahanya meskipun menghadapi kesulitan finansial, sehingga memungkinkan mereka melanjutkan operasional bisnis dan melunasi kewajiban kepada kreditor dalam jangka waktu tertentu (Pahsyah, 2023).

PKPU merupakan fasilitas hukum yang diberikan pengadilan kepada debitor sebagai solusi untuk menyelesaikan utang-piutang melalui kesepakatan perdamaian dengan kreditor (Yudha et al., 2022). Proses ini mencakup pembayaran sebagian atau seluruh utang dan dilaksanakan sesuai tahapan yang diatur oleh undang-undang serta ketentuan pengadilan (SIAHAAN, 2023). Pasal 222 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa �permohonan PKPU dapat diajukan oleh debitor yang memiliki lebih dari satu kreditor. Tujuannya adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang mencakup tawaran pembayaran, baik secara parsial maupun penuh, kepada para kreditor sebagai langkah penyelesaian yang lebih damai dan konstruktif.�

PKPU terdiri dari dua tahapan: PKPU Sementara (PKPU-S), yang berlangsung maksimal 45 hari, dan PKPU Tetap (PKPU-T), yang dapat berlangsung hingga 270 hari. Selama periode PKPU, debitor dapat mengajukan rencana perdamaian kepada kreditor melalui pemungutan suara. Rencana perdamaian ini dapat mencakup restrukturisasi utang, baik sebagian maupun keseluruhan. Setelah disetujui dalam rapat melalui pemungutan suara, Hakim Pengawas wajib mengeluarkan keputusan untuk mengesahkan perdamaian tersebut, lengkap dengan alasan yang jelas, dalam sidang yang bersangkutan.

Dalam pengabulan PKPU Sementara, hakim pada dasarnya wajib menyetujui permohonan selama persyaratan administratif dan bukti-bukti yang diajukan telah lengkap. Putusan terkait permohonan PKPU ini bersifat final dan tidak dapat diajukan upaya hukum lebih lanjut (Hakim & Pratiwi, 2022). Oleh karena itu, efektivitas PKPU sebagai upaya pencegahan kepailitan sangat bergantung pada itikad baik serta sikap kooperatif dari debitor dan kreditor, sehingga rencana perdamaian dapat tercapai sebagai solusi penyelesaian utang (Pasaribu, 2018).

Dalam proses PKPU sendiri terdiri atas dua jenis: PKPU Sementara, yang diberikan oleh hakim saat sidang pertama permohonan PKPU, dan PKPU Tetap, yang merupakan hasil perundingan antara debitor dan kreditor dalam Rapat Kreditor (Agitha & Afriana, 2021). Dengan struktur seperti ini, putusan Majelis Hakim untuk memberikan PKPU Sementara pada dasarnya berfungsi sebagai langkah awal untuk mempertemukan debitor dan kreditor guna membahas kemungkinan tercapainya perdamaian atau pemberian PKPU Tetap (Maniah, 2022). Jika PKPU Tetap disetujui, jangka waktu penundaan beserta perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 hari sejak putusan PKPU Sementara diucapkan. Dengan kata lain, proses PKPU harus menghasilkan homologasi atau persetujuan terhadap proposal perdamaian dalam batas waktu 270 hari (Junaedi, 2022). Jika perdamaian tidak tercapai dalam periode tersebut, maka perusahaan akan dinyatakan pailit dan masuk ke dalam tahap kepailitan.

Rencana perdamaian menjadi elemen kunci dalam proses PKPU, berfungsi sebagai sarana utama untuk mencapai restrukturisasi utang melalui kesepakatan antara debitor dan kreditor. Sebagaimana diatur dalam Pasal 268 Ayat (1) UUK & PKPU, �setelah rencana perdamaian diajukan kepada panitera, hakim pengawas wajib menentukan batas waktu terakhir penyampaian tagihan kepada pengurus, serta menetapkan jadwal dan waktu pembahasan rencana perdamaian dalam rapat kreditor.� Jeda waktu antara tenggat pengajuan tagihan dan pelaksanaan rapat perdamaian minimal adalah 14 hari. Proses ini hanya dapat berjalan jika debitor telah menyerahkan rencana perdamaian. Dalam rapat tersebut, pengurus dan, jika diperlukan, ahli akan memberikan laporan tertulis terkait rencana perdamaian yang diajukan, menjadi dasar pembahasan dan keputusan kreditor. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan PKPU sangat bergantung pada terstruktur dan transparannya proses pembahasan rencana perdamaian.

Pembahasan rencana perdamaian dimungkinkan berubah apabila debitor berpendapat bahwa rencana perdamaian yang telah dibuat sebelumnya tidak sesuaidengan daftar tagihan yang dibuat oleh pengurus. Sebagaimana diketahui tidak menutup kemungkinan pada tenggang waktu pengajuan tagihan muncul kreditor baru sehingga untuk mengakomodasi munculnya kreditor baru tersebut, debitor dapat mengubah rencana perdamaiannya. Perubahan ini dapat dirundingkan dengan para kreditor yang hadir dalam rapat pembahasan rencana perdamaian. Rencana perdamaian dengan demikian memiliki kemungkinan diterima maupun ditolak oleh para kreditor. Sering kali kemungkinan yang demikian menemui jalan buntu. Untuk memberi kepastian hukum, Undang-Undang Kepailitan & PKPU memberikan penyelesaian berupa rapat pemungutan suara atas perjanjian perdamaian. Melalui rapat pemungutan suara akan ditemukan suara mayoritas dan minoritas atas penolakan atau penerimaan perjanjian perdamaian.

Secara umum, hubungan utang-piutang biasanya didasarkan pada perjanjian, dan jika salah satu pihak gagal memenuhi kewajibannya, dapat diajukan gugatan wanprestasi. Namun, kreditor sering memilih opsi lain, yaitu mengajukan permohonan pailit. Pilihan ini dianggap lebih efisien dan memberikan tekanan lebih besar pada debitor karena konsekuensi hukumnya yang signifikan. Ancaman kepailitan sering kali mendorong debitor untuk mencari solusi, seperti mengajukan perdamaian atau mengajukan PKPU, guna mencegah perusahaannya jatuh dalam kepailitan. PKPU sendiri dapat diajukan oleh debitor maupun kreditor sebagai upaya untuk menghindari kepailitan. Dalam hal ini, terdapat dua jenis PKPU: PKPU tangkisan, yang diajukan untuk menghalangi proses kepailitan, dan PKPU murni, yang diajukan atas inisiatif para pihak sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

 

 

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini yang digunakan yaitu metode yuridis normatif. Penulis melakukan studi lapangan dengan memeperoleh data primer dengan mengikuti jalannya persidangan PKPU selama proses tersebut berjalan. Menggunakan studi kepustakaan atau wawancara dengan informan misal hakim.

Penulis menganalisis data dengan memanfaatkan metode analisis kualitatif, yaitu menarik kesimpulan dengan cara mengumpulkan data, yang kemudian dikaitkan dengan teori dan konsep, serta dapat menjawab permasalahan yang dijabarkan dalam perumusan masalah dalam tulisan ini untuk memahami penyelesaian kasus melalui PKPU.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Akibat Hukum Bagi Debitor Dan Kreditor Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

1. Akibat Hukum DebiturDalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Perdamaian menjadi solusi yang paling diandalkan dalam proses PKPU, karena memungkinkan kreditor dan debitor menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil dan menguntungkan kedua belah pihak. Melalui mekanisme ini, kreditor dapat menerima pembayaran atas tagihannya, sementara debitor diberi kesempatan untuk mempertahankan dan melanjutkan usahanya. Perdamaian umumnya dapat terlaksana jika nilai aset debitor melebihi jumlah utang yang dimilikinya, menjadikannya alternatif utama dibandingkan keputusan kepailitan.

Perdamaian dalam proses PKPU harus diajukan sebelum debitor dinyatakan bangkrut. Apabila proposal perdamaian yang diajukan selama proses PKPU ditolak oleh kreditor, maka proposal tersebut tidak dapat diajukan kembali dalam proses kepailitan, menegaskan pentingnya strategi dan negosiasi yang matang selama tahap PKPU.

Dalam hukum kepailitan dikenal prinsip structured creditors, yang mengatur pembagian kreditor berdasarkan kedudukan dan hak masing-masing. Setiap kreditor dapat memiliki nilai piutang yang berbeda, dengan sebagian memegang hak jaminan tertentu, sementara lainnya hanya memiliki hak sebagai pemegang jaminan umum. Prinsip ini digunakan untuk mendukung tujuan utama kepailitan, yaitu memastikan pemenuhan utang debitor kepada kreditor secara tertib dan adil, sehingga menghindari perebutan klaim di antara para kreditor. Berbeda dengan hukum perdata yang hanya mengelompokkan kreditor dalam dua kategori berdasarkan preferensi, hukum kepailitan membagi kreditor menjadi tiga jenis: kreditor separatis, yang memiliki hak atas barang jaminan tertentu; kreditor preferen, yang memiliki hak istimewa di atas kekayaan debitor; dan kreditor konkuren, yang haknya hanya berdasarkan sisa aset setelah pemenuhan hak kreditor separatis dan preferen. Pembagian ini memastikan adanya struktur yang jelas dalam proses penyelesaian utang.

Kreditor dalam hukum kepailitan dikelompokkan berdasarkan apakah mereka memiliki hak kebendaan atas piutangnya atau tidak. Kreditor separatis adalah kreditor yang memiliki hak kebendaan atas utangnya, yang memberi mereka hak untuk mengeksekusi objek jaminan. Sebaliknya, kreditor konkuren tidak memiliki hak kebendaan, melainkan hanya memiliki jaminan umum yang dijelaskan dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua harta milik debitor, baik bergerak maupun tidak, menjadi jaminan bagi pembayaran utang. Namun, kreditor konkuren memiliki posisi yang lebih rendah dibandingkan kreditor lainnya. Sementara itu, kreditor preferen adalah kreditor yang diberikan hak prioritas dalam pemenuhan utang menurut ketentuan Undang-Undang. Meskipun tidak memiliki hak kebendaan, kreditor preferen memiliki posisi lebih tinggi dari kreditor konkuren karena mendapat prioritas khusus dalam pembayaran utang.

Terkait dengan proses perdamaian dalam PKPU, yang memerlukan persetujuan berdasarkan kuorum suara lebih dari setengah dari kreditor separatis dan kreditor konkuren, terdapat ketidakjelasan mengenai hak suara kreditor preferen, karena undang-undang tidak mengaturnya secara eksplisit. Meskipun Pasal 281 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU tidak memberikan hak suara kepada kreditor preferen, perjanjian perdamaian yang disahkan tetap mengikat semua kreditor, termasuk kreditor preferen. Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan, karena kreditor preferen juga memiliki kepentingan dalam menentukan persetujuan atau penolakan terhadap rencana pembayaran yang diajukan. Namun, meskipun tidak diberikan hak suara secara formal, dalam praktiknya, proposal perdamaian yang disusun oleh debitor seringkali mencakup mekanisme pembayaran yang memperhatikan kreditor preferen. Dengan cara ini, kreditor preferen, termasuk buruh, tetap mendapat prioritas dalam pembayaran utang dan tidak terabaikan.

Dalam proses PKPU, hanya kreditor separatis dan konkuren yang memiliki hak suara, karena kedudukan kreditor konkuren yang lebih rendah membuat mereka berisiko hanya menerima pembayaran yang sangat minim atau bahkan tidak sama sekali jika aset debitor telah habis terbagi. Di sisi lain, kreditor separatis berusaha mengatur hak suara mereka untuk menghindari eksekusi terhadap objek jaminan yang dapat merusak kelangsungan usaha debitor, guna memastikan tercapainya perdamaian. Setelah kesepakatan tercapai, langkah selanjutnya yang krusial adalah homologasi, yaitu pengesahan oleh hakim atas rencana perdamaian yang telah disepakati oleh debitor dan kreditor.

Rencana perdamaian dapat ditetapkan apabila mayoritas kreditor menyetujuinya dan kuorum suara terpenuhi sesuai dengan Pasal 281 UU Kepailitan dan PKPU. Pengadilan juga memiliki hak untuk menolak pengesahan perdamaian jika terdapat alasan yang sah, sesuai dengan Pasal 285 ayat (2). Putusan homologasi yang disahkan memiliki kekuatan mengikat sesuai Pasal 286 UU Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan bahwa �perdamaian yang disahkan mengikat seluruh kreditor, kecuali kreditor yang menolak rencana perdamaian dan telah menerima kompensasi yang sebanding dengan nilai jaminan terendah.� Ini juga berarti bahwa keputusan homologasi tetap mengikat kreditor preferen meskipun mereka tidak memiliki hak suara dalam rapat pemungutan suara.

PKPU dapat berakhir jika terbukti adanya kolusi antara debitor dan kreditor tertentu yang berusaha memanipulasi hasil pemungutan suara demi kepentingan pribadi mereka, tanpa memperhatikan hak-hak kreditor lainnya. Hal serupa juga berlaku jika debitor menciptakan kreditor fiktif yang memberikan suara yang menguntungkan pihak debitor dan merugikan kreditor yang sah. Situasi ini dapat menyebabkan kegagalan dalam mencapai perdamaian, sehingga Pengadilan Niaga menolak pengesahan perdamaian dan PKPU berakhir, dengan debitor dinyatakan pailit.

Penting untuk dicatat bahwa setelah pengadilan menolak pengesahan perdamaian dan debitor dinyatakan pailit, debitor tidak lagi dapat mengajukan rencana perdamaian. Pasal 292 UU Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa �jika pailit diputuskan berdasarkan alasan dalam Pasal 285, Pasal 286, atau Pasal 291, debitor tidak berhak mengajukan rencana perdamaian lagi.� Debitor yang merasa tidak puas dengan keputusan tersebut dapat mengajukan kasasi sesuai Pasal 285 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU, namun hal ini tidak berlaku pada keputusan penolakan pengesahan perdamaian, di mana pengajuan kasasi tidak diperkenankan.

Proses pembahasan dan pemungutan suara terkait rencana perdamaian merupakan tahap krusial dalam PKPU. PKPU bertujuan untuk merestrukturisasi utang piutang melalui perdamaian, dan Rencana Perdamaian dan Pembayaran Utang (RPPS) menjadi sarana utama untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan Pasal 268 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, �setelah rencana perdamaian diserahkan kepada panitera, hakim pengawas harus menetapkan batas waktu untuk penyampaian tagihan kepada pengurus, serta menentukan tanggal dan waktu rapat kreditor yang akan membahas dan memutuskan rencana perdamaian.� Batas waktu antara penyampaian tagihan terakhir dan RPPS minimal 14 hari. Oleh karena itu, pengajuan tagihan dan RPPS hanya dapat dilakukan setelah debitor mengajukan rencana perdamaian. Dalam rapat pembahasan tersebut, pengurus dan ahli (jika ada) akan memberikan laporan tertulis mengenai rencana perdamaian yang diajukan. Sesuai Pasal 278 Ayat (2) UU Kepailitan, debitor juga berhak untuk memberikan keterangan terkait rencana perdamaian selama proses perundingan berlangsung.

Pembahasan rencana perdamaian dimungkinkan berubah apabila debitor berpendapat bahwa rencana perdamaian yang telah dibuat sebelumnya tidak sesuai dengan daftar tagihan yang dibuat oleh pengurus. Sebagaimana diketahui tidak menutup kemungkinan pada tenggang waktu pengajuan tagihan muncul kreditor baru sehingga untuk mengakomodasi munculnya kreditor baru tersebut, debitor dapat mengubah rencana perdamaiannya. Perubahan ini dapat dirundingkan dengan para kreditor yang hadir dalam rapat pembahasan rencana perdamaian. Rencana perdamaian dengan demikian memiliki kemungkinan diterima maupun ditolak oleh para kreditor. Sering kali kemungkinan yang demikian menemui jalan buntu. Untuk memberi kepastian hukum, Undang-Undang Kepailitan & PKPU memberikan penyelesaian berupa rapat pemungutan suara atas perjanjian perdamaian. Melalui rapat pemungutan suara akan ditemukan suara mayoritas dan minoritas atas penolakan atau penerimaan perjanjian perdamaian.

Nantinya, hasil rapat pemungutan suara akan disahkan melalui sidang homologasi oleh Pengadilan. Pemungutan suara atas rencana perdamaian ditentukan oleh keputusan suara dari para kreditor yang ditentukan oleh tagihan yang telah didaftarkan kepada pengurus selama proses verifikasi tagihan. Secara hukum, pengurus diberikan wewenang untuk menentukan apakah tagihan diakui atau diabantah. Kreditor memiliki hak untuk membantah piutang yang diakui atau dibantah oleh pengurus, baik sebagian maupun seluruhnya. Proses pengakuan dan bantahan tersebut, baik yang dilakukan oleh pengurus maupun kreditor, harus dicatat secara jelas dalam daftar piutang.

Pasal 291 jo. Pasal 170 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU memberikan hak kepada kreditor untuk membatalkan perdamaian PKPU jika mereka merasa dirugikan, karena mereka seharusnya menerima pembayaran atas piutang yang dimiliki dari debitor. Semua jenis kreditor, termasuk buruh atau karyawan yang berstatus sebagai kreditor preferen, dapat mengajukan pembatalan perdamaian, mengingat perjanjian perdamaian yang disahkan bersifat mengikat bagi seluruh kreditor.

Dalam proses PKPU, debitor kehilangan kendali atas pembayaran utangnya karena ia tidak dapat melakukan tindakan pengelolaan atau penguasaan terhadap harta miliknya tanpa persetujuan dari pengurus. Kewajiban debitor yang muncul setelah dimulainya PKPU hanya dapat dibebankan pada harta debitor jika hal tersebut memberikan keuntungan bagi debitor. Selain itu, debitor tidak diwajibkan untuk membayar utangnya, kecuali untuk utang yang diatur dalam Pasal 144. Selama proses PKPU berlangsung, pembayaran utang lainnya tidak dapat dilakukan, kecuali jika pembayaran dilakukan secara proporsional kepada seluruh kreditor sesuai dengan jumlah piutang masing-masing.

Akibat hukum yang timbul bagi debitor selama proses PKPU adalah penangguhan terhadap semua perkara yang melibatkan debitor. Apabila terdapat gugatan mengenai pembayaran piutang yang telah diakui oleh debitor, dan penggugat tidak memiliki kepentingan langsung terkait pelaksanaan hak terhadap pihak ketiga, hakim dapat menunda putusan tersebut hingga proses PKPU selesai. Di sisi lain, debitor yang tengah menjalani proses PKPU tidak dapat bertindak sebagai penggugat atau tergugat dalam perkara yang melibatkan hak atau kewajiban atas harta kekayaannya tanpa persetujuan dari pengurus. Semua tindakan yang melibatkan harta kekayaan debitor harus mendapat izin pengurus, yang menegaskan bahwa selama PKPU, segala urusan hukum terkait harta debitor akan ditunda sampai proses tersebut berakhir.

2.�� Akibat Hukum Kreditur Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Berdasarkan Pasal 222 Ayat (2) UUK & PKPU, dasar dari seorang debitor untuk mengajukan permohonan PKPU secara volunteer adalah dengan mwngakui didepan persidangan bahwa dirinya secara teknical telah insolvent, sehingga tidak lagi mampu untuk membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Debitor pemohon PKPU juga mendalilkan dan membuktikan bahwa status dari ketidakmampuannya tersebut adalah bersifat temporer, dan masih memiliki potensi untuk kembali sehat apabila diberikan kesempatan untuk penyelesaian utang melalui skema restrukturisasi. Sehingga sama halnya, apabila permohonan PKPU diajukan oleh kreditor terhadap debitor, maka permohonan PKPU tersebut haruslah juga berisikan alasan-alasan yang mendasari kreditor untuk mengajukan, sebagai berikut :

a.�� Mengapa kreditor pemohon PKPU lebih memilih penyelesaian sengketa utang piutangnya terhadap debitor melalui PKPU, daripada melalui permohonan pernyataan pailit;

b.�� Gambaran umum tentang keadaan keuangan debitor yang diketahui kreditor pemohon PKPU sebagai dasar untuk meyakinkan mengapa utang-utang debitor lebih patut diselesaikan melalui skema restrukturisasi utang;

b.�� Dukungan kreditor pemohon PKPU terhadap debitor agar skema penyelesaian utang melalui restrukturisasi utang berhasil dicapai.

Dengan pengertian lain, ketiga poin tersebut seharusnya menjadi bagian dalil dalam posita kreditor dalam permohonan PKPU nya. Artinya, kreditor tidak sekedar hanya mendalilkan kekhawatirannya terhadap ketidakmampuan debitor untuk melunasi salah satu utangnya yang terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih, karena terhadap fakta tersebut kreditor dapat langsung mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor tersebut berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UUK & PKPU. Sangat perlu dipertanyakan motif dari pengajuan PKPU, bila seorang kreditor mengajukan permohonan PKPU akan tetapi kreditor tersebut juga yang paling lantang untuk menyuarakan penolakan-penolakan, walau hanya terhadap usulan perpanjangan waktu PKPU. Sikap tersebut sebenarnya merefleksikan maksudnya untuk mempercepat dilakukannya voting terhadap usulan perdamaian. Dengan kekuatan mayoritas kreditor yang dimilikinya, baik ats porsi suaranya sendiri atau bersama dengan kreditor-kreditor afiliasinya ataupun kreditor yang memiliki kesamaan tujuan agar debitor tersebut segera dinyatakan insolvent, akan menolak setiap setiap usulan perdamaian yang diajukan oleh debitor dalam PKPU, sehingga akan mengakibatkan debitor tersebut insolvent tanpa adanya lagi kewenangan untuk melakukan upaya hukum kasasi ataupun Peninjauan Kembali.

Sebelumnya, pelaksanaan Pasal 217 Ayat (6) UUK & PKPU No.4 Tahun 1998 yang mengatur bahwa dalam hal diperiksanya permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU secara bersamaan, akan mengakibatkan Pengadilan Niaga memeriksa permohonan PKPU terlebih dahulu, hanya mempengaruhi dasar hak debitor untuk mengajukan permohonan PKPU secara volunteer atau non volunteer, atau sebagai reaksi debitor terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor terhadapnya.

Pada Pasal 240 Ayat (1), diatur bahwa selama proses PKPU, �debitor tidak dapat melakukan tindakan pengelolaan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tanpa persetujuan dari pengurus. Sementara itu, Ayat (3) mengatur bahwa kewajiban debitor yang timbul setelah dimulainya PKPU, yang dilakukan tanpa persetujuan pengurus, hanya dapat dibebankan kepada harta debitor apabila hal tersebut menguntungkan harta debitor.� Berdasarkan ketentuan ini, jelas bahwa pengurus memiliki wewenang untuk mengawasi dan memberikan persetujuan terhadap tindakan hukum debitor. Namun, ada pengecualian bagi perkara-perkara debitor yang sudah diperiksa sebelumnya, yang tidak terhenti atau terganggu oleh proses PKPU.

Sementara itu, selama proses PKPU berlangsung, pemeriksaan atas semua perkara yang melibatkan debitor akan ditunda. Artinya, apabila terdapat gugatan mengenai pembayaran piutang yang diakui debitor, dan penggugat tidak memiliki kepentingan langsung dalam menuntut pelaksanaan hak terhadap pihak ketiga, hakim dapat menunda putusan hingga proses PKPU selesai. Selain itu, debitor yang tengah menjalani proses PKPU tidak boleh bertindak sebagai penggugat atau tergugat dalam perkara yang berkaitan dengan hak atau kewajiban atas harta kekayaannya, kecuali mendapatkan persetujuan dari pengurus. Hal ini karena segala tindakan terkait pengelolaan harta debitor harus dilakukan dengan izin dari pengurus.

Konsekuensi dari putusan PKPU bagi kreditor adalah tidak dapat menagih utang selama kepada debitor masa PKPU, karena tidak ada kewajiban pada debitor untuk membayarnya. Di sisi lain, bagi debitor, PKPU mengakibatkan seluruh kekayaannya berada di bawah pengawasan pengurus, sehingga debitor kehilangan kendali atas pengelolaan atau peralihan harta kekayaannya tanpa persetujuan pengurus. Setiap tindakan yang diambil debitor terhadap harta kekayaannya tanpa izin pengurus tidak akan memiliki kekuatan hukum. Jika debitor bertindak di luar kewenangannya, pengurus berhak untuk mengambil langkah-langkah guna melindungi aset debitor dari potensi kerugian. Dengan demikian, PKPU secara signifikan membatasi kewenangan dan kewajiban debitor sepanjang proses berlangsung.

Apabila setelah proses PKPU debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam perjanjian perdamaian, maka kreditor berhak mengajukan permohonan untuk membatalkan perdamaian tersebut sesuai dengan Pasal 291 UU Kepailitan dan PKPU. Namun, sebelum pembatalan terjadi, debitor diberikan kesempatan untuk pembuktian terhadap pemenuhan dalam perjanjian tersebut. Pengadilan memberikan waktu hingga 30 hari bagi debitor untuk melaksanakan kewajiban tersebut setelah diberikan kelonggaran.

Jika setelah kelonggaran tersebut debitor masih gagal memenuhi kewajibannya, kreditor dapat mengajukan permohonan pembatalan perdamaian dan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor, sebagaimana diatur dalam Pasal 171 UU Kepailitan dan PKPU. Terhadap kepailitan yang timbul karena sebab-sebab ditolaknya pengesahan perdamaian dan pembatalan perdamaian tidak dapat ditawarkan suatu perdamaian. Berkenaan dengan kepailitan yang timbul karena pembatalan perdamaian, maka sesuai dengan ketentuan dalam pasal 171 UUK & PKPU, dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum seperti diatur dalam pasal 11 UUK & PKPU. �Jika upaya hukum tersebut tidak berhasil, maka kepailitan tersebut diikuti dengan keadaan insolvensi. Setelah permohonan pernyataan pailit diajukan terhadap debitur, pengadilan akan memberikan putusan atas permohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 60 hari (Pasal 8 ayat (5) UUK & PKPU).�

Jika permohonan pailit diterima, maka Kurator, yang bekerja di bawah pengawasan Hakim Pengawas, akan mengambil alih dan menyita seluruh harta milik debitor untuk digunakan dalam pelunasan utang kepada para kreditor. Sehubungan dengan putusan pailit yang terjadi akibat pembatalan perdamaian, debitor tidak dapat mengajukan upaya hukum atau menawarkan perdamaian kembali. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 292, yang melarang pengajuan perdamaian dalam putusan pailit yang diambil berdasarkan Pasal 285, 286, atau 291. Selain itu, Pasal 293 ayat (1) mengatur bahwa �tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan ini, kecuali jika ada ketentuan khusus yang mengaturnya dalam undang-undang.� Dengan demikian, debitur tidak dapat melakukan perlawanan, sehingga kreditur dapat melanjutkan proses PKPU.

Dalam hal ketika hak untuk mengajukan permohonan PKPU diberikan kepada kreditor berdasarkaan Pasal 222 Ayat (3) UUK & PKPU. Permohonan PKPU yang diajukan kreditor cenderung tidak lagi genuine, karena tidak lagi semata-mata untuk tujuan penyelesaian utang debitor melalui skema restrukturisasi utang, akan tetapi lebih pada upaya untuk mengantisipasi respond debitor yang akan mengajukan permohonan PKPU bila kreditor memulainya dengan permohonan pernyataan pailit berdasarkan Pasal 229 Ayat (3) UUK & PKPU.

Jika debitor mengajukan permohonan PKPU sebagai respons pertama terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor, maka Pengadilan Niaga akan memprioritaskan pemeriksaan permohonan PKPU. Pasal 229 Ayat (3) UUK & PKPU mengatur bahwa �jika permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU diperiksa secara bersamaan, maka permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu.� Akibatnya, permohonan PKPU menjadi trend gerakan kreditor tidak hanya untuk mengantisipasi counter respond debitor, yaitu dengan mengajukan permohonan PKPU terhadap permohonan pernyataan pailit yang diajukan terhadapnya, akan tetapi juga sangat berhubungan denga strategi penentuan siapa Pengurus atau Tim pengurus yang akan diangkat untuk menangani PKPU tersebut. Dengan kalimat lain, kreditor ingin memastikan bahwa penentuan terhadap penunjukan kurator ataupun pengurus yang akan diangkat sehubungan dengan kepailitan ataupun PKPU harus ditentukan oleh kreditor. Fakta tersebut tidak hanya menggeser motif dasar dari pengajuan permohonan PKPU yang merupakan �strategi pembayaran utang melalui restrukturisasi utang�, menjadi �strategi untuk cepat dapat mempailitkan debitor�, akan tetapi juga menjadi ajang menentukan siapa Pengurus yang harus diangkat untuk menangani PKPU tersebut.

Perdamaian merupakan solusi yang palimg dicari dalam proses PKPU. Melalui perdamaian, kreditor dan debitor dapat mencapai penyelesaian atas masalah utang-piutang dengan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam hal ini, kreditor menerima pembayaran atas tagihannya, sementara debitor diberi kesempatan untuk melanjutkan usahanya. Perdamaian akan lebih mungkin tercapai apabila harta debitor lebih besar dari utangnya. Oleh karena itu, perdamaian menjadi pilihan utama dibandingkan dengan proses kepailitan. Dalam hukum kepailitan, dikenal dua jenis perdamaian: perdamaian dalam proses kepailitan dan perdamaian dalam proses PKPU. Perdamaian dalam proses PKPU wajib diajukan sebelum debitor dinyatakan pailit. Apabila rencana perdamaian yang diajukan dalam PKPU ditolak oleh kreditur, debitor tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan perdamaian serupa di tahap proses kepailitan.

Dalam hukum kepailitan, dikenal prinsip structured creditors, yang mengelompokkan kreditor berdasarkan kedudukan dan hak-hak yang dimiliki masing-masing. Kreditor memiliki piutang dengan nilai yang bervariasi, dan sebagian di antaranya memiliki hak jaminan atas aset debitor. Prinsip ini dirancang untuk memastikan penyelesaian utang debitor yang memiliki banyak kreditor dilakukan secara tertib, sehingga menghindari persaingan antar kreditor dan memungkinkan pembagian yang adil. Berbeda dengan hukum perdata yang hanya membagi kreditor menjadi dua kategori berdasarkan preferensi, hukum kepailitan mengelompokkan kreditor ke dalam tiga kategori utama: kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren.

Dalam hukum kepailitan, kreditor diklasifikasikan berdasarkan keberadaan hak jaminan kebendaan. Kreditor separatis adalah mereka yang memiliki hak kebendaan (in rem) atas piutangnya, sehingga berwenang mengeksekusi objek jaminan tanpa terikat proses kepailitan. Sebaliknya, kreditor konkuren tidak memiliki hak kebendaan dan hanya mengandalkan jaminan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yang menetapkan bahwa semua aset debitor, baik bergerak maupun tidak bergerak, menjadi jaminan atas utangnya. Namun, posisi kreditor konkuren berada di bawah kreditor lainnya dalam prioritas pelunasan. Kreditor preferen, meskipun tidak memegang hak kebendaan, memiliki hak istimewa berdasarkan undang-undang untuk menerima pelunasan terlebih dahulu, mendahului kreditor konkuren, karena diutamakan secara hukum.

Rencana perdamaian dapat disetujui jika memenuhi syarat kuorum sebagaimana diatur dalam Pasal 281 UU Kepailitan dan PKPU. Jika kuorum tidak tercapai atau mayoritas kreditor menolak rencana tersebut dalam rapat pemungutan suara, maka debitor akan dinyatakan pailit. Selain itu, Pengadilan Niaga juga berwenang menolak pengesahan rencana perdamaian apabila terdapat alasan yang sesuai dengan Pasal 285 Ayat (2).

Putusan homologasi yang mengesahkan perdamaian memiliki daya mengikat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 286 UU Kepailitan dan PKPU. Pasal tersebut menegaskan bahwa perdamaian yang telah disahkan berlaku bagi semua kreditor, termasuk kreditor preferen dan mereka yang tidak memberikan suara, kecuali bagi kreditor yang menolak rencana tersebut dan telah menerima kompensasi setara dengan nilai jaminan terendah. Keputusan homologasi ini menciptakan kewajiban yang mengikat baik bagi debitor maupun kreditor.

Namun, jika debitor merasa dirugikan oleh pengesahan rencana perdamaian, ia berhak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 285 Ayat (4). Dengan demikian, mekanisme ini memastikan proses yang adil dan transparan bagi semua pihak yang terlibat.

Sebelum perjanjian perdamaian disahkan, debitor tidak diwajibkan melakukan pembayaran utang, dan ketentuan waktu sebelumnya tidak berlaku lagi. Umumnya, perjanjian perdamaian memberikan jangka waktu yang cukup panjang untuk memberikan kesempatan kepada debitor untuk memenuhi kewajibannya, mengingat pemulihan kondisi keuangan yang sedang terpuruk memerlukan waktu dan upaya yang lebih besar.

Sebagai contoh, pelaksanaan perdamaian dengan jangka waktu baru dapat mencakup penjadwalan ulang (rescheduling) yang diajukan oleh debitor, termasuk pemberian masa tenggang (grace period). Terdapat dua kemungkinan yang bisa terjadi: pertama, debitor berhasil memenuhi seluruh ketentuan dalam perjanjian perdamaian, dan kedua, debitor gagal memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Pada tahap ini, debitor perlu lebih berhati-hati, karena meskipun perdamaian telah disahkan, ada kemungkinan proses PKPU berakhir dan debitor bisa dinyatakan pailit jika gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya.

PKPU juga dapat berakhir jika terungkap adanya kolusi antara debitor dan salah satu kreditor, di mana mereka bekerja sama untuk memperoleh suara mayoritas yang hanya menguntungkan pihak mereka tanpa memperhatikan kepentingan kreditor lainnya. Selain itu, penciptaan kreditor fiktif oleh debitor, yang memberikan suara hanya untuk menguntungkan debitor, juga bisa terjadi. Situasi seperti ini dapat menggagalkan perdamaian dalam PKPU dan menyebabkan penolakan dari Pengadilan Niaga.

Perlu dipahami bahwa apabila Pengadilan menolak untuk mengesahkan perdamaian dan debitor dinyatakan pailit, debitor tidak diperkenankan untuk mengajukan rencana perdamaian kembali. Hal ini diatur dalam Pasal 292 UU Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan bahwa "apabila putusan pailit didasarkan pada alasan yang tercantum dalam Pasal 285, Pasal 286, atau Pasal 291, debitor tidak dapat mengajukan perdamaian lagi." Bagi debitor yang merasa dirugikan atau tidak puas dengan pengesahan perdamaian dalam PKPU, mereka dapat mengajukan kasasi sesuai dengan Pasal 285 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU. Namun, ketentuan ini tidak berlaku untuk putusan penolakan pengesahan perdamaian, di mana tidak ada kesempatan untuk mengajukan kasasi.

Proses pembahasan dan pemungutan suara terhadap rencana perdamaian merupakan langkah krusial dalam tahapan PKPU. PKPU bertujuan untuk mencapai restrukturisasi utang melalui perdamaian, dan RPPS berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan tujuan tersebut. Berdasarkan Pasal 268 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, �setelah rencana perdamaian diajukan kepada panitera, hakim pengawas akan menentukan batas waktu terakhir bagi kreditor untuk menyampaikan tagihan kepada pengurus, serta menetapkan waktu dan tanggal rapat kreditor yang akan membahas dan memutuskan rencana perdamaian yang diajukan.� Tenggat waktu antara batas akhir penyampaian tagihan dan rapat pembahasan perdamaian minimal adalah 14 hari. Dalam rapat tersebut, pengurus dan ahli (jika ada) memberikan laporan tertulis mengenai rencana perdamaian, dan debitor berhak untuk menyampaikan penjelasan terkait rencana tersebut selama perundingan berlangsung, sesuai dengan Pasal 278 Ayat (2) UU Kepailitan.

Pembahasan rencana perdamaian dimungkinkan berubah apabila debitor berpendapat bahwa rencana perdamaian yang telah dibuat sebelumnya tidak sesuai dengan daftar tagihan yang dibuat oleh pengurus. Sebagaimana diketahui tidak menutup kemungkinan pada tenggang waktu pengajuan tagihan muncul kreditor baru sehingga untuk mengakomodasi munculnya kreditor baru tersebut, debitor dapat mengubah rencana perdamaiannya. Perubahan ini dapat dirundingkan dengan para kreditor yang hadir dalam rapat pembahasan rencana perdamaian. Rencana perdamaian dengan demikian memiliki kemungkinan diterima maupun ditolak oleh para kreditor. Sering kali kemungkinan yang demikian menemui jalan buntu. Untuk memberi kepastian hukum, Undang-Undang Kepailitan & PKPU memberikan penyelesaian berupa rapat pemungutan suara atas perjanjian perdamaian.

Melalui rapat pemungutan suara akan ditemukan suara mayoritas dan minoritas atas penolakan atau penerimaan perjanjian perdamaian. Nantinya, hasil rapat pemungutan suara akan disahkan melalui sidang homologasi oleh Pengadilan. Pemungutan suara atas rencana perdamaian ditentukan oleh keputusan suara dari para kreditor yang ditentukan oleh tagihan yang telah didaftarkan kepada pengurus selama proses verifikasi tagihan. Secara hukum, pengurus diberikan wewenang untuk menentukan apakah tagihan diakui atau diabantah. Baik atas pengakuan maupun bantahan atas tagihan yang dilakukan oleh pengurus, kreditor dapat menggunakan haknya membantah piutang yang oleh pengurus seluruhnya atau sebagian.Seluruh proses pengakuan ataupun bantahan ini baik oleh pengurus maupun kreditor harus dicatat dalam daftar piutang.

3.�� Kasus � Kasus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

1)Apotik AA selaku Pemohon PKPU terhadap PT. Karya Utama Srhat Sejahtera (Rumah Sakit Martha Friska Medan)

Awal mula kasus ini bergulir yaitu pada 11 Februari 2022 Apotik AA selaku Pemohon PKPU yang merupakan supplayer obat-obatan pada Rumah Sakit Martha Friska mengajukan permohonan PKPU ke Pengadilan Niaga Medan. Bahwa selain Apotik AA sebagai Pemohon PKPU, Termohon PKPU yaitu PT. Karya Utama Sehat Sejahtera juga memiliki utang kepada kreditor lainnya termasuk 92 (sembilan puluh dua) karyawan. Utang-utang Termohon PKPU kepada kreditor lain tersebut akan tetap ada dan tidak hapus sebelum kreditor yang bersangkutan memberikan Surat Keterangan Lunas. Bahwa Piutang Kreditor Lainnya juga telah jatuh tempo dan dapat ditagihkan berdasarkan aturan hukum yang berlaku sehingga syarat Pasal 222 Ayat (1) dan Ayat (3) UUK & PKPU dapat terpenuhi. Pasal tersebut memberikan kesempatan kepada debitor yang memiliki lebih dari satu kreditor, atau bahkan kreditor itu sendiri, untuk mengajukan PKPU jika debitor diperkirakan tidak mampu membayar utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Tujuan dari PKPU adalah untuk memberikan waktu tambahan kepada debitor agar dapat merestrukturisasi utangnya dan mengajukan rencana perdamaian kepada kreditor. Rencana perdamaian ini dapat berupa tawaran untuk membayar sebagian atau seluruh utang debitor, yang kemudian akan dibahas serta disetujui atau ditolak oleh kreditor.

Mengenai Kreditor Preferen yang merupakan 92 (sembilan puluh dua) orang karyawan PT. Karya Utama Sehat Sejahtera yang bekerja di Rumah Sakit Martha Friska diantaranya memiliki jabatan sebagai Perawat, Receptionist, Kasir, Administrasi, Security, Staf Maintenance, Supir Ambulance menuntut hak mereka berupa sisa upah/gaji yang dibayarkan dibawah Upah Minimum Aktivitas Rumah Sakit Swasta sebagai mana termaktub dalam Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 188.44/13/KPTS/2020 yang seharusnya para karyawan menerima upah sebesar Rp. 3.544.812,- (tiga juta lima ratus empat puluh empat ribu delapan ratus dua belas rupiah), namun pada kenyataannya upah terakhir yang diterima oleh para karyawan sebesar 3.222.557,- (tiga juta dua ratus dua pulu dua lima ratus lima puluh tujuh rupiah) setelah dikeluarkannya surat Pemutusan Hubungan Kerja terhadap mereka pada 23 Juli 2020. Adapun alasan perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap karyawan-karyawannya karena kerugian perusahaan dan operasional tidak tertutupi selama pandemi covid-19. Tapi pada kenyataannya Rumah Sakit Martha Friska tetap beroperasional seperti biasanya dan bahkan menerima karyawan baru, sehingga Pemutusan Hubungan Kerja terhadap para karyawannya tidak berdasarkan hukum dan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 164 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan, �Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur) serta kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.� Bahwa Pandemi Covid 19 yang dijadikan Tergugat sebagai alasan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja belum dapat dianggap sebagai keadaan Force Majeur yang dimaksud dalam Undang-undang Ketenagakerjaan, karena Force Majeur atau Keadaan Memaksa diartikan lebih kepada suatu keadaan yang tidak dapat dihindari lagi dan dampak dari keadaan tersebet dapat mengakibatkan penutupan terhadap perusahaan yaitu penghentian kegiatan usaha yang dijalankan.

Konsekuensi hukum yang dihadapi debitor selama masa PKPU salah satunya adalah larangan bagi debitor untuk mengajukan permohonan pailit, karena tujuan dari PKPU adalah memberikan kesempatan bagi debitor untuk mencapai perdamaian dengan kreditor. Selama proses PKPU berlangsung, debitor tidak boleh melakukan tindakan pengelolaan atau penguasaan harta miliknya tanpa izin dari pengurus yang ditunjuk. Setiap transaksi yang dilakukan oleh debitor, seperti Rumah Sakit Martha Friska dalam hal ini, harus dilaporkan kepada pengurus agar tetap diawasi. Jika debitor melanggar ketentuan ini, pengurus memiliki hak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi harta debitor. Namun, jika tindakan debitor tersebut menguntungkan harta debitor, maka kewajiban yang timbul akibat tindakan tersebut dapat dibebankan pada harta debitor.

Pada penjelasan Pasal 239 Ayat (1), yaitu �setiap 3 (tiga) bulan sejak putusan penundaan kewajiban pembayaran utang diucapkan pengurus wajib melaporkan keadaan harta Debitor, dan laporan tersebut harus disediakan pula di Kepaniteraan Pengadilan.� Dalam hal ini artinya setiap transaksi dari berjalannya Rumah Sakit Martha Friska maka secara rutin setiap 3 (tiga) bulan sekali mereka harus melaporkan keuangannya kepada pengurus. Dalam hal ini bertujuan agar pengurus dapat memastikan bahwa cash flow perusahaan masih berjalan dengan baik untuk dapat menyelesaikat proses PKPU yang sedang berjalan.

Agar rencana perdamaian dalam PKPU dapat tercapai maka pembahasan dan pemungutan suara (RPPS) atas rencana perdamaian dilakukan sebagai salah satubagian penting dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang. Karena PKPU bertujuan untuk mencapai restrukturisasi utang piutang melalui perdamaian, RPPS menjadi media untuk mencapai tujuan tersebut. Sesuai denga ketentuan Pasal 268 Ayat (1) UUK & PKPU yaitu �apabila rencana perdamaian telah diajukan kepada panitera, hakim pengawas harus menentukan hari terakhir tagihan harus disampaikan kepada pengurus serta tanggal dan waktu rencana perdamaian yang diusulkan itu akan dibicarakan dan diputuskan dalam rapat kreditor yang dipimpin oleh Hakim Pengawas. Tenggang waktu antara hari terakhir tagihan harus disampaikan kepada pengurus dengan RPPS paling singkat 14 (empat belas) hari.� Dengan demikian, jadwal pengajuan tagihan dan RPPS hanya dapat dilakukan apabila debitor telah mengajukan rencana perdamaian.

Dalam rencana perdamaian yang diajukan PT. Karya Utama Sehat Sejahtera kepada para kreditor pada tanggal 10 oktober 2022 di Pengadilan Niaga Medan yang menyatakan �Rencana perdamaian yang terlampir telah dibuat untuk membantu tercapainya restrukturisasi secara konsensual dengan para kreditor dan debitor. Rencana Perdamaian disusun dan disiapkan oleh PIHAK PERTAMA untuk kepentingan pemungutan suara (voting) kreditor pada rapat kreditor yang diselenggarakan di Pengadilan Niaga Medan berdasarkan ketentuanPasal 281 Ayat (1) UUK & PKPU dan menjadi satu kesatuan dalam Perjanjian Perdamaian ini. Serta dalam membuat keputusan, Para Kreditor telah mempertimbangkan dan menganalisan terhadap Rencana Perdamaian, ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat serta seluruh informasi yang terdapat didalam Rencan Perdamaian yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Perdamaian ini, dan termasuk seluruh manfaat dan risiko yang tergantung didalamnya.�Pada proposal perdamaian ini pihak debitor merincinkan bahwa tagihan kreditor preferen terdaftar yang merupakan tagihan dari 92 (sembilan puluh dua) orang dengan jumlah tagihan Rp 8.932.978.314,- (delapan milyar sembilan ratus tiga puluh dua juta sembilan ratus tujuh puluh delapan tiga ratus empat belas rupiah) yang terdiri dari tagihan upah sejumlah Rp 615.157.638,- serta pesangon dan lain lain sejumlah Rp 8.317.820.676,30,-Skema penyelesaian kreditor preferen dilakukan dengan cara dan syarat-syarat yaitu setelah proposal perdamaian disetujui oleh para kreditor preferen dan setelah putusan homologasi di Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tagihan gaji atau upah sejumlah Rp 615.157.638,- dibayar lunas dalam tahun 2022. Tagihan sementara atas pesangon dan lain-lain sejumlah Rp 8.317.820.676,30,- terdiri dari :

a)Putusan Mahkamah Agung No. 315K/Pdt.Sus-PHI/2021 terdiri dari 26 orrang sejumlah Rp. 1.724.384.132,00. Penyelesaian pembayaran akan dilakukan setiap akhir bulan, mulai Januari 2026 dengan cicilan setiap bulan sebesar Rp. 1.500.000,00;

b)Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Medan No. 71/Pdt-Sus-PHI/2021/PN. Mdn atas nama Almarhun Robert P.H Siahaan sejumlah Rp. 414.000.000,00. Penyelesaian pembayaran akan dilakukan setiap akhir bulan, mulai januari 2026 sampai dengan Desember 2033 sebesar Rp. 1.500.000,00 setiap bulan dan Januari 2034 sampai dengan Desember tahun 2034 sebesar Rp. 22.500.000,00 per bulan;

c)�� Putusan Mahkamah Agung No. 27K/Pdt.Sus-PHI/2022 tanggal 25 Januari 2022, amar putusan berbunyi menolak permohonan kasasi ELSYA TRI SUCI dan kawan-kawan (25 orang). Sebanyak 18 orang diantaranya tercantum dalam daftar tagihan sementara dengan jumlah pesangon dll sejumlah Rp. 1.686.350.224,00. Oleh karena itu, tagihan sementara sebanyak 18 orang ini ditolak (tidak dapat diterima).

d)Sebanyak 47 orang kreditor preference dengan jumlah tagihan sementara sejumlah Rp. 4.493.086.320,00. Dalam tagihan sementara ini ada yang telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubunga Idstrial, yaitu Perkara Nomor 73/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Mdn. Perkara Nomor 84/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Mdn dan perkara Nomor 85/Pdt.Sus-PHI/2022/PN/Mdn. Jumlah tagihan sementara ini belum ada Putusan Pengadilan. Oleh karena itu, jumlah tagihan sementara ini ditangguhkan, kaena menunggu Putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah berkekuatan hukum tetap. Serta syarat lainnya yaitu pembayaran dilakukan secara tunai pada saat jatuh tempo pembayaran dan pembayaran harus diterima oleh yang bersangkutan tidak dapat diwakilkan atau dikuasakan dengan membawa Kartu Tanda Penduduk dan kartu NPWP. Untuk kreditor yang telah meninggal dunia harus diterima oleh ahli warisnya dengan membawa Surat Keterangan Ahli Waris, Kartu Tanda Penduduk, dan kartu NPWP.

2)PT. Multiplus Medilab selaku Pemohon PKPU terhadap PT. Permata Ayah Bunda (Rumah Sakit Permata Bunda)

Rumah sakit ini didirikan pada Juli 1987 dan resmi dibuka pada 9 Juli 1988. Namun, akibat pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia, rumah sakit ini turut terdampak. Puncaknya terjadi pada tahun 2020, di mana berbagai masalah muncul, seperti tunggakan gaji pegawai yang menyebabkan sejumlah karyawan melakukan aksi protes. Dampak lainnya adalah diajukannya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap Rumah Sakit Permata Bunda. Permohonan PKPU ini diajukan pada 2 Juli 2022 oleh kreditor, yaitu PT. Multiplus Medilab dan ratusan karyawan rumah sakit yang menuntut pembayaran hak-hak mereka yang sudah lama tertunda.

Konsekuensi hukum yang timbul bagi debitor ketika status PKPU diterapkan adalah penghentian hak kreditor untuk melakukan tindakan eksekusi secara individu guna menagih utang debitor. Hal ini berarti kreditor tidak dapat lagi secara langsung memaksa debitor untuk membayar utangnya selama masa PKPU berlangsung. Selain itu, status hukum debitor sebagai pemilik penuh atas harta kekayaannya juga dibatasi. Dalam kondisi normal, hak kebendaan memberikan kekuasaan penuh kepada pemilik terhadap benda atau asetnya, termasuk kemampuan untuk melawan klaim dari pihak lain. Namun, dalam proses PKPU, kekuasaan debitor atas harta kekayaannya terbatas oleh aturan yang ada dalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU, yang mengatur bahwa pengelolaan dan penguasaan aset debitor akan diawasi dan diatur oleh pengurus yang ditunjuk.

Dengan dimohonkannya PKPU terhadap Rumah Sakit Permata Bunda maka proses persidangan berjalan selama 9 (sembilan) bulan. Dengan hasil putusan seperti yang tertuang pada Putusan Nomor 34/Pdt.Sus-PKPU-Homologasi/2022/PN Niaga Mdn dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.�� Mengabulkan Permohonan PKPU yang diajukan Pemohon PKPU terhadap PT. Permata Ayah Bunda seluruhnya;

2.�� Bahwa Tim Pengurus PT. Permata Ayah Bunda menerima total tagihan seluruh kreditor adala sejumlah Rp. 114.525.828.301,- (seratus empat belas milyar lima ratus dua puluh lima juta delapan ratus dua puluh delapan ribu tiga ratus satu rupiah);

3.�� Bahwa dengan pemungutan suara (voting) yang disetujui 107 (seratus tujuh) kreditor dan 30 (tiga puluh) kreditor tidak setuju makan Homologasi dapat dijalankan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku;

4.�� Bahwa dengan demikian makaPT. Permata Ayah Bunda selaku Termohon PKPU harus membayarkan tagihan-tagihan sesuai Daftar Piutang Tetap (DPT) sesuai nominal yang telah diterima oleh pengurus kepada para kreditornya sesuai dengan perjanjian perdamaian yang sudah di sepakati;

5.�� Bahwa skema pembayaran tiap kreditor memiliki tenggat waktu yang berbeda-beda sesuai yang tercantum pada perjanjian perdamaian.

Dengan adanya putusan PKPU terhadap Rumah Sakit Permata Bunda tersebut selaku Termohon PKPU maka Rumah Sakit Permata Bunda wajib patuh terhadap isi putusan dan menjalankan isi putusan. Karena jika tidak, hal tersebut dapat menyebabkan Kepailitan jika ada kreditor yang mengajukan Permohonan Pembatalan Homologasi. Tentu saj hal tersebut dapat menyebkan Termohon PKPU berada dikeadaan Pailit.

Kedudukan Karyawan Sebagai KreditorPreferen Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

1.�� Kedudukan Karyawan Sebagai Kreditor Preferen

Kreditur preferen adalah kreditur yang memiliki hak untuk diprioritaskan dalam penerimaan pelunasan utang dibandingkan kreditur lainnya. Hak ini diberikan kepada kreditur preferen karena adanya jaminan atau agunan yang diberikan oleh debitor. Namun, sejak dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013, terjadi perubahan penting dalam prioritas pembayaran utang. Putusan MK tersebut menyatakan bahwa �pembayaran upah buruh harus didahulukan atas semua jenis kreditur, termasuk kreditur separatis, tagihan hak negara, dan badan umum yang dibentuk oleh pemerintah.� Putusan ini menegaskan bahwa pembayaran hak pekerja, khususnya upah yang terhutang, harus diutamakan, sementara pembayaran hak-hak pekerja lainnya juga lebih diutamakan daripada kewajiban terhadap kreditur, kecuali kreditur separatis yang memiliki jaminan.

Dalam hukum perdata, kreditor hanya dibagi menjadi dua kategori berdasarkan preferensi, yaitu kreditur yang memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran lebih dahulu dan kreditur lainnya. Sementara itu, dalam hukum kepailitan, pembagian kreditor lebih rinci menjadi tiga kategori: kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Kreditor separatis adalah kreditor yang memiliki hak kebendaan atau hak in rem atas piutangnya, yang memberinya wewenang untuk mengeksekusi objek jaminannya. Kreditor konkuren, di sisi lain, tidak memiliki hak kebendaan khusus, tetapi hanya bergantung pada jaminan umum sesuai dengan Pasal 1131 KUHPerdata, yang menjadikan semua barang milik debitor sebagai jaminan. Kedudukannya lebih rendah dibandingkan kreditor separatis. Sedangkan kreditor preferen, meskipun tidak memiliki jaminan kebendaan, memiliki posisi yang lebih diutamakan dalam pelunasan utang karena adanya ketentuan undang-undang yang memberi prioritas kepada mereka.

Beberapa contoh kreditor yang dapat digolongkan sebagai kreditor preferen antara lain:

a. Utang gaji buruh atau karyawan yang belum dibayar, yang diatur dalam Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

b. Utang pajak, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang mengubah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

c. Pemegang polis dan tertanggung asuransi, apabila perusahaan asuransi mengalami kebangkrutan, yang diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

d. Tagihan pabean, yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Kreditor preferen meimiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan kreditor lain, termasuk kreditor separatis, jika hak mereka dilindungi oleh undang-undang. Contoh hak istimewa ini adalah utang upah buruh dan utang pajak, yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Perpajakan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 mempertegas prioritas upah buruh di atas semua kreditor, termasuk kreditor separatis dan kreditor terkait pajak. Dalam PKPU, persetujuan perdamaian melibatkan pemenuhan kuorum hak suara yang terdiri dari kreditor separatis dan kreditor konkuren, sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Namun, pasal ini tidak memberikan hak suara kepada kreditor preferen, meskipun keputusan perdamaian akan tetap mengikat mereka.

Meskipun kreditor preferen tidak memiliki hak suara secara hukum dalam rapat perdamaian, mereka tetap menjadi bagian yang penting dalam skema penyelesaian utang debitor. Praktik yang umum dilakukan adalah memasukkan mekanisme pembayaran khusus untuk kreditor preferen dalam proposal perdamaian yang diajukan oleh debitor. Langkah ini bertujuan untuk mengakomodasi prioritas kreditor preferen, seperti buruh yang berhak atas upah, sehingga kepentingan mereka tidak diabaikan meskipun mereka tidak terlibat langsung dalam proses pengambilan Keputusan.

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang sudah berkekuatan hukum tetap memiliki efek hukum yang setara dengan putusan perdata pada umumnya, yaitu memiliki kekuatan eksekusi. Secara prinsip, hanya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap yang dapat dijalankan. Sebuah putusan dapat dianggap memiliki kekuatan hukum tetap apabila mengandung pengertian mengenai hubungan hukum yang pasti dan tetap antara pihak-pihak yang terlibat dalam perkara, yang harus dipatuhi dan dipenuhi oleh pihak tergugat.

Putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat berlanjut ke tahap eksekusi apabila pihak yang kalah menolak untuk secara sukarela melaksanakan isi putusan. Proses eksekusi ini dilakukan atas dasar permohonan dari pihak yang menang untuk memastikan pelaksanaan isi putusan sesuai hukum. Sebagaimana diketahui, pelaksanaan eksekusi bukanlah hal yang mudah, termasuk dalam kasus eksekusi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial. Dalam kasus ini, upaya hukum yang diambil oleh karyawan Rumah Sakit Martha Friska melalui Pengadilan Hubungan Industrial tidak membuahkan hasil. Beberapa karyawan bahkan telah mengajukan kasasi, namun tetap tidak mendapatkan pembayaran, meskipun pengadilan telah mengeluarkan anjuran (aanmaning) hingga dua kali, namun tetap tidak ada solusi. Aanmaning adalah somasi yang dikeluarkan oleh pengadilan sebagai peringatan kepada pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata yang telah berkekuatan hukum tetap.

Untuk memastikan bahwa segala upaya hukum yang telah dilakukan tidak sia-sia, mengingat putusan-putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap dan terbatasnya kemampuan pekerja, para pekerja akhirnya mengambil jalur hukum lain dengan mengajukan permohonan PKPU terhadap PT Karya Utama Sehat Sejahtera sebagai Termohon PKPU. Mengingat adanya kendala-kendala dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai Pasal 57 UU PHI, pekerja mencari alternatif jalur hukum perdata yang lebih efektif dan efisien, yaitu dengan mengajukan permohonan PKPU terhadap perusahaan. Hal ini dilakukan karena perusahaan belum memenuhi kewajiban untuk membayar hak-hak normatif pekerja, yang pada dasarnya merupakan utang yang harus dilunasi.

2.�� Kewajiban Debitor Terhadap Kreditor Preferen Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Penangguhan pembayaran pada dasarnya hanya berdampak pada kewajiban debitor terhadap kreditor konkuren yang tidak memiliki jaminan. Namun, jika aset yang menjadi jaminan bagi kreditor preferen, seperti hak gadai, hak tanggungan, atau bentuk agunan lainnya, tidak mencukupi untuk melunasi seluruh utang, maka kreditor preferen tersebut akan beralih status menjadi kreditor konkuren. Dalam kondisi ini, mereka berhak berpartisipasi dan memberikan suara dalam rapat atau sidang yang berlangsung selama masa PKPU. Selain itu, penetapan status PKPU secara tetap juga menghentikan tindakan eksekusi dan penyitaan atas aset yang tidak dijaminkan, bahkan jika tindakan tersebut berkaitan dengan klaim dari kreditor yang memiliki hak kebendaan atau hak istimewa lainnya sebagaimana diatur oleh undang-undang.

Pasal 244 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur kedudukan tagihan kreditor yang dijamin dengan hak jaminan, seperti gadai, fidusia, hak tanggungan, dan hipotek, serta tagihan yang memiliki hak istimewa. Berdasarkan Pasal 244 Ayat (1), dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 246, PKPU tidak berlaku terhadap:

a. Tagihan yang dijamin dengan gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan kebendaan lainnya;

b. Tagihan yang mencakup biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang telah jatuh tempo dan wajib dibayarkan, di mana hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan tersebut, asalkan bukan tagihan dengan hak istimewa;

c. Tagihan yang memiliki hak istimewa terhadap benda tertentu milik debitor atau seluruh harta debitor, yang tidak termasuk dalam Ayat (1) huruf (b).

Akibat berlangsungnya PKPU, kreditor yang memiliki hak jaminan tidak dapat melaksanakan eksekusi terhadap jaminannya hingga periode PKPU berakhir. Demikian pula, kreditor dengan hak istimewa tidak diizinkan menagih piutangnya lebih awal dibandingkan kreditor lain. Ketentuan dalam Pasal 246 menyebabkan Pasal 244 Ayat (1) menjadi tidak efektif bagi kreditor separatis dan kreditor preferen, karena keduanya tidak dapat mengeksekusi hak-haknya selama masa PKPU. Apabila aset yang dijaminkan, seperti hak gadai, hak tanggungan, atau bentuk agunan lainnya, tidak mencukupi untuk melunasi tagihan, kreditor dengan jaminan tersebut akan diberikan kedudukan sebagai kreditor konkuren, termasuk hak untuk ikut serta dalam pemungutan suara selama proses PKPU berlangsung.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan PKPU membawa konsekuensi hukum bagi kreditor preferen dan separatis, di mana kedudukan mereka sementara waktu disamakan dengan kreditor konkuren, terutama terkait pelaksanaan eksekusi jaminan atau penagihan utang. Selain itu, jika nilai harta yang dijaminkan tidak cukup untuk melunasi seluruh tagihan, kreditor separatis akan memperoleh status tambahan sebagai kreditor konkuren. Dalam hal ini, mereka dapat bersama-sama dengan kreditor lainnya melakukan tuntutan terhadap sisa kekayaan debitor yang tidak dibebani hak jaminan.

Dalam PKPU, tujuan utamanya adalah mencapai homologasi atau kesepakatan perdamaian antara debitor dan kreditor guna mencegah terjadinya kepailitan. Perdamaian ini diwujudkan melalui kesepakatan mengenai cara dan waktu pelunasan utang debitor kepada kreditor, baik secara penuh maupun sebagian. Istilah tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004 juga mencakup konsep "restrukturisasi utang" oleh debitor. Berdasarkan Pasal 265, debitor memiliki hak untuk mengajukan tawaran perdamaian kepada kreditor, baik saat mengajukan permohonan PKPU maupun setelahnya. Kemudian, Pasal 267 menyebutkan bahwa �apabila sebelum putusan pengesahan perdamaian berkekuatan hukum tetap terdapat putusan pengadilan yang menyatakan PKPU berakhir, maka rencana perdamaian tersebut menjadi batal. Namun, jika rencana perdamaian disetujui, Hakim Pengawas wajib melaporkan secara tertulis kepada Pengadilan Niaga pada tanggal yang telah ditetapkan untuk pengesahan perdamaian,� sebagaimana diatur dalam Pasal 284. Selanjutnya, pengadilan wajib memutuskan pengesahan perdamaian beserta alasan-alasannya.

Perdamaian yang disahkan memiliki kekuatan hukum yang mengikat seluruh kreditor, kecuali kreditor yang menolak rencana tersebut sesuai dengan Pasal 286. PKPU akan berakhir setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya, pengurus diwajibkan untuk mengumumkan berakhirnya PKPU melalui Berita Negara Republik Indonesia dan minimal dua surat kabar harian.

Pada PKPU PT. Karya Utama Sehat Sejahtera ini, perjanjian perdamaian disepakati pada tanggal 10 Oktober 2022 dengan beberapa kali perubahan dan revisi dari perjanjian perdamaian sebelum-sebelumnya yang cukup banyak melaui pro kontra karena banyak ketidaksepakatan antara debitor dan kreditor. Pada perjanjian perdamaian yang akhirnya disepakati dari total 92 (sembilan puluh dua) orangkreditor preferen selaku karyawan terdapat 18 (delapan belas) orang yang tidak diterima untuk menjadi kreditor preferen yang akan dibayarkan tagihannya dengan alasan bahwa pada tahap kasasi yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 27K/Pdt.Sus-PHI/2022 hasil dari putusannya adalah di tolak. Maka mengacu pada putusan tersebut debitor juga tidak mengakui tagihan tersebut atau menolak tagihan dalam perjanjian perdamaian. Dari jumlah tersebut yaitu 92 (sembilan puluh dua) orang karyawan yang terbagi menjadi 4 (empat) putusan pengadilan yang masuk sebagai kreditor preferen dalam proses PKPU maka ada 74 (tujuh puluh empat) karyawan yang diakui tagihannya dan masuk kedalam perjanjian perdamaian sehingga bisa mendapatkan restrukturisasi utang yang jangka waktu pembayarannya sesuai isi dari perjanjian perdamaian.

Penetapan PKPU berdampak pada status hukum debitor, terutama terkait tindakan yang melibatkan pengelolaan atau kepemilikan hartanya. Pasal 240 Ayat (1) UUK & PKPU menetapkan bahwa debitor dalam status PKPU dibatasi dalam mengelola atau menguasai asetnya tanpa persetujuan dari pengurus. Ketentuan ini memastikan bahwa setiap tindakan terhadap seluruh atau sebagian harta debitor harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu. Dampak lain dari status PKPU adalah penghentian sementara hak kreditor untuk menuntut pembayaran utang secara individu. Selain itu, proses eksekusi yang telah dimulai untuk pelunasan utang juga wajib dihentikan selama periode PKPU berlangsung.

Selama masa PKPU, kendali penuh debitor atas harta kekayaannya tidak lagi berlaku secara mutlak. Hak kebendaan yang biasanya memberikan wewenang langsung terhadap suatu aset serta perlindungan terhadap klaim pihak lain, mengalami pembatasan. Kekuasaan debitor atas hartanya dibatasi oleh aturan yang tercantum dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Apabila debitor melanggar ketentuan ini, pengurus memiliki otoritas untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjaga agar aset debitor tetap terlindungi dari potensi kerugian akibat tindakan yang tidak sesuai.

Menurut Pasal 242 Ayat (1) UUK & PKPU, �selama berlangsungnya masa penundaan kewajiban pembayaran utang, debitor tidak dapat dipaksa untuk melunasi utangnya. Selain itu, setiap tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk pelunasan utang harus dihentikan sementara.� Pasal 245 lebih lanjut menegaskan bahwa pelunasan utang yang timbul sebelum masa penundaan tidak diperbolehkan, kecuali dilakukan secara proporsional kepada seluruh kreditor sesuai dengan besaran piutang masing-masing. Ketentuan ini tetap berlaku dengan memperhatikan Pasal 185 Ayat (3), yang memberikan dasar hukum tambahan dalam pelaksanaannya.

Dalam konteks hukum perjanjian, Pasal 240 Ayat (4) Undang-Undang Kepailitan secara tegas mengatur bahwa debitor hanya dapat mengadakan perjanjian pinjaman dengan pihak ketiga setelah memperoleh persetujuan dari pengurus. Persetujuan ini diberikan dengan syarat bahwa perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan nilai aset debitor. Selain itu, sesuai dengan Pasal 240 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, �setiap pembebanan atas harta debitor hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta yang belum dijadikan jaminan utang.�

Selama masa PKPU, debitor tidak dapat mengajukan permohonan pailit, karena tujuan utama dari penundaan ini adalah untuk memberikan kesempatan bagi debitor dan kreditor mencapai perdamaian. Selain itu, debitor tidak diperbolehkan melakukan tindakan pengelolaan atas harta miliknya, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa persetujuan dari pengurus. Oleh karena itu, setiap transaksi yang dilakukan oleh debitor, seperti Rumah Sakit Martha Friska, harus dilaporkan kepada pengurus. Jika debitor melanggarnya, pengurus berhak mengambil langkah-langkah untuk melindungi harta debitor. Selain itu, kewajiban debitor yang timbul setelah penundaan dimulai hanya dapat dibebankan pada harta debitor jika hal tersebut memberikan manfaat bagi peningkatan nilai asetnya.

Menurut penjelasan Pasal 239 Ayat (1), �setiap tiga bulan setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang dibacakan, pengurus wajib menyampaikan laporan mengenai keadaan harta debitor.� Laporan tersebut juga harus diserahkan ke Kepaniteraan Pengadilan. Dalam hal ini artinya setiap transaksi dari berjalannya Rumah Sakit Martha Friska maka secara rutin setiap 3 (tiga) bulan sekali mereka harus melaporkan keuangannya kepada pengurus. Dalam hal ini bertujuan agar pengurus dapat memastikan bahwa cash flow perusahaan masih berjalan dengan baik untuk dapat menyelesaikat proses PKPU yang sedang berjalan.

Agar rencana perdamaian dalam PKPU dapat tercapai maka pembahasan dan pemungutan suara (RPPS) atas rencana perdamaian dilakukan sebagai salah satubagian penting dalam proses PKPU. Karena PKPU bertujuan untuk mencapai restrukturisasi utang piutang melalui perdamaian, RPPS menjadi media untuk mencapai tujuan tersebut. Sesuai denga ketentuan Pasal 268 Ayat (1) UUK & PKPU yaitu �apabila rencana perdamaian telah diajukan kepada panitera, hakim pengawas harus menentukan hari terakhir tagihan harus disampaikan kepada pengurus serta tanggal dan waktu rencana perdamaian yang diusulkan itu akan dibicarakan dan diputuskan dalam rapat kreditor yang dipimpin oleh Hakim Pengawas. Tenggang waktu antara hari terakhir tagihan harus disampaikan kepada pengurus dengan RPPS paling singkat 14 (empat belas) hari.� Dengan demikian, pengajuan tagihan dan RPPS baru dapat dilakukan setelah debitor mengajukan rencana perdamaian.

Dalam rencana perdamaian yang diajukan PT. Karya Utama Sehat Sejahtera kepada para kreditor pada tanggal 10 oktober 2022 di Pengadilan Niaga Medan yang menyatakan �Rencana perdamaian yang terlampir telah dibuat untuk membantu tercapainya restrukturisasi secara konsensual dengan para kreditor dan debitor. Rencana Perdamaian disusun dan disiapkan oleh PIHAK PERTAMA untuk kepentingan pemungutan suara (voting) kreditor pada rapat kreditor yang diselenggarakan di Pengadilan Niaga Medan berdasarkan ketentuanPasal 281 Ayat (1) UUK & PKPU dan menjadi satu kesatuan dalam Perjanjian Perdamaian ini. Serta dalam membuat keputusan, Para Kreditor telah mempertimbangkan dan menganalisan terhadap Rencana Perdamaian, ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat serta seluruh informasi yang terdapat didalam Rencan Perdamaian yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Perdamaian ini, dan termasuk seluruh manfaat dan risiko yang tergantung didalamnya�

3. Perjanjian Perdamaian Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa PKPU merupakan suatu mekanisme hukum yang memberikan kesempatan kepada debitor yang menghadapi kesulitan keuangan atau yang memperkirakan ketidakmampuan untuk membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo, untuk mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang. Tujuan dari PKPU adalah untuk menyusun rencana perdamaian yang menawarkan pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor konkuren. Proses ini memberikan kesempatan bagi debitor untuk menunda pembayaran utang, dengan harapan bahwa dalam periode yang ditentukan, debitor dapat memperoleh dana yang cukup untuk melunasi kewajibannya secara penuh.

Selama masa PKPU, baik debitor maupun kreditor memiliki kesempatan untuk merundingkan penyelesaian utang melalui rencana perdamaian (composition plan), yang dapat mencakup pembayaran sebagian atau seluruh utang, serta kemungkinan restrukturisasi utang. PKPU dapat diajukan oleh debitor atau kreditor dengan itikad baik, asalkan permohonan diajukan sebelum putusan pailit dijatuhkan. Rencana perdamaian ini memberikan kesempatan bagi debitor untuk merestrukturisasi kewajibannya kepada kreditor. Secara hukum, selama PKPU berlangsung, debitor tidak dapat dipaksa untuk membayar utang, dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai harus dihentikan sementara.

Tujuan utama pemberian PKPU kepada debitor adalah untuk memberikan kesempatan bagi mereka yang menghadapi kesulitan finansial (insolvensi) untuk mengajukan rencana perdamaian dan menghindari status pailit. Selama masa PKPU, debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit, memberikan ruang bagi mereka untuk menyelesaikan kewajiban utangnya. PKPU terbagi menjadi dua periode: pertama, PKPU sementara yang berlaku maksimal 45 hari setelah disetujui pengadilan, dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia serta dua surat kabar harian.

PKPU tetap adalah tahap berikutnya setelah PKPU sementara, yang ditetapkan setelah sidang dan mendapat persetujuan dari kreditor. Periode ini bisa berlangsung hingga 270 hari jika disetujui melalui pemungutan suara oleh kreditor. Batas waktu ini bukanlah tenggat untuk debitor melunasi utangnya, melainkan waktu tambahan yang diberikan oleh pengadilan niaga untuk merundingkan dan mencapai kesepakatan rencana perdamaian antara debitor dan kreditor. Jika kesepakatan tidak tercapai meskipun waktu perpanjangan telah diberikan, pengadilan niaga akan memutuskan untuk menyatakan debitor pailit. Menurut Prof. R. Subekti, perdamaian adalah suatu perjanjian tertulis yang bertujuan mengakhiri atau mencegah timbulnya perkara baru, dengan kedua pihak sepakat untuk menyerahkan, menjanjikan, atau menahan barang sebagai bagian dari penyelesaian.

Perdamaian dapat diajukan sebagai langkah untuk mengakhiri proses PKPU, yang diatur dalam Bab III, Bagian Kedua, Pasal 265-294 UU No. 37 Tahun 2004. Prinsip dasar dari PKPU adalah memberikan kesempatan bagi debitor dan kreditor untuk melakukan restrukturisasi utang selama masa penundaan yang ditetapkan (Pasal 243 Ayat (1) dan Pasal 244 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004). Selama periode ini, debitor tidak dapat dipaksa untuk membayar utangnya, kecuali untuk utang yang diajukan oleh kreditor separatis dan kreditor konkuren, serta kewajiban tertentu seperti utang yang dijamin dengan gadai (Pasal 242 Ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004). Untuk memastikan kelancaran proses, baik debitor maupun kreditor dilarang mengajukan gugatan atau menjadi tergugat dalam perkara yang sama selama PKPU berlangsung (Pasal 243 Ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004). Rencana perdamaian dalam PKPU diatur lebih lanjut dalam Pasal 265 UU No. 37 Tahun 2004.

Berbeda dengan rencana perdamaian dalam kepailitan yang bertujuan untuk menghindari insolvensi dan membagi harta pailit, PKPU bertujuan untuk mencapai kesepakatan antara debitor dan kreditor. Akibat hukum dari PKPU adalah penundaan pembayaran utang bagi debitor dan penundaan penagihan utang bagi kreditor. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 222 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa �debitor dapat mengajukan PKPU untuk menawarkan rencana perdamaian yang mencakup pembayaran sebagian atau seluruh utangnya kepada kreditor, sementara kreditor juga dapat mengajukan permohonan PKPU agar debitor dapat menyusun rencana perdamaian tersebut.� Rencana perdamaian yang diajukan mencakup informasi penting seperti kondisi perusahaan debitor, daftar pemegang saham, rincian kreditor separatis dan konkuren, jumlah utang yang terutang, serta rencana penyelesaian utang dan langkah-langkah restrukturisasi yang meliputi utang dan struktur organisasi perusahaan.

Rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor dalam proses PKPU merupakan tawaran untuk membayar sebagian atau seluruh utangnya kepada para kreditur. Salah satu langkah yang sering ditempuh dalam proses ini adalah rescheduling, yaitu penjadwalan ulang pembayaran utang yang mencakup pelunasan utang pokok, bagi hasil, margin keuntungan, atau biaya lain yang menjadi kewajiban debitor. Selain itu, rescheduling juga dapat dipadukan dengan berbagai mekanisme restrukturisasi utang lainnya, seperti debt to equity swap (konversi utang menjadi saham), pengurangan utang (haircut), penundaan pembayaran bunga tertunggak, penjualan aset, pemisahan ekuitas (equity carve-outs), serta penambahan utang baru, untuk membantu debitor mengatasi kesulitan finansialnya dan melanjutkan operasional bisnisnya.

Dalam rencana perdamaian, para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Asas ini memberikan hak kepada setiap individu untuk membuat perjanjian dengan ketentuan apa pun, sepanjang perjanjian tersebut sah, dibuat dengan itikad baik, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan. Kebebasan berkontrak ini mencerminkan prinsip kehendak bebas dan hak asasi manusia. Rencana perdamaian dalam PKPU akan disetujui oleh pengadilan niaga apabila lebih dari setengah jumlah kreditor yang hadir dalam rapat, yang haknya diakui, sepakat, dan mewakili paling sedikit dua pertiga jumlah total piutang kreditor konkuren yang diakui. Setelah disetujui oleh kreditor, rencana perdamaian tersebut harus memperoleh homologasi dari pengadilan niaga untuk memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Begitu disahkan, perjanjian perdamaian tersebut akan mengikat secara hukum bagi semua pihak yang terlibat, baik debitor maupun kreditor, dengan akibat hukum yang mengikat baik dengan atau tanpa perubahan.

Perjanjian perdamaian yang telah disahkan dan memperoleh kekuatan hukum tetap menandakan berakhirnya penundaan kewajiban pembayaran utang, di mana debitor diwajibkan untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditor sesuai dengan kesepakatan. Kreditor, pada gilirannya, berhak menerima pembayaran sesuai jumlah tagihan dan cara yang telah disetujui bersama. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya.

Dalam konteks PKPU, perdamaian merupakan suatu bentuk perjanjian yang sah. Mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata, agar suatu perjanjian sah, harus memenuhi empat syarat: adanya kesepakatan, kewenangan untuk membuat perjanjian, objek yang jelas, dan kuasa yang sah. Dalam hal ini, kesepakatan harus tercapai antara debitor yang sedang dalam proses PKPU dan kreditor konkuren, dengan masing-masing pihak memiliki kewenangan untuk membuat perdamaian. Objek perdamaian yang dimaksud adalah utang-piutang, yang harus sah dan tidak melanggar hukum, ketertiban umum, atau kesusilaan. Rencana perdamaian itu sendiri berisi tawaran debitor untuk melakukan restrukturisasi utangnya, yang bisa mencakup pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor. Pihak-pihak terkait memiliki kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, mengikuti asas kebebasan berkontrak. Setelah disahkan oleh pengadilan melalui homologasi, perjanjian perdamaian tersebut akan mengikat secara hukum bagi semua pihak yang terlibat.

Secara tegas, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tidak melarang debitor untuk mengajukan PKPU lebih dari sekali. Ini berarti, tidak ada aturan yang mencegah debitor untuk mengajukan permohonan PKPU berulang kali. Contoh nyata dari hal ini terlihat dalam Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 80/2020, yang mengabulkan permohonan PKPU berulang terhadap debitor yang sama. Dengan demikian, penting untuk membahas aspek PKPU berulang ini, guna memahami dampaknya terhadap perjanjian perdamaian yang telah disepakati sebelumnya, serta implikasinya terhadap perjanjian perdamaian yang baru. Pembahasan ini juga relevan untuk membahas situasi yang serupa, seperti ketika kreditor yang tidak terdaftar dalam perjanjian perdamaian sebelumnya mengajukan permohonan pailit.

 

 

KESIMPULAN

PKPU adalah langkah hukum yang krusial bagi karyawan untuk menuntut pemenuhan hak-hak mereka dari perusahaan. Proses ini menciptakan peluang bagi debitor untuk memperbaiki situasi keuangannya, sementara kreditor, termasuk karyawan, berusaha mencapai penyelesaian yang adil. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk berpartisipasi secara kooperatif dalam proses PKPU untuk mencapai perdamaian yang saling menguntungkan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Agitha, A. P. A. H., & Afriana, A. (2021). Penundaan Pengesahan Perdamaian Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Oleh Hakim Dikaitkan Dengan Asas Kepastian Hukum. Jurnal Poros Hukum Padjadjaran, 3(1), 19�36.

Alfiani, A., & Mulyati, H. (2022). Analisis Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Struktur Aktiva Dan Struktur Modal Pada Perusahaan BUMN Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia. Mandiri: Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, 1(2), 1�8.

Bachry, R. A., & Nrangwesti, A. (N.D.). Aspek Hukum Acara Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu)(Https://E-Journal. Trisakti. Ac. Id/Index. Php/Hpph/Article/View/15872).

Casanova, F. Y. (2017). Analisis Putusan Homologasi dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagai Upaya Pencegah Terjadinya Kepailitan (Studi Putusan No. 59/Pdt. Sus-PKPU/2014/PN. Niaga. Jkt. Pst).

Hakim, A. R., & Pratiwi, Y. D. (2022). Positive Legislature dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Upaya Hukum Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Jurnal Konstitusi, 19(4), 952.

Hartini, R. (2020). Hukum kepailitan. UMMPress.

Junaedi, D. (2022). Perdamaian Dalam Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (Kspps) Berkah Bersama Dalam Perspektif Hukum Kepailitan. Fakultas Hukum Universitas Pasundan.

Maniah, M. (2022). Rekonstruksi Regulasi Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Konkuren Dalam Penyelesaian Kewajiban Debitor Pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berbasis Nilai Keadilan. Universitas Islam Sultan Agung.

Pahsyah, H. (2023). Rekonstruksi Regulasi Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berbasis Nilai Hukum Islam. Universitas Islam Sultan Agung.

Pasaribu, E. W. A. (2018). Tinjauan Yuridis Peran Dan Efektivitas Pkpu Dalam Mencegah Terjadinya Kepailitan Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kapailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Rifqi, A. F. (2020). Akibat Hukum Pelepasan Hak Istimewa Oleh Corporate Guarantor Terhadap Hak-Hak Kreditor Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

SIahaan, A. (2023). Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Menyetujui Upaya Hukum Kasasi Atas Putusan Pengadilan Niaga Yang Memeriksa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berdasarkan Putusan Mk No. 23/Puu-Xix/2021.

Yudha, G. N. W., Budiartha, I. N. P., & Widyantara, I. M. M. (2022). Akibat Hukum Penolakan Rencana Perdamaian Debitur oleh Kreditur dalam Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Jurnal Konstruksi Hukum, 3(1), 196�200.

Ahmad Yani, Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Asikin Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Darwis Anatami, Pengenalan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan, Deepublish, Langsa, 2021.

Elyta Ras Ginting, Hukum Kepailitan-Teori Kepailitan, Sinar

Grafika. 2018.

Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata : Hak-hak Yang

Memberikan Kenikmatan, Ind-Hil-Co, Jakarta, 2005.

R. Anton Suyatno. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kencana Pranada Media Group, 2016.

Ricardo Simanjuntak, Undang-undang Kepailitan dan PKPU Indonesia Teori dan Praktek, Kontan Publishing, Jakarta, 2023.

Rio Christiawan, Hukum Kepailitan & Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2020

Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan

Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kencana, Jakarta, 2018.