PERLINDUNGAN HUKUM BAGI INVESTOR MELALUI PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP KETERBUKAAN INFORMASI DI PASAR MODAL INDONESIA

 

 

Elvin, Endang Suprapti, Riana Wulandari Ananto

Universitas Tama Jagakarsa, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]�

 

kata kunci:

perlindungan hukum, pasar modal, prinsip keterbukaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

keywords:

Legal Protection, Capital Market, Information Disclosure Principles.

 

ABSTRAK

 

Dinamisnya perekonomian Pasar Modal pada suatu negara, merupakan wadah bagi para pengusaha swasta dan BUMN dalam pengembangan usahanya. Salah satu hal yang sangat mendasar dalam industri pasar modal adalah keberadaan prinsip keterbukaan informasi sebagai prinsip yang harus dijaga dan diatur untuk kepentingan semua pihak yang terlibat dalam industri pasar modal, untuk menjaga kepercayaan investor lokal maupun asing. Penelitian ini mengangkat tentang perlindungan hukum bagi investor melalui penerapan prinsip-prinisp keterbukaan informasi di pasar modal Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (doktrinal) dengan pendekatan perundang-undangan dan juga studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi di pasar modal Indonesia yang dituangkan dalam UUPM No.8 Tahun 1995 dan beberapa POJK dalam hal keterbukaan informasi yang wajib dilakukan oleh para Emiten. Dan pengaturan POJK ini perlu dilakukan penyesuaian dengan perkembangan dan dinamika pasar modal di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip keterbukaan informasi terus dioptimalkan dalam memberikan perlindungan hukum bagi investor, dan memberikan efek jera bagi para emiten yang melakukan pelanggaran dimaksud.

 

The dynamic nature of the capital market in a country serves as a platform for both private entrepreneurs and state-owned enterprises in developing their businesses. One fundamental aspect of the capital market industry is the principle of information disclosure, which must be upheld and regulated for the benefit of all parties involved, in order to maintain the trust of both local and foreign investors. This research addresses the legal protection for investors through the application of information disclosure principles in the Indonesian capital market. This study employs a normative legal (doctrinal) approach with legislative analysis and case studies. The findings indicate that the principles of information disclosure in the Indonesian capital market are outlined in Law No. 8 of 1995 on Capital Markets and various Financial Services Authority Regulations (POJK) concerning mandatory information disclosure by issuers. Additionally, these POJK regulations need to be adjusted to align with the developments and dynamics of the capital market in Indonesia. This highlights that the application of information disclosure principles is continually optimized to provide legal protection for investors and to impose deterrent effects on issuers who violate these regulations.

Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA .

This is an open access article under the CC BY-SA license.

 

PENDAHULUAN

Tahun 2023 merupakan periode yang bersejarah bagi pasar modal Indonesia. Jumlah perusahaan� (emiten) yang melantai di Bursa Efek Indonesia (selanjutnya disingkat saja dengan BEI) mencapai rekor tertinggi yaitu hingga akhir tahun 2023 sebanyak 903 perusahaan tercatat di BEI dengan total penggalangan dana sebesar 247,06 triliun. Perkembangan terakhir hingga 8 Desember 2023 sebanyak 79 (tujuh puluh Sembilan) perusahaan mencatatkan saham di BEI dan meraup dana sebesar Rp.54,14 Triliun. Ini menunjukkan eksistensi Pasar modal di Indonesia dalam hal� pencarian dana segar dari masyarakat secara langsung untuk pengembangan usaha dan sekaligus menunjukkan bahwa pasar modal sudah semakin dipercaya oleh para pengusaha (Barua & Aziz, 2022; Gatto et al., 2017; Zurbr�gg et al., 2012).

Keberadaan Pasar modal (capital market) di suatu negara� saat ini menjadi acuan untuk melihat� dinamisnya perekonomian negara tersebut. Pasar modal merupakan salah satu tolak ukur yang dapat menggerakkan berbagai kebijakan ekonomi seperti kebijakan fiskal dan moneter yang akan menciptakan kontribusi positif pada pendapatan negara (Ahmed & Zlate, 2014; Caiani et al., 2016; Liu et al., 2022; Zeng et al., 2021).� Eksistensi dan perkembangan pasar modal juga saat ini menjadi sarana bagi kaum muda milenial atau yang populer dinamakan dengan sebutan gen Z sebagai tempat berinvestasi.� Data ini terlihat dalam laporan PT.Kustudian Sentral Efek (KSEI) per Agustus 2023 investor individu berusia 30 (tiga puluh tahun) mencapai 57,04 persen investor dari total investor 11,54 juta orang dengan total aset Rp.50,51 triliun. Posisi ini menunjukkan bahwa pasar modal sudah menjadi tempat bagi milenial (kaum muda) dalam berinvestasi sekaligus menjadi lapangan kerja� yang� cukup menjanjikan di masa depan.

Komponen-komponen tertentu di sektor pasar modal ini yang perlu diatur melalui perangkat peraturan, baik Undang-Undang(UU), Keputusan Pemerintah, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan juga peraturan-peraturan dari lembaga SRO ( Self Reglulation Organization yaitu PT.BEI-PT.KSEI-PT.KPEI) (Coşkun et al., 2017; Fida & Saeed, 2023; Yin, 2021). Sebagai lembaga yang merupakan bagian intergral dalam indusri pasar modal di Indonesia di samping regulator pasar modal, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar eksistensi pasar modal dapat dipercaya oleh para investor. Baik investor dalam negeri maupun investor asing termasuk kepercayaan perusahaan-perusahaan nasional maupun asing untuk melakukan penawaran umum saham perdana initial public offering (selanjutnya disingkat saja dengan IPO) yang tujuan akhirnya meningkatkan investasi secara nasional.

Syarat industri pasar modal yang paling mendasar (pokok) adalah masalah keterbukaan informasi atau disclosure (Blake & Cairns, 2021; Ho et al., 2022; Sha et al., 2022). �Sebagai komponen utama dan terpenting karena dengan prinsip keterbukaan inilah perlindungan terhadap investor (pemodal) dapat dilakukan dan ini mutlak harus dilakukan oleh suatu perusahaan publik Emiten. Keterbukaan (disclosure) tidak saja mewajibkan kepada perusahaan terbuka, melainkan juga mewajibkan keterbukaan kepada perusahaan, khususnya Perseroan Terbatas sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kententuan Pasal 15 sampai dengan Pasal 30 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, selanjutnya disingkat �UUPT. Selain mengharuskan adanya persetujuan Menteri Hukum dan HAM,� kemudian melakukan pengumuman dalam Berita Negara dan pendaftaran dalam daftar perusahaan atas perubahan-perubahan tertentu di dalam anggaran dasar Perseroan Terbatas. Dalam hal ada beberapa perubahan anggaran dasar yang hanya dilaporkan kepada Menteri dan didaftarkan.

Perihal keterbukaan informasi secara teoritis memiliki beberapa terminologi dengan beragam makna yaitu menyebutkan bahwa prinsip keterbukaan informasi sebagai transparency atau full disclosure principle. Transparansi berdasarkan definisi yang luas, adalah keterbukaan atas segala informasi yang akan berimplikasi pada perubahan harga dan transaksi di pasar modal. Pada� pasar modal modern mengenai keterbukaan informasi (disclosure) kepada masyarakat dan khususnya pemodal harus dilakukan dengan memaparkan keadaan, peristiwa, serta fakta yang ada di perusahaan, sehingga investor dapat mengambil keputusan untuk melakukan investasi atas efek suatu perusahaan, baik itu untuk membeli, menjual, atau menahan efek tersebut.

Jika ditelusuri secata teoritis, maka esensi dari prinsip keterbukaan menurut Pasal 1 angka 25 UU No. 8 Tahun 1995 tentang �Pasar Modal (selanjutnya disingkat UUPM) adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten atau Perusahaan Publik, dan pihak-pihak lain yang tunduk� pada UUPM untuk menginformasikan kepada masyarakat luas dalam waktu yang tepat seluruh informasi material mengenai usaha perusahaan atau efeknya yang dapat mempengaruhi terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan harga dari Efek tersebut. Adanya keharusan terhadap keterbukaan yang bersifat wajib (mandatory disclosure) kepada Emiten dimaksudkan agar masyarakat, khususnya investor/pemodal terhindar adanya penipuan yang dilakukan calon Emiten yang efeknya akan dijual kepada masyarakat luas.

Berbeda dengan sektor perbankan, di mana prinsip �kerahasian bank� adalah hal yang mutlak untuk ditaati, maka di sektor pasar modal menerapkan sebaliknya. Keterbukaan informasi memiliki 4 (empat) dimensi penting yaitu: (1) Harus penuh atau lengkap (full disclosure); (2) Benar (true); (3) Jelas (plain); dan (4) Tepat waktu (timely). Ke Empat dimensi ini merupakan hal yang sangat esensi dalam praktek� pada pasar modal di seluruh dunia.

Keterbukaan informasi (disclosure) yang wajib dilakukan oleh Perusahaan publik atau Emiten secara klasifikasi dimulai:

Pemenuhan prinsip keterbukaan ini merupakan suatu bentuk perlindungan kepada masyarakat dan pemodal, baik itu dari segi substasial maupun yuridis:

1.    Emiten melakukan penawaran umum (IPO) atau disebut sebagai primary market level;

2.    Setelah Emiten mencatat dan memperdagangkan sahamnya di bursa atau secondary market level; dan

3.    Pada saat terjadinya peristiwa-peristiwa penting atau fakta material yang harus diungkap/informasikan ke publik atau masyarakat luas termasuk kepada regulator pasar modal (vide POJK No.31/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan atas Infromasi atau Fakta Material Oleh Emiten atau Perusahaan Publik).

Pemenuhan prinsip keterbukaan ini merupakan suatu bentuk perlindungan kepada masyarakat dan pemodal, baik itu dari segi substasial maupun yuridis.

Keterbukaan informasi merupakan pengejawantahan atas prinsip transparansi yang� juga sekaligus merupakan perwujudan dari tata kelola suatu perusahaan yang baik (good corporate governance) (Ardron et al., 2018; Greiling & Spraul, 2010; Roszkowska-Menkes et al., 2024). Esensi dari keterbukaan informasi dalam industri Pasar Modal merupakan alat atau sarana yang diberikan UUPM� kepada para investor untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dengan melakukan tindakan �teliti sebelum membeli�.

Pentingnya prinsip-prinsip keterbukaan informasi tersebut, maka persoalan� yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Apa bentuk pelanggaran keterbukaan informasi bagi investor di pasar modal Indonesia?; (2) Apa bentuk perlindungan terhadap pelanggaran prinsip-prinsip keterbukaan informasi bagi investor di pasar modal Indonesia.

 

 

METODE PENELITIAN

Penelitian hukum ini dilakukan menggunakan motode penelitian hukum normatif atau ada yang menyebutnya dengan istilah yuridis normative (Huhta, 2022; Oermann & Ziebarth, 2015). Fokus penelitian� hukum normatif (doktrinal)� hanya berhenti pada lingkup konsepsi hukum dan kaidah peraturan saja. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normative� ini adalah dengan pendekatan� perundang-undangan (satute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Dalam berbagai literatur dijelaskan bahwa pendekatan Perundang-Undangan menekankan pada penggunaan peraturan Perundang-Undangan� sebagai dasar analisis.Jenis data yang digunakan yaitu jenis data sekunder yang terdiri dari sumber data; bahan hukum primer antara lain UU-PM No.8 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah, dan beberapa peraturan OJK atau disebut dengan POJK yang secara khusus mengatur tentang keterbukaan informasi bagi Emiten di pasar modal; Bahan hukum sekunder antara lain: (1) Buku-buku yang terkait dengan objek penelitian; (2) Pendapat para ahli dan pakar hukum pasar modal (doktrin), Jurnal; karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan pasar modal; dan Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang dapat memperkuat dan memperjelas bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa Indonesia dan termasuk juga ensiklopedia;��

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk Pelanggaran Keterbukaan Informasi bagi Investor di Pasar Modal Indonesia

Dalam ketentuan yang termuat pada Pasal 102 UUPM memberikan wewenang kepada Bapepam (kini OJK) untuk memberikan sanksi administratif atas pelanggaran keterbukaan tersebut, sedangkan ketentuan Pasal 104 dan 107 UUPM menentukan pemberian sanksi pidana bagi pihak yang melakukan perbuatan yang menyesatkan dalam bentuk misrepresentation dan omission, serta insider trading. Sementara itu, dalam ketentuan yang termuat Pasal 111 UUPM menegaskan pula tentang adanya sanksi perdata berupa pertanggungjawaban ganti kerugian atas pelanggaran khususnya juga dalam hal keterbukaan informasi dimaksud yang menyesatkan dan merugikan investor. Eksistensi dari Pasal 111 UUPM ini merupakan bentuk perlindungan secara perdata dan juga pidana atas kerugian yang dialami investor atau pemegang saham atas informasi yang menyesatkan dam merugikan mereka. Pasal 102 ayat (2), sanksi administratif berupa: (a) peringatan tertulis; (b) denda; (c) pembatasan kegiatan usaha; (c) pembekuan kegiatan usaha; (d) pencabutan izin usaha; (e) pembatalan persetujuan; (f) pembatalan pendaftaran.

Untuk menganlisi substansial aturan� pelangaran atas implementasi prinsip keterbukaan informasi ini, maka beberapa hal yang penting untuk diangkat kepermukaan antara lain tentang penyampaian Informasi yang tidak benar dan menyesatkan serta perbuatan manipulasi yang dapat merugikan investor/pemodal publik yang membawa pengaruh kepada keputusan mereka dalam� melakukan investasi atas saham yang dikeluarkan Emiten tertentu. Dalam ketentuan Pasal 78 ayat (1) UUPM ditegaskan bahwasanya setiap prospektus dilarang memuat keterangan yang tidak benar (menyesatkan) tentang fakta material atau tidak memuat atau menyajikan keterangan yang benar tentang fakta material yang diperlukan agar prospektus tersebut tidak memberikan gambaran yang menyesatkan.

Kemudian di dalam ketentuan Pasal 79 UUPM� diungkapkan juga bahwa setiap pengumuman dalam media massa yang berhubungan dengan dengan suatu penawaran umum dilarang memuat keterangan yang tidak benar tetang fakta material dan atau tidak memuat pernyataan tentang fakta material yang diperlukan agar keterangan yang dimuat di dalam pengumuman dimaksud tidak memberikan gambaran yang menyesatkan bagi investor. Pasal 80 UUPM menyatakan pertanggungjawaban para pihak yang telah mengajukan pernyataan pendaftaran tetapi� di dalam prospektusnya memuat informasi yang tidak benar (misleading information) tentang fakta material atau tidak memuat informasi tentang fakta material (omission of fact). Pada intinya terdapat perbedaan dari kedua istilah tersebut.

Kemudian Pasal 80 dan Pasal 81 UUPM menegaskan pula bahwasanya, jika pendaftaran dalam rangka penawaran umum memuat informasi yang tidak benar tentang fakta material atau tidak membuat informasi tentang fakta material sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya sehingga informasi dimaksud menyesatkan, maka pihak-pihak yang ikut menandatangani pernyataan pendaftaran Emiten harus bertanggung jawab baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama� (tanggung renteng) atas kerugian yang timbul akibat perbuatan dimaksud.� Adapun yang dimaksud dengan pihak-pihak yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 80 UUPM tersebut adalah : (1) pihak yang menandatangai pernyataan pendaftaran; (2) Direksi dan komisaris; (3) Penjamin Pelaksana Emisi Efek; (4) Profesi Penunjang Pasar Modal atau pihak lain yang memberikan pendapat atau keterangan yang atas persetujuannya dimuat di dalam pernyataan pendaftaran.

UUPM tidak menyebutkan secara spesifik tentang ancaman atas terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 78 ayat (1), Pasal 79 (1) dan Pasal 80 ayat (1) tersebut, tetapi� hal ini dapat dihubungkan dengan makna yang terkandung di dalam Pasal 107 UUPM�� yang dapat diterapakan atas perbuatan-perbuatan yang disebut dalam Pasal 78 ayat (1). Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 80 ayat (1) di atas. Pasal 107 UUPM menyebutkan bahwa, setiap pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan pihak lain atau menyesatkan Bapepam (kini OJK) menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah,� mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk emiten dan perusahaan publik diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak sebesar� Rp.5.000.000.000,00 (lima milliar rupiah).

Dalam ketentuan Pasal 90 UUPM menyebutkan bahwa dalam kegiatan perdagangan efek, maka setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung, yaitu:

a.     Menipu atau mengelabui pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;

b.    Turut serta menipu atau mengelabui pihak lain; dan

c.     Membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta material atau tidak mengungkapkan fakta material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan� yang terjadi saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarikan kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi pihak lain untuk membeli atau menjual efek tertentu sebagai akibat pernyataan atau informasi dimaksud.

Terhadap tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 UUPM di atas sebenarnya dapat dianggap sama seperti penipuan dalam tindak pidana umum. Hal ini karena kejahatan mengenai efek ini juga telah diatur dalam ketentuan-ketentuan KUHP, yang termuat dalam Pasal 378, 390, 391 dan Pasal 392 KUHP. Tetapi karena luasnya dampak penipuan dalam sektor pasar modal dan berpotensi menimbulkan kekacauan ekonomi secara luas, dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian suatu negara, maka dalam UUPM memperlakukan khusus, antara lain dengan ancaman yang lebih tinggi terhadap kejahatan ini, yaitu maksimal 10 (sepuluh) tahun penjara dan denda� paling banyak Rp.15� Miliar (limabelas milliar rupiah). Hal ini jauh lebih berat dibandingkan dengan ancaman yang tertera dalam KUHP di atas.

Dalam ketentuan Pasal 93 UUPM menegaskan pula, bahwa setiap pihak dilarang dengan cara apa pun membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang secara material tidak benar atau menyesatkan, sehingga mempengaruhi harga efek di bursa pada saat pernyataan tersebut dibuat atau keterangan dimaksud itu diberikan ke publik:

a.     Pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pernyataan atau keterangan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan;

b.    Pihak yang bersangkutan tidak cukup hati-hati dalam menentukan kebenaran material dari pernyataan atau keterangan tersebut dan adanya kalanya memang �disengaja� untuk melanggarnya;

Dari hal di atas jika ditelaah secara mendalam,� tindak� penipuan efek yang paling umum terjadi adalah menggunakan pernyataan/berita yang salah atau menyesatkan� yang mengakibatkan suatu kerugian pihak yang akan membeli atau menjual efek. Dengan kata lain, para investor hanya mengandalkan pernyataan atau informasi yang dikeluarkan oleh Emiten� atau informasi lainnya tentang aksi-aksi korporasi yang dilakukan Emiten yang dapat� mempengaruhi efeknya, termasuk mempengaruhi keputusan investasi dari investor terhadap efeknya atau calon investor akan terpengaruh atas hal ini.

Terhadap sanksi atas pelanggaran atas keterbukaan informasi ini, maka jika ditelaah lebih dalam lagi� maka UUPM� mengenal juga� adanya pengenaan sanksi yang beragam dengan ancaman hukuman yang lebih berat, yaitu sanksi pidana yang tergolong kejahatan dan pelanggaran �dan sanksi administratif. Kewajiban untuk pemenuhan prinsip keterbukaan sudah tentu membutuhkan biaya bagi Emiten� atau perusahaan publik. Biaya ini ada yang bersifat berkala maupun bersifat insidentil pasca penawaran umum dan tergantung pada jenis keterbukaan informasi yang harus dipenuhi oleh Emiten.

Selanjutnya dalam anlsisa ketentuan Pasal 103 hingga Pasal 110 UUPM menegaskan tentang pengenaan sanksi pidana di pasar modal, di mana ada tindak pidana dengan ancaman maksimal 10 (sepuluh) tahun pernjaran dan denda maksimal 15 (limabelas) milliar rupiah, yaitu:

a.     Barang siapa yang secara langsung atau tidak langsung melakukan: (i) menipu atau mengelabui pihak lain dengan menggunakan sarana atau cara apapun; (ii) turut serta menipu atau mengelabui pihak lain; dan (iii) membuat pernyataan yang tidak benar tentang fakta material atau tidak mengungkapkan fakta material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindari kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain atau dengan maksud untuk mempengaruhi pihak-pihak lain;

b.    Barang siapa yang melakukan tindakan baik langsung maupun tidak langsung dengan tujuan menciptakan gambaran� semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar atau harga efek tertentu di bursa;

c.     Barang siapa dengan cara apa pun membuat pernyataan atau memberikan keterangan� yang� secara material tidak benar dan menyesatkan sehingga mempengaruhi harga efek di bursa apabila pada saat pernyataan dibuat atau keterangan diberikan: (i) Dia mengetahui atau sepatutnya mengenatahui bahwa pernyataan� atau keterangan dimaksud secara material tidak benar atau menyesatkan; dan (ii) Pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material dari pernyataan atau keterangan tersebut.

Kemudian juga dapat disebutkan bahwa, untuk penerapan sanksi administratif sebagaimana tertera di dalam �ketentun Pasal 102� ayat (2) UUPM berupa:

1)    Peringatan tertulis, dan dilakukan dengan bertahap, seperti dikelaurkannya SP 1, 2 dan 3 bagi Emiten dari otoritas pasar modal (OJK dan Bursa);

2)    Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu berdarkan keputusan pihak regulator (OJK dan juga Bursa);

3)    Pembatasan kegiatan usaha;

4)    Pencabutan izin usaha;

5)    Pembatalan persetujuan;

6)    Pembekuan kegiatan usaha;

7)    Pembatalan pendaftaran.

Diakui di dalam praktek bahwa dalam penerapan keterbukaan informasi oleh Emiten ini memerlukan biaya yang cukup besar. Sebagai bahan informasi bahwa lembaga Bapepam-LK waktu itu pada tahun 2010, pernah melakukan Studi Biaya Pemenuhan Prinsip Keterbukaan di Pasar Modal Indonesia,� sebagai pemenuhan Surat Edaran Ketua Bapepam-LK No. SE-05/BL/2005 tentang Keterbukaan Informasi dan hasilnya mengenai biaya yang dikeluarkan� dalam rangka penawaran umum, yang mendapatkan fakta bahwa biaya pemenuhan prinsip-prinsip keterbukaan informasi ini berkisar� Rp.750 juta sampai Rp.1 Millar lebih yang harus dikeluarkan Emiten.

Sementera itu keterbukaan yang berifat berkala antara lain adalah laporan tahunan, laporan keuangan berkala, sedangkan keterbukaan informasi yang sifatnya insidentil misalnya, laporan atas aksi korporasi yang dilakukan Emiten mengenai pengabungan usaha, pembelian saham, peleburan usaha, pembentukan patungan usaha, public expose, pemecahan saham, pembagian dividen yang luar biasa sifatnya, Rapat Umum Pemegang Saham� (RUPS) dan Rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPS-LB) jika Emiten melakukan aksi korporasi tertentu yang harus mendapat persetujuan RUPS-LB dimaksud.

Dari pembahasan di atas, maka perlu kajian lebih jauh tentang korelasi antara keterbukaan informasi di pasar modal ini dengan biaya-biaya yang timbul dalam implementasi prinsip keterbukaan� tersebut yang harus dikeluarkan oleh Emiten untuk memenuhi kewajiban utama sebagai suatu Perusahaan Terbuka atau Emiten dan sekaligus untuk jangkauan yang lebih utama yaitu tujuan yang lebih jauh yaitu menghasilkan bentuk pasar modal yang sehat dan menunjang pembangunan perekonomian nasional sebagaimana dijelaskan dalam UUPM.

Sehubungan dengan sanksi administratif di atas, maka dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan OJK Nomor.31/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Atas Informasi Atau Fakta Material Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik menyebutkan sanksi administratif, berupa: a) Peringatan tertulis; b) Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c) Pembatasan kegiatan usaha; d) Pembekuan kegiatan usaha; e) Pencabutan izin usaha; f) Pembatalan persetujuan; g) Pembatalan pendaftaran.

Terhadap sanksi administratif ini juga tercermin dalam Pasal 6 ayat (2) POJK Nomor.60/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu yang juga menyebutkan sanksi-sanksi atas pelanggaran atas keterbukaan informasi seperti halnya yang ditentukan di dalam POJK Nomor.31/POJK.04/2015 yang dijelaskan di atas.

Berdasarkan analisis hukum mengenai substansial berbagai peraturan perundang-undangan tentang keterbukaan informasi disektor pasar modal di atas, maka terlihat peraturan atau ketentuan yang ada dalam UUPM dan juga POJK belum menunjukkan penekanan sanksi yang �keras� terhadap pencegahan terhadap pelanggaran keterbukaan informasi yang dilakukan Emiten. Kedua ketentuan dimaksud memberikan penekanan pada penjatuhan sanksi berupa denda dan sanksi administratif saja dan hal ini membawa konsekuuensi terjadinya pengulangan dari para Emiten melakukan pelanggaran keterbukaan informasi. Pentingnya penekanan sanksi yang �keras� untuk efek jera terhadap pelanggaran keterbukaan informasi ini perlu dilakukan mengingat beberapa hal penting, yaitu:

a.     Untuk menjaga kepercayaan masyarakat atas eksistensi pasar modal di suatu negara;

b.    Untuk menjaga munculnya kerugian yang akan dialami oleh investor atau calon investor;

c.     Untuk memberikan perlindungan maksimal kepada para investor dan calon investor di pasar modal.

Bentuk Perlindungan terhadap Pelanggaran Prinsip-prinsip Keterbukaan Informasi bagi Investor di Pasar Modal Indonesia

Sebagai bentuk perlindungan terhadap pelanggaran peinsip-prinsip keterbukaan informasi, maka penting juga diketahui jenis-jenis pelanggaran yang dilakukan Emiten dan termasuk sanksinya, yaitu:

a.     Keterlambatan Emiten dalam menyampaikan laporan keuangan tiga bulanan (interm), laporan tengah tahunan yang wajib disampaikan oleh Emiten atau pihak-pihak yang tunduk pada UUPM;

b.    Keterlambatan penyampaian laporan keuangan tahunan;

c.     Keterlambatan atas penyampaian beberapa informasi tentang aksi korporasi yang akan dilakukan Emiten;

d.    Keterlambatan penyampaian atas penggunaan dana hasil penawaran umum saham perdana (IPO);

e.     Keterlambatan dalam penyampaian informasi kepada para pemegang saham tentang fakta-fakta material yang dialami Emiten yang membawa pengaruh pada operasional, keuangan dan lainnya bagi Emiten dan dapat mempengaruhi harga efek Emiten di Bursa;

f.     Tidak menyampaikan secara resmi dengan tepat waktu, seimbang atas tindakan-tindakan atau fakta material tertentu yang akan dilaksanakan Emiten, seperti akan melaksanakan corporate action berupa HMETD (hak memesan efek terlebih dahulu atau PUT penawaran umum terbatas), saham bonus, pembagian deviden, stock split, reverse stock dan sebagainya;

g.    Keterbukaan informasi �palsu� atau �bohong� (rumor) yang sengaja disebar oleh oknum Emiten atau oknum-oknum yang ada di luar Emiten yang membawa dampak bagi harga efek di Bursa untuk keuntungan pribadi semata dan informasi ini sangat merugikan pemegang saham lainnya. Hal ini biasanya dilakukan dalam menciptakan manipulasi harga saham atau manipulasi pasar saham;

Dari jenis atau kategori pelanggaran keterbukaan informasi yang disebutkan di atas, maka berdasarkan penelusuran kepustakaan diketemukan beberapa Emiten yang pernah dikenakan sanksi tertentu atas pelanggaran keterbukaan informasi dalam kurun waktu 1998- 2010,� antara lain dapat disebutkan:

a.     PT. Semen Gresik,Tbk (kode saham SMGR) pada tahun 1998. Pihak Emiten SMGR merencanakan akan dilakukan disvestasi saham milik Pemerintah Indonesia, namun informasi material ini belum disampaikan secara resmi ke otoritas pasar modal, namun berita itu telah �bocor� terlebih dahulu di media massa dengan berita akan hadirnya investor �asing� masuk ke Emiten SMGR. Akibat berita ini membuat harga saham SMGR bergerak naik tajam, karena berita-berita tersebut. Akibat keterbukaan informasi yang tidak jelas dan seharusnya pihak Emiten SMGR melakukan keterbukaan informasi tentang rumor tersebut sehingga harga saham SMGR tidak bergejolak secara tidak wajar dan hanya menguntungkan sebahagian investor saja. Pelanggaran yang dilakukan Emiten SMGR ini memunculkan tindakan insider trading sebagaimana hasil pemeriksaan otoritas pasar modal waktu itu (BAPEPAM) dengan menjatuhkan sanksi denda setinggi-tinggiRp.500 juta dan sanksi suspen atas saham SMGR dengan kewajiban melakukan public expose kepada para pemegang sahamnya;

b.    �PT. BCA, Tbk (kode saham BBCA) tahun 2001. Kasus BBCA ini adanya keterlambatan oleh pihak Emiten dalam penyampaian informasi atas akan dilakukannya suatu aksi korporasi yang akan dilaksanakan BBCA dalam waktu dekat (2001). Informasi yang masih �rumor� ini dimanfaatkan oknum (orang dalam BBCA) untuk melakukan tindakan insider trading dengan melakukan perluasan berita yang belum �resmi�diumumkan oleh Emiten BBCA tersebut dan berdasarkan hasil pemeriksaan otoritas pasar modal waktu itu oleh BAPEPAM dan Bursa Efek, maka BBCA dijatuhi sanksi atas adanya manipulasi pasar (transaksi saham) sebagai akibat keterlambatan mengantisipasi adanya informasi material yang dapat mempengaruhi harga saham di pasar bursa. Konsekuensinya saham BBCA dikenakan suspense atas saham Emiten dalam jangka waktu tertentu dan dikenakan sanksi denda; dan ini juga dikenakan terhadap beberapa Emiten di bawah ini: PT.Indosat, Tbk (kode saham ISAT) pada tahun 2002, PT. Bumi Resourses, Tbk (kode saham BUMI) pada tahun 2006; PT.Bakti Investasi, Tbk (kode saham BHIT) pada tahun 2010; PT.Perusahaan Gas Negara, Tbk (kode saham PGAS) tahun� 2007; PT. Exploitasi Eneergi Indonesia, Tbk (CNKO); PT.Dwi Guna Laksana,Tbk (DWGL) dan beberapa Emiten lainnya.

Penyelesaian dan penuntasan kasus-kasus pelanggaran keterbukaan informasi yang� selama dijalankan dengan hanya mengenakan peringatan tertulis, sanksi denda dan suspensi atas saham Emiten yang bersangkutan, maka hal ini menimbulkan dampak pada bentuk:

a.     Munculnya pelanggaran yang berulang yang dilakukan oleh Emiten tertentu dengan berbagai alasan atau latarbelakang tertentu dengan pertimbangan bahwa sanksi yang dijatuhkan sangat �ringan�;

b.    Tidak menimbulkan efek jera atas sanksi yang dikenakan regulator pasar modal kepada Emiten;

c.     Pengawasan dari regulator pasar modal (OJK dan Bursa) sangat lemah dalam melihat perkembangan pelanggaran keterbukaan informasi yang dilakukan Emiten;

Terhadap Emiten-Emiten yang disebutkan di atas, penyelesaian kasusnya hanya dikenakan denda dan sanksi administratif, berupa sanksi tertulis dan dilakukannya penghentian sementara perdagangan sahamnya (suspen) yang jangka waktunya ditentukan oleh pihak Bursa. Fakta ini tentu sangat bertolakbelakang dengan apa yang digariskan dalam UUPM dan juga POJK, di mana penyelesaiannya bukan hanya sanksi denda dan adminsitartif, tetapi jika terbukti lebih jauh lagi pelanggaran ini, maka perlu diterapkan atau adanya sanksi pidana terhadap pihak-pihak yang dengan unsur �kesengajaan� (opzettelijk) untuk melakukan pelanggaran keterbukaan informasi tersebut. Fakta di lapangan bahwa banyak Emiten yang melakukan �pengulangan� melakukan pelanggaran keterbukaan informasi ini dengan latar belakang dan alasan tertentu; Dari penulusuran bahan pustaka lebih jauh lagi, maka masih banyak Emiten yang melakukan pelanggaran keterbukaan informasi khususnya yang dilakukan oleh Emiten dalam pelaksanaan aksi korporasi (corporate action) dan juga dalam pelaksanaan operasional Emiten, penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan juga perihal audit pembukuan perseroan (Emiten) dan mayoritas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran keterbukaan informasi ini, maka terlihat sejak dilakukan oleh lembaga BAPEPAM-LK dan kemudian tahun 2011 berubah menjaga OJK, maka terlihat pihak Emiten sebagai pelakunya hanya dikenakan denda dan sanksi administratif saja sehingga hal ini tidak memberikan efek �jera� dalam menjalankan penegakan hukum dan perlindungan hukum bagi investor sebagai akibat Emiten telah melakukan pelanggaran keterbukaan informasi.

Perlindungan hukum bagi investor ini secara garis lurus bertujuan untuk memberikan keamanan bagi investor dalam berinvestasi dan juga menjaga eksistensi pasar modal sebagai salah satu lembaga berinvestasi bagi masyarakat secara luas, khususnya pada masyarakat modern dewasa ini.

 

 

KESIMPULAN

Bentuk Pelanggaran Keterbukaan Informasi� bagi Investor di Pasar Modal Indonesia, Beberapa bentuk pelanggaran yag terjadi diantaranya berupa informasi material yang belum disampaikan secara resmi ke otoritas pasar modal, keterlambatan oleh pihak Emiten dalam penyampaian informasi atas akan dilakukannya suatu aksi korporasi yang akan dilaksanakan, Keterlambatan Emiten dalam menyampaikan laporan keuangan tiga bulanan (interm), laporan tengah tahunan yang wajib disampaikan oleh Emiten atau pihak-pihak yang tunduk pada UUPM; Keterlambatan penyampaian atas penggunaan dana hasil penawaran umum saham perdana (IPO); Keterlambatan dalam penyampaian informasi kepada para pemegang saham tentang fakta-fakta material yang dialami Emiten yang membawa pengaruh pada operasional, keuangan dan lainnya bagi Emiten dan dapat mempengaruhi harga efek Emiten di Bursa; Bentuk Perlindungan terhadap Pelanggaran Prinsip-prinsip Keterbukaan Informasi bagi Investor di Pasar Modal Indonesia, Implementasi atas penyelesaian� hukum tentang pelanggaran keterbukaan informasi oleh Emiten berdasarkan analisis beberapa kasus dan penyelesaian yang dilakukan OJK dan Bursa Efek, maka secara jelas bahwa penyelesaian dan penuntasan kasus pelanggaran keterbukaan informasi selama ini belum dapat mewujudkan perlindungan hukum bagi investor di pasar modal Indonesia;

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S., & Zlate, A. (2014). Capital flows to emerging market economies: A brave new world? Journal of International Money and Finance, 48, 221�248.

Ardron, J. A., Ruhl, H. A., & Jones, D. O. B. (2018). Incorporating transparency into the governance of deep-seabed mining in the Area beyond national jurisdiction. Marine Policy, 89, 58�66.

Barua, S., & Aziz, S. (2022). Making green finance work for the sustainable energy transition in emerging economies. In Energy-growth nexus in an era of globalization (pp. 353�382). Elsevier.

Blake, D., & Cairns, A. J. G. (2021). Longevity risk and capital markets: The 2019-20 update. Insurance: Mathematics and Economics, 99, 395�439.

Caiani, A., Godin, A., Caverzasi, E., Gallegati, M., Kinsella, S., & Stiglitz, J. E. (2016). Agent based-stock flow consistent macroeconomics: Towards a benchmark model. Journal of Economic Dynamics and Control, 69, 375�408.

Coşkun, Y., Seven, �., Ertuğrul, H. M., & Ulussever, T. (2017). Capital market and economic growth nexus: Evidence from Turkey. Central Bank Review, 17(1), 19�29.

Fida, S., & Saeed, S. (2023). Modelling emission consequences of sectoral value-added: Exploring mediation of financial development and moderation of environmental regulations in European Union. Journal of Cleaner Production, 428, 139373.

Gatto, M., Wollni, M., Asnawi, R., & Qaim, M. (2017). Oil palm boom, contract farming, and rural economic development: Village-level evidence from Indonesia. World Development, 95, 127�140.

Greiling, D., & Spraul, K. (2010). Accountability and the challenges of information disclosure. Public Administration Quarterly, 338�377.

Ho, K.-C., Yang, L., & Luo, S. (2022). Information disclosure ratings and continuing overreaction: Evidence from the Chinese capital market. Journal of Business Research, 140, 638�656.

Huhta, K. (2022). The contribution of energy law to the energy transition and energy research. Global Environmental Change, 73, 102454.

Liu, S., Qi, H., & Wan, Y. (2022). Driving factors behind the development of China�s green bond market. Journal of Cleaner Production, 354, 131705.

Oermann, M., & Ziebarth, L. (2015). Interpreting code�Adapting the methodology to analyze the normative contents of law for the analysis of technology. Computer Law & Security Review, 31(2), 257�267.

Roszkowska-Menkes, M., Aluchna, M., & Kamiński, B. (2024). True transparency or mere decoupling? The study of selective disclosure in sustainability reporting. Critical Perspectives on Accounting, 98, 102700.

Sha, Y., Zhang, P., Wang, Y., & Xu, Y. (2022). Capital market opening and green innovation��Evidence from Shanghai-Hong Kong stock connect and the Shenzhen-Hong Kong stock connect. Energy Economics, 111, 106048.

Yin, C. (2021). International law regulation of offshore oil and gas exploitation. Environmental Impact Assessment Review, 88, 106551.

Zeng, H., Dong, B., Zhou, Q., & Jin, Y. (2021). The capital market reaction to central environmental protection inspection: evidence from China. Journal of Cleaner Production, 279, 123486.

Zurbr�gg, C., Gfrerer, M., Ashadi, H., Brenner, W., & K�per, D. (2012). Determinants of sustainability in solid waste management�The Gianyar Waste Recovery Project in Indonesia. Waste Management, 32(11), 2126�2133.