PERJANJIAN WARALABA (FRANCHAISE) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

 

 

Sudarto 1, Rara Amalia Cendhayanie 2, Dwi Atmoko3

12Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma, Indonesia

3Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Indonesia

Email: 1[email protected], 2[email protected], 3[email protected]

 

kata kunci:

perjanjian, waralaba ( franchaise ), hukum positif

 

 

 

 

 

 

keywords:

agreement, franchise (franchaise), positive law

 

ABSTRAK

 

Waralaba, yang berasal dari kata "wara" berarti istimewa dan "laba" berarti untung, mencerminkan usaha yang memberikan keuntungan lebih. Dalam praktik bisnis, waralaba atau franchise adalah perjanjian antara pemberi waralaba dan penerima waralaba yang mengatur hak penggunaan merek, produk, dan sistem bisnis tertentu. Sistem ini dinilai efektif dalam memperluas pasar dan menciptakan stabilitas ekonomi karena mampu melindungi bisnis dari resesi. Dalam konteks hukum Indonesia, waralaba diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Peraturan ini menekankan pentingnya perjanjian waralaba yang setara antara para pihak, mencakup penggunaan kekayaan intelektual seperti merek dagang, paten, dan desain industri. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan sistem waralaba yang efektif memerlukan regulasi yang lebih spesifik untuk melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak. Rekomendasi praktis meliputi penyempurnaan regulasi terkait pengawasan dan pelaksanaan kontrak waralaba agar lebih transparan dan adil. Selain itu, pemerintah disarankan untuk memperkuat sosialisasi dan pelatihan hukum bagi pelaku usaha waralaba guna meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.

Francing, which comes from the word "wara" means special and "profit" means profit, reflecting a business that provides more profit. In business practice, a franchise is an agreement between a franchisor and a franchisee that regulates the right to use certain brands, products, and business systems. This system is considered effective in expanding the market and creating economic stability because it is able to protect businesses from recession. In the context of Indonesian law, franchising is regulated in the Regulation of the Minister of Trade (Permendag) Number 71 of 2019 concerning the Implementation of Franchises. The regulation emphasizes the importance of equal franchise agreements between the parties, covering the use of intellectual property such as trademarks, patents, and industrial designs. The findings of this study show that the effective implementation of the franchise system requires more specific regulations to protect the rights and obligations of both parties. Practical recommendations include improving regulations related to the supervision and implementation of franchise contracts to be more transparent and fair. In addition, the government is advised to strengthen legal socialization and training for franchise business actors to increase compliance with applicable regulations.

Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA .

This is an open access article under the CC BY-SA license.

 

 

PENDAHULUAN

Negara Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum positif. Tonggak kepastian hukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (Christian, 2019). Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba ditetapkan pada tanggal 23 Juli 2007 (Nomor, 16 C.E.). Pengaturan waralaba di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, sedangkan pengertian waralaba sudah diuraikan pada bab sebelumnya (Amelia & Ansari, 2024). Adapun Aturan-aturan baru yang ada dalam Peraturan Pemerintah baru ini adalah, antara lain: pemberi waralaba diwajibkan memperlihatkan prospektus kepada calon penerima waralaba (Imansah, 2024). Isi prospektus memuat data identitas pemberi waralaba, legalitas usaha pemberi waralaba, sejarah kegiatan usahanya, struktur organisasi pemberi waralaba, laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir, jumlah tempat usaha, daftar penerima waralaba, serta hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba (Savita, 2022).

Beberapa penelitian sebelumnya telah membahas regulasi waralaba di Indonesia. Misalnya, studi oleh �Widiantoro (2024) menyoroti kesenjangan dalam implementasi aturan waralaba, terutama terkait transparansi laporan keuangan dan pelaksanaan kontrak. Sementara itu, penelitian oleh Ayunda (2019) menekankan perlunya penguatan pengawasan pemerintah dalam menjaga kepatuhan pelaku usaha waralaba.

Waralaba di Indonesia secara terbaru diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Waralaba (Rayhan, n.d.). Penyelenggaraan waralaba didasarkan pada perjanjian waralaba yang dibuat antara para pihak yang mempunyai kedudukan hukum yang setara (Idrus, 2017). Franchise merupakan salah satu cara efektif untuk menjawab tantangan di jaman modern, dikarenakan tidak membutuhkan investasi secara langsung tetapi melibatkan pihak lain untuk bekerjasama. Dalam sistem waralaba, penerima waralaba diberikan hak untuk memanfaatkan hak atas kekayaan intelektual dan sistem kegiatan operasional dari pemberi waralaba, baik penggunaan merek dagang, merek jasa, hak cipta atas logo, desain industri, paten mau pun rahasia dagang (Effendi, 2021). Pemberi waralaba memperoleh royalti atas penggunaan hak atas kekayaan intelektual dan sistem kegiatan operasional oleh penerima waralaba (Syafiina & Cahyani, 2024). Hal ini berarti, bahwa penerima waralaba menjalankan sendiri usahanya dengan memanfaatkan metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba, yang membawa akibat lebih lanjut bahwa usaha dengan sistem waralaba adalah usaha mandiri yang tidak mungkin digabungkan dengan kegiatan usaha lainnya, sehingga pemberian waralaba harus bersifat eksklusif, bahkan mewajibkan terjadinya non-competition clause bagi penerima waralaba sampai berakhirnya pemberian waralaba.

Padahal waralaba adalah termasuk sistem bisnis yang selama ini menjalankan usahanya dengan melakukan perjanjian tertutup (Atmoko, 2019). Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan mengenai berlakunya asas kebebasan berkontrak yaitu bahwa para pihak bebas melakukan kontrak apapun sepanjang tidak bertentangan dengan hukum positif, kepatutan dan ketertiban umum (Fitraya, 2024). Lebih lanjut, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Warouw, 2021). Sekalipun perjanjian waralaba tidak termasuk sebagai perjanjian bernama, namun ketentuan-ketentuan umum mengenai suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456 KUH Perdata tetap berlaku terhadap perjanjian waralaba.

Dalam bidang perekonomian, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki kemakmuran masyarakat secara merata, bukan kemakmuran secara individu (Nakulanang, 2020). Secara yuridis melalui norma hukum dasar (State Gerund Gezet) sistem perekonomian yang diinginkan adalah sistem yang menggunakan prinsip keseimbangan, keselarasan, serta memberi kesempatan usaha bersama bagi setiap warga negara yang secara tegas, Pasal 33 UUD 1945 merupakan konsep dasar perekonomian nasional yang menurut Mohammad Hatta berdasarkan sosialis-kooperatif (SANTOSA, 2018).

Selain itu, sebenarnya aturan-aturan yang terkait dengan persaingan usaha juga telah ada dalam berbagai peraturan-peraturan perundang- undangan, namun tentu belum terintegrasi dan komfrehensif (Rengganis & SH, 2021). Seperti terdapat pada KUHP; KUHPerdata; Ketetapan-Ketetapan MPR; UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria; UU No. 5 Tahun 1984; tentang Perindustrian; UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek; PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum; UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; UU No. 8 Tahun1995 tentang Pasar Modal; dan PP No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Akhirnya, jaminan terhadap terjadinya persaingan usaha yang sehat dan jauh dari tindak monopolis berhasil diwujudkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan hak inisiatifnya dengan membuat Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 diharapkan dapat merekayasa (engeneering) kondisi persaingan dalam bisnis secara jujur, dan transparan, sehingga mewujudkan keadilan dan kesejahteraan merata bagi masyarakat.

Secara sosio-ekonomi, lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat adalah dalam rangka untuk menciptakan landasan ekonomi yang kuat untuk menciptakan perekonomian yang efisien dan �bebas� dari distorsi pasar. Ekonomi yang kuat dan efisien adalah kata yang sangat mahal pada masa orde baru . Sebab, pada masa orde baru, pembangunan yang dilakukan tidak berdasarkan pada teori hukum pembangunan. Prestasi pembangunan ekonomi pada saat itu disebut succes strory tidak disokong pondasi yang kuat dan akhirnya sangat rapuh pada saat ditimpa krisis.Dalam kajian ekonomi dipahami bahwa strategi ekonomi pembangunan pada saat itu lebih berorientasi pada pertumbuhan (growth)

yang antara lain menggunakan strategi substitusi impor. Adapun dalam hal pendistribusian barang hanya dikuasi oleh orang-orang tertentu. Selain itu, krisis ekonomi yang terjadi disebabkan manajemen ekonomi pemerintahan orde baru yang telah merusak pilar-pilar ekonomi dalam dunia perbankan, kebijakan moneter, dan pinjaman utang luar negeri yang sangat tinggi.

Puncaknya pada tahun 1998 terjadi krisis moneter di Asia, mulai dari Thailand dan merambat ke Indonesia. Krisis tersebut terus berlanjut pada krisis yang bersifat multidimensi terutama kondisi politik yang berakibat jatuhnya kekuasaan rezim orde baru. Akibatnya para pelaku ekonomi dan konglomerat yang tidak mempunyai pijakan ekonomi yang kuat yang berdasarkan inovasi, kreasi dan produktifitas serta pertumbuhan yang berbasis sektor riil menjadi ambruk. Para pengusaha yang bermain di pasar uang mengalami guncangan yang maha dahsyat. Bagi pelaku usaha perbankan yang dengan menggunakan utang dalam bentuk dolar dan biasanya dalam jangka pendek telah jatuh tempo, sehingga menjadikan dolar melambung. Pemberian dana talangan oleh IMF bukanlah tanpa syarat, secara regulatif utang dapat dikucurkan dengan persyaratan Indonesia harus melakukan reformasi sistem ekonoi dan hukum ekonomi tertentu, diantaranya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Kehadiran Undang-Undang persaingan usaha di Indonesia merupakan pra syarat prinsip ekonomi modern. Yakin prinsip yang dapat memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk bersaing secara jujur dan terbuka dalam berusaha. Dengan Undang-Undang ini, pelaku usaha diharapkan menyadari kepentingan untuk mencari keuntungan yang sebesar- besarnya tetapi harus dilakukan dengan cara persaingan yang jujur.

 

 

METODE PENELITIAN

Penelitian yang digunakan dalam penulsan inin adalah yuridis normatif� ditunjang dengan buku- buku� kepustakaan� Oleh Soerjono Soekanto mengungkapkan lingkup dari penelitian adalah meneliti asas-asas hukum, meneliti sistematika hukum, penelitian terhadap sinkronisasi hukum secara vertikal dan horisontal, penelitian Perbandingan hukum, serta penelitian terhadap sejarah hukum. Peneliti melakukan penafsiran terhadap asas-asas hukum perlindungan hukum ruang laut dalam konteks pelestarian sumber daya kelautan. Oleh karenanya penelitian akan melakukan dan mencari asas hukum yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan maupun kebiasaan yang ada (tersurat). Berdasarkan jenis penelitian yang digunakan maka juga akan dilakukan pendekatan penelitian yang akan digunakan oleh penulis. Adapun pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) Berdasarkan jenis penelitian yang digunakan maka juga akan dilakukan pendekatan penelitian yang akan digunakan oleh penulis.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seputar Perjanjian Waralaba ( Franchaise) dalam hukum positif

Pada masa lalu dimana sebagai sebuah wacana, sejak tahun 1970-an sikap anti monopoli dan persaingan usaha secara sehat telah dibicarakan di Indonesia. Sebab, struktur ekonomi pada masa orde baru memerlukan seperangkat Undang- Undang yang dapat mengkoreksi struktur ekonomi yang bersifat dominasi dan monopolistik oleh orang-orang tertentu, terutama orang atau golongan yang termasuk dalam pusaran kekuasaan (linkage power). Dalam perjalanannya, keinginan dan wacana ini belum dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan political will pemerintah dalam bidang ekonomi yang belum berpihak.Kemudian, keinginan untuk membentuk sebuah Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang persaingan usaha dan anti monopoli telah dipikirkan oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta instansi pemerintah.

Bahkan pasca lahirnya Undang-Undang ini juga menimbulkan pro dan kontra. Secara politis maupun ekonomis, terdapat pihak-pihak yang kurang bisa menerima Undang-Undang ini lebih pada posisi yang lemah dan euphoria politik yang kecil. Secara hubungan internasional, lahir dan berlakunya Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 juga merupakan konsekuensi atas diratifikasinya perjanjian arrakesh oleh DPR dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 yang mengharuskan Indonesia membuka diri dan tidak boleh memberikan perlakukan diskriminatif, seperti pemberian proteksi terhadap entry bearier suatu perusahaan dan adanya tekanan IMF yang telah menjadi kreditor bagi Indonesia dalam rangka membatasi krisis moneter yang telah dahsyat melanda dan menjadikan terpuruknya ekonomi Indonesia secara luas.

Pada hakikatnya keberadaan hukum persaingan usaha adalah mengupayakan secara qoptimal terciptanya persaingan usaha yang sehat (fairkompetation) dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar pelaku usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para persaingnya. Berkaitan dengan hal itu, maka keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan UsahaTidak Sehat atau Undang-Undang Antimonopoli yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan memerhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia.Secara umum, hukum persaingan usaha bertujuan untuk menjaga �iklim persaingan� antar pelaku usaha serta menjadikan persaingan antar pelaku usaha menjadi sehat. Selain itu, hukum persaingan usaha bertujuan menghindari terjadinya ekploitasi terhadap konsumen oleh pelaku usaha tertentu serta mendukung sistem ekonomi pasar yang dianut oleh suatu ��negara. Selain tujuan umum, masing-masing negara mempunyai tujuan khusus menghadirkan hukum persaingan usaha. Di Amerika Serikat, hukum persaingan usaha bertujuan melindungi sistem kompetisi (preserve competititve system); di Jerman, bertujuan memajukan kesejahteraan dan kebebasan warga negara; dan di Swedia, bertujuan mencapai pemanfaatan optimal dari sumber-sumber yang ada di masyarakat.Waralaba ( Franchaise) dalam Hukum Poisitif di Indonesia

Saat ini segala sesuatunya telah berkembang dengan pesat. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai bidang, seperti yang terlihat pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, bidang pembangunan serta kemajuan di bidang ekonomi. Kemajuan di dalam bidang ekonomi, dapat dilihat dari mulai banyaknya masyarakat yang mencoba-coba suatu bisnis baik yang telah ada, sedang berkembang, maupun menciptakan suatu bisnis yang baru. Hal tersebut disebabkan pada zaman globalisasi ini, mendorong masyarakat untuk terus berpikir keras agar terus menciptakan sesuatu hal yang baru, sehingga secara tidak langsung mendorong masyarakat untuk berlomba-lomba pula menciptakan suatu kreatifitas baru yang tentunya tujuannya adalah untuk mendapatkan suatu pemasukan baru guna memenuhi kebutuhan mereka tersebut.Proyeksi tren bisnis waralaba di Indonesia akan tetap menjanjikan, selama baik franchisor maupun franchisee memegang teguh komitmen untuk terus menerus meningkatkan kualitas produk atau jasa yang mereka jual. Hal yang menarik dari isu waralaba nasional ialah pertumbuhan waralaba lokal saat ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan waralaba asing di Indonesia.Oleh karena itu karena besarnya peluang bagi waralaba lokal untuk meningkatkan peranannya dalam bisnis waralaba di negara sendiri, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah kebijakan bagi tumbuh kembangnya bisnis waralaba lokal.

Sejalan dengan perkembangan waktu dan perubahan gaya hidup masyarakat juga berpengaruh pada pola gaya hidup masyarakat di Indonesia. Hal ini diikuti dengan perkembangan pendidikan atau bimbingan belajar kepada anak-anak juga semakin tinggi. Bimbingan belajar yang dijadikan sebuah peluang bisnis, oleh karena itumasyarakat juga menciptkan peluang bisnis pada anak-anak yaitu bimbingan belajar baik itu Bahasa Inggris, Matematika dll.Banyaknya orang tua di Indonesia menginginkan anak - anaknya cerdas dan pintar, mendorong para orang tua memberikan anak-anak mereka les tambahan atau bimbingan diluar jam sekolah.Hal ini menjadi peluang usaha bagi para pelaku bisnis maupun para pendidik.Apabila kita mempunyai kemampuan di bidang ilmu pengetahuan yang bagus serta bisa sabar dalam menghadapi anak-anak tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk menangkap peluang usaha tersebut.

Seiring dengan semakin padatnya populasi penduduk yang tidak diikuti peningkatan penghasilan perkapita menjadikan masyarakat memiliki beban berat dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini kebutuhan hidupmanusia yaitu, meliputi pangan, sandang, dan papan serta kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat pula terutama salah satunya di Indonesia, pemenuhan kebutuhan pendidikan baik formal maupun non- formal sangat dibutuhkan karena hal ini dapat memberikan dampak yang besar terhadap penduduk dalam rangka peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia). Ada dua jenis pendidikan yang kita kenal di masyarakat kita, yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal (seperti kursus atau bimbingan belajar) Pendidikan formal jelas tujuannya untuk memperoleh jenjang keberhasilan yaitu kelulusan. Disisni kita akan mendapat titel seperti Ahli madya, sarjana, magister dan sebagainya. Dalam hal ini pendidikan luar sekolah memiliki peranan yang tidak kalah penting.

Pendidikan ini berfungsi untuk membantu sang ank didik untuk memaksimalkan potensinya yang mungkin belum seluruhnya bisa diperoleh melalui jenjang pendidikan formal. Baik tidaknya mutu dan kualitas jasa sebetulnya sangat dipengaruhi oleh fasilitas yang diberikan kepada customer. Apabila fasilitas yang diberikan itu memadai maka bukan tidak mungkin jika usaha yang kita jalankan akan memenuhi baik mutu maupun kualitasnya. Adapun jenis fasilitas pokok yang seharusnya diberikan pada siswa didik antara lain, yaitu pemberian materi dan teknik pengajaran dalam memenuhi kepuasan siswa didik adalah para staff pengajarnya. Sistem pengajaran yang memuaskan akan menjadi senjata ampuh dalam mengembangkan usaha tersebut.Untuk itu lembaga kursus menjadi salah satu alternatif yang dipilih masyarakat untuk lebih menggali potensi yang dimiliki siswa didik, memperkaya ilmu dan memberikan pelajaran yang tidak sepenuhnya didapat anak didik dari sekolah.

Dengan adanya lembaga ini yang memberikan pelayanan terbaik untukanak didik dengan biaya yang terjangkau untuk semua kalangan Dengan kata lain lembaga ini dapat memenuhi kebutuhan pendidikan setiap peserta didik tanpa menitik beratkan biaya yang menjadi beban para orangtua peserta didik melalui sistem franchise.Meskipun konsep franchise terbukti sangat banyak diminati oleh para pebisnis asing maupun lokal, namun hingga saat ini perkembangan franchise lokal masih jauh tertinggal dibandingkan franchise asing. Perkembanganfranchiseasing selalu mengutamakan bagaimana mereka membangun bisnisnya sehingga dalam mencari calon mitranya atau franchiseenya mereka sangat selektif tidak sembarang karena mereka tahu betul bahwa mitra atau franchisee mereka merupakan ujung tombak perbisnisannya. Untuk setiap calon mitra atau franchisee mereka memang sudah memahami betul karakter maupun kemampuan mitranya. Hal ini berbeda jauh dengan pelaku bisnis franchise lokal yang masih saja lebih mengutamakan mencari duit daripada membangun bisnisnya sehingga dalam mencari mitra atau calon franchisee kurang selektif dan tidak memahami karakter dan latar belakang calon franchiseenya.Jika hal ini dibiarkan maka sudah tentu bisnis franchise ditanah air kita akan kalah bersaing dengan bisnis franchise asing yang kian berkembang. Munculnya bisnis waralaba tentu membawa suatu konsekuensi logis terhadap dunia hukum sehingga diperlukan pranata hukum yang memadai untuk mengatur bisnis tersebut, demi terciptanya kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat dalam bsinis tersebut.

Dinamika Perjanjian Waralaba ( Franchaise) di Indonesia

Perjanjian franchise merupakan suatu pedoman hukum yang menggariskan tanggungjawab dari pemberi waralaba dan penerima waralaba.Perjanjian waralaba tersebut merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para pihak dari perbuatan merugikan pihak yang lain. Hal ini dikarenakan dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk menengakkan perlindungan hukum bagi para pihak. Jika salah satu pihak melanggar isi perjanjian, maka pihak yang lain dapat menuntut pihak yang melanggar tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku.Perjanjian waralaba memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan komitmen yang dibuat oleh para pihak franchisor maupun franchiseenya. Di dalam perjanjian waralaba tercantum ketentuan berkaitan dengan hak dan kewajiban franchisee dan franchisor misalnya hak territorial yang dimiliki franchisee, persyaratan lokasi, biaya-biaya yang harus dibayar oleh franchise kepada franchisor ketentuan berkaitan dengan lama perjanjian waralaba dan perpanjangannya dan ketentuan lain yang mengatur hubungan antara franchisee dengan franchisor.Hal- hal yang diatur oleh hukum dan perundang-undangan merupakan das sollen yang harus ditaati oleh para pihak dalam perjanjian waralaba, jika para pihak mematuhi semua peraturan tersebut, maka tidak akan muncul masalah dalam pelakasaan perjanjian waralaba, akan tetapi sering terjadi das sein menyimpang dari das sollen. Penyimpangan ini menimbulkanwanprestasi.Adanya wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.Terhadap kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan perjanjian waralaba ini berlaku perlindungan hukum bagi para pihak yang dirugikan, yaitu pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyebabkan kerugian.Seperti perjanjian pada umumnya ada kemungkinan terjadi wanprestasi didalam pelaksanaan perjanjian waralaba.wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera didalam perjanjian waralaba.

�Pada prinsipnya, peyelenggaraan waralaba tidak jauh berbeda dengan pembukaan kantor cabang. Hanya saja dalampembukaan kantor cabang segala sesuatu didanai dan dikerjakan sendiri, sedangkan pada waralaba penyelenggaraan perluasan bisnis tersebut didanai dan dikerjakan oleh pihak lain yang dinamakan penerima waralaba atas risiko dan tanggung jawabnya sendiri, dalam bentuk bisnis sendiri, namun sesuai dengan arahan dan instruksi serta petunjuk pemberi waralaba. Pada sisi lain waralaba juga tidak berbeda jauh dari bentuk pendistribusian dalam kegiatan perdagangan barang dan atau jasa.Keduanya mempergunakan Hak Kekayaan Intelektual yang sama, milik pemberi waralaba atau prinsipal (dalam bentuk kegiatan distribusi). Hanya saja distributor menyelenggarakan sendiri kegiatan penjualannya, sedangkan dalam pemberian waralaba, penerima waralaba melaksanakan segala sesuatunya berdasarkan pada �arahan� atau �petunjuk� atau �instruksi� yang telah ditetapkan atau digariskan oleh pemberi waralaba.Suatu perusahaan kemungkinan besar merupakan waralaba jika Anda sering menjumpai tempat makan, kafe, dan kios makanan dengan nama yang sama di beberapa kota atau kota. Banyak orang enggan meluncurkan bisnis baru karena mereka memiliki masalah kepercayaan diri. Pengusaha ini dapat dengan tenang mengelola bisnis mereka meskipun mereka memiliki sedikit keahlian atau pengalaman manajemen bisnis berkat struktur waralaba. Fakta bahwa mengoperasikan perusahaan waralaba memerlukan keuntungan lebih besar menempatkan banyak orang pada posisi yang kurang menguntungkan. Namun, ada banyak biaya operasional yang akan mengurangi pendapatan pemilik waralaba dan membuat hal ini tidak mungkin terjadi.. diimbangi dengan kehati-hatian dan pemikiran ke depan dari manajemen.Sinergi bisnis semacam itu memang dinilai menggiurkan. Tanpa harus menggunakan uang sendiri, jaringan pemasaran dan omzet dapat berkembang lebih pesat untuk merebut kepercayaan masyarakat terhadap reputasi bisnis waralaba. Selain itu, pewaralaba akan mendapat untung dari biaya manajemen dan royalti.

Di satu sisi, ada pemilik bisnis yang sukses mengoperasikan perusahaannya tetapi kekurangan dana untuk ekspansi ke perusahaan yang lebih besar. Ini mengarah pada pengembangan ide waralaba. Namun, ada orang kaya yang tidak memiliki keterampilan atau latar belakang yang dibutuhkan untuk mengelola perusahaan di sektor tersebut. Tujuan bersama antara kedua pewaralaba ini menghasilkan tingkat kolaborasi bisnis tertentu. suatu bentuk kolaborasi antara pemilik perusahaan yang kekurangan modal serta mereka yang ingin meluncurkan perusahaan tetapi tidak memiliki keahlian atau� pengalaman bisnis sebelumnya. Kesepakatan antara keduapihak ini biasanya dituangkan dalam kontrak atau dokumen bisnis. Karena pemilik waralaba dan penerima lisensi diharuskan untuk mengejar tujuan tertentu, waralaba adalah bisnis timbal balik. Sebuah kontrak menetapkan kesepakatan hukum atau hubungan antara para pihak, Memastikan hak dan kewajiban setiap orang.Para pihak diharuskan untuk menjunjung tinggi ketentuan perjanjian mereka. Kontrak melayani pencipta dengan baik sebagai aturan, peraturan, dan bukti. Karena semua perjanjian telah dibuat sebelumnya dan digariskan dengan jelas, maka ada kontrak yang kokoh untuk mencegah perselisihan. Saat ini, banyak waralaba tradisional beroperasi berdasarkan prinsip yang menguntungkan pemilik waralaba dan merugikan penerima waralaba, seperti ketika menetapkan biaya royalti.

 

 

KESIMPULAN

Waralaba merupakan suatu perikatan / perjanjian antara dua pihak dimana semua ketentuannya mengacu pada Kitab Undang - Undang Hukum Perdata yaitu Pasal 1313 KUHPerdata tentang perjanjian, Pasal 1320 KUH Perdata tentang sahnya perjanjian dan ketentuan Pasal 1338 ayat ( 1 ) KUHPerdata tentang asas kebebasan berkontrak. Perjanjian waralaba adalah perjanjian yang tidak bertentangan dengan undang � undang, agama, ketertiban umum, dan kesusilaan. Artinya perjanjian itu menjadi undang - undang bagi mereka yang membuatnya, dan mengikat kedua belah pihak. Perjanjian bisnis waralaba ini merupakan perjanjian baku timbal balik dimana masing - masing pihak berkewajiban melakukan prestasi.. Perjanjian waralaba adalah perjanjian yang tidak bertentangan dengan undang � undang, agama, ketertiban umum, dan kesusilaan. Artinya perjanjian itu menjadi undang - undang bagi mereka yang membuatnya, dan mengikat kedua belah pihak. Perjanjian bisnis waralaba ini merupakan perjanjian baku timbal balik dimana masing - masing pihak berkewajiban melakukan prestasi. Pada prinsipnya pelaksanaan waralaba tidak berbeda jauh dengan pembukaan kantor cabang. Yang membedakannya adalah dalam pembukaan kantor cabang segala sesuatu didanai dan dikerjakan sendiri, sedangkan waralaba dalam pelaksanaan perluasan usahanya didanai dan dikerjakan oleh pihak lain yang disebut dengan penerima waralaba (franchisee) serta resiko dan tanggung jawab dalam usahanya sendiri, namun harus sesuai dengan arahan dan instruksi serta petunjuk dari pemberi waralaba (franchisor)

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, S., & Ansari, T. S. (2024). Aspek Hukum Perjanjian Waralaba Ditinjau Dari Hukum Perdata Dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 10(15), 655�662.

Atmoko, D. (2019). Pelaksanaan Perjanjian Serta Perlindungan Hukum Praktek Bisnis Waralaba di Indonesia. Krtha Bhayangkara, 13(1), 44�75.

Ayunda, R. (2019). Implementasi Pembinaan dan Pengawasan Waralaba di Bimbingan Belajar Primagama Kota Batam. Journal of Law and Policy Transformation, 4(2), 71�86.

Christian, B. G. (2019). Peranan Pemerintah Terhadap Usaha Waralaba Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Warabala. Lex Privatum, 7(2).

Effendi, A. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Franchisor dan Franchisee Pada Usaha Waralaba Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual (Studi Aspek Hukum Perjanjian). Jurnal Inovasi Penelitian, 2(2), 533�548.

Fitraya, F. (2024). Surrogate Mother (Sewa Rahim) Sebagai Salah Satu Solusi Mengurangi Angka Perceraian di Indonesia Berdasarkan Pasal 1338 Kuhperdata Tentang Kebebasan Berkontrak dan Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ditinjau Menurut Hukum Islam. Universitas Islam Indonesia.

Idrus, N. S. (2017). Aspek Hukum Perjanjian Waralaba (Franchise) Dalam Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam. Jurnal Yuridis, 4(1), 28�45.

Imansah, R. (2024). Pembatalan Akta Perjanjian Waralaba Teknologi Tuss yang dibuat di Hadapan Notaris. Universitas Islam Indonesia.

Nakulanang, A. (2020). Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi Politik dan Ekonomi dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pengembangannya dalam Sistem Politik Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan V Prodi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 118.

Nomor, P. P. (16 C.E.). Tahun 1997 tentang Waralaba.

Rayhan, F. (N.D.). �Penerapan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 Tentang P. Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.

Rengganis, D. R. D. P., & SH, M. H. (2021). Hukum persaingan usaha: perangkat telekomunikasi dan pemberlakuan persetujuan ACFTA. Penerbit Alumni.

Santosa, P. A. (2018). Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Melalui Pemeriksaan Tambahan Berdasar Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005.

Savita, U. O. (2022). Penerapan Prinsipdisclosure Terhadap Prospektus Penawaran Dalam Perjanjian Kerjasama Waralaba. Jurnal Magister Hukum ARGUMENTUM, 8(1), 31�46.

Syafiina, A. M., & Cahyani, R. R. (2024). Waralaba Franchiese di Indonesia. Jurnal Inovasi Manajemen, Kewirausahaan, Bisnis Dan Digital, 1(2), 104�113.

Warouw, J. E. (2021). Pembuktian Perjanjian Tidak Tertulis di Hadapan Pengadilan Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Rechtreglement Voor De Butengewesten. Lex Privatum, 9(10).

Widiantoro, N. F., & Susilowati, E. (2024). Implementasi Laporan Keuangan Waralaba Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Ekonomi Dan Manajemen, 2(8), 15�24.

Guritno, T. 1992. Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan, Cetakan I, Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Hadi, Sutrisno. 2000. Metodologi Research Jilid I, Andi, Yogyakarta.

Harjowidigno, Rooseno. 1993. Aspek-Aspek Hukum Tentang Franchising, Seminar Ikadin, Surabaya.

Meliala, A. Qiram Syamsudin. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.

Mendelsohn, Martin. 1997. Franchising: Petunjuk Praktis Bagi Franchisor Dan Franchisee, Pt. Pustaka Binaman Perssindo.

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Pt. Remaja Rosda Karya, Bandung.

Muhammad, Abdul Kadir. 1992. Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Patrik, Purwahid. 1994. Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung.

Projodikoro, R. Wiryono. 1993. Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung.

Raharjo, Tri Salamfrinchise.Com Rusli, Hardijan 1996. Hukum Perjanjian Indonesia Dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Sembel Roy. Dan Ferdiansyah Tedy, 2002. Tujuh Jurus Pendanaan Di Tahun Kuda Air, Usahawan No. 03 Th. Xxxi. Jakarta.

Setiawan, R. 1994. Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Ui Press, Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.