ASPEK HUKUM
KESEPAKATAN� JUAL BELI MELALUI MESIN JUAL
BELI OTOMATIS (VENDING MACHINE) DARI
PERSPEKTIF HUKUM PERDATA
Niru Anita Sinaga1
, Dwi Atmoko2
1Universitas
Dirgantara Marsekal Suryadarma, Indonesia
2Universitas
Bhayangkara Jakarta Raya, Indonesia
Email:
1[email protected], 2[email protected]
kata kunci: aspek hukum, jual
beli, mesin jual beli otomatis
(vending machine) keywords: legal aspects, buying and
selling, automatic buying and selling machines (vending machines) |
|
ABSTRAK
|
|
Transaksi
menggunakan mesin penjual otomatis (Vending Machine) memberikan kemudahan
bagi penjual karena tidak memerlukan kehadiran fisik untuk melayani konsumen
sepanjang hari, berbeda dengan metode penjualan tradisional di pasar. Dalam
sistem ini, konsumen melakukan pembelian secara mandiri dengan memasukkan
uang sesuai harga yang tertera, yang biasanya sebanding dengan harga pasar,
meskipun beberapa mesin menawarkan berbagai pilihan produk. Mesin ini berfungsi
untuk menyederhanakan transaksi sehingga pembeli bisa langsung mendapatkan
barang yang diinginkan tanpa harus berinteraksi dengan penjual. Dalam
transaksi jual beli melalui vending machine, hak dan kewajiban antara penjual
dan pembeli tetap sama dengan transaksi konvensional. Penjual memenuhi
kewajibannya dengan menyerahkan kepemilikan produk yang dibeli melalui
keluarnya barang dari mesin setelah pembayaran dilakukan, sementara pembeli
memenuhi kewajibannya dengan membayar harga yang tercantum. Namun, kemungkinan
wanprestasi dapat terjadi jika produk yang diinginkan tidak keluar setelah
pembayaran atau jika barang yang keluar ternyata dalam kondisi cacat. Situasi
ini berpotensi menimbulkan dampak hukum karena ketidaksesuaian antara hak
yang seharusnya diterima pembeli dan barang yang diberikan, sehingga salah
satu pihak tidak memperoleh hak yang telah disepakati sebelumnya. Transactions using vending machines provide convenience for
sellers as they do not require a physical presence to serve consumers
throughout the day, in contrast to traditional sales methods in markets. In
this system, consumers make purchases on their own by entering money at the
price indicated, which is usually comparable to the market price, although
some machines offer a wide selection of products. These machines serve to
simplify transactions so that buyers can directly get the desired items without
having to interact with the seller. In a vending machine transaction, the
rights and obligations between the seller and the buyer remain the same as in
a conventional transaction. The seller fulfils his obligation by handing over
ownership of the purchased product through the release of the goods from the
machine after payment is made, while the buyer fulfils his obligation by
paying the listed price. However, the possibility of default may occur if the
desired product does not come out after payment or if the goods that do come
out turn out to be in a defective condition. This situation has the potential
to cause legal repercussions due to the discrepancy between the rights that
the buyer should receive and the goods provided, so that one party does not
obtain the rights that were previously agreed upon. |
|
Ini adalah artikel akses terbuka
di bawah lisensi CC BY-SA . This is an open access article
under the CC BY-SA license. |
PENDAHULUAN
Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak yang melibatkan hak dan
kewajiban yang timbul dari kesepakatan mereka (Juanda, 2021). Penjelasan dimulai dengan mendefinisikan istilah "perikatan"
yang berasal dari bahasa Belanda "verbintenis," yang berarti ikatan
atau hubungan yang mengikat, lebih merujuk pada hubungan hukum antara
pihak-pihak yang terlibat (da Santo et al., 2024). Menurut Sudikno Mertokusumo, perikatan adalah hubungan hukum antara dua
pihak yang saling mengikat, di mana satu pihak memiliki hak untuk menerima
sesuatu (prestasi) dan pihak lainnya berkewajiban untuk memberikan atau
memenuhi kewajiban tersebut (Sinaga, 2020). Dengan kata lain, perikatan menciptakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban kedua belah pihak (Sinaga, 2020). Dalam konteks Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perikatan
diatur dalam Buku III, meskipun tidak ada definisi eksplisit, namun ilmu hukum
perdata menggambarkan perikatan sebagai hubungan hukum terkait dengan harta
kekayaan, di mana salah satu pihak berhak atas suatu objek atau tindakan, dan
pihak lainnya wajib memenuhi hak tersebut (TELAUMBANUA, 2024). Selain itu, para pihak bisa menyesuaikan isi perjanjian sesuai kebutuhan
mereka, tetapi tetap harus mematuhi prinsip-prinsip dasar hukum yang berlaku.
Sebagai hukum pelengkap, hukum perikatan memungkinkan adanya fleksibilitas
dalam mengatur isi perjanjian, termasuk memperbolehkan pengabaian beberapa
pasal yang dianggap tidak relevan oleh kedua pihak, selama tidak melanggar
norma hukum yang lebih tinggi (YUSRI, 2023).
Dalam suatu perjanjian, setiap pihak bebas
untuk menentukan apa yang mereka inginkan (AFIF, 2024). Namun, jika mereka tidak membuat kesepakatan
secara jelas, maka mereka akan mengikuti aturan hukum yang berlaku. Pasal 1233
KUHPerdata menjelaskan bahwa perikatan (hubungan hukum) bisa muncul dari
persetujuan antara pihak-pihak tertentu atau karena ketentuan hukum. Pasal 1313
KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu tindakan hukum di mana satu
pihak berkomitmen kepada pihak lainnya. Jual beli merupakan salah satu bentuk
perjanjian yang diatur secara khusus dalam KUHPerdata, mulai dari Pasal 1457
hingga Pasal 1540, dan termasuk dalam kategori perjanjian yang telah ditetapkan
oleh undang-undang.Menurut R.M. Suryodiningrat, jual beli adalah sebuah kontrak
di mana penjual berkomitmen untuk menyerahkan hak kepemilikan barang kepada
pembeli, sementara pembeli berkomitmen untuk membayar harga barang tersebut (Batubara &
Anggraini, 2023). M. Yahya Harahap menyatakan bahwa jual beli
adalah sebuah perjanjian di mana penjual menyetujui untuk menyerahkan barang,
sementara pembeli menyetujui untuk membayar harga barang tersebut. Dalam
perjanjian jual beli, terdapat dua janji yang saling berkaitan: penjual
berjanji untuk memberikan kepemilikan atas barang yang dijual, dan pembeli
berjanji untuk membayar harganya (Sihotang et al., 2023). Selain itu, barang yang dijual harus jelas,
baik dari segi bentuk maupun jumlahnya, saat hak miliknya dipindahkan ke
pembeli.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis aspek hukum kesepakatan
jual beli melalui vending machine dari perspektif hukum perdata dengan
fokus pada hubungan hukum yang terbentuk antara produsen, vendor mesin, pemilik
lokasi, dan konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hak dan
kewajiban masing-masing pihak dalam transaksi tersebut, serta untuk
mengeksplorasi implikasi hukum yang timbul dari kesepakatan jual beli yang
dilakukan secara otomatis tanpa adanya interaksi langsung antara penjual dan
pembeli. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menilai apakah
transaksi jual beli melalui mesin otomatis memenuhi syarat sahnya perjanjian
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, serta bagaimana perlindungan hukum
terhadap konsumen dalam transaksi tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan studi hukum normatif yang didukung
oleh data empiris. Pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan
perundang-undangan, dengan meneliti peraturan, regulasi, serta norma-norma yang
relevan dengan topik yang diteliti. Selain itu, pendekatan konseptual
diterapkan untuk menganalisis asas-asas hukum dan sistem hukum yang berkaitan.
Penelitian ini juga diperkuat dengan pendekatan fenomenologis, yang
memperhatikan peristiwa atau fenomena hukum yang terjadi dalam masyarakat. Data
yang digunakan adalah data sekunder, yang bersumber dari bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier, serta dilengkapi dengan data primer.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perjanjian Jual Beli Dalam KUHPerdata
Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang
sah, seperti perjanjian jual beli, memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi
para pihak yang membuatnya, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Artinya, perjanjian ini berlaku layaknya undang-undang bagi pihak-pihak yang
terlibat, yakni penjual dan pembeli yang wajib untuk mematuhi isi perjanjian
tersebut. Prinsip perjanjian ini didasarkan pada asas kebebasan berkontrak,
kesepakatan, itikad baik, kepatutan, serta kebiasaan, yang bertujuan untuk
menciptakan kenyamanan, memenuhi kebutuhan kedua belah pihak, dan menjamin
tercapainya kesepakatan yang adil.
Setiap pihak yang terlibat dalam perjanjian tentu
mengharapkan agar perjanjian tersebut berakhir dengan baik. Namun, ada kalanya
perjanjian menghadapi hambatan dan bahkan berujung pada kegagalan. Kegagalan
tersebut bisa disebabkan oleh faktor internal dari pihak-pihak yang terlibat
maupun faktor eksternal. Beberapa faktor utama yang dapat menyebabkan kegagalan
dalam pelaksanaan kewajiban antara lain: wanprestasi, overmacht (force
majeure atau keadaan darurat), dan kesulitan yang tak terduga (hardship).
Jika kedua belah pihak tidak memenuhi ketentuan dalam
perjanjian, maka mereka dianggap melanggar hukum. Akibat dari pelanggaran
tersebut adalah munculnya konsekuensi hukum berupa pemberian sanksi. Pihak yang
melanggar perjanjian yang telah disepakati akan dikenakan hukuman sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam undang-undang.
Selain itu, hubungan hukum antara penjual dan pembeli
menimbulkan hak dan kewajiban di kedua belah pihak. Untuk menciptakan hubungan
yang adil dan seimbang, masing-masing pihak perlu memahami kewajiban yang harus
dipenuhi sebelum dapat memperoleh hak-haknya. Menurut pasal 1320 KUHPerdata,
salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan antara para
pihak. Kesepakatan ini merupakan unsur penting dalam perjanjian karena kedua
pihak harus saling menyelaraskan kehendak masing-masing (H. Moch Isnaini,
2016). Kesepakatan tercipta ketika kehendak kedua pihak bertemu dan dinyatakan
dengan jelas. Dalam transaksi jual beli menggunakan Vending Machine, misalnya,
dapat terjadi miskomunikasi antara penjual dan pembeli, di mana pembeli sudah
memasukkan uang dan memilih barang, tetapi barang tersebut tidak keluar dan
uangnya tidak kembali.
Dalam proses tercapainya kesepakatan, terdapat tahap
tawar-menawar yang mencerminkan saling penyampaian kehendak antara kedua belah
pihak. Dua elemen utama dalam pembentukan kesepakatan adalah penawaran dan
penerimaan. Agar kesepakatan dapat tercapai, perlu ada satu pihak yang
mengajukan penawaran dan pihak lain yang menyetujui atau menerima penawaran
tersebut. Penawaran dapat diartikan sebagai pernyataan keinginan untuk membuat
perjanjian atau sebagai undangan untuk mengadakan perjanjian. Dalam hal pihak
yang menawarkan, meskipun pihak tersebut tidak hadir secara fisik atau tidak
menyampaikan penawaran secara langsung, tetap dapat dianggap sebagai penawaran.
Contohnya, dalam kantin kejujuran, barang-barang yang dijual telah tersedia di
etalase dengan harga yang tertera. Di sini, penawaran disampaikan melalui
tulisan "beli sendiri, bayar sendiri," dan tidak perlu ada pihak yang
hadir langsung untuk menawarkan, karena penawaran tersebut diwakili oleh barang
dan informasi yang ada di tempat tersebut..
Menurut Rutten dalam Satrio, "penawaran adalah
suatu usulan yang diajukan kepada pihak lain untuk membuat perjanjian, dimana
usulan tersebut telah disusun sedemikian rupa sehingga penerimaan atau
akseptasi dari pihak lain akan segera membentuk perjanjian" (J. Satrio,
1992). Sebagai contoh, dalam kasus kantin kejujuran yang mencantumkan tulisan
"beli sendiri, bayar sendiri", ini juga bisa dianggap sebagai
penawaran, meskipun tidak ada pihak yang secara fisik menawarkan. Sedangkan
penerimaan atau akseptasi adalah pernyataan kehendak dari pihak yang menerima
penawaran, yang menunjukkan persetujuan mereka. Pihak yang menerima penawaran
bisa menyatakan persetujuan dengan cara yang bebas, kecuali jika pihak yang
menawarkan menetapkan bentuk akseptasi tertentu. Pada kantin kejujuran,
penerimaan terjadi saat pembeli mengambil barang dari etalase dan membayar
sesuai harga yang tertera, tanpa adanya penawaran langsung dari pihak yang
menawarkan. Sesuai dengan Pasal 1458 KUHPerdata, perjanjian jual beli dianggap
sah ketika kedua pihak telah sepakat mengenai barang dan harganya, meskipun
barang belum diserahkan dan pembayaran belum dilakukan.
Perjanjian jual beli dianggap sah dan mengikat ketika
penjual dan pembeli mencapai kata sepakat mengenai unsur-unsur utama dalam
perjanjian, yaitu barang dan harga. Ketika kedua pihak setuju tentang barang
dan harga, perjanjian jual beli langsung terjalin dan mengikat secara sah.
Kesepakatan ini berlandaskan pada asas konsensualisme, yang menyatakan bahwa
perjanjian terbentuk begitu ada kesepakatan atau konsensus di antara para
pihak, tanpa memerlukan formalitas tertentu. Formalitas yang dimaksud di sini
bukan berarti kesepakatan harus disertai dengan prosedur resmi tertentu;
kesepakatan bisa terjadi secara implisit, seperti saat pembeli menerima harga
barang dan membayar tanpa mengucapkan sepatah kata, meskipun sebenarnya
kesepakatan sudah tercapai.
Asas ini dapat dipahami dari pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah dan pasal
1320 poin (1) mengenai kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri.
Kesepakatan ini menjadi dasar lahirnya perjanjian jual beli, yang mengarah pada
pengertian bahwa perjanjian jual beli adalah perjanjian konsensual, yang
artinya perjanjian itu terbentuk melalui konsensus antara para pihak.
Kesepakatan ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak telah sepakat mengenai
barang yang diperjualbelikan serta harga yang disepakati. Namun, perlu dicatat
bahwa meskipun sudah ada kesepakatan tentang barang dan harga, peralihan hak
milik atas barang sebagai objek jual beli belum terjadi pada titik ini.
Penjual dan pembeli saling terikat oleh kesepakatan
untuk memenuhi kewajiban masing-masing. Jika kedua kewajiban ini dipenuhi, maka
hak yang diinginkan oleh keduanya akan tercapai. Memberikan janji kepada pihak
lain adalah tindakan hukum yang membawa konsekuensi hukum. Jika janji tersebut
mencakup penawaran dan penerimaan, maka akan terbentuk perikatan hukum antara
kedua pihak.
a. Aspek Hukum Jual Beli Dengan Mesin Jual Otomatis ( Vending Machine )
Aktivitas bisnis pada dasarnya selalu dipengaruhi oleh
aspek hukum yang terkait. Perjanjian berfungsi untuk melindungi proses bisnis
para pihak, asalkan perjanjian tersebut dibuat secara sah, karena hal ini
menentukan kelangsungan hubungan hukum berikutnya. Pentingnya keabsahan suatu
perjanjian berhubungan langsung dengan apakah perjanjian tersebut mengikat atau
tidak terhadap pihak-pihak yang membuatnya, yang bergantung pada sah atau
tidaknya perjanjian itu. Pasal 1320 KUHPerdata adalah aturan yang digunakan
untuk memeriksa apakah suatu perjanjian sah atau tidak. Ada empat syarat yang
harus dipenuhi agar perjanjian itu sah: pertama, kedua belah pihak harus
sepakat dengan isi perjanjian; kedua, pihak-pihak yang membuat perjanjian harus
memiliki kemampuan untuk melakukannya; ketiga, objek atau barang yang
diperjanjikan harus jelas atau dapat ditentukan; dan keempat, alasan atau
tujuan perjanjian harus sah dan tidak bertentangan dengan hukum. Syarat pertama
dan kedua disebut syarat subjektif. Jika salah satu tidak dipenuhi, perjanjian
bisa dibatalkan. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif.
Jika kedua syarat ini tidak terpenuhi, perjanjian dianggap tidak sah sejak
awal.
Dengan pesatnya perkembangan teknologi saat ini,
tercipta berbagai inovasi baru yang mempermudah aktivitas manusia, termasuk
dalam dunia bisnis. Salah satu contoh perkembangan bisnis yang terjadi saat ini
adalah adanya kegiatan jual beli tanpa kehadiran penjual secara langsung. Vending
machine merupakan salah satu inovasi teknologi yang memungkinkan hal
tersebut. Vending machine adalah mesin yang secara otomatis mengeluarkan
barang-barang seperti makanan ringan, minuman, tiket, dan produk konsumen
lainnya setelah pembayaran dilakukan (Agung Purnomo, 2015). Mesin ini biasanya
ditempatkan di lokasi strategis dan tidak memerlukan kasir karena pembayaran
dilakukan dengan uang logam atau uang kertas. Mesin penjual otomatis ini dapat
menyediakan berbagai barang seperti makanan ringan, minuman soda, alkohol,
rokok, tiket lotre, bahkan emas dan permata, yang dikeluarkan setelah pelanggan
membayar dengan memasukkan uang. Mesin ini disebut otomatis karena tidak
memerlukan operator untuk menjalankan transaksi, sehingga proses jual beli bisa
dilakukan tanpa kehadiran penjual. Mesin penjual otomatis yang biasa ditemui
saat ini biasanya berbentuk kulkas kaca yang berisi makanan atau minuman
ringan, dan pelanggan hanya perlu memasukkan uang untuk mendapatkan barang yang
diinginkan.
Terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam kegiatan
yang melibatkan vending machine, di antaranya: produsen mesin vending,
distributor, produsen produk, operator, dan pemilik lokasi. Selain itu, ada
pula pihak lain seperti konsumen dan vendor (pemilik atau penyewa mesin
vending). Distributor memiliki peran penting dalam memasarkan mesin vending
setelah diproduksi dalam jumlah besar oleh produsen. Tujuan pemasaran
distributor adalah untuk menjangkau operator, produsen produk seperti minuman,
makanan, koran, permen karet, dan sebagainya, serta pemilik lokasi yang akan
menempatkan mesin tersebut.
Operator adalah pihak yang bertanggung jawab untuk
mengoperasikan mesin jual otomatis (vending machine), termasuk teknisi yang
menangani masalah teknis apabila mesin mengalami kerusakan atau tidak berfungsi
dengan baik. Jika mesin mengalami kendala, operator akan segera mengambil
langkah untuk memperbaikinya. Pada umumnya, vending machine dilengkapi
dengan nomor keluhan pelanggan, yang memungkinkan konsumen untuk menghubungi
operator atau teknisi melalui nomor tersebut jika mereka menghadapi masalah.
Produsen produk adalah perusahaan-perusahaan yang
memanfaatkan mesin jual otomatis (vending machine) untuk menjual produk yang
mereka hasilkan. Mereka akan diuntungkan karena mesin jual otomatis ini dapat
menjual barang secara otomatis tanpa memerlukan tenaga operator. Hal ini
memungkinkan produsen untuk memasarkan produk mereka lebih luas dan memenuhi
kebutuhan konsumen di sekitar lokasi mesin, karena mesin tersebut bisa
ditempatkan di berbagai tempat sesuai kebutuhan. Vendor adalah pihak yang
memiliki atau menyewakan mesin jual otomatis. Produsen produk menyewa mesin
dari vendor untuk menjual barang mereka. Konsumen adalah orang yang membeli dan
mengonsumsi barang yang tersedia di mesin, seperti makanan, minuman, atau
koran. Konsumen memasukkan uang, memilih produk yang diinginkan, dan barang
tersebut keluar sesuai dengan jumlah uang yang dimasukkan. Semua pihak yang
terlibat merupakan subjek hukum dalam transaksi ini.
Menurut Pasal 1458 KUHPerdata yang menyatakan,
"Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah
orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya,
meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar." Menurut
pasal ini, perjanjian jual beli dianggap sah ketika kedua pihak telah
menyepakati harga barang yang akan diperdagangkan, meskipun barang belum
diserahkan dan pembayaran belum dilakukan. Hal ini juga berlaku pada perjanjian
jual beli melalui vending machine, di mana kesepakatan tercapai antara
penjual dan pembeli. ketika konsumen atau pembeli memasukkan uang ke dalam
mesin sesuai dengan harga barang yang diinginkan. Setelah uang dimasukkan dan
diterima oleh mesin, mesin kemudian mengeluarkan barang, yang menandakan bahwa
kesepakatan telah tercapai antara pembeli dan mesin mengenai harga dan produk
yang ditawarkan. Kesepakatan ini dapat dianalisis menggunakan beberapa teori
kesepakatan, yaitu teori pernyataan (uitingstheorie), teori pengiriman (verzendingstheorie),
teori pengetahuan (vernemingstheorie), dan teori penerimaan (ontvangstheorie).
Dalam konteks vending machine, teori yang paling relevan adalah teori
pernyataan (uitingstheorie) dan teori penerimaan (ontvangstheorie),
yang menjelaskan bahwa perjanjian tercipta ketika pihak yang lain telah
menyatakan penerimaan atau akseptasi terhadap tawaran tersebut.
Perjanjian dianggap telah terbentuk ketika ada
pernyataan penerimaan terhadap suatu tawaran. Dalam konteks jual beli melalui vending
machine, penerimaan ini terjadi ketika konsumen memasukkan uang ke dalam
mesin, yang menandakan bahwa pembeli menerima tawaran berupa harga barang yang
tertera di mesin tersebut, serta syarat-syarat yang terkait dengan penggunaan
mesin. Berdasarkan teori penerimaan (ontvangsttheorie), perjanjian akan
dianggap sah ketika penerima penawaran memberikan jawaban atau penerimaan. Dalam
hal ini, penerimaan terjadi saat pembeli menyetujui harga dan syarat yang
ditawarkan dengan memasukkan uang ke dalam mesin, sehingga teori ini juga dapat
diterapkan dalam konteks ini.
Perjanjian sebagai alat untuk pertukaran hak dan
kewajiban diharapkan dapat berjalan dengan lancar, adil, dan seimbang sesuai
dengan kesepakatan antara para pihak. Hal ini sangat penting terutama dalam
perjanjian komersial, baik pada tahap pra-kontrak, pembentukan perjanjian,
maupun pelaksanaannya. Asas proporsionalitas berfungsi untuk menciptakan aturan
yang seimbang dalam pertukaran hak dan kewajiban. Dalam dunia bisnis yang
dinamis, dengan berbagai tantangan yang muncul, hubungan kontraktual antar pihak
bisa mengalami perubahan yang mempengaruhi kelangsungan perjanjian tersebut.
Meskipun para pihak berharap agar perjanjian mereka berjalan dengan baik, tidak
jarang perjanjian tersebut menghadapi kendala yang bahkan dapat menyebabkan
kegagalan.
Kegagalan dalam pelaksanaan perjanjian dapat
disebabkan oleh faktor internal para pihak maupun faktor eksternal. Beberapa
faktor utama yang dapat menyebabkan kegagalan dalam memenuhi kewajiban
kontraktual antara lain: wanprestasi, overmacht (force majeure
atau keadaan memaksa), dan keadaan sulit (hardship).
Keadaan overmacht dalam transaksi jual beli melalui vending
machine dapat terjadi apabila terjadi kerusakan mendadak atau error pada
mesin, yang menyebabkan barang yang sudah dibeli tidak keluar. Selain itu,
pemadaman listrik yang tidak terduga atau korsleting pada mesin juga termasuk
dalam situasi ini. Dalam keadaan seperti ini, konsumen atau debitur dapat
menghubungi nomor keluhan yang tertera pada mesin jual otomatis (vending
machine) untuk melaporkan masalah tersebut, sehingga teknisi dapat membantu
menyelesaikan masalah tersebut.
Berdasarkan situasi overmacht yang terjadi
dalam transaksi jual beli melalui vending machine, dan sesuai dengan
elemen-elemen overmacht, peristiwa tersebut dapat dikategorikan dalam
dua elemen, yaitu ketidakmampuan untuk memenuhi prestasi karena adanya kejadian
yang menghalangi, dan kejadian overmacht yang tidak dapat diprediksi
atau diketahui sebelumnya pada saat perjanjian dibuat. Kedua elemen ini
menggambarkan keadaan yang bersifat memaksa secara subjektif, di mana terdapat
kesulitan dalam memenuhi prestasi. Keadaan overmacht dalam transaksi
menggunakan mesin jual otomatis ini bukan berarti tidak memenuhi kewajiban,
melainkan adanya hambatan yang menghalangi pelaksanaan kewajiban tersebut.
Misalnya, kerusakan mendadak atau error pada mesin yang menyebabkan
barang yang dibeli tidak keluar, pemadaman listrik yang tak terduga, atau
korsleting yang terjadi pada mesin. Dalam hal ini, konsumen atau debitur dapat
menghubungi nomor keluhan yang tertera pada mesin untuk melaporkan masalah
tersebut, sehingga teknisi dapat memberikan bantuan untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi.
KESIMPULAN
Kesepakatan dalam perjanjian jual
beli melalui vending machine tercapai saat pembeli atau konsumen
melakukan pembayaran dengan memasukkan uang ke dalam mesin yang kemudian
menarik uang tersebut dan mengeluarkan barang sesuai dengan jumlah yang
dibayar. Teori yang diterapkan untuk menggambarkan kesepakatan ini adalah teori
pernyataan (uitingstheorie) dan teori penerimaan (ontvangstheorie).
Secara umum, transaksi menggunakan mesin jual otomatis tidak memerlukan
kehadiran penjual seperti di pasar tradisional, sehingga konsumen dapat
melakukan pembelian sendiri dengan memasukkan uang yang sesuai dengan harga
barang yang telah ditentukan. Harga barang yang dijual melalui mesin umumnya
setara dengan harga pasar, meskipun beberapa mesin jual otomatis mungkin
memiliki harga yang bervariasi tergantung pada lokasi atau sistem yang
diterapkan oleh mesin tersebut.
REFERENSI
AFIF,
M. (2024). PEMBATALAN PERJANJIAN PENGIKATAN HUTANG DIKARENAKAN TIDAK MEMENUHI
SYARAT SAHNYA SUATU PERJANJIAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 326 K/Pdt/2023). FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA.
Batubara, H. C., & Anggraini, T. (2023). Penerapan
Kontrak Jual Beli. Jurnal EMT KITA, 7(1), 1�10.
da Santo, M. F. O., Sari, L., Kamilah, A., &
Reumi, F. (2024). Pengantar Hukum Perdata: Teori & Referensi Komprehensif
Dasar-dasar Hukum Perdata di Indonesia. PT. Sonpedia Publishing Indonesia.
Juanda, E. (2021). Hubungan hukum antara para pihak
dalam perjanjian pembiayaan konsumen. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 9(2),
273�286.
Sihotang, A. P., Sari, G. N., Arifin, Z., &
Wahyudin, M. I. (2023). Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah oleh Penjual
Karena Pembeli Wanprestasi. JURNAL USM LAW REVIEW, 6(3), 1210�1222.
Sinaga, N. A. (2020). Implementasi Hak Dan Kewajiban
Para Pihak Dalam Hukum Perjanjian. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 10(1).
TELAUMBANUA, R. I. (2024). TINJAUAN YURIDIS KEKUATAN
HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) BERDASARKAN HUKUM PERDATA INDONESIA.
YUSRI, Y. (2023). REKONSTRUKSI REGULASI PEMBUKTIAN
DALAM PERADILAN PERDATA BERBASIS PADA NILAI KEADILAN. Universitas Islam Sultan
Agung.
Amstrong,
Gary dan Philip Kotler, 2008, Prinsip-Prinsip Pemasaran ed.12 jilid 2,
Jakarta: Erlangga.
Fuady, Munir, 2015, Hukum Kontrak, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
H.S, Salim., 2003, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,
Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya, 1982, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Penerbit
Alumni.
Hernoko, Agus Yudha, 2010, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersial), Jakarta: Penerbit Kencana.
Isnaeni, H. Moch., 2016, Perjanjian Jual Beli, Bandung: PT Refika
Aditama.
J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Mertokusumo, Sudikno, 1988, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Yogyakarta:
Liberty.
Muhammad, Abdulkadir, 2014, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
P.S. Atijah, 1995, An Introduction to The Law of Contract, 4h Ed., Oxford
Uni-versity Press Inc., New York.
Subekti, 1979, Hukum Perjanjian Cetakan ke VI, Jakarta: Penerbit PT
Intermasa. Suryodiningrat,����� R.M.,1980,Perikatan-Perikatan��������������� Bersumber����������� Perjanjian, Bandung: Penerbit Tarsito.
�