EFEKTIVITAS PEMBERESAN BOEDEL PAILIT OLEH KURATOR DAN PERLINDUNGAN HAK TERHADAP KREDITUR SEPARATIS BANK

 

 

Comodor Erfisen Sinaga, Bernard Nainggolan, Wiwik Sri Widiarty

Universitas Kristen, Indonesia

Email: [email protected]

 

kata kunci:

boedel pailit, �kreditur separatis bank, kurator

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

keywords:

Boedel Bankrupt, Separatist Creditor of the Bank, Curator

 

ABSTRAK

 

Ekonomi Indonesia telah menunjukkan tren positif dalam beberapa tahun terakhir. Namun, masih terdapat berbagai tantangan yang dihadapi, seperti tingginya tingkat kemiskinan, kesenjangan pendapatan, dan pengangguran. Metode pendekatan yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan secara yuridis normatif. Pendekatan Perundang� � undangan (statute approach), Pendekatan Kasus (case approach), dan Pendekatan Konseptual (conceptual approach). Bahwa dengan disahkannya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah terdapat adanya kepastian hukum mengenai pengertian kreditur. Bahwa apabila kita baca terkait dengan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bahwa dalam perkara Perkara Pailit Putusan Nomor 12/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN Niaga Smg tertanggal 22 Oktober 2015 pada pokoknya Kurator PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) telah efektif melakukan penilaian harta pailit debitur PT. Mitra Sentrosa Plastik (Dalam Pailit) selaku debitur pailit, dan telah efektif dalam melaksanakan dan/atau melakukan pemberesan harta pailit PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit)

 

Indonesia's economy has shown a positive trend in recent years. However, there are still various challenges faced, such as high poverty rates, income gaps, and unemployment. The approach method that the author will use in this study is a normative juridical approach method. Statute Approach, Case Approach, and Conceptual Approach. That with the enactment of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations, there is legal certainty regarding the definition of creditors. That if we read it related to the explanation of Article 2 Paragraph (1) of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. That in the case of the Bankruptcy Case Decision Number 12/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN Niaga Smg dated October 22, 2015, the Principal of the Curator of PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (In Bankruptcy) has effectively assessed the bankruptcy assets of the debtor PT. Mitra Sentrosa Plastik (In Bankruptcy) as a bankruptcy debtor, and has been effective in carrying out and/or settling the bankruptcy assets of PT. Sentosa Plastics Industrial Partners (in bankruptcy)

Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA .

This is an open access article under the CC BY-SA license.

 

 

 

 

 

PENDAHULUAN

Ekonomi Indonesia telah menunjukkan tren positif dalam beberapa tahun terakhir (Alam et al., 2016; Tran et al., 2017). Namun, masih terdapat berbagai tantangan yang dihadapi, seperti tingginya tingkat kemiskinan, kesenjangan pendapatan, dan pengangguran. rendahya kemampuan bersaing industri Indonesia dengan industri asing, salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia adalah sektor perbankan (Fahmi et al., 2016; Lee & Wie, 2015). Perbankan memiliki peran strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan kredit dan layanan keuangan lainnya.

Dalam situasi ekonomi yang dinamis, tidak terhindarkan adanya kesulitan finansial dari indusri dan pelaku usaha dimana kemudian kendala tersebut mengakibatkan industri dan pelaku usaha masuk dalam proses kepailitan, pada proses kepailitan diperlukan adanya pelaksanaan pemberesan kepailitan yang efisien dan efektif. Hal ini dikarenakan kepailitan dapat membantu menyelesaikan masalah utang yang tidak terbayar dan menghasilkan pengembalian utang. Proses kepailitan yang efisien dapat membantu memulihkan kepercayaan investor dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia (Nigam & Boughanmi, 2017).

Pada Pembukaan UUD 1945 memuat beberapa dasar filosofi yang terkait erat dengan proses pemberesan boedel pailit, antara lain :

a. Melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan perikehidupan bangsa: Dalam konteks proses pemberesan boedel pailit berarti memastikan proses pemberesan boedel pailit berjalan dengan adil dan transparan, sehingga hak-hak semua pihak yang terlibat, termasuk debitur dan kreditur, dapat terlindungi dengan baik.

b. Memajukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: Keadilan sosial dalam konteks kepailitan berarti memastikan pembagian harta pailit secara adil dan proporsional kepada seluruh kreditur, dengan memperhatikan hak-hak istimewa (hak separatis) yang dimiliki oleh kreditur Bank.

c. Membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis, dan berkeadilan sosial: Mewujudkan negara yang berkeadilan sosial dalam konteks kepailitan berarti memastikan proses pemberesan boedel pailit diselenggarakan berdasarkan hukum yang adil dan transparan, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.

Pada Pembukaan UUD 1945 telah memuat filosofi tentang keadilan sosial, persatuan, dan demokrasi, namun dalam praktiknya masih terdapat beberapa permasalahan dalam pemberesan boedel pailit, antara lain: Kurangnya efektivitas Kurator dalam melakukan pemberesan boedel pailit (Gupta & Bose, 2022; Khlystova et al., 2022): Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya sumber daya manusia, kompetensi, dan kewenangan Kurator, dan proses pemberesan boedel pailit yang panjang dan tidak diaturnya jangka waktu proses pemberesan boedel pailit: Hal ini dapat menyebabkan tertundanya pemenuhan hak-hak kreditur dan dan tidak adanya kepastian Hukum bagi kreditur terutama kreditur separatis.

Ketidakpastian hukum dalam penerapan UU Kepailitan: Hal ini dapat menimbulkan keraguan dan kekhawatiran bagi para pihak yang terlibat dalam proses kepailitan, termasuk kreditur dan debitur

Penelitian tentang efektivitas pemberesan boedel pailit ditinjau dari Undang - undang Nomor 37 Tahun 2004 memiliki urgensi yang tinggi karena dapat membantu mewujudkan filosofi Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan perikedupan bangsa, memajukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis, dan berkeadilan sosial.

Dalam hal yang dikemukakan diatas dapat diketahui tujuan-tujuan dari hukum Kepailitan, adalah:

1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur di antara para krediturnya.

2. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan para krediturnya.

3. Memberikan perlindungan pada debitur yang beritikad baik dari para krediturnya dengan cara pembebasan hutang

Perbankan sering kali menjadi kreditur separatis dalam proses kepailitan (Sainati et al., 2019). Kreditur separatis memiliki hak prioritas untuk dibayar dari hasil penjualan aset debitur pailit. Perbankan memiliki peran penting dalam memastikan hak-haknya sebagai kreditur separatis terlindungi dalam proses kepailitan, dikarenakan perbankan memiliki tanggungjawab dalam pengelolaan keuangannya kepada pemegang saham, deposan, nasabah, dan masyarakat (Bitar & Tarazi, 2019; Gonz�lez, 2016; Kalyvas & Mamatzakis, 2017).

Pada pelaksanaan kepailitan, Kurator memiliki peran penting dalam proses pemberesan boedel pailit. Kurator bertugas untuk mengumpulkan aset debitur pailit, menjual aset tersebut, memaksimalkan boedel pailit, dan mendistribusikan hasil penjualan kepada para kreditur. Kurator juga bertugas untuk mewakili kepentingan debitur pailit dalam berbagai proses hukum.

Meskipun telah diatur dalam Undang � undang Kepailitan, masih terdapat beberapa permasalahan dalam pemberesan boedel pailit dan perlindungan hak kreditur separatis bank pada pelaksanaannya, adapun permasalahan tersebut antara lain:

1.   Proses kepailitan yang panjang dan tidak diaturnya batas waktu pemberesan boedel pailit.

2.   Kurangnya koordinasi antara Kurator, kreditur, dan debitur pailit.

3.   Kelemahan dalam penegakan hukum terkait kepailitan.

Proses kepailitan dan pemberesan boedel pailit dilaksanakan setelah adanya putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 12/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN Smg tanggal 28 September 2015.� Perkara kepailitan diajukan oleh Kreditur sebagai Pemohon atas nama Irsandy Hendratanto, B.SC. MM. dan Debitur sebagai Termohon atas nama PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit). Berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarng Nomor : 12/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN Smg dinyatakan PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) dinyatakan pailit dengan sebagala akibat Hukumnya. Sampai dengan saat ini proses pemberesan beodel pailit yang dilaksanakan oleh Kurator belum ada penutupan atau penyelesaian kepailitan meskipun seluruh boedel pailit telah dilaksanakan pemberesan boedel pailit setelah 9 tahun sejak diputuskan pailit.

Memperhatikan permasalahan-permasalahan tersebut diatas, diperlukan penelitian yang mendalam terkait efektivitas pemberesan boede pailit oleh Kurator dan perlindungan hak kreditur separatis bank ditinjau dari UU Kepailitan, terutama tidak adanya kepastian atas pelaksanaan pemberesan boedel pailit oleh Kurator. Dengan dasar pemikiran tersebut dilaksanakan penulisan tesis dengan judul : Efektivitas Pemberesan Boedel Pailit Oleh Kurator dan Perlindungan Hak Kreditur Separatis Bank Ditinjau dari Undang � undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 12/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN Smg tanggal 28 September 2015).

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan efektivitas proses kepailitan di Indonesia, serta memperkuat perlindungan hak kreditur separatis bank.

Rumusan Masalah

Rumusan permasalahan merupakan arah dari penelitian dan penulisan karya ilmiah yang membantu dan menjadi penentu dalam menjawab permasalahan dalam penelitian. Berdasarkan latarbelakang permasalahan yang telah diuraikan, maka ditentukan rumusan masalah sebagai berikut:

1.  Bagaimana Efektivitas Pemberesan Boedel Pailit Terhadap Jaminan Kreditur Separatis?

2.  Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Separatis Dalam Proses Kepailitan?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian sebagai bentuk pernyataan dari ruang lingkup atau kegiatan terkait permasalahan yang sudah dirumuskan. Tujuan penelitian pada hakikatnya adalah sebuah penyampaian apa yang hendak dicapai oleh peneliti serta mengarahkan agar karya ilmiah mudah dipahami dan dapat diaplikasikan. Tujuan penelitian harus jelas dan spesifik, sehingga dapat memberikan arah yang jelas dalam melakukan penelitian. Selain itu, peneliti harus bisa mengukur tujuan penelitiannya dapat tercapai dengan menggunakan metode penelitian yang tepat. Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah:

1.  Untuk menganalisa dan mengetahui efektivitas pemberesan boedel pailit oleh Kurator dan perlindungan hak kreditur separatis bank dalam proses kepailitan

2.  Untuk mengetahui dan menganalisa perlindungan hak kreditur separatis bank dalam proses kepailitan

 

 

METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan secara yuridis normatif (Heldeweg & Saintier, 2020). Pendekatan Perundang� � undangan (statute approach), Pendekatan Kasus (case approach), dan Pendekatan Konseptual (conceptual approach).

Pendekatan Undang-undang adalah metode penelitian hukum yang berfokus pada analisis peraturan perundang-undangan yang terkait dengan topik penelitian.

Metode ini bertujuan untuk memahami makna, maksud, dan tujuan dari peraturan perundang-undangan tersebut, serta untuk menilai efektivitas dan keberlakuannya dalam praktik.

Langkah-langkah dalam pendekatan undang - undang:

a.    Identifikasi peraturan perundang-undangan yang relevan.

b.   Kumpulkan dan pelajari peraturan perundang-undangan tersebut.

c.    Analisis makna, maksud, dan tujuan dari peraturan perundang-undangan tersebut.

d.   Nilai efektivitas dan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dalam praktik.

e.    Sarikan temuan dan kesimpulan dari analisis.

Pendekatan Undang - undang merupakan metode penelitian hukum yang penting karena:

a.     Memberikan pemahaman yang mendalam tentang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan topik penelitian.

b.    Membantu menilai efektivitas dan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dalam praktik.

c.     Memberikan dasar untuk merumuskan rekomendasi kebijakan atau solusi hukum.

Metode kepastian menurut Peter Mahmud Marzuki adalah cara kerja yang dipilih dan digunakan secara sadar dan terencana untuk mencapai tujuan penelitian. Metode penelitian ini harus sistematis, logis, dan teruji kebenarannya. Tujuan utama dari penelitian adalah untuk menghasilkan pengetahuan baru atau memperkuat dan memperluas pengetahuan yang sudah ada.

3. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan bersumber pada data-data, diantaranya adalah data sekunder yang didapatkan dan diperoleh dari bahan-bahan literatur kepustakaan, dengan tujuan dan kegunaan yaitu untuk menunjukan jalan dan/atau solusi pemecahan permasalahan dari penelitian. Adapun data sekunder yang terkandung didalam penelitian ini adalah terdiri dari:.

a.     Bahan Hukum Primer

1)    Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

2)    Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

3)    Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 12/Pdt.Sus.Pailit/2015/PN Niaga Smg

b.    Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber informasi yang telah dikumpulkan dan diolah oleh pihak lain sebelum digunakan oleh peneliti. Sumber data sekunder dapat berupa:

�1)   Dokumen resmi: seperti peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan laporan pemerintah.

�2)   Buku dan artikel ilmiah: yang membahas tentang topik penelitian.

�3)   Hasil penelitian terdahulu: seperti jurnal, tesis, dan disertasi;

�4)   Media massa: seperti surat kabar, majalah, dan website berita.

�5)   Data statistik: yang tersedia dari lembaga resmi.

c.     Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu adalah bahan hukum yang menjelaskan penjelasan terkait dengan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari dengan sebagai berikut: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris. Kamus Hukum (Law Dictionary)

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan didapat dan diperoleh melalui Teknik studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan adalah merupakan cara yang dilakukan oleh penulis dengan maksud dan tujuan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, mengutip berbagai literatur dan pendapat para ahli melalui buku-bukunya dan bahan tertulis lainnya dengan memilah-milah dan mengelompokan sesuai dengan objek pembahasan pada

Teknik Analisa Data

Analisa data dilaksanakan untuk mengolah data yang telah dikumpulkan, data dikumpulkan dan dianalisa secara kualitatif. Teknis analisa data kualitatif digunakan untuk menganalisa data yang bersifat numerik, seperti wawancara dan dokumen.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kreditur Separatis Dalam Pemberesan Harta Pailit

Klasifikasi Kreditur Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Terdapat 3 (tiga) macam kreditur secara umum yang dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dengan sebagai berikut:

1)    Kreditur yang memegang jaminan kebendaan atau dengan kata lain dapat disebut sebagai kreditur separatis, berdasarkan Pasal 1134 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan hingga sampai pada saat ini jaminan kebendaan yang dikenal dan sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia adalah Gadai, Fidusia, Hak Tanggungan, dan Hipotek Kapal;

2)    Kreditur preferen khusus yang telah dijelaskan dan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan Pasal 1149 Kitab Undang-undang Hukum Perdata; dan

3)    Kreditur Konkuren yakni adalah kreditur dengan secara umum akan tetapi tidak termasuk dalam kreditur separatis dan preferen, sebagaimana dijelaskan dan diatur dalam ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Lebih lanjut, pada dasarnya yang menjadi pembeda terkait dengan kreditur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah hanya membedakan antara kreditur preferen dan kreditur konkuren. Kreditur preferen dalam hukum perdata umum yakni Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat pula mencakup kreditur yang memiliki hak jaminan kebendaan dan kreditur yang menurut undang-undang atau berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik secara hukum umum maupun diatur secara khusus adalah harus didahulukan pembayaran terhadap piutangnya. Akan tetapi didalam hukum kepailitan yang dimaksud kreditur preferen adalah hanya kreditur yang menurut undang-undang dan/atau ketentuan hukum yang berlaku haruslah didahulukan pembayaran terhadap piutangnya, seperti pemegang privilege, pemegang hak retensi, dan lain sebagainya. Sedangkan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku saat ini mengenai kepailitan, kreditur yang memiliki jaminan kebendaan diklasifikasikan sebagai kreditur separatis.

Bahwa hubungan dengan asset-asset yang digunakan, kedudukan kreditur preferen adalah yang paling utama atau dengan kata lain yang paling tinggi diantara kreditur lainnya, kecuali terdapat undang-undang yang secara tegas menyatakan sebaliknya. Hal ini telah sesuai sebagaimana dijelaskan dan diatur dalam Pasal 1134 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan.

�gadai dan hipotik adalah lebih tinggi dari pada hak istimewa kecuali dalam hal-hal dimana dalam undang-undang ditentukan sebaliknya�

Maka dari apa yang telah diuraikan, maka kreditur preferen memiliki kedudukan yang lebih diistimewakan atau dengan kata lain paling tinggi diantara kreditur-kreditur lainnya untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan harta pailit debitur pailit berdasarkan sifat piutangnya. Akan tetapi sejak disahkan dan diundangkannya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka sebagaimana frasa dalam Pasal 1134 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata bagian akhir kalimat yang berbunyi �kecuali dalam hal-hal dimana dalam undang-undang ditentukan sebaliknya�, maka kreditur separatis diakui keberadaannya sebagai kreditur yang mempunyai hak Istimewa dan/atau didahulukan pembayarannya dalam pemberesan harta pailit PT. Mita Senotsa Plastik Industri. Sehingga, apabila dikaitkan dalam perkara ini, PT. Bank Permata, Tbk., mempunyai hak untuk didahulukan pembayarannya dan secara jelas dilindungi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Perlindungan Hukum Kreditur Separatis Berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Bahwa dengan disahkannya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah terdapat adanya kepastian hukum mengenai pengertian kreditur. Bahwa apabila kita baca terkait dengan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, terdapat definisi kreditur dengan sebagai berikut:

�yang dimaksud dengan kreditur dalam ayat ini adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis, maupun kreditur preferen, maka mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa perlu kehilangan hak agunan atas kebendaan yang telah mereka miliki terhadap harta debitur, dan haknya didahulukan�

Selanjutnya, bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, telah memperlihatkan dan menunjukan bahwa seorang kreditur separatis dalam hal ini PT. Bank Permata, Tbk., dapat pula mengajukan permohonan pailit kepada debitur tanpa harus melepaskan hak-haknya terhadap agunan dan kebendaan yang telah ia miliki (Diljan, 2014). Hal ini diperkuat dalam Pasal 138 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa:

�Kreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan, atas kebendaan lainnya atau yang telah mempunyai hak yang diistimewakan terkait atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan dan sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat menjadi diberikan hak-hak yang dimiliki kreditur konkuren atas bagian piutang teresebut, tanpa mengurangi hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya�

Maka ketentuan pasal tersebut yang telah penulis uraikan menunjukan bahwa Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah memberikan hak kepada kreditur separatis dan kreditur preferen untuk dapat juga kembali menjadi kreditur dengan klasifikasi kreditur konkuren tanpa perlu melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda-benda yang menjadi agunan terhadap piutangnya (Hall & Sargent, 2021; Sainati et al., 2019), akan tetapi dengan catatan dan perhatian bahwa kreditur preferen dan PT. Bank Permata, Tbk., selaku kreditur separatis dapat menunjukan dan membuktikan bahwa benda yang menjadi jaminan tersebut tidak cukup untuk melunasi utang debitur pailit atau dengan kata lain nilai jaminan tersebut tidaklah cukup utang melunasi piutang kreditur separatis.

Bahwa dalam ketentuan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebenarnya adalah berlaku asas umum yang telah dinyatakan dalam Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu adalah paritas creditorium yang memiliki arti bahwa kedudukan para kreditur adalah sama dan oleh karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi harta pailit atau yang sering disebut sebagai boedel pailit, sesuai dengan besaran jumlah piutang masing-masing para kreditur (pari passu prorate parte), kecuali yang diberikan hak Istimewa oleh undang-undang sepanjang ditentukan oleh undang-undang itu. Maka sudah cukup jelas bahwa PT. Bank Permata, Tbk., selaku kreditur separatis mempunyai hak Istimewa dan didahulukan pembayarannya atas pemberesan harta pailit PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) (Damlah, 2017).

Bahwa memang benar terdapat filosofi dari prinsip paritas creditorium yaitu adalah merupakan adanya suatu ketidakadilan jika debitur PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) memiliki harta benda, sementara utang debitur PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) terhadap para krediturnya tidak dapat terbayarkan dan tidak dapat dilunasi. Akan tetapi, asas tersebut dapat dikecualikan, yaitu apabila golongan kreditur yang telah memegang hak agunan atas kebendaan sesuai dan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan golongan kreditur yang haknya dapat didahulukan terlebih dahulu berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang maupun berdasarkan undang-undang lainnya sepanjang diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku. Selanjutnya diperkuat berdasarkan Pasal 1139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan Pasal 1149 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Maka sudah cukup jelas bahwa dalam hal ini PT. Bank Permata, Tbk., masuk dalam golongan yang mempunyai hak jaminan atas kebendaan PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) sehingga mendapatkan perlindungan hukum untuk diistimewakan dan didahulukan hak-haknya dalam hal pembayaran atas pemberesan harta pailit PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit).

Kedudukan Kreditur Separatis dan Kreditur Preferen

Bahwa kedudukan hukum PT. Bank Permata, Tbk., selaku kreditur separatis dan kreditur preferen apabila dibandingkan dengan mengacu kepada Pasal 1134 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa kedudukan PT. Bank Permata, Tbk., selaku kreditur separatis adalah lebih tinggi apabila dibandingkan kedudukan kreditur preferen. Selain itu hal serupa juga terjadi apabila kita melihat ketentuan Pasal 55 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang pada pokoknya adalah menyatakan bahwa kreditur separatis adalah kedudukan yang diutamakan.

Bahwa adanya kedudukan yang diutamakan dalam hal pelunasan pembayaran utang-piutang bagi PT. Bank Permata, Tbk., selaku kreditur separatis adalah diharapkan dapat untuk memberikan� perlindungan hukum bagi PT. Bank Permata, Tbk., selaku kreditur separatis selama dan dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) berlangsung serta untuk menghindari terjadinya perbuatan-perbuatan curang yang dilakukan oleh debitur PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) yang dapat menimbulkan kerugian terhadap PT. Bank Permata, Tbk. Bahwa perlindungan hukum yang telah diberikan kepada PT. Bank Permata, Tbk., adalah berkaitan erat dengan lembaga hak-hak atas jaminan yang harus dihormati oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bahwa Hartono Hadisaputro mengemukakan, jaminan adalah sesuatu yang diberikan dan/atau telah diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk memberikan suatu keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya yang dapat dinilai dengan uang dan timbul akibat dari adanya suatu perikatan atau dengan kata lain dapat disebut dengan perjanjian.

Bahwa didalam ilmu hukum keperdataan, seseorang yang telah memegang hak haminan mempunyai hak yang disebut hak separatis dalam perkara ini yaitu PT. Bank Permata, Tbk. PT. Bank Permata, Tbk., selaku pemegang atas hak jaminan berhak untuk dapat melakukan dan melaksanakan eksekusi berdasarkan kekuasaannya sendiri yang telah diberikan dan ditegaskan oleh Undang-undang dalam hal ini adalah ketentuan hukum yang berlaku, sebagai perwujudan atas hak dari pemegang jaminan yang didahulukan pembayaran piutangnya dari kreditur lainnya. Adapun jaminan dan pengakuan PT. Bank Permata, Tbk., dalam proses kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, merupakan suatu hal yang sangat penting sekali dalam system perkreditan suatu negara.

Kekaburan Hukum Bagi Kreditur Separatis Untuk Mengeksekusi Sendiri Hak Jaminan Yang Dikuasainya

Bahwa dalam hal penerapan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tidak adanya taat asas dan/atau tidak konsisten karena mengungkiri hak PT. Bank Permata, Tbk., sebagai hak kreditur yang terlebih dahulu didahulukan hak-haknya dalam memperoleh pelunasan atas piutangnya, hal ini sebagaimana dijelaskan dan diatur dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang pada pokoknya adalah menyatakan bahwa hak eksekusi oleh kreditur sebagaimana dimaksud� dalam Pasal 55 Ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada didalam kekuasaan debitur pailit atau Kurator ditangguhkan dalam jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pailit atau terhitung sejak putusan pernyataan pailit dibacakan. Maka sehubungan dengan hal ini, Flessig berpendapat bahwa sangat tepat pada waktu kepailitan untuk melakukan dan mengintervensi hak kreditur separatis untuk melindungi kelompok dan/atau kepentingan umum. Bahwa sebenarnya ketentuan dalam Pasal ini sejatinya adalah menunjukan dan memperlihatkan bahwa hak kreditur separatis telah dilanggar sebagaimana kedudukan hubungannya sebagai kreditur yang diistemewakan haknya. Maka hal ini telah menunjukan dan memperlihatkan bahwa baik dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang maupun dan juga Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ternyata pada faktanya tidak menjunjung tinggi hak kreditur separatis dari pada dan diantara kreditur pemegang hak jaminan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka pada pokoknya kreditur separatis (secured creditor) adalah kreditur pemegang hak gadai,� hipotik, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hak agunan atas kebendaan-kebendaan lainnya sepanjang kebendaan tersebut dapat dijaminkan. Kreditur separatis mempunyai kedudukan tertinggi diantara kreditur lainnya. Dan kreditur ini dapat mengeksekusi hak-haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Akan tetapi pada pelaksanaanya hak kreditur separatis� dalam hal ini PT. Bank Permata, Tbk., dapat ditangguhkan selama 90 (Sembilan puluh) hari terhitung sejak putusan pernyataan pailit dibacakan. Kreditur separatis dan kreditur preferen dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitur tanpa kehilangan hak-hak agunan atas kebendaan yang telah mereka miliki terhadap harta pailit debitur pailit, dan tanpa kehilangan hak-haknya untuk didahulukan terlebih dahulu pembayaran pelunasan terhadap piutangnya.

Bahwa sebenarnya pernyataan pailit tidaklah terlalu penting untuk diperhatikan bagi PT. Bank Permata, Tbk., selaku kreditur separatis dan kreditur preferen, karena mereka dapat secara langsung untuk melakukan dan melaksanakan eksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan terhadap PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit). Berbeda dengan para kreditur konkuren dalam perkara ini yang tidak sama sekali memiliki jaminan atas kebendaan dan kemungkinan besar diantara mereka kreditur konkuren akan terjadi perebutan harta pailit PT. Mitra Sentosa debitur pailit.

Selanjutnya, bahwa yang disebut dengan kreditur separatis dalam hal ini PT. Bank Permata, Tbk., adalah dengan istilah pemegang hak jaminan atas kebendaan. Hak jaminan kebendaan yang telah dimiliki oleh PT. Bank Permata, Tbk., kreditur pemegang hak jaminan memiliki kewenangan untuk menjual secara lelang kebendaan tersebut, dan dari hasil penjualannya akan digunakan untuk melunasi utang terhadap piutang kreditur separatis selaku pemegang jaminan.

PT. Bank Permata, Tbk., adalah kreditur separatis yang memiliki dan memegang hak jaminan atas piutangnya yang memberikan kepadanya wewenang untuk menjual sendiri kebendaan tersebut dengan caranya sepanjang cara tersebut tidak bertentangan dengan peraturang perundang-undangan dan/atau ketentuan hukum yang berlaku. Artinya hak eksekusi mereka tetap dapat mereka laksanakan seperti tidak terjadinya kepailitan terhadap debitur. Selanjutnya, dalam Pasal 1134 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

�hak istimewa adalah hak yang oleh undang-undang diberikan kepada berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi dari orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya�

Maka dalam hal ini pada dasarnya PT. Bank Permata, Tbk., selaku kreditur separatis terdiri dari:

1)   Pemegang gadai sebagaimana diatur dalam ketentuan Buku III Bab XX Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

2)   Pemegang hipotik atas kapal yang telah terdaftar dengan isi kotor yang berukuran 20m3 atau lebih. Maka aspek ini terdaftar di Syahbandar dengan pendaftaran kapal tersebut adalah merupakan kapal Indonesia sebagaimana telah tertuang didalam Pasal 314 Kitab Undang-undang Hukum Dagang;

3)   Hak tanggungan sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996;

4)   Jaminan fidusia sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Sutan Remy Syahdeini mengemukakan pendapat bahwa kreditur pemegang hak jaminan adalah kreditur preferen. Selanjutnya pendapat lain telah dikemukakan oleh Mariam Daus Badrulzaman mengatakan bahwa sebagai kreditur pemegang hak jaminan yang telah memiliki hak preferen maka kedudukannya disebut sebagai kreditur separatis. Selanjtunya, terdapat perbedaan lebih spesifikasi antara hak dan kedudukan kreditur yang kedudukannya dijamin dengan hak atas kebendaan. Haknya disebut sebagai preferen karena ia telah digolongkan dinyatakan secara tegas oleh undang-undang sebagai kreditur yang didahulukan pembayarannya. Sedangkan, dilain hal kedudukannya adalah sebagai kreditur separatis karena ia memiliki hak yang terpisah dari kreditur preferen yang lainnya yaitu adalah karena piutangnya telah dijamin oleh kebendaan.

Bahwa PT. Bank Permata, Tbk., adalah kreditur pemegang hak jaminan yang memiliki sifat yang terhadap pemiliknya menjadi �super� karena dilindungi dan dinyatakan secara tegas oleh undang-undang, bahkan dapat melakukan dan melaksanakan eksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan, karena dianggap sebagai separatis atau dengan kata lain berdiri sendiri, hal ini jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang telah memberikan kedudukan Istimewa bagi pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak atas kebendaan lainnya. Ketentuan ini adalah merupakan implementasi lebih lanjut mengenai dari adanya prinsip slurcurtured prorate, yakni adalah kreditur dari debitur pailit dapat diklasifikasikan sesuai dengan kondisi masing-masing dan bersifat kondisional. Ratio logis dan sederhananya dari ketentuan ini adalah dimaksudkan untuk diadakannya jaminan dan untuk memeberikan preferensi bagi pemegang jaminan dalam pembayaran piutangnya dan/atau utang-utang debitur.

Akan tetapi, pelaksanaan hak preferensi dari kreditur separatis dianggap perlu untuk dibatasi oleh ketentuan Pasal 56 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, selanjutnya menentukan hak eksekusi dan hak pihak ketiga apabila ada untuk menuntut hartanya yang sedang dalam penguasaan debitur pailit atau Kurator ditangguhkan dalam jangka waktu selama 90 (Sembilan puluh) hari. Maka ketentuan pasal ini menurut pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli hukum dan juga praktisi hukum dari negara common law system dianggap telah bertentangan dengan tradisi dan kebiasaan kreditur separatis yang menginginkan fleksibilitas yang seluas-luasnya� dalam memilih waktu yang tepat untuk melakukan dan melaksanakan haknya sesuai dengan keadaan pasar.

Bahwa kekhawatiran kreditur separatis semakin bertambah dan dirasakan terhadap kedudukannya sebagai kreditur yang didahulukan terlebih dahulu pelunasann terhadap piutangnya dari debitur sehubungan dengan adanya aspek� ketentuan-ketentuan terkait perubahan-perubahan dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu adalah satu dan diantaranya menyatakan adanya keterlibatan kreditur separatis dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Pembayaran Piutang Terhadap Kreditur Separatis Dalam Pemberesan Harta Pailit

Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang utang Berbunyi:

�Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56, Pasal 57 dan pasal 58 Setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek Atau hak agunan atas kebendaan lainnya dengan mengeksekusi haknya, Seolah-olah tidak terjadi kepailitan�

Bahwa berdasarkan sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jo. Pasal Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang pada pokoknya adalah hak kreditur separatis dalam ini PT. Bank Permata, Tbk., untuk didahulukan pembayarannya terbit dari gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, dan/atau hak agunan atas kebendaan lainnya sepanjang benda tersebut dapat dijaminkan Termasuk namun tidak terbatas Pada resi Gudang Dan lain sebagainya. Pada umumnya kreditur separatis dalam hal ini PT. Bank Permata, Tbk., Dapat mengambil pemenuhan atas pembayaran piutangnya dengan menjual di depan umum barang jaminan yang telah dikuasai oleh kreditur separatis dalam hal ini PT. Bank Permata, Tbk., Oleh-olah tidak terjadi kepailitan atas diri PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) dalam hal ini debitur pailit. Apabila, jika ternyata pada faktanya Ternyata kepelitan berakhir karena adanya perdamaian yang telah disahkan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang maka oleh karenanya perdamaian tersebut tidak dapat dan akan mempengaruhi hak-hak PT. Bank Permata, Tbk., untuk mendapatkan pembayaran terlebih dahulu atas piutangnya yang telah jatuh waktu, sebagaimana diatur dalam Pasal 149 Ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Hak jaminan terkait kebendaan adalah merupakan hak Kebendaan yang diberikan atas dasar Atau telah diberikan atas dasar Jura in re alenia, Dengan demikian dan oleh karenanya wajib memenuhi asas pencatatan dan publisitas agar dapat melahirkan hak mutlak Atas kebendaan yang telah dijaminkan oleh debitur kepada kreditur separatis dalam hal ini PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) terhadap PT. Bank Pertama, Tbk.,

Khusus terhadap kreditur pemegang hak jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia secara tegas telah menyatakan yang pada pokoknya adalah menggolongkan hak kreditur dari penerima fidusia tidak akan hapus dan tidak akan hilang meskipun dalam hal ini pemberi fidusia PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) menjadi pailit untuk dilikuidasi setiap dan seluruh hartanya. Akan tetapi dalam hal ini tidak semua kreditur pemegang hak jaminan fidusia digolongkan sebagai kreditur separatis yang memiliki hak untuk didahulukan dari kreditur lainnya Maka dan oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa tidak semua pemegang hak jaminan termasuk dan atau dapat digolongkan sebagai kreditur separatis. Akan tetapi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa kreditan pemegang hak jaminan fidusia memiliki hak untuk didahulukan apabila jaminan fidusia tersebut telah didaftarkan, Dengan demikian dan oleh karenanya terdapat akibat hukum apabila jaminan fidusia tidak didaftarkan oleh penerima fidusia hal ini secara jelas ditegaskan dalam penjelasan Pasal 37 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang berbunyi

�Berdasarkan ketentuan ayat ini, Maka perjanjian jaminan fidusia yang tidak didaftarkan tidak mempunyai hak untuk didahulukan Baik di dalam maupun di luar kepelitan dan/atau likuidasi�

Bahwa terkait dengan kreditur pemegang jaminan fidusia yang dapat memiliki hak untuk didahulukan juga secara tegas telah diatur dan juga dinyatakan dalam pasal 28 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yaitu adalah kreditur yang pada dasarnya memiliki perjanjian jaminan fidusia serta telah didaftarkan terlebih dahulu (first to file creditor) Dalam hal ini dan garis miring atau dalam perkara ini adalah objek jaminan fidusia yang melekat baik 2 (dua) atau lebih jaminan fidusia. Selanjutnya sebagaimana diatur dan dijelaskan dalam pasal 37 ayat (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang pada pokoknya adalah kreditur pemegang hak jaminan fidusia yang tidak terdaftar, tidak akan mempunyai hak untuk mendahulukan atau didahulukan pembayarannya dalam kepailitan debitur dalam hal ini kepailitan PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit), dan akan berkedudukan sebagai kreditur konkuren, apabila dalam hal ini jika hasil penjualan objek jaminan fidusia tidak mencukupi untuk membayar dan melunasi setiap dan seluruh tagihannya.

Bahwa kreditur pemegang hak jaminan atas gadai haruslah dan wajib dibedakan sebagai kreditur penerima gadai benda bergerak dan garis miring atau kreditur penerima gadai atas benda tak bertubuh seperti piutang atas tunjuk atau atas bawah,  sehingga menurut ahli yaitu menurut ahli yakni Kartini Muljadi  dan Gunawan Widjaja Adalah gadai hanya ada manakala benda yang akan digadaikan secara fisik telah dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai dalam hal ini adalah debitur pailit.

Selanjutnya dalam hal ini Apabila debitur dalam perkara ini yaitu PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) dinyatakan telah pailit atau dalam keadaan pailit, maka setiap dan seluruh barang bergerak milik debitur maupun piutang atas nama atau atas tunjuk dari debitur pailit PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) yang berada di bawah kekuasaan kreditur atau penerima gadai tidak serta-merta secara otomatis ata secara langsung dapat mengubah kedudukan kreditur sebagai pemilik meskipun pada dasarnya berdasarkan ketentuan pasal 1977 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah dinyatakan atau disebutkan yang pada pokoknya adalah bahwa yang menguasai barang bergerak adalah dianggap sebagai pemiliknya.  Akan tetapi terkait dengan ketentuan pasal 1977 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata dianggap tidak berlaku sehingga perlu untuk dikesampingkan, karena dalam perjanjian gadai dan pada dasarnya penyerahan barang gadai kepada kreditur yang dilakukan oleh debitur sebelum dinyatakan pailit bukan penyerahan hak milik atas barang, sehingga dan oleh karenanya penyerahan tersebut pada pokoknya adalah bersifat terbatas (jura in re alinea) yaitu dan/atau hanya sebagai jaminan bagi kreditur untuk memperoleh pelunasan tagihannya, dalam hal pemberian pinjaman uang. Maka dengan demikian oleh karenanya apabila debitur pailit dalam hal ini PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) telah dinyatakan dalam keadaan pailit, maka berdasarkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang, kreditur penerima gadai tidak dengan serta-merta dan/atau secara langsung dapat untuk memiliki dan/atau menguasai objek gadai dan/atau dapat langsung untuk menjual dan melelang atau lain sebagainya terkait dengan menjual sendiri barang objek gadai yang ada padanya untuk dapat melunasi setiap dan seluruh utang-utangnya.  Menurut ahli yaitu Huizink, telah mengemukakan pendapat yang mana pada pokoknya adalah barang yang digadaikan merupakan termasuk sebagai harta pailit. Dengan demikian dan oleh karenanya apabila debitur dinyatakan dalam keadaan pailit, maka tagihan kreditur separatis pemegang gadai wajib untuk mendaftarkan atau didaftarkan terlebih dahulu kepada Kurator untuk diverifikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 26 ayat (1) Undang-undang  Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang  j o  Pasal 27 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bahwa selanjutnya dalam hal ini Apabila kreditur pemegang gadai tidak mendaftarkan piutangnya kepada Kurator debitur pailit, sebagaimana telah ditentukan, diatur, dan diisyaratkan dalam pasal 26 Ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka dalam perkara ini Kurator debitur pailit berhak dan berwenang menuntut agar kreditur penerima gadai mengembalikan barang jaminannya sehingga tidak lagi beralasan menurut hukum kreditur penerima gadai menguasai dan/atau mengeksekusi sendiri barang jaminan gadai tersebut.

Bahwa apabila dalam hal sebelum dinyatakan dalam keadaan pailit, maka pelaksanaan penjualan objek gadai dan/atau hak tanggungan telah ditetapkan sedemikian rupa dan jauhnya. Akan tetapi, namun belum sempat terlaksana ketika debitur telah dinyatakan pailit,  maka dalam hal ini Hakim Pengawas berhak dan berwenang untuk memberi izin agar penjualan objek gadai dan/atau hak tanggungan dilanjutkan atas tanggungan harta pailit debitur pailit.  sedangkan terkait dengan hasil penjualan barang dalam bentuk mata uang Rupiah wajib dan harus diserahkan kepada Kurator debitur pailit, dan masuk sebagai harta pailit yang nantinya akan didistribusikan atau dilasksanakannya pembayaran atas piutangnya para kreditur pemegang hak atas gadai, dalam hal ini adalah penerima gadai. Selanjutnya terkait dengan pembayaran piutang yang dimiliki oleh penerima gadai, maka akan dilakukan dan/atau dilaksanakan dengan  dibayarkan sendiri oleh Kurator debitur pailit berdasarkan daftar pembagian yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Hakim Pengawas. Bahwa ketentuan ini adalah ketentuan yang sama pula dan berlaku dan/atau diberlakukan bagi pelaksana hak parate executie dari hipotik maupun jaminan fidusia Sebagaimana diatur dalam pasal 33 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jo. pasal 184  ayat (4) huruf b Undang-undang  Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang hal ini pula telah diatur dalam pasal 189 ayat (4) huruf b Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi

� pembayaran kepada kreditur:  pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sejauh mereka tidak dibayar Menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dan diatur dalam pasal 55 dapat dilakukan dari hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa atau yang diagunkan kepada mereka�

Maka dengan demikian dan oleh karenanya ketentuan pasal 189 ayat (4) huruf b Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut adalah ditunjukkan terhadap dan/atau kepada para kreditur separatis yang tidak dapat mengeksekusi sendiri barang jaminan atas tagihannya dikarenakan atau disebabkan oleh berbagai sebab-sebab tertentu, yakni salah satunya diatur dalam ketentuan pasal 33 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka dikarenakan hal tersebut kreditur separatis tidak berhasil menjual sendiri barang jaminannya dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sebagaimana disyaratkan dalam pasal 59 Ayat 1 Undang-undang  Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan demikian dan oleh karenanya separatis yang tidak dapat menjual sendiri barang jaminannya atau barang yang telah dikuasainya maka akan mendapatkan pembayaran dari Kurator debitur pailit berdasarkan daftar pembagian yang telah memuat total tiap dan seluruh tagihan piutangnya, dan bagian yang akan dibayarkan untuk melunasi piutangnya adalah berdasarkan daftar pembagian yang telah ditetapkan dan disahkan yang akan dibayarkan kepada mereka berdasarkan dari hasil yang telah diambil  dari hasil penjualan barang jaminan yang telah dilakukan oleh Kurator debitur pailit.  Sehingga dengan demikian, pelunasan tagihan kreditur separatis dalam hal debitur pailit telah dinyatakan dan diputus pailit diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu yang pada pokoknya adalah dapat ditempuh dengan empat cara yaitu dengan sebagai berikut:

Pembebasan Barang Jaminan Dari Kurator

Bahwa apabila setelah debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri, maka Kurator setiap saat atau setiap waktu bahkan selama periode stay berlangsung berhak dan berwenang untuk dapat membebaskan barang bergerak dari harta pailit berdasarkan kewenangannya termasuk namun tidak terbatas pada barang agunan yang menjadi hak kreditur separatis dengan cara membayarkan jumlah yang paling terkecil dan/atau terendah antara harga pasar barang agunan dan jumlah utang yang dijamin dengan barang agunan tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 59 ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bahwa terkait dengan pengertian yang dimaksud dengan membebaskan barang agunan dalam pasal 59 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah yang pada pokoknya menebus barang yang telah menjadi objek hak tanggungan dan/atau yang telah menjadi objek gadai dengan cara melakukan dan melaksanakan pembayaran utang kepada kreditur separatis yang berhak atas barang jaminan tersebut, sehingga ketentuan ini sangatlah berkaitan dengan  barang milik debitur pailit yang telah ada di bawah kekuasaan kreditur separatis berdasarkan perjanjian yang telah dibuat oleh kreditur separatis dan  debitur  berdasarkan perjanjian gadai.

Bahwa pembebasan barang jaminan adalah merupakan yang pada pokoknya adalah salah satu cara pembayaran utang kepada kreditur separatis yang dapat ditempu, dilakukan dan dilaksanakan oleh Kurator debitur pailit dalam hal barang jaminan tersebut telah dinilai dapat lebih menguntungkan harta pailit debitur pailit jika dibebaskan sehingga dan oleh karenanya dapat digunakan demi kepentingan harta pailit debitur.  Selanjutnya, uang pembayaran pembebasan barang jaminan yang telah diambil dan diperoleh dari sejumlah uang cadangan merupakan bagian dari pada harta pailit debitur pailit dan barang yang telah ditebus dari kreditur separatis oleh Kurator debitur pailit wajib untuk didaftarkan sebagai harta pailit debitur pailit.  Namun, apabila jika barang jaminan gadai atau jaminan resi gudang yang telah ditebus tersebut di kemudian hari dijual kembali oleh Kurator debitur pailit, maka uang penjualannya tersebut haruslah masuk menjadi atau dapat disatukan dan menjadi satu kesatuan dalam harta pailit atau dengan kata lain menjadi penerimaan yang telah dicatatkan dalam daftar pembagian.

Hak Pelaksanaan Parate Executie Dalam Masa Stay

Bahwa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa kreditur separatis melaksanakan dan/atau melakukan sendiri hak eksekusinya atas barang jaminan yang telah dikuasainya pada saat keadaan stay berlangsung atau sebelum harta pailit menjadi insolven dengan dan atas izin yang diberikan oleh Kurator debitur pailit dan Hakim Pengawas dan/atau pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri. Maka untuk itu kreditur separatis dan/atau pihak ketiga yang berkepentingan berdasarkan kepentingannya dapat mengajukan pula permohonan kepada Kurator debitur pailit agar keadaan stay yang membekukan hak parate executie kreditur separatis diangkat dan atau dipersingkat waktunya atau dengan kata lain kreditur separatis dan/atau pihak ketiga diberikan izin untuk dapat menjual sendiri beberapa benda tertentu atau beberapa barang berdasarkan hak jaminan yang telah dikuasainya semasa periode stay berlangsung. Permohonan tersebut haruslah diajukan dengan disertai alasan-alasan, apabila jika permohonan tersebut ditolak oleh Kurator debitur pailit maka kreditur separatis dapat mengajukan permohonan ke Hakim Pengawas. Selanjutnya, Hakim Pengawas dengan melihat dan menelaah atau memeriksa terlebih dahulu permohonan tersebut barulah untuk dapat memutuskan berdasarkan kewenangannya untuk mempersingkat periode stay dan/atau memberikan izin kepada kreditur separatis untuk dapat menjual benda jaminan tertentu yang telah dikuasainya berdasarkan jaminan hutang semasa stay tersebut berlangsung tanpa menunggu harta pailit debitur pailit dalam keadaan insolven, Hal ini telah sesuai apabila ditinjau dari Pasal 57 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jo. Pasal 58 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang pada pokoknya adalah jika Hakim Pengawas menolak atau tidak mengabulkan permohonan yang telah diajukan tersebut maka pihak pemohon dapat untuk mengajukan keberatan atas penetapan yang telah ditetapkan oleh Hakim Pengawas ke majelis prosedur renvoi sebagaimana hal tersebut adalah upaya hukum terakhir.

Bahwa penjualan barang jaminan yang telah dilakukan oleh kreditur separatis yang dilakukan pada masa pra insolven adalah merupakan pengecualian dari ketentuan yang telah diatur sebagaimana diatur dalam pasal 56 Ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang pada pokoknya adalah membekukan hak parate executie kreditur separatis selambat-lambatnya atau paling lambat selama 90 (sembilan puluh) hari, selain itu pula juga menyimpan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 59 Ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang pada pokoknya adalah mengatur terkait dengan pelaksanaan parate executie yang pada dasarnya hanya dapat dilakukan setelah harta pailit dalam keadaan insolven. Dengan demikian dan oleh karenanya penjualan barang jaminan yang dilakukan dan dilaksankaan sendiri oleh kreditur separatis semasa pra insolven adalah hanya dapat dilakukan dan dilaksanakan apabila dalam hal ini bersifat sangat urgent dan/atau sangatlah penting,  serta hanya akan dibenarkan apabila dalam keadaan-keadaan yang sangat mendesak atau dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu saja. Sebagai contoh dari penulis adalah semisal karena sifatnya barang jaminan harus segera diuangkan agar tidak terjadi kerugian yang lebih banyak lagi atau dikarenakan nilai atau mutu barang jaminan tersebut teruslah merosot dan menimbulkan kerugian. Untuk itu maka untuk mencegah agar nilai jual barang jaminan tidak merosot dan/atau menurun akibat rumor pasar yang bersifat negatif dan mengakibatkan jatuhnya harga jual barang yang mengakibatkan kerugian, haruslah untuk dapat segera dijual atau ditukar kedalam mata uang rupiah. Selanjutnya penjualan barang jaminan yang bisa dilakukan dalam masa stay berlangsung biasanya adalah apabila berkaitan dengan objek jaminan resi gudang seperti produk-produk hasil dari pertanian atau produk-produk  hasil dari perkebunan serta barang inventory seperti barang apabila jika usaha debitur berstatus going concern.  Dengan demikian dan oleh karenanya untuk dapat mencegah harga nilai barang tersebut tidak jatuh akibat sentimen atau berita negatif yang ada dalam pasar modal terhadap kepailitan debitur maka dengan ini selain dari pada contoh yang telah diuraikan diatas, pemegang gadai saham juga dapat untuk melaksanakan dan melakukan atau menggunakan mekanisme penjualan ini, untuk meminimalisir dan mencegah terjadinya kerugian akibat dari adanya penurunan harga saham.

Selanjutnya sebagaimana ketentuan yang diatur berdasarkan pasal 56 Ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah yang pada pokoknya pada saat masa periode stay berlangsung Kurator berhak dan juga berwenang untuk dapat menggunakan barang bergerak maupun tidak bergerak yang berstatus sebagai barang jaminan piutang kreditur separatis, bahkan Kurator pula berhak dan berwenang untuk dapat menjual barang-barang bergerak yang merupakan jaminan piutang kreditur separatis jika usaha debitur dalam hal ini dilanjutkan berdasarkan ketentuan pasal 104 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, hal ini Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 56 Ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bahwa penggunaan, pemakaian, atau penjualan barang bergerak atau barang tidak bergerak yang telah berstatus sebagai barang jaminan piutang kreditur separatis, hanya akan dapat dilakukan atau dilaksanakan oleh Kurator dalam hal ini apabila usaha debitur pailit dilanjutkan dan dapat beroperasi atau dengan kata lain going concern. Apabila jika Kurator berdasarkan hak dan kewenangannya telah memutuskan untuk menjual barang jaminan tersebut, maka dengan demikian kreditur separatis tidak lagi berhak menghalangi, karena hal tersebut telah diberikan oleh Kurator berdasarkan ketentuan yang diatur oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang itu sendiri. Sehingga dengan demikian keditor separatis hanya dapat berhak untuk mendapatkan pembayaran atas tagihannya berikut juga dengan bunga-bunga utangnya yang telah diambil dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut.

Tidak semua barang jaminan dapat dijual sendiri oleh kreditur separatis pada masa pra insolven. Dengan demikian Hakim Pengawas atau Kurator harus pula dapat menentukan dengan tegas terkait dengan jenis barang jaminan apa yang dapat dieksekusi oleh kreditur separatis semasa harta pailit belum dalam keadaan insolven. Hal ini diatur atau dijelaskan dalam pasal 58 Ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sehingga apabila Kurator debitur pailit maupun Hakim Pengawas tidak mengangkat masa berlakunya stay dan/atau tidak pula memberikan izin pada kreditur separatis untuk dapat menjual barang jaminannya sendiri sebelum harta harta pailit dalam keadaan insolven, maka terhadapnya kreditur separatis wajib untuk dan harus diberikan perlindungan yang dianggap wajar. Bahwa terkait dengan tentang apa yang dimaksud dalam perlindungan yang wajar telah diatur di dalam menurut penjelasan pasal 58 Ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan  Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan serta mengacu pada penjelasan Pasal 56 Ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Bahwa selanjutnya berdasarkan penjelasan terkait dengan penjelasan Pasal 56 Ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah disebutkan yang pada pokoknya adalah menyebutkan bahwa harta pailit debitur pailit yang dapat dijual oleh Kurator debitur pailit hanyalah terbatas pada benda bergerak seperti barang persediaan maupun current asset. Maka sebenarnya bunyi dari pada penjelasan Pasal 56 Ayat 3 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini adalah berkaitan dengan objek jaminan fidusia, dan di mana pada dasarnya biasanya adalah terkait dengan barang persediaan pabrik atau produksi dari pabrik maupun peralatan mesin produksi menjadi jaminan pembayaran piutang kreditur separatis dalam bentuk fidusia. Apabila ditinjau secara yuridis pemberian objek fidusia adalah merupakan salah satu bentuk pengalihan hak atau kepemilikan atas suatu barang secara constitutum possessorium yaitu adalah terkait pengalihan hak milik atau kepemilikan dengan cara melanjutkan penguasaan atas barang tersebut. Bahwa ketentuan ini terkandung dalam definisi hukum fidusia yang telah diatur sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dengan bunyi sebagai berikut: 

�Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dapat dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda�

Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia pada pokoknya adalah jaminan fidusia juga meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia.  Dengan demikian dan oleh karenanya objek jaminan fidusia tersebut termasuk namun tidak terbatas hasil dari objek jaminan fidusia juga terikat sebagai objek fidusia dan menjadi jaminan pembayaran piutang kreditur separatis yang ada dalam penguasaan debitur berdasarkan asas constitutum possessorium. Maka dalam hal ini debitur selaku pemberi jaminan fidusia berdasarkan ketentuan  sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia adalah dilarang untuk mengalihkan, menggadaikan, dan menyewakan kepada pihak lain objek fidusia yang tidak merupakan benda persediaan terkecuali dengan adanya persetujuan dari penerima jaminan fidusia hal ini jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Sehingga oleh karenanya apabila Kurator debitur pailit hendak untuk menggunakan hak dan kewenangannya sebagaimana yang telah diberikan oleh Pasal 56 Ayat (3) Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka penjualan yang dapat dilakukan oleh Kurator debitur hanyalah terbatas pada barang- barang  persediaannya saja,  sehingga tidak diperlukan  adanya persetujuan dari kreditur separatis selaku penerima fidusia.

Akan tetapi dalam hal ini Kurator harus dan wajib untuk memberikan perlindungan yang wajar kepada kreditur separatis  selaku penerima fidusia atas jaminan fidusia yang diberikan oleh debitur pailit karena jaminan hutangnya, apabila Kurator debitur pailit ingin menggunakan atau menjual objek jaminan fidusia.  Maka terkait perlindungan yang wajar atau reasonnable protection yang diberikan oleh Kurator dapat berupa:

a.    Ganti rugi  atas kerugian kreditur separatis terkait dengan terjadinya penurunan nilai barang jaminan fidusia atau barang inventory yang hendak dijual oleh Kurator debitur pailit.  Adapun terkait  dengan bentuk ganti rugi  tersebut  adalah diberikan dalam hal pemakaian barang karena ada nilai penyusutan atau penurunan barang yang dapat diperkirakan;

b.   Hasil dari penjualan bersih apabila barang inventory tersebut telah dialihkan kepemilikannya oleh Kurator debitur pailit kepada pihak lain;

c.    Hak kebendaan pengganti sepanjang objek kebendaan  pengganti tersebut dinilai dan dianggap memiliki  nilai harga  yang sama;

d.   Imbalan yang dianggap wajar dan adil serta pembayaran tunai atas hutang yang dijamin dan lain sebagainya sebagaimana diatur atau dijelaskan dalam penjelasan pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Eksekusi Harta Pailit Dalam Keadaan Insolven

Kreditur separatis dalam hal ini PT Bank Permata Tbk berhak untuk menjual sendiri barang jaminan yang telah dikuasainya sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Jo. Pasal 59 Ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jo. Pasal 60 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang seolah-olah tidak terjadi kepailitan terhadap debiturnya dalam hal ini PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit).  PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) dalam hal ini secara definitif setelah  insolven, Dapat terjadi apabila tidak terjadinya atau tercapainya perdamaian antara debitur pailit PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) dengan kreditur konkuren, dan kreditur konkuren pula telah sepakat untuk tidak melanjutkan kelangsungan usaha debitur pailit  dalam hal ini PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) selaku debitur pailit. Selain itu apabila dalam hal perdamaian telah disepakati dan disetujui oleh para kreditur konkuren, akan tetapi pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri menolak untuk mengesahkan perdamaian dan usaha debitur pailit tidak dilanjutkan, maka harta pailit secara definitif telah atau dinyatakan dalam keadaan insolven terhitung sejak putusan penolakan Pengadilan Niaga  pada Pengadilan Negeri telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Selanjutnya, terkait dengan pelaksanaan parate executie atas barang jaminan,  kreditur separatis tunduk dan patuh pada time frame atau jangka waktu yang ditetapkan dan ditentukan dalam Pasal 59 Ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu yang pada pokoknya haruslah telah dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak harta pailit dibitor pailit dalam hal ini PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) dinyatakan berada dalam keadaan insolven. Bahwa undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan atau tidak ada memberi perpanjangan waktu atau dengan kata lain tidak memberikan lagi masa grace periode di luar daripada waktu 2 (dua) bulan bagi kreditur separatis untuk melaksanakan dan melakukan sendiri hak istimewanya.  Sehingga oleh karenanya benar-benar diharuskan untuk dapat memperhatikan terkait dengan saat dan kapan dimulainya harta pailit telah insolven, serta haruslah segera wajib untuk melakukan penawaran penjualan secara umum sebagaimana telah ditentukan dan diisyaratkan oleh Pasal 185 Ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.  Maka pembayaran piutang kreditur separatis yang menjual sendiri barang jaminan adalah dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:

a.     Kreditur separatis dapat  untuk mengambil sendiri pelunasan-pelunasan atas  piutang pokok dan bunga dari hasil penjualan barang setelah dikurangi dengan biaya-biaya lelang dan pajak dari hasil penjualan barang jaminan tersebut atau biaya-biaya lain yang perlu untuk dibayarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 

b.    Hutang bunga yang timbul setelah debitur dalam hal ini PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) telah dinyatakan dalam keadaan pailit juga dapat dibayarkan dari hasil penjualan harta pailit secara pre memori atau dengan kata lain apabila hasil barang penjualan tersebut tidaklah mencukupi untuk melunasi hutang debitur pailit dalam hal ini PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit),  ketentuan ini secara jelas diatur dalam ketentuan pasal 134 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang pada pokoknya adalah mengatur tentang prosedur pencocokan bunga sebagai hutang yang timbul dari utang pokok setelah debitur dinyatakan pailit;

c.     Apabila hasil dari penjualan barang tersebut tidaklah dapat mencukupi dan melunasu untuk membayar bunga utang yang timbul setelah debitur telah dinyatakan dalam keadaan pailit,  maka utang bunga tersebut tidak dapat diajukan oleh kreditur  separatis sebagai tagihan konkuren;

d.    Tagihan kreditur separatis yang dapat diajukan oleh kreditur separatis untuk dibayar sebagai tagihan konkuren hanyalah terbatas pada sisa utang pokoknya saja yang tidak terpenuhi pelunasannya dan bunga utang yang timbul sebelum debitur dinyatakan pailit yang  tidak dapat dilunasi dari hasil penjualan barang jaminan, Hal ini secara jelas diatur dalam ketentuan Pasal 60 Ayat 3 Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

e.     Pembayaran piutang kreditur separatis yang nilainya tidak dinyatakan dalam mata uang Rupiah atau mata uang yang berlaku di dalam negara Republik Indonesia maka dilakukan dengan mengkonversi nilainya ke mata uang yang berlaku di negara Republik Indonesia atau dengan mata uang Rupiah dengan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada saat eksekusi barang jaminan tersebut dilakukan,  hal ini jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 139 ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

f.     Pembayaran kepada kreditur separatis yang eksekusinya dilanjutkan setelah adanya putusan pailit diucapkan diambil dari uang hasil penjualan barang yang dilanjutkan dan dilaksanakan oleh Kurator debitur pailit berdasarkan ketentuan Pasal 33 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bahwa terkait dalam hal ini pelaksanaan eksekusi harta pailit debitur pailit berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang pada pokoknya adalah dapat dilanjutkan meskipun debitur telah dinyatakan pailit atau telah dinyatakan dalam keadaan pailit atas izin Hakim Pengawas dan dilakukan atau dilaksanakan oleh Kurator debitur pailit. maka hasil penjualan barang tersebut tidak diberikan kepada pemohon eksekusi akan tetapi dimasukkan oleh Kurator debitur pailit dalam harta pailit debitur pailit dan dicadangkan  untuk pembayaran piutang kreditur tersebut dalam daftar pembagian sebagaimana telah ditetapkan dan disahkan oleh Kurator dan Hakim Pengawas pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri.

Penjualan Oleh Kurator Debitur Pailit

Bahwa apabila kreditur separatis tidak pula dapat menjual sendiri barang yang dikuasainya atas jaminan utang debitur maka setelah lewat dalam jangka waktu yang telah ditetapkan yaitu adalah 2 (dua) bulan dalam hal ini pihak kreditur separatis haruslah untuk menyerahkan barang jaminan tersebut kepada Kurator debitur pailit dan selanjutnya Kurator debitur pailit akan menjual sendiri barang jaminan tersebut. Apabila jika Kurator debitur pailit yang menjual atau melakukan penjualan atas barang jaminan tersebut maka pembayaran kepada kreditur separatis dilakukan oleh Kurator debitur pailit dari hasil penjualan barang jaminan tersebut, dan sisa uang hasil daripada penjualan tersebut jika apabila tersisa atau masih ada akan dimasukkan menjadi harta pailit debitur pailit untuk keuntungan para kreditur konkuren atau kreditur lainnya yang pembayaran piutangnya tidak dijamin dengan hak kebendaan debitur atau tidak dijamin atau tidak memiliki berdasarkan hak istimewa yang dapat didahulukan, ketentuan ini jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,� dan Pasal 59 Ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Pembayaran piutang pokok kreditur separatis akan mendapat perlakuan yang berbeda dengan piutang bunga berjalan setelah debitur dinyatakan pailit atau dalam keadaan pailit yang timbul akibat dari piutang pokok tersebut, sesuai dan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 60 Ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jo. Pasal 138 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah yang pada pokoknya piutang pokok yang tidak lunas atau tidak dapat dilunasi karena hasil penjualan barang jaminan tersebut tidaklah dapat mencukupi untuk memenuhi pelunasan utang, maka dalam hal ini dapatlah untuk diajukan untuk verifikasi menjadi piutang konkuren.  Sehingga oleh karenanya dalam hal ini kreditur separatis beralih kedudukannya menjadi kreditur konkuren untuk sejumlah piutang yang pokoknya tidak dapat terlunasi.  Sedangkan terkait dengan piutang bunga berjalan yang timbul setelah debitur dinyatakan pailit atau dalam keadaan pailit, hanya akan dibayar dari hasil penjualan barang jaminan sepanjang hasil penjualan  yang telah dijual mencukupi untuk melunasi hutang tersebut. Namun apabila ternyata pada faktanya hasil penjualan barang jaminan tersebut tidaklah dapat mencukupi untuk melunasi tagihan piutang bunga berjalan yang timbul setelah debitur dinyatakan pailit  atau dalam keadaan palilit, maka  piutang tersebut tidak dapat dibayar dari harta pailit  debitur pailit.

Maka dengan ini terkait dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana diberlakukan dalam pembayaran piutang kreditur separatis yaitu adalah dengan sebagai berikut:

a).  Apabila kreditur separatis telah melakukan dan atau melaksanakan penjualan barang jaminan atau agunan yang menjadi haknya atau yang telah dikuasainya, maka ia harus dan wajib untuk melaporkan hasil penjualan lelang dan menyerahkan sejumlah uang yang menjadi hak kreditur preferen kepada Kurator debitur pailit atau kredtor separatis dapat menyerahkan sendiri tagihan kreditur preferent kepada kreditur preferen ;

b).  Bahwa kreditur separatis harus dan wajib untuk menyerahkan sisa hasil dari pada penjualan setelah dikurangi dengan pembayaran utang pokok dan bunga atas piutang kreditur separatis, hal ini Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 60 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.  maka untuk selanjutnya sisa penjualan ini akan dimasukkan sebagai harta pailit dibitor pailit dan dalam pos penerimaan dalam daftar pembagian yang telah ditetapkan dan telah disahkan oleh Kurator  debitur pailit dan Hakim Pengawas.  Maka untuk selanjutnya, uang tersebut akan digunakan untuk melakukan dan melaksanakan pembayaran pembayaran tagihan kreditur berdasarkan prioritasnya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;

c).  Apabila ternyata hasil daripada penjualan barang-barang jaminan piutang kreditur separatis tersebut tidaklah dapat mencukupi untuk dapat memenuhi dan untuk dapat melunasi pembayaran-pembayaran piutangnya, maka kreditur separatis dapat mengajukan tagihan atas kekurangan-kekurangan pembayaran tersebut kepada Kurator debitur pailit.   Maka dalam hal ini kreditur separatis bukan lagi sebagai kreditur separatis, akan tetapi berkedudukan sebagai kreditur konkuren untuk piutang yang tidak dapat dibayar lunas atau tidak dapat terlunasi dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut,  ketentuan ini jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 60 Ayat 3 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jo. Pasal 139 Ayat (5) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

d).  Bahwa pembayaran piutang yang pada pokoknya adalah dalam bentuk mata uang asing, maka dalam hal ini dibayarkan dengan nilai rupiah yang telah ditetapkan dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada tanggal eksekusi benda jaminan dilakukan dan dilaksanakan, hal ini jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 139 Ayat 1 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2007 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Pasal 139 Ayat 3 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

e).  Bahwa pembayaran terkait atas piutang  kreditur separatis  yang nilainya tidak ditetapkan atau tidak memiliki kepastian, maka akan dilakukan sesuai dengan jenis piutangnya, dan jumlah yang diakui sebagaimana tercantum dalam daftar pembagian yang telah ditetapkan dan telah disahkan;

f).   Bahwa piutang kreditur separatis yang diajukan sebagai tagihan kreditur konkuren atau kreditur separatis yang sudah tidak lagi berkedudukan sebagai kreditur separatis akan tetapi berkedudukan sebagai kredit konkuren, karena diperkirakan tidak dapat dilunasi dari hasil penjualan barang jaminan, maka akan dibayar sepanjang harga penjualan barang jaminan terbukti secara nyata tidak mencukupi untuk dapat melunasi tagihan piutang kreditur separatis. Maka dalam hal ini, terkait jumlah tagihan yang akan dibayarkan adalah jumlah yang nyata atau sisa tagihan setelah dikurangi dengan jumlah yang telah diterima dari hasil penjualan barang jaminan tersebut. Sedangkan, terkait dengan pembayaran dalam jenis tagihan konkuren, maka dilakukan sama dengan piutang konkuren lainnya yaitu berdasarkan prinsip pro rata pari pasu yang presentasinya telah ditetapkan dan telah disahkan oleh Hakim Pengawas dalam daftar pembagian;

g).  Kreditur separatis dapat pula menanggungkan biaya kepailitan dari hasil penjualan barang agunan yang telah dilakukan atau dilaksanakannya sendiri, sebagaimana ketentuan yang diatur berdasarkan Pasal 60 Ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan kreditur separatis juga diwajibkan atau diharuskan untuk menyerahkan bagian dari tagihan yang diistimewakan dari setiap penjualan barang yang telah dilakukan, ketentuan ini jelas sebagaimana diatur dalam pasal 199 undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban Pembayaran utang.

Tidak Adanya Kepastian Hukum Dalam Berakhirnya Kepailitan.

Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab III Huruf D, yang pada pokoknya adalah Kurator PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) telah melakukan pemberesan, akan tetapi hal yang membuat berlarut-larutnya proses kepailitan adalah dikarenakan terdapat beberapa kreditur yang tidak dapat dihubungi untuk dilakukan pembayaran atas hasil pemberesan boedel pailit oleh Kurator, sehingga dalam hal ini peran Hakim Pengawas untuk aktif dan/atau proaktif sangatlah penting agar perkara kepailitan ini dapat diselesaikan.

Akan tetapi, jika dalam hal ini Kurator maupun Hakim Pengawas tidak dapat bertindak, maka tentu hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kreditur separatis dan akan berdampak pada reputasi nama PT. Bank Permata, Tbk. Terutama pencatatan kredit bermasalah pada pembukuan bank yang terus tetap tercantum pada buku Bank selama tidak dilaksanakan penutupan kepailitan meskipun telah dilaksanakan pemberesan boedel pailit oleh Kurator.

Setiap debitur yang tidak dapat membayarkan utangnya, apalagi jika sampai terjadi pailit baik karena permohonannya sendiri ataupun permohonan pihak lain. Maka hal tersebut akan membuat pembukuan Non Perfoming Load (NPL) menjadi meningkat, dan akan berdampak pada reputasi nama Perbankan (dalam hal ini PT. Bank Permata, Tbk., dalam perkara a quo).

Biaya Penerimaan Yang Jauh Dari Piutang, dan Tidak Adanya Kepastian Hukum Dalam Biaya Kepailitan.

Dalam rapat verifikasi utang atau pencocokan piutang PT. Bank Permata, Tbk, diketahui Kurator telah menerima tagihan dari PT. Bank Permata, Tbk selaku kreditur Separatis dan Kreidur Konkuren sebesar Rp. 103.224.709.787,28 (seratus tiga miliar dua ratus dua puluh empat juta tujuh ratus sembilan ribu tujuh ratus delapan puluh tujuh dua puluh delapan rupiah), dengan rincian:

1)       Tagihan Separatis sebesar: Rp. 70.000.000.000,- (tujuh puluh miliar rupiah);

2)       Tagihan Konkuren sebesar: Rp. 33.224.709.787,28 (tiga puluh tiga miliar dua ratus dua puluh empat juta tujuh ratus sembilan ribu tujuh ratus delapan puluh tujuh dua puluh delapan rupiah).

Selanjutnya, tagihan-tagihan tersebut dikurangi dengan deposito PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) yang telah dicairkan oleh PT. Bank Permata, Tbk. sebesar Rp. 12.530.667.513 (dua belas miliar lima ratus tiga puluh juta enam ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus tiga belas rupiah).

Akan tetapi dalam penerimaannya, PT. Bank Permata, Tbk hanya menerima pembayaran dengan rincian:

Tagihan Separatis : Rp. 4.427.773.692 (empat miliar empat ratus dua puluh tujuh juta tujuh ratus tujuh puluh tiga ribu enam ratus Sembilan puluh dua rupiah)

����������������������������������������������� : Rp. 1.576.930.567 (satu miliar lima ratus tujuh

puluh enam juta sembilan ratus tiga puluh ribu lima ratus enam puluh tujuh rupiah)

Tagihan Konkuren������������� : Rp. 3.040.108.061 (tiga miliar empat puluh juta seratus delapan ribu enam puluh satu rupiah)

Pembagian ini merugikan PT. Bank Permata, Tbk., sehingga pemberesan yang dilakukan oleh Kuator tidak mencermikan rasa keadilan bagi PT. Bank Permata, Tbk. Sebagai kreditur Separatis dan kreditur kongkuren.

 

 

KESIMPULAN

Bahwa dalam perkara Perkara Pailit Putusan Nomor 12/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN Niaga Smg tertanggal 22 Oktober 2015 pada pokoknya Kurator PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) telah efektif melakukan penilaian harta pailit debitur PT. Mitra Sentrosa Plastik (Dalam Pailit) selaku debitur pailit, dan telah efektif dalam melaksanakan dan/atau melakukan pemberesan harta pailit PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit). Hanya saja dalam hal perkara ini, kepailitan PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) belum juga berakhir karena adanya beberapa kreditur kongkuren yang belum menerima pembayaran, karena Kurator setelah melakukan pemberesan, tidak dapat melaksanakan pembagian atas pelaksanaan pemberesan harta pailit karena alamat yang terdaftar didalam daftar kreditur khususnya kreditur konkuren tidak dapat ditemukan. Padahal pada faktanya Kurator PT. Mitra Sentosa Plastik Industri (Dalam Pailit) dapat mengajukan kepada Hakim Pengawas, dan Hakim Pengawas dapat menetapkan berakhirnya kepailitan dengan daftar pembagian penutup mengikat, yang apabila dikemudian hari kreditur yang belum menerima haknya dapat mengajukan gugatan kembali untuk memperoleh haknya dengan mengajukan tuntutan di Pengadilan dengan menggunakan Ikshtiar Berita Acara Pencocokan Piutang, maupun bukti-bukti pendukung lainnya

Perlindungan hukum kreditur separatis berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang belumlah dapat dikatakan maksimal, karena ada beberapa yang perlu untuk diperbaharui dan lebih dispesifikan untuk menjadi� perlindungan hukum yang maksimal terhadap kreditur separatis dalam hal ini PT. Bank Permata, Tbk., diantaranya: Jangka waktu 2 (dua) bulan paling lambat sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang setelah dimulainya keadaan insolven, bukanlah waktu yang wajar. Karena pada dasarnya kreditur separatis dalam menjual sendiri barang yang dikuasainya memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencari siapa yang dapat dan/atau ingin membeli barang jaminan tersebut sesuai dengan harga utang termasuk namun tidak terbatas pada bunga berjalannya, agar kreditur separatis tidak dirugikan karena menjual objek jaminan dibawah harga utang dan bunga berjalan debitur pailit. Dengan demikian, masa waktu selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sangatlah merugikan kreditur separatis apabila dalam 2 (dua) bulan tersebut kreditur separatis tidak dapat menjual sendiri jaminan yang dikuasainya; Biaya penerimaan yang jauh dari yang diharapkan kreditur dan biaya kepailitan yang dianggap menimbulkan kerugian bagi kreditur separatis, kreditur kongkuren, maupun kreditur lainnya, karena tidak ada ketentuan terkait dengan batas-batas dan/atau nilai wajar dalam biaya kepailitan

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Alam, M. M., Murad, M. W., Noman, A. H. M., & Ozturk, I. (2016). Relationships among carbon emissions, economic growth, energy consumption and population growth: Testing Environmental Kuznets Curve hypothesis for Brazil, China, India and Indonesia. Ecological Indicators, 70, 466�479.

Bitar, M., & Tarazi, A. (2019). Creditor rights and bank capital decisions: Conventional vs. Islamic banking. Journal of Corporate Finance, 55, 69�104.

Damlah, J. (2017). Akibat Hukum Putusan Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Lex Crimen, 6(2).

Diljan, A. A. (2014). Penerapan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. SKRIPSI-2014.

Fahmi, F. Z., Koster, S., & Van Dijk, J. (2016). The location of creative industries in a developing country: The case of Indonesia. Cities, 59, 66�79.

Gonz�lez, F. (2016). Creditor rights, bank competition, and corporate investment during the global financial crisis. Journal of Corporate Finance, 37, 249�270.

Gupta, G., & Bose, I. (2022). Digital transformation in entrepreneurial firms through information exchange with operating environment. Information & Management, 59(3), 103243.

Hall, G. J., & Sargent, T. J. (2021). Debt and taxes in eight US wars and two insurrections. In The Handbook of Historical Economics (pp. 825�880). Elsevier.

Heldeweg, M. A., & Saintier, S. (2020). Renewable energy communities as �socio-legal institutions�: A normative frame for energy decentralization? Renewable and Sustainable Energy Reviews, 119, 109518.

Kalyvas, A. N., & Mamatzakis, E. (2017). Do creditor rights and information sharing affect the performance of foreign banks? Journal of International Financial Markets, Institutions and Money, 50, 13�35.

Khlystova, O., Kalyuzhnova, Y., & Belitski, M. (2022). The impact of the COVID-19 pandemic on the creative industries: A literature review and future research agenda. Journal of Business Research, 139, 1192�1210.

Lee, J.-W., & Wie, D. (2015). Technological change, skill demand, and wage inequality: Evidence from Indonesia. World Development, 67, 238�250.

Nigam, N., & Boughanmi, A. (2017). Can innovative reforms and practices efficiently resolve financial distress? Journal of Cleaner Production, 140, 1860�1871.

Sainati, T., Locatelli, G., & Smith, N. (2019). Project financing in nuclear new build, why not? The legal and regulatory barriers. Energy Policy, 129, 111�119.

Tran, N., Rodriguez, U.-P., Chan, C. Y., Phillips, M. J., Mohan, C. V., Henriksson, P. J. G., Koeshendrajana, S., Suri, S., & Hall, S. (2017). Indonesian aquaculture futures: An analysis of fish supply and demand in Indonesia to 2030 and role of aquaculture using the AsiaFish model. Marine Policy, 79, 25�32.