SANKSI PIDANA TAMBAHAN TERHADAP KORPORASI DALAM PRAKTIK PENEGAKAN
HUKUM DI INDONESIA
Firda Faradila, Nur Kholim
Fakultas Hukum
Universitas Subang, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
kata kunci: sanksi
pidana tambahan, korporasi, penegakan hukum, KUHP, pencemaran lingkungan. keywords: additional
criminal sanctions, corporations, law enforcement, the Criminal Code,
environmental pollution. |
|
ABSTRAK |
|
Perkembangan
korporasi di Indonesia yang pesat,
baik dalam jumlah maupun sektor usaha, membawa dampak positif dan negatif. Di satu sisi, korporasi
berperan penting dalam perekonomian, namun di sisi lain sering kali terlibat dalam berbagai tindak pidana, terutama terkait pencemaran lingkungan hidup. Kasus-kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh korporasi telah menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat dan lingkungan. Namun, penerapan sanksi pidana terhadap korporasi sering kali tidak memberikan efek jera yang cukup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan sanksi pidana tambahan terhadap korporasi dalam praktik penegakan hukum di
Indonesia dan untuk memahami dampak dari penerapan sanksi pidana tambahan terhadap korporasi dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Dalam KUHP baru, korporasi diakui sebagai subjek
hukum pidana, dan sanksi pidana tambahan menjadi bagian penting untuk memberikan efek jera dan mendorong kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Penelitian
ini menggunakan metode deskriptif
analisis dengan pendekatan
yuridis normatif. Data
yang dikumpulkan terdiri dari bahan hukum primer, sekunder,
dan tersier yang dianalisis
secara kualitatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan sanksi pidana tambahan terhadap korporasi masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam hal penegakan yang konsisten dan efektif. Namun, dengan adanya KUHP baru,
diharapkan penegakan
hukum terhadap korporasi
dapat lebih ditingkatkan dan memberikan
perlindungan yang lebih baik terhadap
lingkungan hidup dan masyarakat. The rapid development of corporations in
Indonesia, both in number and business sector, has had both positive and
negative impacts. On the one hand, corporations play an important role in the
economy, but on the other hand, they are often involved in various criminal
acts, especially related to environmental pollution. Cases of environmental
pollution carried out by corporations have caused great losses to the
community and the environment. However, the application of criminal sanctions
against corporations often does not provide a sufficient deterrent effect.
This study aims to find out how the application of additional criminal
sanctions against corporations in law enforcement practices in Indonesia and
to understand the impact of the application of additional criminal sanctions
against corporations in the new Criminal Code (KUHP). In the new Criminal
Code, corporations are recognized as subjects of criminal law, and additional
criminal sanctions are an important part to provide a deterrent effect and encourage
compliance with laws and regulations. This study uses a descriptive method of
analysis with a normative juridical approach. The data collected consisted of
primary, secondary, and tertiary legal materials that were analyzed
qualitatively. This study concludes that the implementation of additional
criminal sanctions against corporations still faces various challenges,
especially in terms of consistent and effective enforcement. However, with
the new Criminal Code, it is hoped that law enforcement against corporations
can be further improved and provide better protection for the environment and
society. |
|
Ini adalah artikel akses
terbuka di bawah lisensi CC BY-SA . This is an open access article under the CC BY-SA license. |
Perkembangan korporasi di Indonesia telah mengalami
peningkatan yang pesat, baik dalam hal jumlah maupun dalam berbagai sektor
usaha (Bakhar et al., 2023). Keberadaan korporasi sebagai motor penggerak ekonomi tidak dapat
dipandang sebelah mata, karena mereka berkontribusi signifikan dalam
menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan negara melalui pajak, dan
mendorong pertumbuhan ekonomi (Hidayah, 2024). Namun, di balik kontribusi positif tersebut, korporasi juga sering kali
terlibat dalam berbagai tindak pidana yang dapat merugikan masyarakat,
lingkungan, dan perekonomian. Kasus-kasus pencemaran lingkungan, eksploitasi
sumber daya alam, serta praktik bisnis yang tidak etis kian marak terjadi dan
menimbulkan pertanyaan besar mengenai tanggung jawab hukum korporasi atas
tindakan yang dilakukan (Afifah, 2019). Dampak negatif ini disebabkan oleh dorongan korporasi untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu, dibutuhkan pemidanaan yang tepat
guna memberikan efek jera dan pencegahan tindak pidana korporasi di masa depan (Wijayanti, 2024).
Korporasi sendiri dalam arti sempit berasal dari kata "corporation" yang berasal
dari bahasa Belanda dan mengacu pada badan hukum. Namun, pengertian korporasi
secara luas tidak hanya terbatas pada badan hukum, tetapi juga mencakup entitas
yang bukan badan hukum seperti firma, perseroan komanditer atau CV, dan
persekutuan atau maatschap (Aji, 2024). Dalam konteks hukum pidana, pengertian korporasi lebih ditekankan pada
adanya kelompok orang yang terorganisir dengan pemimpin dan melakukan perbuatan
hukum (Batubara, 2016), termasuk perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang
dilakukan oleh pengurusnya atas nama kelompok tersebut. Oleh karena itu,
pengertian korporasi dalam ranah hukum pidana menjadi lebih luas.
Pemidanaan merupakan elemen yang tak terpisahkan dalam
pembahasan hukum pidana yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dan mencegah
terjadinya tindak pidana di masyarakat (Laia, 2022). Jika dilihat sebagai bagian dari mekanisme penegakan
hukum, masalah pemidanaan atau penjatuhan hukuman adalah suatu kebijakan yang
disusun secara sengaja, yang berarti bahwa dalam pemidanaan atau penjatuhan
hukuman, terdapat beberapa tahap perencanaan yang harus dijalankan agar dapat
dilaksanakan dengan baik, yakni :
1. Tahap penetapan pidana oleh pembentuk Undang-undang;
2. Tahap penjatuhan pidana oleh badan yang berwenang; dan
3. Tahapan pelaksanaan pidana oleh instansi yang berwenang.
Dalam proses penegakan hukum pidana, ketiga tahapan
diatas dianggap sebagai bagian dari suatu sistem yang saling terkait dan
terikat sebagai satu kesatuan yang utuh. Sistem tersebut harus berjalan dengan
baik agar dapat memastikan efektivitas dan efisiensi penegakan hukum pidana
secara keseluruhan.
Pemidanaan terhadap korporasi merupakan konsep hukum
pidana yang baru diterima dalam hukum pidana di beberapa negara pada abad ke-20
(Sutan Remy Sjahdeini,
2017). Meskipun konsep ini sudah muncul pertama kali di
Inggris pada abad ke-19, negara-negara lain baru mulai mengakui korporasi
sebagai pelaku tindak pidana pada tahun-tahun terakhir (Rifai, 2024).
Dalam konteks hukum pidana, pengakuan terhadap
korporasi sebagai subjek hukum merupakan langkah penting dalam memastikan
akuntabilitas atas tindakan yang dilakukan oleh entitas tersebut (Tanudjaja, 2024). Hukum pidana tradisional lebih berfokus pada individu sebagai pelaku
kejahatan, sehingga kehadiran korporasi sebagai pelaku tindak pidana sering
kali terabaikan (Nugroho, 2018). Padahal, kejahatan yang dilakukan oleh korporasi bersifat terorganisir
dan memiliki dampak yang lebih luas, yang berpotensi mengakibatkan kerugian
yang tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh masyarakat dan
lingkungan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama,
pengaturan mengenai sanksi pidana terhadap korporasi tidak ada sama sekali (Hanifah, 2024). Selama ini, sanksi bagi korporasi lebih diatur melalui undang-undang lain
di luar KUHP, seperti undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini membuat penegakan hukum terhadap
korporasi menjadi kurang efektif, karena tidak ada ketentuan yang jelas dan
komprehensif dalam KUHP yang mengatur pertanggung jawaban pidana korporasi.
Banyak tindakan korporasi yang melanggar hukum tidak mendapatkan konsekuensi
yang sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan, sehingga keadilan bagi korban
dan masyarakat menjadi sulit terwujud (Prakasa et al., 2024).
Dalam kasus tindak pidana korporasi, sanksi pidana pokok
yang diterapkan seringkali tidak cukup untuk memberikan efek jera kepada
korporasi dan tidak dapat mengganti kerugian yang diderita oleh korban atau
negara (Amarini, 2016). Pidana tambahan dapat berupa denda tambahan, pencabutan
izin usaha, pembayaran kompensasi, dan lain sebagainya. Dengan adanya pidana
tambahan, diharapkan korporasi akan lebih memperhatikan tanggung jawab sosial
dan lingkungannya, serta tidak mengulangi tindakan pidana di masa yang akan
datang.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru merupakan
bentuk dari usaha untuk memperbarui hukum pidana. Hal ini dilakukan karena
berbagai alasan filosofis, politis, sosiologis, dan praktis. KUHP lama yang
disusun oleh pemerintah kolonial Belanda perlu diganti karena memiliki dasar
filosofis yang berbeda. Selain itu, dari segi sosiologis, banyak pasal di KUHP
lama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, serta
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat pengaturan tindak pidana
dalam KUHP lama menjadi tidak memadai dan ketinggalan zaman.
Dengan disahkannya KUHP baru pada tahun 2023, terdapat
harapan baru untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum pidana terhadap
korporasi (Himma, 2023). Penerapan sanksi pidana tambahan kini menjadi aspek
penting yang diatur. Pidana tambahan sangat penting karena tidak hanya
bertujuan untuk memberikan hukuman yang setimpal kepada korporasi atas
pelanggaran yang dilakukan, tetapi juga untuk menciptakan efek jera dan
mendorong kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Sanksi tambahan
diharapkan dapat memaksa korporasi untuk lebih memperhatikan dampak sosial dan
lingkungan dari kegiatan usahanya, serta bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan.
Dalam konteks inilah, penelitian tentang sanksi pidana
tambahan terhadap korporasi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia menjadi
relevan untuk dilakukan. Dengan menganalisis penerapan sanksi pidana tambahan
terhadap korporasi, dapat diketahui efektivitas penegakan hukum terhadap
korporasi di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam meningkatkan efektivitas penegakan hukum terhadap korporasi di Indonesia.
Berdasarkan uraian yang telah Dipaparkan, Maka Penulis Tertarik Untuk Melakukan
Penelitian Yang Berjudul �Sanksi Pidana Tambahan Terhadap Korporasi Dalam
Praktik Penegakan Hukum Di Indonesia�.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan
di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan sanksi pidana tambahan terhadap
korporasi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia?
2. Apa dampak dari penerapan sanksi pidana tambahan terhadap
korporasi dalam KUHP Baru?
Guna mendapat solusi terkait
permasalahan. Maka tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan sanksi pidana
tambahan terhadap korporasi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.
2. Untuk mengetahui apa dampak dari penerapan sanksi pidana
tambahan terhadap korporasi dalam KUHP Baru.
Dalam melakukan
penelitian ini, penulis mengharapkan adanya manfaat yang dapat diambil. Kegunaan penelitian ini dari segi
teoritis dan praktis adalah sebagai berikut :
1. Segi Teoritis
a. Memberikan kontribusi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang hukum pidana di Indonesia.
b. Memberikan� pemahaman yang lebih mendalam tentang teori hukum pidana khususnya terkait dengan sanksi pidana
tambahan terhadap korporasi dalam praktik
penegakan hukum di Indonesia.
c. Memberikan kontribusi dalam
pembahasan perubahan peraturan perundangan-undangan terkait sanksi pidana tambahan
terhadap korporasi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.
d. Mengasah kemampuan berpikir kritis terhadap sanksi pidana tambahan terhadap korporasi dalam praktik
penegakan hukum di Indonesia.
2. Segi Praktis
a. Sebagai bahan masukan
untuk kebijakan hukum pidana
terkait sanksi pidana
tambahan terhadap
korporasi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.
b. Sebagai acuan bagi pemerintah dan pembuat kebijakan dalam
merumuskan kebijakan terkait penegakan hukum di Indonesia.
c. Sebagai sumber informasi bagi masyarakat dan pihak-pihak
yang berkepentingan mengenai sanksi pidana tambahan terhadap korporasi dalam
praktik penegakan hukum di Indonesia.
Metode penelitian adalah suatu cara pemecahan
masalah untuk menentukan, menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran
informasi dengan cara mengumpulkan, merangkai, dan menganalisis data sesuai
pedoman atau kaidah yang mengatur karya ilmiah. Metode yang akan digunakan
dalam penelitian ini yaitu:
1. Jenis Spesifikasi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif, Penelitian hukum normatif merupakan jenis penelitian
yang dilakukan dengan cara mempelajari peraturan Perundang-undangan yang
berlaku atau dokumen-dokumen hukum lainnya yang berkaitan dengan obyek
penelitian atau pengumpulan data dari sumber-sumber yang relevan dengan
melakukan analisis kritis dan mendalam untuk memecahkan masalah yang mendasar.
Sebelum memulai analisis bahan pustaka, peneliti harus memastikan sumber
informasi ilmiah yang akan digunakan.
2. Metode
Pendekatan
Dalam penelitian hukum normatif terdapat
beberapa pendekatan yang dapat digunakan sebagai langkah atau prosedur untuk
menemukan jawaban atas permasalahan yang dihadapi. Dalam hal ini, Peter Mahmud
Marzuki menyatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan yang umumnya digunakan
dalam penulisan hukum, yaitu sebagai berikut:
a.
Pendekatan
kasus (case approach)
b.
Pendekatan
Perundang-undangan (statute approach)
c.
Pendekatan
historis (historical approach)
d.
Pendekatan
perbandingan (comparative approach)
e.
Pendekatan
konseptual (conceptual approach)
Penelitian hukum ini menerapkan pendekatan
perundang-undangan Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan cara
mempelajari dan meneliti semua peraturan undang-undang dan regulasi yang
berkaitan dengan penelitian yang sedang dibahas.
Soerjono
Soekanto juga mengatakan bahwa kegunaan dari metode penelitian hukum normatif
adalah :
a. Untuk mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimakah
hukum positifnya mengenai suatu masalah tertentu;
b. Untuk dapat menyusun dokumen-dokumen
hukum;
c. Untuk menulis makalah, ceramah,
maupun buku hukum;
d. Untuk� menjelaskan�
ataupun� menerangkan� kepada�
orang� lain� apakah dan�
bagaimanakah hukumnya mengenai suatu peristiwa atau masalah tertentu;
e. Untuk menentukan
penelitian dasar di bidang hukum;
f. Untuk menyusun
rancangan undang-undang
atau peraturan perundang-undangan
baru;
g. Untuk menyusun rencana pembangunan
hukum.
3. Tahap Penelitian
dan Bahan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tahap
penelitian kepustakaan (library reserch). Penelitian kepustakaan yaitu
mengumpulkan data-data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh
dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang terkait dengan objek penelitian,
laporan hasil penelitian, skripsi, dan peraturan Perundang-undangan. Referensi
utama dalam penelitian ini adalah data sekunder yang sudah tersedia dalam
bentuk tulisan seperti buku, jurnal ilmiah, dan sumber tertulis lainnya. Data
sekunder dalam bidang hukum terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan kekuatan
mengikatnya, yaitu bahan primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
a. Bahan Hukum Primer
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad menjelaskan
bahwa bahan hukum primer memiliki sifat otoritatif, yang berarti memiliki
kekuasaan dan merupakan hasil dari tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh
institusi yang berwenang. Bahan hukum primer mengandung ketentuan dan kaidah
hukum yang memiliki kekuatan mengikat. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer
yang digunakan, diantaranya sebagai berikut :
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) lama;
3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru.
4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
5) Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh
No. 131/Pid.B/2013/PN/Mbo.
6) Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh No. 201/ PID / 2014/
PT. BNA.
7) Putusan Mahkamah Agung No. 1554 K/Pid.Sus/2015.
b. Bahan
Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku teks yang
ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer),
jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi,
disertasi hukum, tesis hukum, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan
dengan topik penelitian. Bahan hukum sekunder tidak memiliki sifat otoritatif
seperti bahan hukum primer, namun dapat digunakan sebagai referensi dalam
memahami atau menafsirkan bahan hukum primer. Dalam penelitian ini, bahan hukum
sekunder yang digunakan, diantaranya sebagai berikut :
1. Buku-buku Hukum dan ilmiah yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan diteliti, seperi buku-buku yang membahas mengenai hukum
pidana, pidana tambahan atau tindak pidana korporasi.
2. Jurnal-jurnal Hukum dan sosial yang berkaitan dengan permasalahan
yang akan diteliti, seperti jurnal yang membahas mengenai tindak pidana
korporasi, kebijakan pemidanaan, atau perlindungan hak-hak korban.
3. Hasil Penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang
akan diteliti, seperti hasil penelitian sebelumnya yang membahas mengenai
implementasi hukum pidana terhadap korporasi atau dampak dari pemberlakuan
pidana tambahan terhadap korporasi.
4. Makalah-makalah, artikel-artikel, dan karya tulis yang
berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti, seperti makalah dari seminar
atau konferensi yang membahas mengenai hukum pidana atau kebijakan pidana
terhadap korporasi.
c. Bahan
Hukum Tersier
Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang bersifat
pelengkap dan memberikan petunjuk atau penjelasan lebih lanjut terkait dengan
bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tertier yang digunakan dapat
berupa panduan praktis, kamus hukum, dan buku-buku referensi yang memberikan
penjelasan atau interpretasi lebih lanjut terkait dengan bahan hukum primer dan
sekunder yang digunakan. Dalam penelitian ini bahan hukum tertier yang
digunakan meliputi:
1) Kamus Besar Bahasa Indonesia.
2) Kamus hukum.
3) Situs internet yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang
dilakukan peneliti untuk mendapatkan data penelitian. Pada penelitian
kualitatif ada empat teknik untuk mengumpulkan data penelitian, yaitu studi
kepustakaan, wawancara, angket dan observasi. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad
menyatakan bahwa teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif
dilakukan dengan melakukan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum. Oleh
karena itu, Penelitian ini menggunakan teknik studi kepustakaan terhadap bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dalam
pengumpulan datanya.
5. Metode
Analisis Data
Proses pencarian dan penyusunan data secara sistematis
merupakan bagian dari metode analisis data. Metode analisis kualitatif
dilakukan dengan cara menganalisis bahan hukum menggunakan konsep, teori,
peraturan Perundang-undangan, pandangan pakar, atau pandangan penulis, kemudian
dilakukan interpretasi untuk menarik kesimpulan dari permasalahan penelitian
yang diteliti. Dalam hal ini, obyek penelitian yang utuh dipelajari dan
dianalisis. Pendekatan analisis kualitatif juga digunakan untuk mengumpulkan
data monografis atau kasus-kasus yang tidak dapat disusun ke dalam struktur
klasifikasi. Data dikualifikasi dan kemudian dihubungkan dengan teori yang
relevan dengan masalah yang diteliti untuk menarik kesimpulan dan menentukan
hasil penelitian.
6. Lokasi
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Perpustakaan Universitas
Subang. Perpustakaan ini memiliki berbagai macam koleksi buku. Dengan fasilitas
yang memadai, seperti ruang baca, perpustakaan ini menjadi salah satu pusat
studi yang sangat mendukung penelitian ini.
Jenis dan Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum
normatif, yang berfokus pada kajian terhadap asas-asas hukum serta aturan hukum
yang berlaku. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan menelaah bahan-bahan
hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan
dokumen hukum lainnya. Penelitian ini secara spesifik menganalisis penerapan sanksi pidana
tambahan terhadap korporasi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan
ini melibatkan kajian terhadap berbagai peraturan hukum dan undang-undang yang berkaitan dengan topik penelitian. Fokus utama adalah
pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan peraturan lain yang mengatur
pertanggungjawaban pidana korporasi. Selain itu, kajian juga dilakukan terhadap putusan
pengadilan yang relevan untuk memahami penerapan hukum secara praktis.
Tahapan Penelitian dan Pengumpulan
Data
Penelitian ini dilakukan melalui
beberapa tahapan, diawali dengan studi kepustakaan. Data yang dikumpulkan
terdiri dari:
Bahan Hukum Primer: meliputi peraturan perundang-undangan
seperti KUHP, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta putusan pengadilan seperti Perkara No. 1554
K/Pid.Sus/2015.
Bahan Hukum Sekunder: berupa literatur, buku, jurnal ilmiah,
serta hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan topik penelitian.
Bahan Hukum Tersier: berupa kamus hukum,
buku referensi, dan panduan praktis yang memberikan penjelasan lebih lanjut terkait
bahan hukum primer dan sekunder.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan
data dilakukan melalui studi dokumentasi dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum baik primer, sekunder, maupun tersier. Studi dokumentasi ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang relevan dari dokumen-dokumen
yang telah ada.
Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif, di mana bahan-bahan hukum yang dikumpulkan dianalisis berdasarkan konsep, teori, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Data yang diperoleh dianalisis secara sistematis untuk
kemudian diinterpretasikan guna menarik kesimpulan terkait permasalahan
penelitian.
Perkara Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO
Perkara No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO. Junto No. 201/ PID /
2014/ PT. BNA. Junto No. 1554 K/Pid.Sus/2015 adalah perkara terkait Pidana
Lingkungan Hidup, dimana Sdr. Subianto Rusdi (Direktur PT Kallista Alam)
mewakili terdakwa PT Kallista Alam.
Adapun dakwaan dari Jaksa antara lain, PT. Kalista Alam
di Kecamatan Meulaboh telah membuka lahan dengan cara membakar yang dilakukan
secara berlanjut, yaitu diantaranya pada hari Jum�at tanggal 23 Maret 2012
sekira pukul 07:30 WIB sampai dengan hari Selasa tanggal 27 Maret 2012 sekira
pukul 05:00 WIB dan pada hari Minggu tanggal 17 Juni 2012 sampai dengan hari
minggu tanggal 24 Juni 2012 atau setidak- tidaknya pada suatu waktu dalam tahun
2012 bertempat di Areal Pekebunan PT. Kalista Alam.
Adapun
tuntutan Jaksa/Penuntut Umum antara lain:
Menyatakan terdakwa yaitu PT.Kalista Alam yang diwakili
oleh Sdr. Subianto Rusid (Direktur PT.Kalista Alam), terbukti sebagaimana Pasal
69 ayat (1) huruf (h) telah melakukan pembakaran 2 lahan, dimana pembakaran
tersebut dilakukan secara terus menerus/berlanjut sebagaimana diatur pasal 64
ayat (1) KUH Pidana dan diancam pidana dalam Pasal 108 jo Pasal 69 ayat (1)
huruf (h), Pasal 116 ayat (1) huruf (a), Pasal 118, Pasal 119 Undang-undang No.
32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa PT.Kalista Alam yang
diwakili oleh Sdr. Subianto Rusid (Direktur PT.Kalista Alam) dengan pidana
denda sebesar Rp.3.000.000.000,- (tiga milyar) rupiah;
Selanjutnya,
amar putusan perkara No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO antara lain sebagai berikut:
Menyatakan perbuatan terdakwa PT.KALLISTA ALAM telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana �LINGKUNGAN
HIDUP YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT�.
Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa PT KALLISTA ALAM
oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar
rupiah);
Walaupun PT Kallista Alam telah dijatuhi hukuman bersalah
atas kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan secara terus menerus/berlanjut,
putusan tersebut masih dianggap kurang maksimal, karena tidak menimbulkan efek
jera bagi para pelakunya. Tuntutan dari Jaksa yang hanya menuntut terdakwa
dengan denda sebesar Rp 3.000.000.0000,- (tiga milyar rupiah) tersebut, untuk
suatu korporasi merupakan hal yang ringan, apalagi tindakan pembakaran lahan
tersebut terbukti selalu berulang, dimana setiap tahun selalu terjadi kasus
pembakaran hutan yang biasanya dilakukan oleh suatu korporasi.
Perkara
Nomor 201/ PID / 2014/ PT. BNA
Adapun
amar putusan perkara No. 201/ PID / 2014/ PT. BNA. antara lain:
Menyatakan terdakwa PT Kalista Alam telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah � MELAKUKAN�
TINDAK� PIDANA MEMBUKA LAHAN UNTUK
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN��
CARA�� MERUSAK�� LINGKUNGAN��
SECARA BERLANJUT �.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu
dengan pidana denda sebesar Rp 3.000.000.000,- (tiga miliar) rupiah.
Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh tanggal 15
Juli 2014 No. 131/Pod.B/2013/PN Mbo untuk selebihnya.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi atas putusan Pengadilan
Negeri Meulaboh tanggal 15 Juli 2014 No. 131/Pod.B/2013/PN Mbo pada dasarnya
bersifat menguatkan, walaupun ada perbaikan amar putusan terkait��� dengan klasifikasi��������������� tindak��� pidana��������������� yang������ dijatuhkan����������� kepada
Terdakwa.
Perkara
Nomor 1554 K/Pid.Sus/2015
Adapun amar����� putusan Majelis�� Hakim� perkara� No.�������� 1554
K/Pid.Sus/2015 antara lain sebagai berikut:
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa:
PT. KALLISTA ALAM tersebut;
Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara
pada tingkat kasasi ini sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah);
Dalam putusannya, denda sebesar Rp 3.000.000.000,- (tiga
miliar rupiah) yang diputus pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat
banding, oleh Majelis Hakim tingkat kasasi dihapuskan. Padahal untuk suatu
korporasi besar, denda senilai Rp 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) tidak
sebanding dengan kerusakan yang telah ditimbulkan.
Menurut Black�s Law Dictionary, sanction (sanksi)
adalah �a penalty or coercive measure
that results from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for
discovery abuse)� dengan kata lain dapat diartikan
sebagai sebuah hukuman atau
tindakan memaksa yang dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi
undang-undang.
Sementara itu, terkait persepsi yang muncul dalam suatu
bangsa atas hak asasi manusia, pemidanaan pada hakekatnya merupakan hal yang
penting yang masuk dalam sanksi pidana, karena nilai-nilai sosial budaya suatu
bangsa juga tercermin dari pemidanaannya, dimana hal tersebut terlihat dari
bentuk teori pembenaran pidana yang ada, juga�
dalam bentuk kebijakan pemerintah dipandang sangat penting.
Tindakan Majelis Hakim dalam perkara No. 1554
K/Pid.Sus/2015 yang menghapuskan denda sebesar Rp 3.000.000.000,- (tiga miliar)
tersebut, merupakan kemunduran dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya
terkait dengan penegakan pidana di bidang�
lingkungan, karena Hakim yang progresif pada dasarnya akan menggunakan
hukum yang terbaik, walaupun keadaan saat itu merupakan keadaan yang paling
buruk.
Apa yang dilakukan oleh Majelis Hakim perkara tersebut
bukanlah putusan yang dikategorikan sebagai putusan yang progresif, karena
bertentangan dengan nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum sebagai
syarat suatu putusan dapat dikatakan progresif.�
Aparatur penegak hukum, terutama Hakim menurut Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo hendaknya tidak terpaku dan terbelenggu dengan positivisme hukum,
karena telah terbukti selama ini banyak terjadi ketidakadilan khususnya kepada
pencari keadilan.
Dalam pertimbangan hukum Majelis
Hakim perkara No. 1554 K/Pid.Sus/2015, telah terjadi kerugian
negara untuk biaya pemulihan rehabilitasi lahan guna memfungsikan kembali ekologi yang rusak sebesar
Rp366.098.669.000,00
(tiga ratus enam puluh enam miliar sembilan puluh delapan juta enam ratus enam
puluh sembilan ribu rupiah), dimana PT. Kallista Alam selaku pihak yang menyebabkan terjadinya kebakaran.
Berdasarkan hal tersebut,
dalam perkara perdata
No. 651 K/PDT/2015 yang berhubungan dengan perkara a quo, kerugian negara yang terjadi telah dibebankan dalam putusannya, sehingga
tidak dibebankan kembali.
Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung tersebut
seharusnya mempertimbangkan perbedaan dari tujuan pemberian sanksi pidana dan sanksi perdata, dimana sanksi
pidana bersifat memberikan efek jera bagi pelanggarnya, oleh karena sanksi maksimal harusnya
diterapkan bagi pelanggaran yang dilakukan secara berkelanjutan.
Pada
ketentuan hukum pidana,
dikenal kaidah hukum restitutif. Tujuan kaidah restitutif yang utama pada
dasarnya agar kerusakan yang terjadi akibat dilanggarnya kaidah dalam hukum, dapat dikembalikan seperti keadaan semula sebelum terjadi kerusakan yang
ditimbulkan. Dalam perkara
terkait lingkungan, penerapan
kaidah hukum restutif
seharusnya didahulukan oleh Majelis Hakim, karena pidana denda seharusnya ditujukan untuk pengembalian
kepada keadaan semula atas kerusakan lingkungan
yang ditimbulkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Korporasi merupakan entitas yang memainkan peran penting
dalam perekonomian, tetapi sering kali terlibat dalam tindak pidana, khususnya
pencemaran lingkungan. Dalam sistem hukum pidana Indonesia, penerapan sanksi
pidana tambahan terhadap korporasi merupakan upaya untuk memastikan
pertanggungjawaban yang lebih komprehensif terhadap dampak tindak pidana yang
dilakukan oleh entitas tersebut. Sanksi pidana tambahan ini mencakup berbagai
bentuk hukuman, seperti pencabutan izin usaha, perampasan keuntungan hasil tindak
pidana, perbaikan kerusakan akibat kejahatan, dan pembayaran kompensasi atau
ganti rugi. �Dalam kasus tindak pidana
pencemaran lingkungan, misalnya, sanksi pidana tambahan bisa lebih efektif
dalam memastikan pemulihan lingkungan yang telah rusak dan memberikan keadilan
bagi masyarakat yang terdampak.
Penerapan sanksi pidana tambahan diatur dalam beberapa
undang-undang, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan
perundang-undangan khusus lainnya. Dalam
KUHP lama, penenganan sanksi pidana terhadap korporasi belumlah termuat,
sehingga penerapannya masih diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus di
luar KUHP lama seperti dalam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No.
131/Pid.B/2013/PN/Mbo dan No.201/ PID / 2014/ PT. BNA, terdakwa PT KA yang
diwakili oleh SR selaku direktur, dipidana dengan pidana denda sebesar Rp3
miliar. Artinya, bahwa terdakwa dipidana dengan menggunakan ancaman pidana
minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang-Undang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Padahal selain ancaman pidana minimal peraturan a quo juga mengadopsi ancaman pidana
maksimal karena perbuatan terdakwa menimbulkan akibat yang sangat signifikan
maka idealnya ia dijatuhi pidana maksimal, sehingga mampu memberi efek jera
baik kepada terdakwa maupun kepada perusahaan lain
Demikian pula, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan
tata tertib atau tambahan seperti perbaikan akibat tindak pidana guna
memulihkan kerugian keuangan negara, padahal Pasal 119 Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah membuka kemungkinan
penjatuhan sanksi tindakan tata tertib atau pidana tambahan. Dalam
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara ekspressive verbis telah mengakomodasi
konsep double track system atau
sistem dua jalur yakni penjatuhan sanksi pidana dan tindakan secara bersamaan
kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Namun demikian dalam putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari
sisi pemulihan kerugian keuangan negara maupun dari sisi sanksi pidana denda
kepada pelaku.
Selanjutnya Putusan pidana No. 1554 K/Pid.Sus/2015
ancaman pidana yang ditimbulkan kurang menimbulkan efek jera, apalagi Majelis
Hakim Mahkamah Agung menghapus pidana denda dan tidak ada pula pidana tambahan,
padahal kasus pembakaran lahan yang dilakukan PT. Kallista Alam sifatnya
berkelanjutan dan sudah banyak menimbulkan permasalahan lingkungan hidup.
Eksekusi putusan juga belum jadi perhatian yang serius dalam prakteknya, karena
pidana seharusnya benar-benar dipergunakan untuk pemulihan kepada keadaan semula,
jadi bukan hanya sekedar masuk dalam keuangan negara saja) tidak sebanding
dengan kerusakan yang telah ditimbulkan.
Lalu pada KUHP lama, regulasi terkait penerapan sanksi
pidana tambahan terhadap korporasi belumlah ada, sehingga ruang lingkupnya
tidak sejalan dengan perkembangan dunia bisnis modern. Namun, melalui KUHP baru
yang disahkan pada tahun 2023, terdapat perubahan signifikan dalam pengaturan
sanksi pidana terhadap korporasi, termasuk sanksi tambahan yang lebih
komprehensif. Misalnya, KUHP baru mengakomodasi bentuk-bentuk pemidanaan yang
lebih relevan dengan kondisi modern.
Pada praktiknya, penerapan sanksi pidana terhadap
korporasi sering kali menghadapi tantangan, baik dari segi teknis pelaksanaan
maupun penegakan hukum yang efektif. Sanksi pidana pokok seperti denda atau
penjara bagi pengurus seringkali tidak cukup memberikan efek jera. Oleh karena
itu, sanksi pidana tambahan bertujuan untuk memastikan bahwa korporasi
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap dampak tindak pidana yang telah
dilakukan, terutama dalam kasus yang merugikan lingkungan, konsumen, atau
masyarakat umum. Sanksi pidana tambahan memiliki peran yang signifikan
untuk memberikan efek jera yang lebih efektif, mencegah kejahatan berulang, serta
menegaskan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi korporasi.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi undang-undang
pada hari Selasa, 6 Desember. Pengaturan yang luas dalam undang-undang tersebut
berpengaruh pada berbagai sektor, termasuk sektor bisnis.
Berdasarkan KUHP baru, terdapat ketentuan mengenai
tanggung jawab korporasi dan bentuk sanksi pidananya. Sebelumnya, dalam KUHP
lama, hal ini tidak diatur. UU KUHP kini menetapkan bahwa badan hukum atau
korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban dan dikenai sanksi pidana. Hukuman
pokok, hukuman tambahan, serta tindakan pidana lainnya dapat dikenakan terhadap
korporasi, serta individu-individu dalam korporasi tersebut, termasuk pengurus
dengan peran fungsional, pemberi perintah, pengendali, hingga pemilik manfaat.
Tindak pidana oleh
korporasi terjadi ketika pengurus yang memiliki peran fungsional dalam struktur
organisasi atau individu yang bertindak atas dasar hubungan kerja atau hubungan
lainnya, bertindak untuk atau atas nama korporasi, atau demi kepentingan korporasi,
baik secara individu maupun bersama-sama, seperti yang dijelaskan dalam Pasal
46 UU KUHP.
Selain itu, tindak pidana
oleh korporasi juga bisa dilakukan oleh pihak luar seperti pemberi perintah,
pemegang kendali, atau pemilik manfaat yang meskipun tidak berada dalam
struktur organisasi, tetap memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi.
Korporasi dapat dimintai
pertanggungjawaban atas tindak pidana jika tindakan tersebut termasuk dalam
kegiatan atau usaha yang diatur dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang
berlaku; memberikan keuntungan kepada korporasi secara melawan hukum; diterima
sebagai kebijakan korporasi; atau jika korporasi tidak mengambil langkah
pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar, dan memastikan kepatuhan terhadap
hukum yang berlaku, serta membiarkan tindak pidana tersebut terjadi.
KUHP baru yang disahkan pada 2023 memperluas
cakupan sanksi pidana terhadap korporasi, termasuk sanksi pidana tambahan yang
lebih relevan dengan tantangan bisnis modern. Pidana tambahan bagi Korporasi sebagaimana dalam KUHP baru Pasal 118 huruf
b terdiri atas:
a.
pembayaran ganti rugi;
b. perbaikan akibat
Tindak Pidana;
c. pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan;
d. pemenuhan kewajiban adat;
e. pembiayaan pelatihan kerja;
f. perampasan Barang atau keuntungan yang diperoleh dari Tindak
Pidana;
g. pengumuman putusan pengadilan;
h. pencabutan izin tertentu;
i. pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;
j. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/ atau kegiatan ���Korporasi;
k. pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha Korporasi; dan
Pembubaran Korporasi.
Penerapan sanksi pidana tambahan terhadap korporasi dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru memiliki implikasi yang signifikan
dalam konteks penegakan hukum pidana di Indonesia. KUHP yang baru diadopsi ini
mengatur lebih tegas mengenai tanggung jawab pidana bagi korporasi, yang
sebelumnya belum diatur secara komprehensif dalam KUHP lama.
Pidana tambahan seperti pencabutan
izin atau pembekuan usaha berlaku maksimal dua tahun. Jika korporasi tidak
mematuhi pidana tambahan seperti pembiayaan pelatihan kerja, jaksa dapat
menyita dan melelang aset korporasi untuk memenuhinya. Denda bagi korporasi ditetapkan minimal pada kategori IV, kecuali ada
aturan khusus. Untuk tindak pidana dengan ancaman penjara di bawah tujuh tahun,
denda maksimal kategori VI; untuk ancaman penjara antara tujuh hingga 15 tahun,
denda maksimal kategori VII; dan untuk hukuman mati, penjara seumur hidup, atau
penjara 20 tahun, denda maksimal kategori VIII. Denda harus dibayar dalam jangka waktu tertentu
yang ditentukan oleh pengadilan. Pengadilan juga bisa memungkinkan pembayaran
denda secara bertahap, dan jika tidak dibayar, aset atau pendapatan korporasi
bisa disita dan dilelang untuk melunasi denda.
KUHP yang baru mencakup pengaturan
tentang tanggung jawab korporasi dan bentuk hukumannya, yang sebelumnya tidak
ada dalam KUHP lama. Jika aset atau pendapatan korporasi tidak cukup untuk
membayar denda, korporasi dapat dikenai hukuman pengganti berupa pembekuan
sebagian atau seluruh kegiatan usahanya. Tindakan lain yang dapat diterapkan
pada korporasi termasuk pengambilalihan, penempatan di bawah pengawasan, atau
pengampuan. Aturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hukuman dan tindakan
terhadap korporasi, seperti diatur dalam Pasal 118 hingga 123 KUHP baru, akan
diatur lebih detail melalui Peraturan Pemerintah.
KUHP baru juga mengatur tentang
perbarengan tindak pidana korporasi dalam Pasal 125-131. Jika satu tindakan
melanggar lebih dari satu ketentuan pidana dengan ancaman hukuman yang sama,
hanya satu hukuman yang dijatuhkan. Namun, jika ancaman
hukumannya berbeda, akan dikenakan hukuman pokok yang paling berat.
Selain itu, jika suatu perbuatan
diatur dalam hukum pidana umum dan khusus, yang berlaku adalah ketentuan pidana
khusus, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh undang-undang. Jika ada beberapa
tindak pidana yang saling terkait dan dianggap sebagai tindakan berkelanjutan
dengan ancaman pidana yang sama, hanya satu hukuman yang dikenakan. Namun, jika
ancaman hukumannya berbeda, hukuman terberat yang akan dijatuhkan.
Dengan adanya pengaturan mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Baru, pertanggungjawaban
tersebut yang sebelumnya hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu di luar
KUHP kini juga berlaku secara umum untuk berbagai tindak pidana lainnya, baik
yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP. Dengan demikian, korporasi dapat
dikenakan sanksi hampir untuk seluruh pasal tindak pidana, baik yang diatur
dalam KUHP maupun dalam undang-undang lex specialis.
Sebagaimana diketahui bahwa pidana bagi
korporasi, terdapat pula pidana tambahan.�
Hal ini merupakan terobosan hukum yang positif sebab KUHP baru bukan
berfokus pada pembalasan atas tindak pidana yang terjadi, melainkan bertujuan
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan
keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat. Sehingga
diharapkan dengan adanya pidana denda dan pidana tambahan, dapat membuat
pemulihan dan memperbaiki atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Namun karena aturan ini belum di implementasikan karena baru di sahkan pada
tahun 2023, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat sejauh
mana pengaturan pidana tambahan dalam KUHP baru dapat memengaruhi praktik
penegakan hukum di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah
dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: Penegakan hukum terhadap korporasi yang
melakukan tindak pidana, khususnya di bidang pencemaran lingkungan hidup, belum
sepenuhnya efektif. Penerapan sanksi pidana tambahan masih menghadapi berbagai
kendala, terutama dalam hal implementasi dan konsistensi penerapan di lapangan.
Sanksi pidana pokok seperti denda sering kali tidak cukup untuk memberikan efek
jera. Penerapan sanksi pidana tambahan, seperti pencabutan izin usaha,
kewajiban pemulihan lingkungan, dan pembayaran kompensasi, merupakan langkah
penting dalam memberikan hukuman yang lebih signifikan kepada korporasi..
Namun, kenyataannya, sanksi pidana tambahan sering kali tidak diterapkan secara
optimal sehingga tidak memberikan dampak signifikan dalam mencegah tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi. Pencantuman sanksi pidana tambahan
terhadap korporasi dalam KUHP baru dapat meningkatkan efektivitas penegakan
hukum di Indonesia dengan memperkuat dasar hukum untuk menindak korporasi yang
melanggar hukum. Urgensi pengaturan ini terkait dengan kebutuhan untuk
menghadapi tantangan globalisasi dan kompleksitas bisnis modern, di mana
korporasi seringkali menjadi aktor penting dalam berbagai tindak pidana. Dengan
perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan KUHP lama yang tidak mengatur
sanksi pidana korporasi, dan UU khusus yang fragmentatif, KUHP baru memberikan
kerangka yang lebih lengkap, konsisten, dan harmonis untuk penegakan hukum di
Indonesia.
Afifah, R. (2019). Harmonisasi Prinsip Hukum Tanggung Jawab
Sosial-Lingkungan Perusahaan Pertambangan Mineral Dan Batubara Dalam Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia.
Aji, P. S. (2024).
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Perpajakan (Analisa
Putusan Nomor: 334/Pid. Sus/2020/PN Jkt. Brt Atas Nama PT Gemilang Sukses
Garmindo). Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora Dan Politik, 4(3), 227�240.
Amarini, I.
(2016). Mengefektifkan Sanksi Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran
Lingkungan Hidup (Analisis Kasus Kebocoran Sumur Minyak Montara Di Laut Timor).
Kosmik Hukum, 16(1).
Bakhar, M., Harto,
B., Gugat, R. M. D., Hendrayani, E., Setiawan, Z., Surianto, D. F., Salam, M. F.,
Suraji, A., Sukmariningsih, R. M., & Sopiana, Y. (2023). PERKEMBANGAN
STARTUP DI INDONESIA (Perkembangan Startup Di Indonesia Dalam Berbagai Bidang).
PT. Sonpedia Publishing Indonesia.
Batubara, Y. J.
(2016). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana
Perpajakan (Studi Kasus Putusan: No. 1570/Pid. B/2015/PN. Sby.).
Hanifah, F. N.
(2024). Perbandingan Alasan Penghapusan Pidana Untuk Subjek Hukum Korporasi Di Belanda
Dan Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Jurnal Syntax Admiration, 5(6), 2300�2308.
Hidayah, F. N.
(2024). Peran Perempuan Melalui UMKM Pada Mitra Sentral Klanting Dalam
Meningkatkan Perekonomian Keluarga Di Desa 37 Ganti Mulyo. IAIN Metro.
Himma, H. U.
(2023). KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP HUKUM
PIDANA YANG BARU. Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
Laia, Y. H.
(2022). Pertimbangan Hakim Dalam Pemidanaan Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi
Kasus Putusan Nomor. 104/Pid. B/2016/Pn. Gst). Jurnal Panah Hukum, 1(2),
178�190.
Nugroho, D. P.
(2018). Kontribusi Hukum Pidana Islam Terhadap Konsep Mediasi Pidana Dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional. Universitas Islam Indonesia.
Prakasa, R. S., Utami,
M. U. M., Wastsaljideri, C., & Sari, I. W. (2024). Tanggung Jawab Korporasi
Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup. PUAN INDONESIA, 5(2), 746�755.
Rifai, A. (2024). Tindak
Pidana Korupsi BUMN Gagasan Rekonstruksi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
BUMN. Deepublish.
Sutan Remy
Sjahdeini, S. H. (2017). Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi Dan Seluk-Beluknya.
Kencana.
Tanudjaja, T.
(2024). Tanggung Jawab Pidana Pada Korporasi Dalam Tindak Pidana Perpajakan. Jurnal
Hukum Indonesia, 3(3), 96�106.
WIJAYANTI, N.
(2024). PERAN NOTARIS DALAM IMPLEMENTASI PRINSIP PEMILIK MANFAAT DARI KORPORASI
DALAM RANGKA MENCEGAH TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENDANAAN TERORISME. Universitas
Islam Sultan Agung Semarang.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Lama.
Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Baru.
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No. 131/Pid.B/2013/PN/Mbo.
Putusan Pengadilan
Tinggi Banda Aceh No. 201/ PID / 2014/ PT. BNA.
Putusan Mahkamah
Agung No. 1554 K/Pid.Sus/2015.
Arief , Barda Nawawi. (2003). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Arief, Barda� Nawawi. (2007). Masalah Penegakan Hukum Dan� Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Arief, Barda Nawawi. (2011). Perkembangan
Sistem Pemidanaan Di Indonesia. Semarang: Pustaka Mag�ster.
EY Kanter Dan SR
Siantur. (2003). Asas-Asas Hukum
Pidana Di Indonesia. Jakarta: Storia Grafika.
Fajar, Mukti., Dan Yulianto Achmad. (2010), Dualisme
Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Farid, Zainal Abidin Farid. (2007). Hukum
Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika.
H. Zaeni Asyhadie Dan
Budi Sutrisno. (2012). Hukum Perusahaan Dan Kepailitan. Jakarta: Penerbit
Erlanga. �
H.Setiyono. (2002).� Kejahatan�
Korporasi-Analisa�
Viktimologis� Dan� Pertanggungjawaban� Korporasi�
Dalam Hukum Pidana Indonesi.Malang: Averroes Press.
Hadikusma, Hilaman. (1992). Bahasa Hukum Indonesia. Bandung,: Alumni.
Hamzah, Andi.�
(1993). Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pradnya
Paramita.
Hamzah, Andi. (1994). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Hanafi Amrani Dan Mahrus
Ali. (2015). Sistem
Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hiariej, Eddy O.S. (2014). Prinsip-Prinsip Hukum
Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Hulsman, L.H.C. (1984). Sistem Peradilan
Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum.Jakarta: CV. Rajawali.
Kemendikbud. (2019). Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Fustaka.
Kristian. (2014). Hukum Pidana Korporasi: Kebijakan
Integral (Integral Policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia.
Bandung: Nuansa Aulia.
Leden Marpaung.
(2012), Asas Teori Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Moeljatno. (2002). Asas-Asas Hukum
Pidana. Jakarta: Rineka
Cipta.
Moelyatno. (1985). Membangun Hukum
Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
Muladi Dan Barda
Nawawi Arief. (1998). Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.
Muladi Dan Barda
Nawawi. (1992), Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.
Mulhadi. (2017). Hukum
Perusahaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Purwati, Ani. 2020. Metode Penelitian Hukum: Teori Dan Praktek.
Surabaya: CV. Jakad Media Publishing. �
Rahardjo, Agus.
(2003). Cybercrime�� Pemahaman�� Dan�� Upaya�� Pencegahan��
Kejahatan Berteknologi. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
Raharjdo, Satjipto.
(1980). Hukum Masyarakat Dan Pembangunan. Bandung: Alumni.
Renggong, Ruslan. (2016). Hukum Pidana Khusus. Jakarta: Prenadamedia Group.
Saleh, Roeslan. (1978). Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.
Saleh, Roeslan. (1983). Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru.
Satjipto Rahardjo.
(2006).� Membedah Hukum Progresif. Jakarta:
Kompas.
Setiyono. (2009). Kejahatan
Korporasi. Malang: Bayumedia Publishing.
Soekanto, Soerjono.
(2005). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Soesilo, R. (1991). Pokok-Pokok
Hukum Pidana Peraturan Umum Dan Delik-Delik Khusus. Bogor: Politeia.
Sudarto. (1981). Hukum Dan Hukum
Pidana. Bandung: Alumni.
Sudarto. (1981). Kapita Selekta Hukum Pidana.
Bandung: Alumni.
Sudarto. (1988). Hukum
Pidana I. Semarang: Fakultas Hukum Undip.
Susanti, Dyah Ochtorina., Dan Aan Efendi.
(2018).� Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika.�
Syarifin, Pipin. (2000). Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung; Pustaka Setia.
Ananda, Suadamara.
(2018). �Tentang Kaidah Hukum�, Jurnal Hukum Pro Justitia Volume� 26 Nomor 1 .
Irmawanti, Noveria
Devy, Dan Barda Nawawi Arief. (2021). Urgensi Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan
Dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum Pidana. Jurnal Pembangunan
Hukum Indonesia Volume 3 Nomor 2.
Kornelius Benuf Dan Muhamad Azhar. (2020). Metodologi Penelitian Hukum Sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum
Kontemporer. Jurnal Gema Keadilan
Volume 7 Edisi I.
Kusumo, Bambang Ali.
(2008). �Pertanggungjawaban Korporasi
Dalam Hukum Pidana Di Indonesia�, Wacana
Hukum Volume 2 Nomor 2.
Http://Erlannopri.Blogspot.Com/2013/10/Pengertian-Korporasi.Html,
Diakses Pada Tanggal 08 Mei 2023, Pukul 13.43 WIB.
Https://Www.Hukumonline.Com/Berita/A/Kupas-Tuntas-Ketentuan-Pidana-Korporasi-Dalam-Kuhp-Baru-Lt6396af5534d2c/. Diakses Pada 3 Oktober 2024, Pukul 13:00 WIB.