NUTRISI PRE OPERASI DAN POST OPERASI PADA PASIEN GINEKOLOGI YANG MENGALAMI KEGANASAN DAN YANG TIDAK MENGALAMI KEGANASAN

 

 

Dita Fitri Anissa

RS Bhayngkara Tulungagung

Email: [email protected]

 

kata kunci:

nutrisi preoperasi, nutrisi postoperasi, ginekologi keganasan, ginekologi tidak keganasan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

keywords:

preoperative nutrition, postoperative nutrition, gynecology malignancy, gynecology non-malignancy

 

ABSTRAK

 

Persiapan praoperasi yang melibatkan persiapan pasien secara nutrisi dan fisik sebelum operasi, telah semakin mendapatkan pengakuan sebagai metode yang efektif untuk meningkatkan hasil bedah. Perbedaan asuhan nutrisi pada pasien ginekologi yang mengalami keganasan dan yang tidak mengalami keganasan cukup signifikan, karena kondisi kanker membawa kompleksitas tambahan dalam manajemen nutrisi. Pedoman Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) merekomendasikan untuk meminimalkan puasa praoperasi, menyediakan pemulihan karbohidrat, dan memulai pemulihan nutrisi pascaoperasi lebih awal. Namun, skrining sistematis dan dukungan nutrisi khusus untuk pasien yang ginekologi keganasan dan tidak keganasan tidak secara khusus direkomendasikan dalam pedoman ini. Pada pasien ginekologi dengan keganasan, tujuan utama dari asuhan nutrisi adalah untuk mendukung pemulihan pascaoperasi sambil mengatasi tantangan khusus terkait kanker. Pasien dengan keganasan memerlukan pemantauan nutrisi yang lebih intensif, termasuk evaluasi berkala terhadap status nutrisi mereka dan dampak terapi kanker pada asupan nutrisi. Pada pasien ginekologi tanpa keganasan manajemen nutrisi pascaoperasi umumnya lebih fokus pada pemulihan dari operasi dan dukungan nutrisi dasar. Manfaat terapi nutrisi praoperatif untuk pasien dengan risiko nutrisi berat ditemukan membantu proses pemulihan pasien. asien dengan risiko nutrisi berat harus menerima terapi nutrisi sebelum menjalani operasi besar, termasuk operasi kanker. Perencanaan nutrisi setelah operasi harus terus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Jika pasien mengalami gangguan pencernaan atau risiko tinggi malnutrisi, pendekatan nutrisi harus mencakup penilaian rutin dan penyesuaian rencana nutrisi berdasarkan kemajuan pasien dan respons terhadap terapi.

Preoperative preparation, which involves preparing the patient nutritionally and physically before surgery, has gained increasing recognition as an effective method to improve surgical outcomes. The difference in nutritional care in gynecological patients who have malignancies and those who do not have malignancies is quite significant, because the cancer condition brings additional complexity in nutrition management. The Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) guidelines recommend minimizing preoperative fasting, providing carbohydrate recovery, and starting postoperative nutritional recovery early. However, systematic screening and specific nutritional support for patients with gynecological malignancies and non-malignancies are not specifically recommended in these guidelines. In gynaecological patients with malignancy, the primary goal of nutritional care is to support postoperative recovery while addressing specific cancer-related challenges. Patients with malignancies require more intensive nutritional monitoring, including periodic evaluations of their nutritional status and the impact of cancer therapy on nutritional intake. In gynecological patients without malignancy, postoperative nutrition management generally focuses more on recovery from surgery and basic nutritional support. The benefits of preoperative nutrition therapy for patients with severe nutritional risk were found to help the patient's recovery process. Aseans at risk of severe nutrition should receive nutritional therapy before undergoing major surgery, including cancer surgery. Nutrition planning after surgery must continue to be adjusted to the patient's clinical condition. If the patient has indigestion or is at high risk of malnutrition, the nutrition approach should include regular assessment and adjustment of the nutrition plan based on the patient's progress and response to therapy.

Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA .

This is an open access article under the CC BY-SA license.

 

 

PENDAHULUAN

Persiapan praoperasi yang melibatkan persiapan pasien secara nutrisi dan fisik sebelum operasi, telah semakin mendapatkan pengakuan sebagai metode yang efektif untuk meningkatkan hasil bedah. Pendekatan ini telah didukung oleh masyarakat nutrisi dan pedoman perawatan perioperatif selama beberapa dekade terakhir. Berbagai strategi dukungan nutrisi telah dievaluasi dan divalidasi.(Alimena et al., 2020) Namun, dalam bidang bedah ginekologi, bukti yang mendukung intervensi nutrisi praoperasi masih terbatas. Meskipun pedoman Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) mencakup intervensi multimodal yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental pasien, aspek nutrisi terutama fokus pada periode perioperatif segera. Pedoman ini merekomendasikan untuk meminimalkan puasa praoperasi, menyediakan pemulihan karbohidrat, dan memulai pemulihan nutrisi pascaoperasi lebih awal. Namun, skrining sistematis dan dukungan nutrisi khusus untuk pasien yang malnutrisi tidak secara khusus direkomendasikan dalam pedoman ini.

Perawatan nutrisi perioperatif bertujuan utama untuk mengurangi katabolisme protein, menjaga kadar gula darah normal, memastikan hidrasi yang cukup, dan menghindari puasa yang berkepanjangan. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan nutrisi pascaoperasi, baik melalui nutrisi enteral (EN), parenteral (PN), atau suplemen imunomodulator, dapat mengurangi komplikasi dalam operasi kanker saluran pencernaan.(Alimena et al., 2020) Sebelum adanya perawatan intraoperatif yang canggih, beberapa studi menunjukkan bahwa nutrisi oral, termasuk suplemen nutrisi oral (ONS) atau makanan seimbang rumah sakit, dapat diberikan segera setelah operasi.(Alimena et al., 2020)

Operasi secara inheren memicu respons inflamasi yang kuat, mirip dengan peradangan yang terlihat pada malnutrisi terkait penyakit, namun seringkali dengan intensitas yang lebih tinggi. Respons inflamasi ini melibatkan sekresi sitokin pro-inflamasi dan aktivasi mekanisme neurohumoral yang berkontribusi pada kondisi inflamasi yang lebih parah. Trauma yang disebabkan oleh operasi memulai proses inflamasi ini dalam skala yang lebih besar, memperburuk beban inflamasi keseluruhan pasien. Selain itu, prosedur bedah yang mempengaruhi saluran pencernaan, seperti reseksi atau anastomosis, biasanya membatasi asupan makanan pasien secara signifikan. Pembatasan diet ini, ditambah dengan periode imobilisasi yang berkepanjangan, menyebabkan peningkatan sarcopenia (kehilangan massa dan kekuatan otot) serta malnutrisi. Kombinasi stres bedah dan asupan nutrisi yang terbatas dapat secara signifikan menghambat pemulihan pasien, sehingga menekankan pentingnya manajemen nutrisi yang efektif untuk mengatasi dan mengurangi efek negatif tersebut.(Alimena et al., 2020)

Memberikan nutrisi dalam 24 jam pertama pascaoperasi terbukti membantu pemulihan yang lebih cepat dengan komplikasi yang lebih sedikit. Nutrisi oral atau EN pada hari pertama atau kedua pascaoperasi tidak merusak penyembuhan anastomosis di usus besar atau rektum dan tidak meningkatkan angka kematian.

Penilaian status nutrisi pascaoperasi dimulai dengan pengukuran berat badan, indeks massa tubuh (IMT), kadar albumin, serta parameter laboratorium lainnya seperti elektrolit dan kadar protein total untuk menilai status gizi pasien. Pasien yang mengalami penurunan berat badan yang signifikan sebelum atau setelah operasi memerlukan perhatian khusus. Evaluasi ini sering melibatkan pengukuran kadar albumin serum sebagai indikator protein status dan penyembuhan luka, serta parameter lain yang berkaitan dengan malnutrisi.

 

 

METODE PENELITIAN

Artikel ini memberikan tinjauan komprehensif dari literatur yang tersedia yang membahas peran diet dan nutrisi dalam perkembangan biologis berbagai gangguan ginekologis, dengan menekankan data klinis dan epidemiologis. Penekanan pada nutrisi pre operasi dan post operasi pada pasien ginekologi yang mengalami keganasan dan yang tidak mengalami keganasan. Pencarian literatur dilakukan dengan menggunakan basis data elektronik, termasuk PubMed dari National Library of Medicine, Google Scholar, Web of Science, dan uji klinis relevan yang membahas diet dan nutrisi serta gangguan ginekologis. Kata kunci "diet", "nutrisi", "buah", "sayuran", "vitamin", "lemak", "daging", "ikan", "alkohol", "kopi", "teh", "biji-bijian", "serat", "susu" dan "senyawa alami" dikombinasikan dengan "leiomioma uterus", "fibroid uterus", "endometriosis", "sindrom ovarium polikistik", "keganasan ginekologis" "bukan keganasan ginekologis" digunakan. Semua laporan relevan diambil, dan daftar referensi yang sesuai dicari secara sistematis untuk mengidentifikasi studi tambahan yang dapat disertakan.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nutrisi Pada Pasien Ginekologi

Imunonutrisi

Pemberian immunonutrisi bertujuan untuk memodulasi aktivitas sistem imun dengan nutrisi yang spesifik. Penelitian menunjukan imunonutrisi dapat mengurangkan efek peradangan pasca operasi serta meningkatkan penyembuhan pasca operasi. Nutrisi yang termasuk dalam imunonutrisi adalah arginin, glutamin, branched chain amino acids (BCAA), omega-3, dan nukleotida. Nutrisi tersebut diberikan untuk memodulasi produksi mediator inflamasi, sehingga menurunkan stres tindakan operasi. Imunonutrisi dapat diberikan 5 hingga 7 hari sebelum operasi, dari penelitian yang pernah dilakukan, pemberian imunonutrisi dapat menurunkan komplikasi dan kejadian infeksi paska operasi dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan imunonutrisi.(Bogani et al., 2021) Pemberian imunonutrisi sebelum operasi memiliki dampak yang leih besar dibandingkan dengan pemberian paska operasi.

Formula nutrisi yang diperkaya dengan arginin, asam lemak omega-3, dan ribonukleotida dapat mengurangi komplikasi pascaoperasi dan lama rawat inap pada pasien kanker besar yang malnutrisi. Meskipun manfaatnya lebih jelas pada periode pascaoperasi, ada argumen yang mendukung penggunaan praoperatif juga, terutama dalam hal pengurangan komplikasi infeksi dan lama perawatan di rumah sakit.(Weimann et al., 2021) Formula nutrisi imunomodulator terbukti cost-effective karena penurunan tingkat komplikasi. Meta-analisis menunjukkan bahwa pemberian nutrisi imunomodulator praoperasi dibandingkan dengan diet standar atau suplemen nutrisi standar dapat secara signifikan mengurangi komplikasi infeksi dan LOS. Pengurangan LOS sebesar 2,22 hari dan pengurangan komplikasi infeksi dengan odds ratio (OR) 0,49 ditemukan dibandingkan dengan diet non-suplemen.(Weimann et al., 2021) Pada pasien malnutrisi yang menjalani operasi kanker, disarankan untuk memberikan formula nutrisi spesifik yang diperkaya dengan arginin, asam lemak omega-3, dan ribonukleotida, baik perioperatif atau setidaknya pascaoperasi.(Weimann et al., 2021)

Peran imunonutrisi pada pasien kanker yang menjalani pembedahan juga relevan. Panduan ASPEN tahun 2009 untuk dukungan nutrisi selama perawatan anti-kanker pada orang dewasa merekomendasikan penggunaan imunonutrien (khususnya formula dengan asam lemak omega-3, arginin, dan RNA) pada pasien kanker yang menjalani perawatan bedah. KTT AS tentang Terapi Enteral Peningkat Imun merekomendasikan penggunaan suplemen imunonutrien pada pasien dengan kanker gastrointestinal atau kepala dan leher yang malnutrisi sebelum pembedahan besar 5�7 hari sebelumnya.(Alimena et al., 2020) Dalam hal asupan protein, whey protein dan kasein terbukti sebagai protein berkualitas terbaik untuk merangsang anabolisme dan sintesis protein pada pasien kanker. Mengenai waktu memulai nutrisi, panduan ASPEN merekomendasikan agar dukungan nutrisi dimulai 7�14 hari sebelum operasi, namun harus selalu mempertimbangkan risiko dukungan nutrisi itu sendiri serta kemungkinan keterlambatan operasi.(Alimena et al., 2020)

Malnutrisi dan Pasien Keganasan Ginekologi

Kanker dan pengobatannya dapat menyebabkan berbagai efek samping negatif, termasuk malnutrisi. Meskipun kebutuhan dukungan nutrisi yang memadai bagi pasien kanker diakui secara luas, dalam praktik klinis sehari-hari, nutrisi sering kali tidak dianggap sebagai salah satu aspek utama yang harus diperhatikan. Malnutrisi berdampak negatif pada hasil klinis, respons terhadap pengobatan, dan kelangsungan hidup keseluruhan pasien kanker. Dalam studi ini, tiga isu kontroversial terkait malnutrisi, yang muncul selama Konferensi Konsensus Italia, dibahas secara khusus untuk pasien kanker kepala dan leher serta kanker gastrointestinal. Isu-isu tersebut meliputi waktu evaluasi dan intervensi nutrisi, perluasan protokol Enhanced Recovery after Surgery (ERAS�), dan cost-effectiveness dari intervensi nutrisi.(Bogani et al., 2021)

Keganasan menyebabkan malnutrisi kronis, yang diketahui memiliki hasil pasca operasi yang buruk dibandingkan dengan pasien bergizi baik yang menjalani operasi. Prevalensi malnutrisi pada kanker pasien berkisar antara 10% hingga 85%, tergantung pada definisi malnutrisi, berbagai penilaian, dan jenis kanker.(Baji et al., 2022) Malnutrisi yang parah merupakan faktor risiko independen untuk peningkatan morbiditas dan mortalitas, lama rawat inap di rumah sakit, infeksi, dan tingginya biaya pada pasien kanker. Hasil pasca operasi yang buruk ini menimbulkan kualitas hidup yang buruk. Upaya perbaikan proses pemulihan berfokus pada faktor intraoperatif, seperti operasi invasif minimal, dan intervensi pasca operasi seperti nutrisi dini dan mobilisasi, dirancang untuk memudahkan kembalinya aktivitas dan mempercepat penyembuhan.(Baji et al., 2022) ���������

Malnutrisi pada pasien kanker merupakan hasil dari kombinasi disregulasi metabolik dan anoreksia, yang disebabkan oleh tumor itu sendiri atau pengobatannya. Kondisi ini berdampak negatif pada hasil klinis dan risiko kematian pasien kanker. Malnutrisi berhubungan dengan toleransi yang lebih rendah terhadap pengobatan kanker akibat meningkatnya toksisitas, kepatuhan yang rendah, dan respons yang menurun terhadap terapi. Hal ini juga menyebabkan peningkatan tingkat komplikasi, hasil pasca operasi yang buruk, perpanjangan masa rawat inap, dan kualitas hidup yang menurun. Selain penurunan fungsi fisik, pasien kanker harus menghadapi penurunan signifikan dalam kualitas hidup terkait kesehatan mereka, termasuk fungsi psikologis, kognitif, sosial, dan emosional.(Bossi et al., 2022)

Malnutrisi dapat mempengaruhi hingga 75% pasien kanker, dengan prevalensi yang bervariasi berdasarkan jenis tumor dan stadium penyakit, jenis pengobatan, usia pasien, dan pengaturan perawatan. Sekitar 15% hingga 50% dari semua pasien kanker mengalami defisiensi nutrisi saat diagnosis, sementara 43% mengalami malnutrisi nyata atau berisiko malnutrisi saat kunjungan onkologis pertama. Prevalensi ini meningkat selama pengobatan, mencapai hingga 80% dari pasien. Malnutrisi terkait kanker dapat menyumbang hingga 20% dari kematian kanker dan dapat menyebabkan kakeksia, sebuah indikator signifikan dari kelangsungan hidup keseluruhan, yang ditandai dengan penurunan berat badan yang tidak diinginkan, indeks massa tubuh yang rendah, dan massa otot yang berkurang.(Bossi et al., 2022) Secara historis, intervensi nutrisi biasanya dilakukan hanya pada pasien kanker yang berada pada tahap lanjut penyakit, sebagai bagian dari regimen perawatan paliatif. Namun, efektivitas dukungan nutrisi sangat bergantung pada waktu intervensi, dengan efektivitas terbesar diperoleh melalui pendekatan dini. Meskipun demikian, evaluasi nutrisi dini tidak dilakukan secara rutin pada kurang dari 50% pasien, dengan banyak pasien tidak teridentifikasi sebagai berisiko atau mengalami malnutrisi pada saat diagnosis kanker.(Bossi et al., 2022)

Prevalensi pasien dengan penyakit keganasan bidang ginekologi dan mengalami malnutrisi terdapat sebanyak 20 hingga 53%, kondisi malnutrisi disebabkan oleh inflamasi kronis yang berasal dari proses keganasan sehingga terjadi hipermetabolik dengan meningkatnya proteolysis dan lipolisis. Malnutrisi berkontribusi pada 20% kematian pasien keganasan ginekologi, penurunan berat badan yang tidak direncakan ≥ 5% atau serum albumin dibawah 35 g/L merupakan faktor risiko independen untuk morbiditas tindakan operasi.(Noha Elsherbini Francesco Carli, 2022)

Pasien kanker sering mengalami malnutrisi yang dapat berdampak besar pada kelangsungan hidup mereka. Hal ini sangat relevan mengingat berbagai perawatan yang harus mereka jalani, termasuk operasi. Malnutrisi yang parah merupakan faktor risiko independen untuk peningkatan morbiditas dan mortalitas pascaoperasi, serta durasi rawat inap yang lebih lama dan biaya yang lebih tinggi pada pasien kanker. Selain itu, periode perioperatif telah terbukti menjadi kritis dalam menentukan risiko metastasis pascaoperasi, meskipun hingga saat ini belum ada studi yang mengevaluasi peran dukungan nutrisi dalam hal ini.(Alimena et al., 2020)

Deteksi malnutrisi dan kakeksia pada tahap awal dapat mencegah penghentian pengobatan, yang berujung pada penyelesaian siklus pengobatan yang lebih tinggi, toleransi terapi yang lebih baik, dan hasil yang lebih baik. Oleh karena itu, disarankan untuk melakukan penilaian nutrisi pada setiap langkah dalam jalur onkologis, dengan tindak lanjut periodik dan evaluasi kembali status nutrisi. Intervensi nutrisi memiliki efek positif bahkan pada pasien dengan status nutrisi yang normal. Ho et al. melaporkan bahwa konseling nutrisi dini dikaitkan dengan perubahan berat badan median yang lebih rendah, tingkat penyelesaian radioterapi yang lebih tinggi, dan tingkat kelangsungan hidup 1 tahun yang lebih baik, dibandingkan dengan konseling nutrisi yang terlambat atau tanpa konseling nutrisi.(Bossi et al., 2022)

Mengevaluasi dukungan perioperatif pada pasien kanker, penting untuk mempertimbangkan pasien mana yang dapat memperoleh manfaat darinya. Ada penelitian yang mendukung pemberian dukungan nutrisi hanya pada pasien dengan malnutrisi sedang atau parah, atau mereka yang berisiko tidak mendapatkan nutrisi oral yang memadai selama setidaknya 7-14 hari setelah operasi. Studi pada pasien malnutrisi menunjukkan bahwa dukungan nutrisi dapat mengurangi komplikasi bedah, termasuk infeksi. Sebaliknya, dalam studi di mana semua pasien kanker diberikan perawatan tanpa memperhatikan status nutrisi dan risiko, pasien yang bergizi baik yang menerima nutrisi parenteral justru mengalami peningkatan risiko infeksi, sementara pasien malnutrisi mendapatkan manfaat secara keseluruhan.

Ketika asupan makanan oral tidak memadai dalam memenuhi kebutuhan nutrisi, terutama pada pasien kanker, metode alternatif untuk pemberian nutrisi harus dipertimbangkan. Pasien dapat menerima nutrisi buatan melalui tiga cara: nutrisi enteral (EN) yang diberikan melalui tabung yang dimasukkan ke dalam lambung atau usus kecil; nutrisi parenteral (PN) yang diberikan melalui infus intravena langsung ke aliran darah; atau kombinasi dari kedua metode tersebut. Bedah merupakan stres katabolik yang berat, terutama bagi pasien lansia dan malnutrisi dengan cadangan fungsional yang buruk sebelum operasi.(Baji et al., 2022)

Pasien malnutrisi mengalami muscle wasting dan dapat disertai dengan sarkopenia, prevalensi sarkopenia pada pasien dengan kanker ovarium terdapat sebesar 11 hingga 68%. Sarkopenia pada keganasan ginekologi berhubungan dengan buruknya angka harapan hidup.(Noha Elsherbini Francesco Carli, 2022) Status malnutrisi dan serum albumin yang rendah diasosiasikan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Perbaikan kondisi nutrisi pre operatif selama 7-14 hari sebelum operasi akan meningkatkan luaran pasien.(Bisch et al., 2019) Beberapa alat skrining status nutrisi tervalidasi dapat digunakan untuk membantu menilai kondisi malnutrisi, yaitu nutritional risk screening (NRS), subjective global assessment (SGA), patient-generated subjective global assessment (PG-SGA), malnutrition universal screening tool (MUST), dan preoperative nutrition screen (PONS).(Bisch et al., 2019)

 

Tabel 1. Alat Skrining Status Nutrisi(Baji et al., 2022)

 

Protokol European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) mendefinisikan malnutrisi berat dengan beberapa kriteria, yaitu penurunan berat badan lebih dari 10 hingga 15% dalam 6 bulan terakhir, indeks massa tubuh kurang dari 18,5 kg/m2, nilai SGA C, NRS lebih dari 5, atau albumin kurang dari 30 g/L. Pasien dengan malnutrisi dan asupan harian kurang dari 50% dari kebutuhan energi pasien harus dioptimalisasi pada saat sebelum tindakan operasi dan dilanjutkan paska tindakan operasi melalui jalur enteral.(Bisch et al., 2019)

Perawat onkologi memiliki peran krusial dalam nutrisi dan hidrasi pasien kanker untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan kualitas hidup mereka. Dalam tinjauan scoping tentang nutrisi praoperasi pada kanker, Brajcich et al. menyimpulkan bahwa semua pasien kanker memerlukan konseling nutrisi sebelumnya, dan pasien malnutrisi memerlukan diet kaya protein-kalori, suplementasi imunonutrisi (IM) untuk bedah kanker gastrointestinal, dan probiotik atau sinbiotik untuk bedah kanker kolon. Dalam studi tentang pasien malnutrisi berat yang diberikan nutrisi praoperasi selama 7-15 hari menggunakan total parenteral nutrition (TPN), ditemukan bahwa pemberian TPN mengurangi komplikasi pascaoperasi dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan disarankan untuk memberikan TPN hanya pada pasien dengan malnutrisi berat. Sebuah studi internasional oleh Luca et al. pada pasien kanker pankreas (yang memiliki tingkat kematian tinggi) menegaskan bahwa perawatan nutrisi praoperasi sangat penting dan langsung berkaitan dengan hasil bedah, mereka merekomendasikan EN daripada PN jika memungkinkan.

Studi tentang pasien kanker lambung yang menjalani gastrektomi dengan risiko nutrisi berat (berdasarkan definisi European Society for Clinical Nutrition and Metabolism [ESPEN]) menunjukkan bahwa mereka yang menerima dukungan energi yang memadai selama setidaknya 10 hari memiliki infeksi situs bedah yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak menerima atau menerima perawatan yang tidak memadai. Pedoman ESPEN merekomendasikan penundaan operasi selama 7-14 hari dengan pengisian nutrisi untuk pasien kanker yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 10% dalam enam bulan terakhir, BMI <18,5 kg/m2, dan albumin <30 g/L atau NRS >5. Meskipun tidak ada jumlah kalori yang direkomendasikan khusus untuk jenis kanker individual, pedoman praktis ESPEN untuk nutrisi klinis pada kanker merekomendasikan dukungan nutrisi yang sesuai pada 25-30 kal/kg/hari dan 1,5 g/kg/hari protein untuk pasien malnutrisi selama periode tersebut.

Malnutrisi dikaitkan dengan perubahan komposisi tubuh, jaringan wasting dan gangguan fungsi organ yang mengarah pada gangguan fungsi kekebalan dan otot. Pasien dengan operasi gastrointestinal berisiko mengalami malnutrisi karena asupan yang tidak adekuat, stres operasi dan peningkatan laju metabolisme. Malnutrisi berhubungan dengan peningkatan kejadian infeksi dan memperlambat penyembuhan luka. Efek negatif dari defisiensi nutrien atau malnutrisi pada penyembuhan luka terjadi dengan cara memperpanjang fase inflamasi, menurunkan fibroblast dan proliferasi menghambat sintesis kolagen.(Goins et al., 2022)

Prehabilitasi

Program prehabilitasi bertujuan untuk mempersiapkan pasien baik secara fisik maupun mental sebelum menjalani tindakan operasi. Tindakan operasi menyebabkan respon inflamasi sistemik, terjadi peningkatan sekresi katekolamin, menghasilkan kondisi status hiperkatabolik dan muscle wasting. Penelitian menunjukkan bahwa kondisi malnutrisi berhubungan dengan respon inflamasi berlebih, luaran klinis yang buruk, dan menganggu proses penyembuhan luka. Prehabilitasi terdiri dari program kombinasi latihan fisik, nutrisi dan intervensi psikologi.

Status nutrisi pasien dapat dinilai dengan bantuan alat yang sudah tervalidasi, salah satu contohnya adalah menggunakan subjective global assessment (SGA). Tujuan komponen nutrisi adalah untuk menangani kondisi malnutrisi dan membantu meningkatkan anabolik dengan kombinasi latihan fisik. Protein dapat diberikan sebanyak 1,5 hingga 2 gram/kgBB/hari untuk membantu meningkatkan kondisi anabolik.

Prehabilitasi, atau rehabilitasi pra-operatif, memainkan peran krusial dalam mempersiapkan pasien kanker ginekologi yang akan menjalani operasi, dengan tujuan utama meningkatkan hasil pasca-operasi dan mempercepat pemulihan. Salah satu aspek penting dari prehabilitasi adalah intervensi nutrisi.(Ravasco, 2019) Malnutrisi sering terjadi pada pasien kanker dan dapat memperburuk hasil klinis, seperti meningkatnya risiko komplikasi dan keterlambatan pemulihan pasca-operasi. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan nutrisi pra-operatif, seperti pemberian diet yang kaya protein dan kalori, dapat memperbaiki status nutrisi pasien, mengurangi infeksi, dan memperpendek durasi rawat inap. Selain itu, latihan fisik merupakan komponen penting lainnya dari prehabilitasi. Program latihan yang terencana sebelum operasi dapat meningkatkan kekuatan otot, kapasitas aerobik, dan fungsi fisik secara keseluruhan, yang sangat bermanfaat dalam proses pemulihan pasca-operasi. Studi menunjukkan bahwa pasien yang menjalani latihan fisik pra-operatif mengalami pemulihan yang lebih cepat dan mengalami lebih sedikit komplikasi dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan latihan.(Noha Elsherbini Francesco Carli, 2022)

Dukungan psikologis juga memainkan peran vital dalam prehabilitasi. Stres dan kecemasan sebelum operasi dapat mempengaruhi hasil pemulihan, sehingga manajemen stres melalui dukungan psikologis dapat membantu meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengurangi dampak negatif dari operasi.(Noha Elsherbini Francesco Carli, 2022) Terakhir, pengelolaan komorbiditas yang ada juga menjadi bagian dari prehabilitasi. Banyak pasien kanker ginekologi memiliki kondisi medis yang menyertai, seperti diabetes atau hipertensi, yang dapat mempengaruhi hasil operasi. Oleh karena itu, penanganan kondisi-kondisi tersebut sebelum operasi penting untuk memastikan kesehatan pasien dalam kondisi optimal.(Noha Elsherbini Francesco Carli, 2022) Dengan menerapkan pendekatan yang komprehensif dalam prehabilitasi, termasuk intervensi nutrisi, latihan fisik, dukungan psikologis, dan pengelolaan komorbiditas, dapat dicapai hasil operasi yang lebih baik dan pemulihan yang lebih cepat bagi pasien kanker ginekologi.

Asupan Preoperasi

Pasien dengan gangguan ginekologi disertai keganasan memiliki risiko tinggi malnutrisi karena kondisi katabolik yang tinggi, malnutrisi berat merupakan risiko independen yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas paska tindakan operasi.(Mart�nez-Ortega et al., 2022) Malnutrisi terjadi pada 40 hingga 80% pada pasien dengan keganasan. Berdasarkan sebuah penelitian, pasien dengan kanker ovarium dan kanker rahim yang mengalami malnutrisi memiliki risiko tinggi readmisi, reoperasi dan komplikasi.(Goins et al., 2022) Penelitan yang dilakukan Basile Pache dan kawan-kawan pada 339 pasien yang menjalani tindakan operasi bidang ginekologi, terdapat 33 pasien atau setara dengan 10% mengalami penurunan berat badan lebih dari 5% pada saat 6 bulan sebelum menjalani tindakan operasi, penurunan berat badan lebih dari 5% merupakan faktor risiko independent terjadinya komplikasi paska operasi.(Pache et al., 2019)

��������������� Protokol European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) merekomendasikan untuk menunda tindakan operasi 7 hingga 14 hari pada pasien keganasan yang mengalami malnutrisi, penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 6 bulan, indeks massa tubuh (IMT) kurang dari 18,5 kg/m2, dan albumin kurang dari 30 g/L atau nutritional risk screening (NRS) lebih dari 5. Pemberian kalori pada pasien kanker berdasarkan protokol ESPEN dapat diberikan sebanyak 25 hingga 30 kkal/kg/hari dan 1,5 g protein/kg/hari.(Baji et al., 2022)(Weimann et al., 2021)

Starvasi pada saat sebelum tindakan operasi meningkatkan risiko hiperglikemia paska tindakan operasi melalui mekanisme peningkatan glikogenolisis, glukoneogenesis, dan resistensi insulin.(Mart�nez-Ortega et al., 2022) Starvasi sebelum tindakan operasi merupakan strategi pencegahan terjadinya aspirasi dan regurgitasi.(Bisch et al., 2019) Tetapi, starvasi berlebihan akan menimbulkan resiko terjaidnya resistensi insulin, hiperglikemia, metabolisme katabolic dan degradasi sel otot.(Bisch et al., 2019) Starvasi sebelum tindakan operasi akan mengurangi penyimpanan glikogen oleh liver, meningkatkan resisten insulin dan meningkatkan respon stress paska operasi.(Bisch et al., 2019)

-          Preloading Karbohidrat

Protokol Enhanced recovery after surgery (ERAS) merekomendasikan pemberian makanan padat hingga 6 jam sebelum tindakan operasi dan pemberian clear fluid hingga 2 jam sebelum induksi anestesi masih diperbolehkan. Berdasarkan penelitian, minum hingga 2 jam sebelum operasi tidak meningkatkan volume isi lambung, puasa yang berkepanjangan berhubungan dengan resistensi insulin sehingga meningkatkan risiko hiperglikemia dan risiko infeksi pada daerah luka operasi, oleh karena itu pemberian loading karbohidrat sebelum tindakan operasi dapat meningkatkan sensitivitas insulin, menurunkan inflamasi pada lokasi luka operasi dan meningkatkan luaran klinis yang baik.(Bogani et al., 2021) Pemberian loading karbohidrat diberikan 2 kali, yaitu pada malam hari sebelum operasi dan 2 hingga 4 jam sebelum tindakan operasi. Pada malam hari diberikan carian karbohidrat sebanyak 800 mL dan 2 hingga 4 jam sebelum tindakan operasi diberikan cairan karbohidrat sebanyak 400 mL.

Larutan karbohidrat yang diberikan adalah maltodextrin (50 gram) dicampurkan dalam air.(Bogani et al., 2021) Berdasarkan penelitian pada 415 pasien keganasan bidang ginekologi yang menjalani tindakan operasi dan diberikan loading karbohidrat sebelum tindakan operasi, terdapat peningkatan kadar glukosa darah sebelum operasi, namun kondisi hiperglikemia tersebut tidak berhubungan dengan komplikasi paska tindakan operasi, sehingga pada penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa hiperglikemia sebelum tindakan operasi akibat perlakuan loading karbohidrat bukan merupakan faktor risiko komplikasi paska operasi.(Alimena et al., 2020)

Pemberian loading karbohidrat pada pasien dengan gangguan pengosongan lambung perlu diwaspadai, contohnya pada pasien dengan granulosa cell ovarian tumors, sel tumor tersebut menghasilkan estrogen yang dapat menghambat pengosongan lambung, oleh karena itu perlu dipertimbangkan apakah pasien tersebut perlu diberikan loading karbohidrat pada 2 jam sebelum tindakan anestesi.(Alimena et al., 2020)

Pemberian minuman karbohidrat oral sebanyak 800 ml semalam sebelum dan 400 ml sebelum operasi tidak meningkatkan risiko aspirasi. Lemonade berbasis buah bisa menjadi alternatif aman dengan waktu pengosongan lambung yang serupa. Karbohidrat oral telah dilaporkan meningkatkan kesejahteraan pascaoperatif. Meta-analisis dari 21 uji coba teracak (RCT) yang melibatkan 1685 pasien menunjukkan pengurangan signifikan dalam durasi rawat inap hanya pada pasien yang menjalani operasi besar. Tidak ada perbedaan dalam tingkat komplikasi.(Weimann et al., 2021) Meta-analisis lainnya dari 27 RCT dengan 1976 pasien mengonfirmasi pengurangan durasi rawat inap, tanpa pengaruh jelas pada tingkat komplikasi setelah operasi elektif.(Weimann et al., 2021) Meta-analisis ketiga, yang melibatkan 43 uji coba dengan 3110 peserta, menunjukkan pengurangan kecil dalam durasi rawat inap dibandingkan dengan puasa, tanpa manfaat dibandingkan dengan air. Pemberian karbohidrat praoperatif dapat mengurangi durasi rawat inap dan meningkatkan kesejahteraan pascaoperatif, terutama pada pasien yang menjalani operasi besar, tanpa meningkatkan risiko komplikasi.(Weimann et al., 2021)

Manfaat terapi nutrisi praoperatif untuk pasien dengan risiko nutrisi berat ditemukan membantu proses pemulihan pasien. asien dengan risiko nutrisi berat harus menerima terapi nutrisi sebelum menjalani operasi besar, termasuk operasi kanker. Terapi nutrisi dapat dimulai bahkan jika operasi harus ditunda, dan periode terapi yang tepat bisa berkisar antara tujuh hingga empat belas hari.(Weimann et al., 2021) Menurut ESPEN (2006), risiko nutrisi berat didefinisikan jika pasien memenuhi salah satu dari kriteria berikut:

-       Penurunan berat badan lebih dari 10-15% dalam enam bulan terakhir.

-       BMI kurang dari 18,5 kg/m�

-       Penilaian Subjektif Global (SGA) Grade C atau Nutritional Risk Screening (NRS) lebih dari 5

-       Albumin serum kurang dari 30 g/l (tanpa bukti disfungsi hati atau ginjal)

Ketika asupan makanan oral tidak mencukupi kebutuhan nutrisi pasien, terutama pada pasien dengan gangguan pencernaan atau penurunan nafsu makan, nutrisi enteral (EN) menjadi pilihan utama. EN diberikan melalui tabung yang dimasukkan ke dalam lambung atau usus halus, dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan kalori dan protein pasien dengan cara yang lebih fisiologis dibandingkan dengan nutrisi parenteral (PN).(Charoenkwan & Matovinovic, 2014) EN dapat meningkatkan keseimbangan nitrogen dan mendukung pertumbuhan jaringan yang lebih baik, serta mempercepat pemulihan pascaoperasi.

Jika EN tidak memungkinkan atau tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien, nutrisi parenteral (PN) menjadi alternatif yang efektif. PN diberikan melalui infus intravena dan dapat memberikan nutrisi langsung ke aliran darah, yang penting terutama untuk pasien yang mengalami gangguan gastrointestinal berat atau tidak dapat mencerna makanan dengan baik. Namun, PN sering dikaitkan dengan risiko infeksi dan komplikasi lainnya, serta biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan EN. Oleh karena itu, PN harus dipertimbangkan dengan hati-hati, terutama dalam konteks pasien dengan risiko infeksi tinggi atau yang memerlukan dukungan nutrisi jangka panjang .

Pasien dengan risiko nutrisi berat harus menerima terapi nutrisi praoperatif, bahkan jika itu berarti menunda operasi. Terapi nutrisi ini penting untuk memperbaiki status nutrisi dan kesiapan tubuh sebelum operasi besar. Indikator risiko nutrisi berat termasuk penurunan berat badan yang signifikan, BMI rendah, skor penilaian nutrisi yang buruk, dan albumin serum rendah. Menangani masalah nutrisi ini sebelum operasi dapat membantu mengurangi risiko komplikasi dan mendukung pemulihan yang lebih baik setelah operasi.(Weimann et al., 2021)

Gambar 1. Protokol ERAS(Alimena et al., 2020)

 

Asupan Sesaat Paska Operasi

Perencanaan nutrisi setelah operasi harus terus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Jika pasien mengalami gangguan pencernaan atau risiko tinggi malnutrisi, pendekatan nutrisi harus mencakup penilaian rutin dan penyesuaian rencana nutrisi berdasarkan kemajuan pasien dan respons terhadap terapi. Beberapa panduan, seperti yang diterbitkan oleh European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN), merekomendasikan nutrisi enteral sebagai pilihan utama, dengan nutrisi parenteral sebagai alternatif jika EN tidak memungkinkan. Dalam kasus di mana kedua metode diperlukan, kombinasi EN dan PN dapat digunakan untuk mencapai kebutuhan nutrisi yang optimal.(Bogani et al., 2021)(Weimann et al., 2021)

Tujuan utama terapi nutrisi paska operatif adalah menyediakan protein untuk meminimalkan katabolisme sekaligus menjaga normoglikemia, hidrasi yang cukup, dan menghindari puasa.(Bisch et al., 2019) Memperpanjang puasa hingga kembalinya pergerakan saluran cerna terbukti tidak meningkatkan luaran klinis paska tindakan operasi. Pemberian asupan secepatnya berhubungan dengan menurunnya risiko komplikasi infeksi dan hiperglikemia. Sesaat paska operasi, pasien dapat diberikan permen karet untuk dikunyah yang terbukti dapat mempercepat munculnya peristaltik saluran cerna setelah tindakan operasi abdomen.(Bogani et al., 2021)

Asupan oral, termasuk cairan jernih, sebaiknya dimulai dalam beberapa jam setelah operasi pada sebagian besar pasien. Memberikan makanan normal atau nutrisi enteral (EN), termasuk cairan jernih pada hari pertama atau kedua pascaoperasi, tidak mengganggu penyembuhan anastomosis di usus besar atau rektum dan secara signifikan memperpendek lama rawat inap. Meta-analisis terbaru menunjukkan manfaat signifikan terkait pemulihan pascaoperasi dan penurunan tingkat infeksi. Nutrisi pascaoperasi yang awal terkait dengan penurunan komplikasi total tanpa efek negatif pada hasil seperti mortalitas, dehisensi anastomosis, pemulihan fungsi usus, atau lama rawat inap.(Weimann et al., 2021)

Panduan ESPEN merekomendasikan pemberian nutrisi enteral lebih awal (dalam 48 jam) daripada menunda. Pemberian nutrisi secara dini setelah operasi, termasuk cairan jernih dan makanan normal atau nutrisi enteral, membantu memperpendek LOS (length of stay) dan tidak memperburuk hasil pascaoperasi. Penilaian dan dukungan nutrisi perioperatif sangat penting untuk mencegah dan mengatasi malnutrisi serta mengurangi risiko komplikasi, mortalitas, dan biaya perawatan.(Weimann et al., 2021)

Secara historis, pasien sering disarankan untuk tidak makan apa pun setelah operasi karena ketakutan akan komplikasi, yang mengarah pada pemulihan yang lambat dan masalah nutrisi.(Bisch et al., 2019) Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa mempertahankan status nutrisi yang baik setelah operasi sangat penting. Beberapa studi acak menunjukkan bahwa pemberian makanan enteral dini, dalam waktu 24 jam setelah operasi, dapat mengurangi lamanya rawat inap, mempercepat waktu untuk buang gas pertama, dan tidak meningkatkan risiko komplikasi seperti kebocoran anastomosis, penyembuhan luka, atau komplikasi paru. Meskipun ada peningkatan tingkat mual, penanganan modern untuk mual pasca operasi tidak menunjukkan peningkatan muntah atau penggunaan tabung nasogastrik.(Bisch et al., 2019) Dalam konteks onkologi ginekologis, beberapa pusat telah mulai membolehkan pasien untuk mengonsumsi diet standar segera setelah operasi tanpa peningkatan risiko komplikasi. Meski demikian, penerapan tidak merata di seluruh tempat. Komposisi diet pasca operasi masih menjadi bahan perdebatan, tetapi diet tinggi protein dapat membantu mengurangi komplikasi. Saat ini, tidak ada panduan jelas mengenai kebutuhan protein untuk pasien bedah, meskipun ada saran untuk konsumsi protein 2,0 g/kg/hari dan 25-30 kcal/kg/hari, di mana rekomendasi ini didukung oleh beberapa pedoman organisasi profesional.(Bisch et al., 2019)

Ileus paralisis merupakan gangguan motilitas saluran cerna sementara yang dapat terjadi setelah operasi abdomen. Etiologi ileus paralisis paska tindakan operasi masih belum diketahui secara pasti, namun beberapa mekanisme diduga berperan dalam kondisi tersebut, yaitu stimulasi nyeri, tonus simpatis yang berlebih, dan sekresi neurotransmitter yang bersifat menghambat motilitas saluran cerna. Dahulu, pasien paska tindakan operasi tidak diperbolehkan untuk mendapat asupan via oral karena dikhawatirkan terjadi muntah, muncul ileus paralitik yang lebih parah, atau terdapat kebocoran dari anastomosis yang dibuat ketika operasi, sehingga pemberian asupan via oral baru dapat diberikan jika pasien memiliki tanda-tanda pergerakan usus yang baik, seperti munculnya bising usus, buang angin, atau pasien merasa lapar. Kekhawatiran tersebut saat ini menjadi dogma dan banyak penelitian yang membuktikkan bahwa asupan via oral paska operasi aman diberikan pada pasien.(Charoenkwan & Matovinovic, 2014)

 

Gambar 2. Skema Asuhan Nutrisi (Weimann et al., 2021)

 

Pemberian asupan via oral sesaat setelah paska tindakan operasi diberikan dalam kurun waktu 24 jam paska tindakan operasi. Berdasarkan ulasan literatur pemberian asupan oral dini pada pasien paska tindakan operasi ginekologi yang dilakukan oleh Kittipat Charoenkwan dan Elizabeth Matovinovic, ditemukan bahwa pasien yang mendapatkan asupan via oral dini dapat mempercepat munculnya suara bising usus dan buang angin, selain itu pada kelompok yang mendapat perlakuan pemberian asupan via oral dini memiliki komplikasi infeksi yang lebih rendah dibandingkan pada kelompok yang diberikan asupan via oral lebih dari 24 jam.(Charoenkwan & Matovinovic, 2014)

Hiperglikemia akibat resistensi insulin merupakan faktor risiko terjadinya komplikasi pascabedah.(Bogani et al., 2021) Beberapa intervensi untuk mencegah resistensi insulin dan mengendalikan gula darah antara lain pemberian karbohidrat oral pra-bedah, pembedahan laparoskopi, dan analgesia epidural torasik. Insulin sebaiknya digunakan untuk mengendalikan kadar gula darah pasien rawat inap sesuai indikasi dan ketersediaan fasilitas pemantauan ruang rawat agar terhindar dari risiko hipoglikemia.(Bogani et al., 2021)

Keterlambatan mulai diet oral pascabedah mayor dapat meningkatkan kejadian infeksi dan memperlambat pemulihan. Makanan dan suplemen nutrisi oral sebaiknya diberikan sedini mungkin setelah pembedahan. Stres pembedahan dapat mengurangi kadar arginin hingga mengganggu fungsi sel T dan penyembuhan luka. Pemberian imunonutrisi perioperatif (arginin, asam lemak omega 3, ribonukleotida) untuk pasien malnutrisi bermanfaat menurunan komplikasi infeksi pada pasien paska tindakan pembedahan.(Bogani et al., 2021)

Balans cairan dan elektrolit sebaiknya diupayakan mendekati nol. Cairan kristaloid hipotonis lebih dipilih untuk keperluan rumatan daripada cairan kristaloid isotonis yang mengandung natrium dan kation konsentrasi tinggi. Untuk penggantian kehilangan cairan, larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) dan larutan berbasis garam lainnya dihindari dan sebaiknya menggunakan larutan seimbang/balanced solutions. NaCl 0,9% volume besar dapat menyebabkan asidosis hiperkloremia, overload cairan interstitial, gangguan hemodinamik ginjal, dan penurunan ekskresi natrium dan air akibat penurunan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Kandungan klorida yang tinggi juga dapat mengganggu ginjal pada pasien yang menjalani pembedahan, sakit kritis, dan sindrom inflamasi sistemik. Hipotensi akibat pemberian analgesia epidural ditangani dengan vasopresor setelah memastikan kondisi pasien normovolemia.(Bisch et al., 2019)

Pemberian makan awal pasca operasi ginekologi ditemukan aman tanpa peningkatan morbiditas gastrointestinal dan komplikasi pasca operasi lainnya.(Charoenkwan & Matovinovic, 2014) Pasien yang diberikan makanan awal pasca operasi memiliki pemulihan fungsi saluran cerna lebih cepat dibandingkan dengan pasien yang pemberian makanannya ditunda. Pemberian makanan segera setelah operasi diasosiasikan dengan kembalinya bising usus lebih cepat, flatus, intake makanan padat lebih cepat dan rentang waktu hospitalisasi yang lebih pendek.(Charoenkwan & Matovinovic, 2014)

Studi oleh Bozzetti et al. menunjukkan bahwa dukungan nutrisi pascaoperasi, baik dengan nutrisi enteral (EN), nutrisi parenteral (PN), atau suplemen imunomodulator (IM), memiliki efek perlindungan dengan mengurangi komplikasi pascaoperasi pada pasien kanker saluran pencernaan (GI).(Baji et al., 2022) Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian nutrisi oral, termasuk suplemen nutrisi oral (ONS) dan/atau makanan seimbang di rumah sakit, dapat dilakukan segera setelah operasi tanpa menambah risiko. Panduan ESPEN merekomendasikan bahwa nutrisi oral diberikan sesuai toleransi pasien.(Baji et al., 2022) Pada operasi ginekologi, EN awal ditemukan aman dan dikaitkan dengan waktu rawat inap yang lebih singkat, waktu pemulihan usus yang lebih cepat, dan komplikasi yang lebih sedikit. eberapa studi tentang operasi kanker ginekologi menunjukkan bahwa pemberian makanan secara oral dalam 24 jam setelah operasi dapat dilakukan, meskipun ada risiko komplikasi seperti infeksi dan perpanjangan masa tinggal di ICU jika asupan makanan dimulai lebih lambat.(Baji et al., 2022)

Pemberian nutrisi enteral awal setelah operasi sangat penting bagi pasien yang tidak dapat mulai makan secara oral atau yang diperkirakan akan memenuhi kurang dari setengah kebutuhan nutrisi mereka selama lebih dari tujuh hari. Pemberian nutrisi enteral awal terbukti aman dan bermanfaat, terutama pada pasien dengan operasi besar atau trauma berat, untuk mengurangi komplikasi infeksi dan mendukung pemulihan yang lebih baik. Pasien yang menjalani operasi besar berisiko tinggi mengalami komplikasi infeksi. Setelah operasi, asupan oral sering tertunda karena pembengkakan, obstruksi, atau gangguan pengosongan lambung, membuatnya sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.(Weimann et al., 2021)

Nutrisi pascaoperasi untuk pasien malnutrisi biasanya berfokus pada peningkatan asupan kalori dan protein. Namun, fokus eksklusif pada kalori dan protein saja mungkin tidak selalu optimal. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penambahan vitamin dan suplemen tertentu juga sangat penting untuk pemulihan pasien kanker. Nutrisi pascaoperasi pada pasien kanker harus melibatkan lebih dari sekadar peningkatan kalori dan protein.(Robertson & Cutress, 2018)

Suplementasi vitamin D, B12, folat, dan B6 sangat penting untuk mengatasi defisiensi vitamin yang umum dan mendukung pemulihan pasien. Vitamin D memiliki nilai prognostik dalam kanker kolorektal, sementara vitamin B membantu mengurangi kelelahan dan meningkatkan kualitas hidup pascaoperasi. Penanganan defisiensi vitamin ini harus dipertimbangkan dalam rencana nutrisi pascaoperasi untuk memaksimalkan hasil pemulihan.(Baji et al., 2022)

Pasien sering mengalami mual, muntah, nyeri, dan gangguan pencernaan yang dapat mempengaruhi asupan nutrisi setelah tindakan operasi. Terapi antiemetik dapat digunakan untuk mengatasi mual dan muntah, sementara pengobatan untuk sembelit atau diare dapat membantu mengelola efek samping gastrointestinal. Selain itu, diet dengan tekstur lunak dan mudah dicerna dianjurkan untuk pasien dengan gangguan pencernaan, dan suplemen protein serta kalori diberikan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak tercapai melalui makanan oral.(Bogani et al., 2021)

Peran tim medis dalam perawatan nutrisi pasien kanker ginekologi sangat penting untuk memastikan bahwa pasien menerima dukungan nutrisi yang tepat dan efektif. Ahli gizi klinis, perawat, dan dokter harus bekerja sama untuk mengevaluasi kebutuhan nutrisi pasien, menyusun rencana perawatan yang individual, dan memantau kemajuan pasien secara teratur. Pendekatan tim ini membantu mengidentifikasi dan mengatasi masalah nutrisi secara cepat, serta memberikan dukungan emosional dan edukasi yang diperlukan untuk pasien dan keluarga mereka.

Dengan pendekatan yang komprehensif dan individual dalam manajemen nutrisi pascaoperasi, pasien kanker ginekologi dapat mengalami pemulihan yang lebih baik dan kualitas hidup yang lebih baik setelah operasi. Implementasi pedoman nutrisi yang berbasis bukti serta perhatian terus-menerus terhadap perubahan status nutrisi pasien merupakan kunci keberhasilan perawatan pascaoperasi yang optimal.

Perbedaan Asuhan Nutrisi Pasien Ginekologi yang Mengalami Keganasan dan yang Tidak Mengalami Keganasan

Perbedaan asuhan nutrisi pada pasien ginekologi yang mengalami keganasan dan yang tidak mengalami keganasan cukup signifikan, karena kondisi kanker membawa kompleksitas tambahan dalam manajemen nutrisi. Pada pasien ginekologi dengan keganasan, tujuan utama dari asuhan nutrisi adalah untuk mendukung pemulihan pascaoperasi sambil mengatasi tantangan khusus terkait kanker. Kanker sering mengakibatkan malabsorpsi, penurunan nafsu makan, dan cachexia, yaitu penurunan berat badan dan massa otot yang tidak dapat dikembalikan hanya dengan nutrisi.(Weimann et al., 2021) Oleh karena itu, manajemen nutrisi untuk pasien ini sering kali melibatkan dukungan dengan nutrisi enteral (EN) atau parenteral (PN) jika diperlukan, serta suplementasi dengan nutrisi imunomodulator dan anti-kanker untuk membantu mengelola efek samping terapi kanker dan mengurangi cachexia. Pendekatan ini tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kalori dan protein tetapi juga untuk mendukung sistem kekebalan tubuh dan memperbaiki hasil klinis.(Muscaritoli et al., 2021)

Pada pasien ginekologi tanpa keganasan manajemen nutrisi pascaoperasi umumnya lebih fokus pada pemulihan dari operasi dan dukungan nutrisi dasar. Tujuan utama adalah untuk mempercepat proses penyembuhan, mengurangi risiko komplikasi seperti infeksi luka dan trombosis, serta menjaga keseimbangan nutrisi secara umum.(Ravasco, 2019) Nutrisi pascaoperasi biasanya disesuaikan untuk meningkatkan asupan kalori dan protein melalui makanan oral, dengan perhatian pada peralihan diet dari cair ke padat sesuai toleransi pasien. Penggunaan suplemen nutrisi lebih terbatas dan biasanya tidak memerlukan intervensi nutrisi yang kompleks seperti pada pasien kanker.(Ravasco, 2019)

Pasien dengan keganasan memerlukan pemantauan nutrisi yang lebih intensif, termasuk evaluasi berkala terhadap status nutrisi mereka dan dampak terapi kanker pada asupan nutrisi.(Muscaritoli et al., 2021) Pendekatan ini memastikan bahwa intervensi nutrisi dapat disesuaikan dengan kondisi klinis yang terus berubah dan respons terhadap terapi kanker. Sementara itu, pada pasien tanpa keganasan, pemantauan nutrisi biasanya lebih standar dan fokus pada pemulihan dari efek langsung operasi serta memastikan bahwa kebutuhan nutrisi dasar terpenuhi.(Muscaritoli et al., 2021) Dengan demikian, meskipun kedua kelompok pasien memerlukan perhatian nutrisi yang cermat, perbedaan dalam kompleksitas dan tujuan manajemen nutrisi mencerminkan kebutuhan khusus yang terkait dengan keberadaan kanker dan dampaknya terhadap status nutrisi.

Sebelum Tindakan Operasi

Pada pasien ginekologi yang mengalami keganasan, manajemen nutrisi preoperatif sering kali lebih intensif dan bertujuan untuk mengatasi masalah malnutrisi dan cachexia yang sering ditemukan pada pasien kanker. Pendekatan ini mencakup pemberian nutrisi enteral (EN) atau parenteral (PN) jika diperlukan, serta suplementasi dengan nutrisi imunomodulator seperti asam lemak omega-3, arginin, dan ribonukleotida, yang dapat membantu meningkatkan status nutrisi, mengurangi peradangan, dan memitigasi efek samping dari terapi kanker.(Muscaritoli et al., 2021) Selain itu, ada perhatian khusus terhadap pengelolaan cachexia, yang mungkin melibatkan strategi seperti nutrisi tambahan dan terapi obat untuk mengelola penurunan berat badan dan massa otot.(Garutti et al., 2023)

Pada pasien ginekologi tanpa keganasan, manajemen nutrisi preoperatif biasanya lebih sederhana dan berfokus pada persiapan tubuh untuk operasi. Pendekatan ini mungkin melibatkan pengurangan waktu puasa sebelum operasi dengan pemberian cairan berkalori atau karbohidrat untuk mengurangi risiko hipoglikemia dan mempercepat pemulihan pascaoperasi.(Bossi et al., 2022) Nutrisi preoperatif pada pasien non-kanker umumnya bertujuan untuk memastikan bahwa pasien tidak mengalami defisit nutrisi yang dapat mempengaruhi penyembuhan dan pemulihan.(Bossi et al., 2022)

Sesudah Tindakan Operasi

Setelah operasi, manajemen nutrisi pada pasien ginekologi dengan keganasan sering kali melibatkan penyesuaian diet yang lebih kompleks untuk mengatasi dampak dari operasi dan terapi kanker. Nutrisi enteral (EN) atau parenteral (PN) mungkin diperlukan jika pasien mengalami kesulitan makan atau menyerap nutrisi secara oral. Penekanan diletakkan pada pemberian nutrisi yang dapat mendukung pemulihan, memperbaiki status kekebalan tubuh, dan mengurangi risiko komplikasi seperti infeksi dan anastomosis yang bocor.(Ravasco, 2019) Suplementasi dengan protein, vitamin, dan mineral sering kali diperkenalkan untuk mempercepat pemulihan dan mendukung proses penyembuhan. Pendekatan ini juga mencakup pemantauan ketat terhadap status nutrisi pasien dan penyesuaian terapi nutrisi sesuai kebutuhan klinis.

Pasien ginekologi tanpa keganasan memiliki manajemen nutrisi pascaoperasi yang lebih berfokus pada peralihan dari diet cair ke diet padat sesuai toleransi pasien dan memastikan bahwa asupan kalori dan protein cukup untuk mendukung proses penyembuhan. Nutrisi pascaoperasi pada pasien non-kanker umumnya lebih straightforward dan bertujuan untuk mempercepat pemulihan serta mengurangi risiko komplikasi seperti malnutrisi atau infeksi. Penekanan diberikan pada pemulihan nutrisi dasar dan dukungan diet tanpa kebutuhan intervensi kompleks seperti yang diperlukan pada pasien kanker.(Ravasco, 2019)

Perbedaan utama antara manajemen nutrisi sebelum dan sesudah operasi pada pasien ginekologi yang mengalami keganasan dan yang tidak terletak pada kompleksitas dan intensitas pendekatan yang digunakan untuk mengatasi tantangan khusus yang terkait dengan kanker dan dampaknya pada status nutrisi.

 

 

KESIMPULAN

Perbedaan asuhan nutrisi pada pasien ginekologi yang mengalami keganasan dan yang tidak mengalami keganasan cukup signifikan, karena kondisi kanker membawa kompleksitas tambahan dalam manajemen nutrisi. Pada pasien ginekologi dengan keganasan, tujuan utama dari asuhan nutrisi adalah untuk mendukung pemulihan pascaoperasi sambil mengatasi tantangan khusus terkait kanker. Pasien dengan keganasan memerlukan pemantauan nutrisi yang lebih intensif, termasuk evaluasi berkala terhadap status nutrisi mereka dan dampak terapi kanker pada asupan nutrisi. Pada pasien ginekologi tanpa keganasan manajemen nutrisi pascaoperasi umumnya lebih fokus pada pemulihan dari operasi dan dukungan nutrisi dasar. Manfaat terapi nutrisi praoperatif untuk pasien dengan risiko nutrisi berat ditemukan membantu proses pemulihan pasien. asien dengan risiko nutrisi berat harus menerima terapi nutrisi sebelum menjalani operasi besar, termasuk operasi kanker. Perencanaan nutrisi setelah operasi harus terus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Jika pasien mengalami gangguan pencernaan atau risiko tinggi malnutrisi, pendekatan nutrisi harus mencakup penilaian rutin dan penyesuaian rencana nutrisi berdasarkan kemajuan pasien dan respons terhadap terapi.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Alimena, S., Falzone, M., Feltmate, C. M., Prescott, K., Contrino Slattery, L., & Elias, K. (2020). Perioperative glycemic measures among non-fasting gynecologic oncology patients receiving carbohydrate loading in an enhanced recovery after surgery (ERAS) protocol. International Journal of Gynecological Cancer, 30(4), 533�540. https://doi.org/10.1136/ijgc-2019-000991

Baji, D. B., Patel, J. P., Konanur Srinivasa, N. K., Gande, A., Anusha, M., & Dar, H. (2022). Nutrition Care in Cancer Surgery Patients: A Narrative Review of Nutritional Screening and Assessment Methods and Nutritional Considerations. Cureus, 14(12). https://doi.org/10.7759/cureus.33094

Bisch, S., Nelson, G., & Altman, A. (2019). Impact of nutrition on enhanced recovery after surgery (ERAS) in gynecologic oncology. Nutrients, 11(5), 1�9. https://doi.org/10.3390/nu11051088

Bogani, G., Sarpietro, G., Ferrandina, G., Gallotta, V., DI Donato, V., Ditto, A., Pinelli, C., Casarin, J., Ghezzi, F., Scambia, G., & Raspagliesi, F. (2021). Enhanced recovery after surgery (ERAS) in gynecology oncology. European Journal of Surgical Oncology, 47(5), 952�959. https://doi.org/10.1016/j.ejso.2020.10.030

Bossi, P., De Luca, R., Ciani, O., D�Angelo, E., & Caccialanza, R. (2022). Malnutrition management in oncology: An expert view on controversial issues and future perspectives. Frontiers in Oncology, 12(October), 1�10. https://doi.org/10.3389/fonc.2022.910770

Charoenkwan, K., & Matovinovic, E. (2014). Early versus delayed oral fluids and food for reducing complications after major abdominal gynaecologic surgery. Cochrane Database of Systematic Reviews, 2014(12). https://doi.org/10.1002/14651858.CD004508.pub4

Garutti, M., Noto, C., Past�, B., Cucciniello, L., Alajmo, M., Casirati, A., Pedrazzoli, P., Caccialanza, R., & Puglisi, F. (2023). Nutritional Management of Oncological Symptoms: A Comprehensive Review. Nutrients, 15(24). https://doi.org/10.3390/nu15245068

Goins, E. C., Weber, J. M., Truong, T., Moss, H. A., & Havrilesky, R. A. P. B. A. D. L. J. (2022). Malnutrition as a risk factor for post-operative morbidity in gynecologic cancer: Analysis using a national surgical outcomes database. Gynecologic Oncology, 165(2), 309�316. https://doi.org/10.1016/j.ygyno.2022.01.030

Mart�nez-Ortega, A. J., Pi�ar-Guti�rrez, A., Serrano-Aguayo, P., Gonz�lez-Navarro, I., Rem�n-Ru�z, P. J., Pereira-Cunill, J. L., & Garc�a-Luna, P. P. (2022). Perioperative Nutritional Support: A Review of Current Literature. Nutrients, 14(8). https://doi.org/10.3390/nu14081601

Muscaritoli, M., Arends, J., Bachmann, P., Baracos, V., Barthelemy, N., Bertz, H., Bozzetti, F., H�tterer, E., Isenring, E., Kaasa, S., Krznaric, Z., Laird, B., Larsson, M., Laviano, A., M�hlebach, S., Oldervoll, L., Ravasco, P., Solheim, T. S., Strasser, F., � Bischoff, S. C. (2021). ESPEN practical guideline: Clinical Nutrition in cancer. Clinical Nutrition, 40(5), 2898�2913. https://doi.org/10.1016/j.clnu.2021.02.005

Noha Elsherbini Francesco Carli. (2022). Advocating for prehabilitation for patients undergoing gynecology-oncology surgery. European Journal of Surgical Oncology : The Journal of the European Society of Surgical Oncology and the British Association of Surgical Oncology, 48(9), 1875�1881. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ejso.2022.04.021

Pache, B., Grass, F., H�bner, M., Kefleyesus, A., Mathevet, P., & Achtari, C. (2019). Prevalence and consequences of preoperative weight loss in gynecologic surgery. Nutrients, 11(5), 1�8. https://doi.org/10.3390/nu11051094

Ravasco, P. (2019). Nutrition in cancer patients. Journal of Clinical Medicine, 8(8), 1�13. https://doi.org/10.3390/jcm8081211

Robertson, S. A., & Cutress, R. I. (2018). European Journal of Surgical Oncology. In European Journal of Surgical Oncology (p. 1).

Weimann, A., Braga, M., Carli, F., Higashiguchi, T., H�bner, M., Klek, S., Laviano, A., Ljungqvist, O., Lobo, D. N., Martindale, R. G., Waitzberg, D., Bischoff, S. C., & Singer, P. (2021). ESPEN practical guideline: Clinical nutrition in surgery. Clinical Nutrition, 40(7), 4745�4761. https://doi.org/10.1016/j.clnu.2021.03.031