ROYALTI ATAS LAGU DAN MUSIK YANG DINYANYIKAN OLEH KECERDASAN BUATAN (ARTIFICIAL INTELLIGENCE) DI PLATFORM DIGITAL

 

Najma Zalfa'na, Bernard Nainggoan, Wiwik� Sri Widiarty

Universitas Kristen Indonesia

Email: [email protected]

 

kata kunci:

royalti, artificial intelligence, lagu dan musik

 

 

 

 

 

keywords:

royalties, artificial intelligence, songs and music

 

 

ABSTRAK

 

Dalam perkembangan teknologi yang sangat pesat dari masa ke masa pada dasarnya mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk mempengaruhi perubahan pola kehidupan manusia. Salah satu tokoh yang membahas tentang teknologi dan kaitannya dengan komunikasi adalah Arnold Pacey. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif memiliki kecenderungan dalam mencitrakan hukum sebagai disiplin prespektif di mana hanya melihat hukum dari sudut pandang norma-norma saja, yang tentunya bersifat perspektif. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) didefinisikan sebagai hak untuk memperoleh perlindungan secara hukum atas kekayaan intelektual sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang HKI, seperti UU Hak Cipta, Paten, Desain Industri, Rahasia Dagang, Varitas Tanaman, Sirkuit terpadu dan Merek serta telah disahkan oleh ITB melalui penerbitan SK Rektor Ketentuan Insentif Kekayaan Intelektual Institut Teknologi Bandung Nomor 643/I1.B04/SK-WRRIM/XI/2018. pelanggaran hak cipta oleh perusahaan Artificial Intelligence yang diajukan di atas mencerminkan tantangan besar yang dihadapi industri lagu dan/atau musik dan hukum kekayaan intelektual dalam era digital dan perkembangan Artificial Intelligence.

In the very rapid development of technology from time to time, it basically affects all aspects of human life, including affecting changes in human life patterns. One of the figures who discusses technology and its relationship with communication is Arnold Pacey. The research method that will be used in this study is the normative juridical research method. The normative juridical research method has a tendency to image the law as a perspective discipline where it only looks at the law from the perspective of norms, which is of course perspective. Intellectual Property Rights (IPR) is defined as the right to obtain legal protection of intellectual property in accordance with laws and regulations in the field of IPR, such as the Law on Copyright, Patents, Industrial Designs, Trade Secrets, Plant Varieties, Integrated Circuits and Trademarks and has been ratified by ITB through the issuance of the Rector's Decree on Intellectual Property Incentive Provisions of the Bandung Institute of Technology Number 643/I1. B04/SK-WRRIM/XI/2018. The copyright infringement by Artificial Intelligence companies� filed above reflects the great challenges facing the song and/or music industry and intellectual property law in the digital age and the development of Artificial Intelligence.

Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA .

This is an open access article under the CC BY-SA license.

 

 

PENDAHULUAN

Dalam perkembangan teknologi yang sangat pesat dari masa ke masa pada dasarnya mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk mempengaruhi perubahan pola kehidupan manusia. Salah satu tokoh yang membahas tentang teknologi dan kaitannya dengan komunikasi adalah Arnold Pacey. Arnold Pacey dalam bukunya yang berjudul The Culture of Technology membahas mengenai teknologi dari sudut pandang sosial-kultural. Pacey melihat bahwa teknologi adalah sesuatu yang pada awalnya bersifat netral secara kultural, moral dan politik. Namun, seiring berjalannya waktu teknologi kemudian dijadikan sebagai alat untuk melakukan hal-hal yang bersifat negatif. Pacey berpendapat hal tersebut pada dasarnya merupakan penyalahgunaan yang dilakukan oleh para politikus, agen-agen politik, perusahaan dan lain sebagainya. Jika teknologi dilihat dalam konteks konstruksi dasar mesin itu bersifat netral, namun jika dilihat dalam konteks aktivitas manusia yang mengiringi mesin dengan kata lain penggunaan secara praktikal, maka teknologi memiliki peran sebagai simbol status, alat kekuasaan dan lain-lain (Alfons, 2017)

Revolusi industri pada tahun 1990 mempengaruhi revolusi komunikasi dalam bentuk informasi dan teknologi informasi. Hal tersebut menunjukkan internet berperan besar terhadap revolusi industri. Dengan adanya perkembangan teknologi, musik adalah salah satu bentuk komunikasi audio yang dapat dinikmati atau didengar oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Komunikasi melalui audio telah menjadi bagian kehidupan manusia dari dulu hingga saat ini.  

Audio memiliki kelebihan dibandingkan dengan bacaan atau media visual, salah satunya yaitu kemampuan untuk membebaskan pembicara di audio tanpa mengkhawatirkan penampilan dari pembicara tersebut. Sedangkan media visual sangat mementingkan penampilan dari seseorang yang tampil dalam media visual terkait. Seperti yang dijelaskan di paragraf sebelumnya bahwa audio dapat dinikmati kapan saja dan di mana saja, seperti lagu atau musik yang selalu hadir di kehidupan sehari-hari manusia. Digitalisasi yang terjadi pada saat ini sangat mempengaruhi industri audio, yang dapat menjadi peluang besar bagi industri audio untuk berkembang dan menciptakan suatu inovasi.

Musik adalah suatu sarana untuk melihat individu, karena musik sangat terhubung dengan kenangan, aspirasi, kehidupan sehari-hari serta kelompok sosial tertentu. Sebelum era digital, konsumsi musik sangat terbatas pada vinyl, kaset, CD dan/atau datang ke konser. Dengan adanya kemajuan teknologi lahir sebuah handphone atau smartphone atau gadget dan digitalisasi, konsumsi musik pun meningkat secara pesat dan dapat diakses kapan pun dan di mana pun. Dalam hal ini, musik terlihat seperti tidak membutuhkan biaya atau gratis, tetapi dalam kenyataannya musik yang dinikmati tidak diberikan secara gratis atau cuma-cuma kepada pendengar. Industri audio sangat mendukung kepada setiap manusia untuk mendapatkan keuntungan serta mencari peluang untuk memperluas pasar. Dengan adanya dukungan kemajuan teknologi atau era digitalisasi, setiap orang memiliki kesempatan untuk menciptakan suatu karya musik atau lagu dengan mudah. Cara yang dapat dilakukan adalah mengunggah karya tersebut ke sarana musik, yaitu Spotify atau platform musik lainnya. Spotify adalah aplikasi streaming musik yang tersedia di handphone atau smartphone atau gadget, aplikasi ini merupakan salah satu aplikasi streaming musik terbesar dengan memiliki lebih dari 30 (tiga puluh) juta lagu untuk diputar dan lebih dari 70 (tujuh puluh) juta pelanggan, dan penulis merupakan salah satu pelanggan Spotify. Spotify menyediakan berbagai lagu terbaru dan lengkap, serta aplikasi ini memiliki desain fitur sederhana sehingga memudahkan para pengguna untuk menggunakan aplikasi ini (Tirtakoesoemah & Arafat, 2020). Spotify memiliki kebijakan bagi para artis atau musisi yang menginginkan lagunya dimuat dalam aplikasi Spotify agar dapat memiliki label atau publisher terlebih dahulu sebelum mengunggah lagunya ke Spotify. Secara sistem, seorang musisi dapat menjual lagunya pada aplikasi Spotify dengan cara sebagai berikut (Albar, 2018):

 

 

 

 

 


Pengguna / Spotify User

 

 

 

 

 

 

 

 


Bagan di atas menunjukan sebuah sistem yang dibuat oleh Spotify untuk meminimalisir pelanggaran hak cipta yang akan terjadi. Bagan tersebut menunjukan bahwa seorang artis atau musisi yang ingin memasarkan lagu di Spotify diwajibkan untuk memiliki label atau publisher yang bertugas dan memiliki hak atas lisensi sebuah hak cipta, hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Di Indonesia sampai saat ini belum memiliki label atau publisher yang bekerja sama secara langsung dengan Spotify, sehingga untuk memasukkan lagu ke Spotify para artis atau musisi terlebih dahulu harus memiliki label atau publisher di Indonesia yang berwenang untuk mengelola hak cipta atas lagu atau musik, kemudian pihak label atau publisher Indonesia akan mengajukan permintaan kepada label atau publisher yang bekerja sama dengan Spotify. 

Hak dan kewajiban masing-masing pihak menurut bagan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut (Wahiddin & Nurdiansyah, 2022):

1.    Pengguna Spotify atau Spotify User memiliki hak untuk mendengarkan lagu atau musik yang diinginkan dengan kualitas yang baik dan dapat memiliki akun premium dengan cara berlangganan, agar dapat mendengar lagu tanpa iklan yang ada di aplikasi Spotify. Tetapi, ada juga pendengar yang dapat mendengar musik secara gratis hanya saja disela iklan. 

2.    Spotify berhak mendapatkan dan mengelola hak cipta atas karya cipta secara komersil, baik pembayaran dari para pengguna premium atau pengiklan yang akan dimunculkan bagi pengguna gratis. Sedangkan, kewajiban Spotify adalah mengeluarkan atau memberikan royalti yang didistribusikan kepada label distributor terlebih dahulu sebelum diserahkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Hal ini tertuang dalam syarat dan ketentuan saat pencipta lagu atau publisher ingin mendistribusikan karya cipta melalui Spotify. 

3.    Label Distributor yang bekerja sama secara langsung dengan Spotify memiliki kewajiban dalam mendistribusikan royalti kepada label artis atau digital publisher. Di sisi lain, label distributor berhak mendapatkan fee distribusi yang besarannya telah disepakati di perjanjian.

4.    Digital Publisher memiliki kewajiban untuk mendistribusikan atau memasarkan setiap lagu atau musik yang pengelolaan haknya diberikan artis atau musisi kepada digital publisher. Oleh karena itu, digital publisher memiliki hak pembagian fee terhadap royalti yang dihasilkan dalam penjualan lagu atau musik, sama halnya dengan label distributor dengan besaran fee yang diberikan sesuai dengan kesepakatan atau perjanjian antara artis atau musisi dengan digital publisher.  

5.    Artis atau musisi memiliki kewajiban untuk membuat atau menghasilkan sebuah karya yang kemudian akan dikelola atau dipasarkan oleh digital publisher. Hak seorang artis atau musisi adalah menerima royalti atas karya yang dimilikinya sebagai pencipta dan/atau pemegang hak cipta, besaran royalti yang diterima sesuai dengan kesepakatan yang dibuat bersama digital publisher. 

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta merupakan hak khusus bagi pencipta atau pemegang cipta untuk memperbanyak atau menggandakan dan untuk mengumumkan hasil karya ciptanya. Pencipta juga berhak atas manfaat ekonomi yang lahir dari ciptaan tersebut. Manfaat ekonomi dapat bersumber dari kegiatan mengumumkan (performing rights), kegiatan menyiarkan (broadcasting rights), kegiatan memperbanyak yang mana termasuk di dalamnya; mechanical, printing, synchronization, advertising dan kegiatan menyebarkan (distribution rights) (Doly, 2023). Dalam hal ini, pencipta dapat mengunggah hasil karyanya ke Spotify sehingga para pengguna akan mendengarkan atau tertarik terhadap hasil karya tersebut. Mekanisme pembayaran royalti terkait bagi hasil pendapatan bagi musik yang diunggah ke Spotify dan telah diklaim oleh pencipta atau penerbit musik adalah dengan cara (Duan et al., 2019):

 

Digital Aggregator Artis

 
 

 

 

 

 

 


Artis (Pencipta)

 
�����������������������

 

 

 

 


Berikut adalah penjelasan dari masing-masing tahapan sebagaimana dimaksud dalam bagan di atas (Mailangkay, 2017):

1.�� Proses pemberian royalti berupa bagi hasil akan dibayarkan kepada pihak artis atau musisi yang telah mendaftarkan akunnya di Spotify, sistem pencairan royalti bagi hasil dilakukan dengan tahapan Spotify akan memberikan royalti dan laporan royalti kepada digital aggregator atau yang disebut dengan pembeli lisensi hak cipta yang bekerja sama dengan Spotify. 

2.�� Adapun besaran royalti yang diberikan oleh Spotify terhadap para artis atau musisi berbeda-beda. Pada umumnya akan ditentukan berdasarkan pertimbangan pendapatan perkapita negara tertentu, sebagai contoh di Indonesia royalti yang diberikan oleh Spotify dalam setiap 1 (satu) kali stream yaitu sebesar 0,004533 Euro. Pembayaran ini akan dilakukan setiap bulannya selama lagu tersebut terdaftar dan memiliki pemutaran pada aplikasi Spotify. 

3.�� Selanjutnya, digital aggregator akan memberikan royalti yang telah dipotong client share rate sebesar 0,7 dari total penghasilan royalti berdasarkan kesepakatan yang telah disetujui antara digital aggregator Spotify dengan digital aggregator artis. Pembayaran dilakukan per tiga bulan oleh digital aggregator dikarenakan pertimbangan besaran nominal mengingat tidak semua artis yang bekerja sama adalah artis yang terkemuka. 

4.�� Royalti yang telah diberikan kepada digital aggregator artis atau musisi selanjutnya akan dibagi kepada artis atau musisi (pencipta). Pembagian antara digital aggregator artis atau musisi dengan artis atau musisi sesuai dengan kesepakatan antara para pihak. 

Hak yang dimiliki oleh pencipta atas suatu karya musik yang lahir dari imajinasi seseorang disebut sebagai hak cipta. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mendefinisikan hal-hal penting terkait hak cipta. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Sebelum lahirnya sebuah ciptaan yang memiliki hak tertentu, tentunya ada subjek yang menciptakan ciptaan tersebut, yang disebut dengan pencipta. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Pencipta merupakan pemegang penuh atas hak atas karya yang dibuatnya, Pemegang Hak Cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah. Sebagai pencipta atas karya lagu atau pemegang hak cipta, tentunya pencipta mendapatkan hak eksklusif yang bersifat ekonomis yang disebut sebagai royalti, royalti adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak tersebut. 

Saat ini seseorang yang mampu menciptakan sebuah karya khususnya lagu dan/atau musik dapat dengan mudah mempublikasikan hasil karya musiknya ke platform musik, karena kemajuan teknologi yang semakin memadai. Seseorang dapat mengunggah lagu dan/atau musik ke sosial media yang bernama Spotify, SoundCloud, dan lain sebagainya dengan cara yang lebih mudah dibandingkan sebelum adanya revolusi digital. Sayangnya, hal tersebut juga memiliki efek negatif bagi sang pencipta lagu dan/atau musik, karena siapapun dapat dengan mudah membagikan hasil karya musik tersebut tanpa izin dari sang pencipta. 

Baru-baru ini kemajuan teknologi digemparkan dengan suatu inovasi yang bernama Artificial Intelligence atau Kecerdasan Buatan. Artificial Intelligence adalah sebuah simbol munculnya era revolusi industri 4.0 yang diyakini memberikan kemudahan kepada penggunanya di berbagai bidang. Artificial Intelligence merupakan salah satu bagian dari ilmu komputer yang mempelajari bagaimana membuat mesin (komputer) yang dapat melakukan pekerjaan seperti dan sebaik manusia, bahkan dapat lebih baik dari yang dilakukan oleh manusia. Pengertian kecerdasan buatan yang lain adalah suatu ilmu yang mempelajari cara membuat komputer melakukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh manusia. Kecerdasan buatan juga merupakan kawasan penelitian, aplikasi dan instruksi yang terkait dengan pemrograman komputer untuk melakukan suatu hal, dalam pandangan manusia adalah cerdas (Sastrawan, 2021). Artificial Intelligence sebenarnya sudah dimulai sejak musim panas tahun 1956. Pada saat itu, sekelompok pakar komputer, pakar dan peneliti dari disiplin ilmu lain dari berbagai akademi, industri serta berbagai kalangan berkumpul di Dartmouth College untuk membahas potensi komputer dalam rangka menirukan atau mensimulasi kepandaian manusia. Beberapa ilmuwan yang terlibat adalah Allen Newel, Herbert Simon, Marvin Miskey, Oliver Selfridge dan John McCarthy. Sejak saat itu, para ahli mulai bekerja keras untuk membuat, mendiskusikan, merubah dan mengembangkan sampai mencapai titik kemajuan yang penuh. Mulai dari laboratorium sampai pada pelaksanaan kerja nyata. Awalnya, Artificial Intelligence hanya ada di universitas dan laboratorium penelitian, dan penggunaannya jarang, jika ada produk praktis yang sudah dikembangkan. Menjelang akhir tahun 1970 dan awal tahun 1980, mulai dikembangkan secara penuh dan hasilnya secara berangsur-angsur mulai dipasarkan. Saat ini, sudah banyak hasil penelitian yang sedang dan sudah dikonversikan menjadi produk nyata yang membawa keuntungan bagi pemakainya (Siregar et al., 2020)

Inovasi Artificial Intelligence dapat mengancam hasil karya lagu dan/atau musik milik seseorang, karena Artificial Intelligence dapat dengan mudah menyanyikan lagu tersebut dengan suara tiruan. AI memiliki beberapa perangkat lunak yang bernama Wondershare, Uberduck.ai, Typecast.ai, Voicemod.net (Cipta, n.d.). Perangkat lunak ini dapat digunakan untuk menyanyikan sebuah lagu atau membaca teks dengan custom voice. Artinya, pengguna perangkat lunak tersebut dapat mengunggah suatu lagu untuk dinyanyikan kembali dengan suara milik orang lain.

Permasalahan secara perlahan muncul ke permukaan pengguna sosial media. Sebagai contoh suara milik Travis Scott rapper asal Amerika Serikat yang digunakan oleh Artificial Intelligence untuk menyanyikan 16 lagu dalam album yang berjudul �UTOP-AI� yang diunggah ke YouTube dan SoundCloud (Imansah, 2023). Fenomena ini menjadi perdebatan label musik serta penyanyi aslinya, karena terdapat pelanggaran hak cipta dan royalti. Dengan mudahnya seseorang menggunakan Artificial Intelligence untuk menghasilkan suatu album tanpa meminta izin kepada label musik dan/atau penyanyi terkait, kemudian mendapatkan keuntungan dari album terkait. Contoh lainnya adalah lagu New Jeans group K-Pop yang berjudul OMG dinyanyikan oleh Artificial Intelligence dengan menggunakan suara Travis Scott sebagaimana video yang diunggah ke YouTube dengan link https://www.youtube.com/watch?v=mC72rm6qgms. Video tersebut berjudul �Travis Scott - OMG (AI cover)� diunggah pada tanggal 23 April 2023 dengan 92.429 views, yang mana akun tersebut akan mendapatkan keuntungan dari YouTube. 

Oleh karena itu, terdapat permasalahan hukum yang muncul karena penggunaan Artificial Intelligence tidak terkontrol. Suatu perangkat lunak dalam hal ini adalah Artificial Intelligence yang dioperasikan seseorang dapat menyanyikan kembali lagu dan/atau musik tersebut dengan mendapatkan keuntungan finansial, namun tidak meminta izin terlebih dahulu dari pemegang hak cipta atau pemegang hak cipta tidak mendapatkan royalti atas hal tersebut. 

Maka, berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, penulis memberi judul pada penulisan ini adalah �ROYALTI ATAS LAGU DAN/ATAU MUSIK YANG DINYANYIKAN OLEH KECERDASAN BUATAN (ARTIFICIAL INTELLIGENCE) DI PLATFORM DIGITAL�.

Rumusan Masalah

������� Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat permasalahan yang timbul. Permasalahannya adalah:

1.�� Apakah pemegang hak cipta dapat menuntut royalti atas lagu dan/atau musik yang dinyanyikan oleh Artificial Intelligence di platform digital menurut Hukum Kekayaan Intelektual?

2.�� Bagaimana kedudukan Artificial Inteflligence dalam Hukum Kekayaan Intelektual?

Tujuan Penelitian

������� Tujuan dari penulisan hukum ini adalah:

1.�� Untuk mengkaji dan menganalisis pemegang hak cipta dapat menuntut royalti atas lagu dan/atau musik yang digunakan oleh seseorang atas hasil Artificial Intelligence menurut Hukum Kekayaan Intelektual.

2.�� Untuk menganalisis dan mengetahui kedudukan Artificial Intelligence dalam Hukum Kekayaan Intelektual. 

 

 

METODE PENELITIAN

Spesifikasi Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif memiliki kecenderungan dalam mencitrakan hukum sebagai disiplin prespektif di mana hanya melihat hukum dari sudut pandang norma-norma saja, yang tentunya bersifat perspektif. Dimana tema-tema penelitiannya mencakup:

a.�� Penelitian terhadap Peraturan Perundang-Undangan;

b.�� Penelitian terhadap asas-asas hukum;

c.�� Penelitian terhadap sistematika hukum; dan

d.�� Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.

Pendekatan Penelitian

a.�� Pendekatan perundang-undangan (Statue Approach)

Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Menurut Peter Mahmud Marzuki bahwa pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan Undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu Undang-undang dengan Undang-undang lainnya atau antara Undang-undang dan Undang-undang Dasar atau antara regulasi Undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya Undang-undang tersebut.

Digunakannya pendekatan ini dimaksudkan untuk memudahkan peneliti dalam menelaah dan memahami peraturan hukum yang mengatur mengenai perlindungan hukum pemegang hak cipta atas lagu dan/atau musik yang dinyanyikan oleh Artificial Intelligence.

b.�� Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach)

Peter Mahmud Marzuki menjelaskan pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.

Pendekatan konseptual digunakan untuk memahami pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin yang ada hubungannya dengan perlindungan hukum Hak Cipta atas karya digital.

3.�� Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Soerjono Soekanto tidak menggunakan bahan hukum, tetapi menggunakan istilah data sekunder atau data kepustakaan, yang didalamnya mengandung istilah bahan hukum. (Widiarty, 2024) Data sekunder menurut Sugiyono, merupakan data yang tidak diperoleh secara langsung oleh pengumpul data, melainkan melalui pihak lain atau dokumen. Data sekunder ini berfungsi sebagai pendukung data primer. Dalam penelitian ini, data sekunder yang digunakan berasal dari dokumen jurnal. Data sekunder diperoleh oleh peneliti dari hasil penelitian sebelumnya, artikel, jurnal, buku, situs internet, dan sumber informasi lain yang berkaitan dengan penelitian.

Sumber data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini diambil dari data primer dan data sekunder. Sumber hukum tersebut antara lain:

a.�� Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif, autoratif artinya mempunyai otoritas. Adapun bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu UUD 1945, KUH Perdata, KUH Acara Perdata, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik yang berhubungan dengan penelitian ini.

b.�� Bahan Hukum Sekunder

Sumber hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat membantu dan/atau menunjang bahan hukum primer dalam penelitian yang akan memperkuat penjelasan di dalamnya. Data ini biasanya digunakan untuk melengkapi data primer dan memberikan petunjuk ke arah mana peneliti melangkah. Sumber data sekunder penelitian ini adalah data-data yang diperoleh dengan melakukan kajian pustaka buku-buku ilmiah, hasil penelitian, dan sebagainya.

c.�� Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain yang ada relevansinya dengan isu hukum dalam penelitian ini.

4.�� Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan ini, teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah studi kepustakaan. Studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.

5.�� Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Analisis bahan-bahan hukum dilakukan setelah seluruh bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis secara yuridis normatif. Analisis ini dilakukan dengan mengevaluasi norma-norma hukum yang didasarkan pada konstitusi atas permasalahan yang sedang berkembang sebagai proses untuk menemukan jawaban atas pokok isu hukum melalui beberapa tahap, diantaranya:

a.�� Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminasi hal yang tidak relevan dengan pokok isu hukum.

b.�� Pengumpulan bahan hukum yang relevan dengan isu hukum.

c.�� Telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan hukum yang telah dikumpulkan.

d.�� Menyimpulkan pembahasan dalam bentuk argumentasi dengan menjawab isu hukum.

e.�� Mengajukan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun secara konsisten dalam kesimpulan.

6.�� Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah DKI Jakarta dalam kurun waktu 8 (delapan) bulan. Dimulai dari tanggal 01 Maret 2024 sampai dengan 31 November 2024.

7.�� Orisinalitas Penelitian

Sebuah karya tertentu harus memiliki orisinalitas, orisinalitas merupakan kriteria utama yang harus dijaga dalam sembuah karya terutama karya akademik. Karya akademik seperti skripsi, tesis dan disertasi harus memperlihatkan bahwa karya itu adalah orisinal. Untuk menjaga orisinalitas dan memudahkannya, maka penulis mengambil 2 (dua) sampel penulisan terdahulu yang memiliki kesamaan atau kemiripan masalah dengan penelitian yang akan dilakukan penulis, untuk dijadikan perbandingan agar terlihat keorisinalitasan penulis. Beberapa penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:

a.�� Jurnal yang berjudul �Kajian Hukum Terhadap Perlindungan Royalti atas Karya Cipta Lagu atau Musik dari Aspek UU No. 19 Tahun 2002� oleh Indrasatya Octavianus Nasirun dari Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi yang diterbitkan pada tahun 2014. Jurnal ini mengkaji tentang bentuk perlindungan hukum yang diperoleh dan hambatan yang ditemui terkait pelaksanaan pemungutan dan pendistribusian royalti atas maraknya tindakan pembajakan suatu hak cipta.

b.�� Jurnal yang berjudul �Perlindungan dan Pengelolaan Hak Royalti Pencipta Melalui Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021� oleh Gracelina Jesyca Carmety Nyaman, Kadek Nita Erlita, Anjalia Rambu Kahi, Ruhil Amani, Dyah Permata Budi Asri dari Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma yang diterbitkan pada tahun 2021. Jurnal ini mengkaji tentang jaminan perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak ekonomi pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait atas lagu dan/atau musik dan membutuhkan mekanisme pengelolaan royalti yang transparan, berkualitas dan tepat sasaran serta melalui sarana teknologi informasi.

Dari kedua hasil temuan penelitian terdahulu, maka penelitian ini akan memberikan kontribusi penting dalam hal kebaruan (novelty) dengan mengusulkan pendekatan modern yang berguna dalam menghadapi perkembangan teknologi, terutama masalah hukum terkait penggunaan Artificial Intelligence dalam hubungannya dengan keaslian dari lagu dan/atau musik. Saat ini, dengan perkembangan teknologi yang pesat, penggunaan Artificial Intelligence dalam industri kreatif seperti komposisi lagu dan/atau musik memunculkan masalah hukum baru yang dapat diatasi dengan metode inovatif.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemegang Hak Cipta Menuntut Royalti Atas Lagu Dan/Atau Musik Yang Dinyanyikan Oleh Artificial Intelligence

Tuntutan Royalti Pemegang Hak Cipta Terhadap Lagu dan/atau Musik Yang Dinyanyikan Oleh Artificial Intelligence Dalam Hukum Kekayaan Intelektual

��������������� 1.���� Pentingnya Pemahaman Hak Kekayaan Intelektual dalam Ekonomi Kreatif

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) didefinisikan sebagai hak untuk memperoleh perlindungan secara hukum atas kekayaan intelektual sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang HKI, seperti UU Hak Cipta, Paten, Desain Industri, Rahasia Dagang, Varitas Tanaman, Sirkuit terpadu dan Merek serta telah disahkan oleh ITB melalui penerbitan SK Rektor Ketentuan Insentif Kekayaan Intelektual Institut Teknologi Bandung Nomor 643/I1.B04/SK-WRRIM/XI/2018. ITB telah berupaya untuk mengimplementasikan HKI melalui perwujudan kelembagaan di LPIK ITB yang berfungsi untu mengembangkan strategi implementasi HKI berupa pengusahaan lisensi untuk usaha startup dan bekerja sama dalam upaya promosi, negosiasi, kontrak kerjasama, Collecting Royalty dan Licensee Relation Management.

Sampai tahun 2019, terdapat 6 (enam) klaster yang terdaftar, tersertifikasi, dan terkomersialisasi melalui LPIK ITB, yaitu klaster Transportasi dan Infrastruktur, Energi dan Lingkungan, Smart City, Kesehatan, Pangan, dan Ilmu Hayati, Industri TIK, Jasa Digital, dan Kreatif, serta Pertahanan dan Keamanan.

Pentingnya Pemahaman HKI dalam Ekonomi Kreatif Indonesia memiliki banyak talenta di bidang industri kreatif. Setiap harinya muncul konten-konten kreatif yang segar karya anak bangsa di berbagai bidang. Ide kreatif yang berlimpah ini sebenarnya adalah sumber daya tanpa batas yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi. Karena itu pemerintah mengimbau masyarakat, khususnya pelaku ekonomi kreatif, untuk sadar pentingnya HKI.

HKI didefinisikan sebagai hak untuk memperoleh perlindungan secara hukum atas kekayaan intelektual, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang HKI. Beberapa bentuk HKI antara lain: hak paten, merek, desain industri, hak cipta, indikasi geografis, rahasia dagang, dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST).

Para pelaku ekonomi kreatif seharusnya menyadari pentingnya HKI dalam melindungi orisinalitas ide. HKI berfungsi sebagai perlindungan atas ide-ide yang dihasilkan oleh para pelaku industri kreatif. Dengan mendaftarkan ide mereka melalui HKI, pemilik ide tidak perlu cemas ide tersebut diambil atau diklaim oleh pihak lain.��������������������������������������������������

�Jika seseorang memiliki ide atau gagasan, sedari awal memang sebaiknya segera mendaftarkannya. Untuk HKI ada yang harus didaftarkan ada yang tidak. Merek, paten, dan desain industri harus didaftarkan agar bisa mendapat perlindungan dari negara. Jika tidak, orang bisa meniru dan tidak ada perlindungan hukum,� ulas Ari Juliano Gema, Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi Kemenparekraf/Baparekraf (RI, 2021).

HKI dapat menjadi sumber tambahan pendapatan bagi para pelaku ekonomi kreatif. Sebagai contoh, ketika sebuah ide telah terdaftar dan dilindungi oleh HKI, pemegang hak berhak memperoleh royalti jika ide tersebut digunakan oleh pihak lain.

Dengan demikian, produk atau ide yang telah terdaftar dalam HKI akan memberikan keuntungan ekonomi bagi pencipta, kreator, desainer, maupun investor.

Pemahaman akan pentingnya HKI juga perlu ditekankan di tengah pesatnya era digitalisasi saat ini. Hal ini penting bagi para pelaku ekonomi kreatif, mengingat semakin maraknya penggunaan media sosial membuka peluang besar bagi ide kreatif untuk menjadi viral dan menghadapi risiko pencurian ide.

�Perkembangan dunia digital sebenarnya baik bagi industri ekonomi kreatif. Namun, ternyata hal ini juga bisa memberikan dampak buruk. Misalnya, untuk subsektor penerbitan yang mengalami pembajakan atau penjualan buku secara ilegal melalui e-commerce.  Sebenarnya Kemenparekraf sudah melakukan diskusi dengan IKAPI agar pembajakan secara digital bisa ditekan,� terang Ari Juliano Gema.

2.�� Konsekuensi Pelanggaran HKI

Selain memahami pentingnya HKI, para pemegang hak cipta dan/atau pelaku industri kreatif juga harus mengetahui konsekuensi dari pelanggaran HKI.

Sebab, HKI telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, serta Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, sehingga seseorang yang melanggar Hak Kekayaan Intelektual akan dikenai sanksi berdasarkan peraturan perundang-undang tersebut.

Langkah yang diambil oleh pemerintah sebagai wujud perlindungan hukum bagi pemegang hak cipta dan/atau pelaku industri kreatif. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia kini memiliki sistem perlindungan hukum terhadap HKI yang solid. Bagi sektor ekonomi kreatif adanya perlindungan tersebut tentu merupakan kabar baik. Pasalnya, jika seseorang terbukti melanggar hak ciptaan, maka ada sanksi yang dapat dikenakan.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang penyelesaian sengketa, antara lain melalui proses mediasi, arbitrase atau pengadilan serta penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana. Pelanggaran hak cipta pada umumnya didorong oleh keinginan untuk meraih keuntungan finansial secara cepat tanpa memperhatikan kepentingan para pemegang hak cipta. Tindakan tersebut jelas melanggar norma hukum yang mengharuskan setiap individu untuk mematuhi, menghormati, dan menghargai hak-hak orang lain dalam hubungan keperdataan, termasuk pengakuan terhadap penemuan baru sebagai karya milik orang lain yang dilindungi oleh ketentuan hukum.

Faktor-faktor yang mempengaruhi warga masyarakat untuk melanggar HKI adalah:

a.     Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut;

b.    Para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh para penegak hukum;

c.     Ada sebagian warga masyarakat sebagai pencipta yang bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain, namun hal ini sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual;

d.    Dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah; dan

e.     Masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu, yang penting bagi mereka harganya murah dan tertjangkau dengan kemampuan ekonomi.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pasal 113 Ayat 1 berbunyi �Seseorang yang terbukti melanggar hak cipta dapat dikenai pidana penjara paling lama 1 tahun, dengan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah). Angka yang besar ini dapat memberikan efek jera bagi pelanggar HKI.

Dengan demikian, para pemegang hak cipta dan/atau pelaku ekonomi kreatif yang telah memiliki HKI tidak perlu merasa khawatir apabila produk, khususnya lagu dan/atau musik, diambil atau ditiru oleh pesaing. Hal ini karena HKI telah memberikan perlindungan terhadap produk tersebut dari kemungkinan klaim oleh pihak lain.

�Ketika terjadi pelanggaran terhadap HKI, yang bisa melaporkan adalah pemilik HKI itu sendiri. Ketika seseorang meniru ide dari sesuatu yang sedang populer misalnya, pemilik HKI yang sudah memiliki nama besar biasanya hanya akan melakukan pemantauan dulu. Namun, bukan berarti peniru ini boleh dilakukan terus-terusan dan merasa aman-aman saja. Justru ini adalah taktik yang sengaja dilakukan. Ketika terlihat ada potensi pelanggaran pada Merek atau Hak Cipta misalnya, bisa saja peniru ini akan dibawa ke jalur hukum dan dikenakan sanksi yang cukup berat,� papar Ari Juliano Gema.

Dengan demikian bagi para pelaku ekonomi kreatif di Indonesia yang belum mendaftarkan produk, merek, atau ide kreatif, sebaiknya segera melakukan pendaftaran. Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia telah menyediakan fasilitas pendaftaran HKI secara daring melalui: https://e-hakcipta.dgip.go.id/, yang dapat diakses oleh pemegang hak cipta dan/atau para pelaku ekonomi kreatif.

Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya klaim atas produk, merek, bahkan ide kreatif dari pihak-pihak lain yang memanfaatkan situasi, para pelaku ekonomi kreatif sudah seharusnya mendaftarkannya ke HKI.

Tak kalah penting, kepemilikan HKI juga memengaruhi kemudahan suatu produk untuk menembus pasar global. Tanpa adanya HKI, suatu produk berpotensi dikembalikan karena dianggap melanggar merek dagang, dan tidak ada perlindungan rahasia dagangnya.

�Kemenparekraf selalu melakukan sosialisasi secara terus menerus dan melakukan berbagai acara yang dapat mendukung kreativitas pelaku ekraf, seperti dengan program Apresiasi Kreasi Indonesia dan Food Startup serta beberapa program lainnya dengan BEKRAF juga. Kami selalu ditekankan untuk jangan sampai melanggar HKI orang lain sesuai dengan bidangnya masing-masing,� sambung Ari Juliano Gema.

Hukum hak cipta dapat memberikan landasan bagi pemegang hak terkait dan pencipta agar bisa mempertahankan atau mengesploitasi haknya. Di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta juga tidak termuat aturan khusus tentang pengertian hak cipta lagu dan/atau musik, namun lagu dan/atau musik sebagai bagian karya yang dilindungi oleh berdasarkan Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Di Indonesia sendiri perlindungan hak cipta lagu dan/atau musik masih sangat lemah, bahkan Indonesia pernah dikecam oleh dunia internasional karena tingkat pembajakan yang begitu luas terhadap hak cipta dan barang-barang merek.

Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, ada batasan tertentu di mana hasil karya seseorang dapat digunakan oleh orang lain, baik dengan izin maupun tanpa izin dari pemilik hak. Ketentuan ini berlaku untuk semua jenis hak cipta yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, termasuk hak cipta lagu dan/atau musik. Izin tersebut diberikan melalui lisensi, yang memungkinkan individu dan/atau badan hukum yang bukan pencipta asli untuk menggunakan dan memanfaatkan karya tersebut. Definisi lisensi dapat ditemukan dalam Pasal 1 Angka 20 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menyatakan bahwa:

�Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu.�

Selain proses izin dalam pemanfaatan hak cipta, seseorang yang menggunakan lisensi juga harus memperhatikan pembagian royalti dengan pencipta dan pihak lain yang memiliki hak cipta.

Namun dengan adanya lisensi bahwa izin yang digunakan sesuai dalam kata perjanjian yang berisi kesepakatan mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak, misalnya memperbanyak, mengumumkan menerjemah dan lain sebagainya maka seseorang atau suatu pihak yang menggunakan karya cipta lagu atau musik tidak ditetapkan sebagai melanggar hak cipta lagu dan/atau musik itu sendiri. Dalam halnya bahwa pelanggaran hak cipta lagu dan/atau musik dapat dituntun secara hukum, baik pidana maupun perdata, jika seseorang atau suatu pihak menggunakan karya cipta lagu dan/atau musik tanpa izin pemegang hak cipta tersebut, apalagi digunakan secara komersial.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta bahwa yang dimaksud �mengumumkan� adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan bisa dibaca dilihat dan didengar. Dalam penjelasannya dapat disimpulkan bahwa pengertian pengumuman dan memperbanyak ialah termasuk suatu kegiatan mengadaptasi, mengaransemen, menerjemahkan, menyanyikan kembali, menjual, mengalihwujudkan, meminjamkan menyewakan, mengimpor, memamerkan mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam dan mengomunikasikan suatu ciptaan kepada publik, melalui sarana apapun. Hal yang dimaksud di atas bahwa dalam mengumumkan dapat dikenal dengan istilah performing right.

Permasalahan yang sering dihadapi oleh para user (pengguna) yakni
pengurusan izin atau lisesnsi yang sangat memberatkan yaitu khususnya
berkaitan dengan pemberian lisensi dalam bentuk pembayaran royalti.
Berkaitan dengan adanya pemberian lisensi dalam bentuk royalti, karena
apabila tidak adanya pembayaran royalti maka seorang pencipta yang telah
menjadi pemegang hak cipta yang sah tidak akan memberikan lisensi atas
penggunaan atau pengumuman atas lagu dan/atau musik yang dilakukan oleh para user. Menurut hukum, antara lisensi dengan pembayaran royalti merupakan dua hal yang berbeda. Dimana lisensi berkaitan dengan izin dan hal ini termasuk ruang lingkup hukum pidana, sedangkan royalti berkaitan dengan kewajiban para pengguna yang diberikan dalam bentuk uang kepada pencipta akibat menggunakan lagu-lagu ciptaannya dan hal ini termasuk ruang lingkup hukum perdata.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta bahwa pelanggaran yang berupa cover song sebuah lagu dan/atau musik tanpa seizin pemegang hak cipta maka di dalam undang-undang tersebut dapat dikenai sanksi, yaitu terdapat dalam Pasal 113 Ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa:

1.�� Pelanggaran terhadap hak ekonomi pemegang hak cipta dalam hal transformasi hak cipta dapat dikenai sanksi pidana dengan sesuai diatur pada Pasal 113 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyatakan: Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan.
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah).

2.�� Sedangkan untuk perbuatan �menyanyikan kembali�, tindakan tersebut
termasuk sebagai pengumuman.
Orang yang menyanyikan kembali lagu dan/atau musik tanpa seizin pemegang hak cipta bisa terkena sanksi pidana Pasal 113 ayat (3) UUHC 2014 yang berbunyi: Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah).

Pemegang Hak Cipta Dapat Menuntut Royalti atas Lagu dan/atau Musik Berdasarkan Hukum Kekayaan Intelektual

Perkembangan teknologi digital di era revolusi industri 4.0 memberikan dampak yang signifikan terhadap perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual. Teknologi seperti internet, big data dan kecerdasan buatan memungkinkan penggunaan dan pemanfaatan karya intelektual oleh pihak lain tanpa izin atau tanpa membayar royalti. Pengaturan dalam lingkup hak cipta telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebagai wujud dukungan terhadap karya milik seseorang serta menjadi payung hukum untuk memberi kepastian perlindungan bagi pemegang hak cipta. Selain itu, melalui Kepres Nomor 18 Tahun 1997 telah diratifikasi konvensi internasional yang memuat perlindungan karya seni dan sastra yaitu Berne Convention for the Protection of Artistic and Litery Works dan konvensi yang membahas mengenai perjanjian yang dimuat dalam Kepres Nomor 74 Tahun 2004 yaitu Wolrd Intellectual Property Organization Copyright Treaty (WIPO) (Alam, 2018). ������������

Menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Pencipta dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta adalah manusia yang memiliki hak dan kewajiban, dalam hal ini manusia merupakan subjek hukum. Istilah subjek hukum berasal dari bahasa Belanda yaitu rechtsubject atau subject of law dalam bahasa Inggris. Secara umum rehctsubject diartikan sebagai individu atau entitas hukum yang bertanggung jawab atas hak dan kewajiban, baik manusia dan badan hukum. Subjek hukum adalah segala sesuatu yang memiliki kewenangan hukum, penyandang hak dan kewajiban dalam perbuatan hukum. Menurut Apeldoorn, subjek hukum adalah segala sesuatu yang mempunyai kewenangan hukum atau persoonlijkheid. Kewenangan hukum tersebut merupakan kecakapan untuk menjadi pendukung subjek hukum yang diberikan oleh hukum objektif. Subjek hukum dalam menjalankan perbuatan hukum memiliki wewenang, wewenang tersebut dibagi menjadi dua. Pertama, wewenang untuk mempunyai hak atau rechts-bevoegdheid. Kedua, wewenang untuk menjalankan perbuatan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Subjek hukum sangat terkait dengan rechtsbekwaam dan kewenangan dalam hukum atau rechtsbevoegd. Subjek hukum adalah setiap individu yang membawa atau memiliki hak dan kewajiban dalam relasi hukum.

Selanjutnya, dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Secara prinsip, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 bahwa Hak Cipta adalah hak-hak eksklusif yang dimiliki oleh Pencipta. Dalam hukum Hak Cipta di Indonesia, Hak Cipta terdiri dari hak moral dan hak ekonomi. Hak Ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan dengan mendapatkan Royalti. Pasal 13 ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang yang akan menggunakan karya cipta orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, wajib memperoleh izin dari Pencipta atau penerima hak.

Berdasarkan Glossary of Terms Laws of Copyright and Neighboring Rights yang dikeluarkan WIPO pada tahun 1980, plagiarisme adalah suatu tindakan pelanggaran hak cipta yang pada dasarkan melibatkan peniruan dan penyajian karya yang diambil sebagian atau seluruhnya dari karya orang lain dengan konteks atau bentuk yang diubah, sehingga dianggap sebagai pelanggaran atau dengan kata lain bukan merupakan karya yang asli (Hamni et al., 2023). Perkembangan pesat juga telah menghasilkan suatu pola desain yang mampu mempengaruhi regulasi hak kekayaan intelektual saat ini. Salah satu faktor yang memiliki dampak besar dalam perkembangan teknologi adalah penggunaan Artificial Intelligence.

Lagu dan/atau musik merupakan salah satu bentuk karya cipta yang kini menghadapi tantangan besar. Hal ini disebabkan oleh tingginya risiko pelanggaran hak cipta dalam industri musik. Secara umum, terdapat berbagai pelanggaran hak cipta di bidang seni musik di Indonesia. Kesulitan dan tantangan muncul karena tidak adanya konsep dan kriteria yang jelas untuk mengidentifikasi secara objektif apakah suatu lagu dan/atau musik melanggar hak cipta orang lain dalam konteks seni musik. Selain itu, dengan perkembangan Artificial Intelligence sebagai suatu algoritma yang dapat menghasilkan atau meng cover lagu dan/atau musik dengan mengambil sample suara seseorang (baik suara penyanyi, tokoh besar atau orang sekitar) untuk menyanyikan kembali (cover) lagu dan/atau musik tersebut menjadi tantangan yang lebih besar dalam perlindungan karya atau ciptaan. Tidak adanya pengaturan yang jelas dalam pengadopsian Artificial Intelligence menjadi dorongan kuat untuk mengetahui bagaimana bentuk pelanggaran lagu dan/atau musik yang berhasil di cover oleh Artificial Intelligence.

Pada dasarnya, pemanfaatan Artificial Intelligence dalam menghasilkan karya cipta tidak menjadi isu jika data yang digunakan tidak berasal dari karya yang dilindungi hak ciptanya atau jika data tersebut merupakan hasil kreasi sendiri yang tidak didaftarkan. Namun, masalah muncul ketika data yang digunakan dalam proses pembuatan karya melalui Artificial Intelligence merupakan karya orang lain yang telah didaftarkan tanpa memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta maupun peraturan internasional lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dijelaskan bahwa dalam menentukan pelanggaran hak cipta, peraturan yang diberlakukan dalam perlindungan karya cipta di Indonesia memperhatikan produk akhir atau hasil yang telah diwujudkan dari suatu ide, bukan pada proses penciptaan ide itu sendiri. Oleh karena itu, terdapat beberapa pertanyaan yang perlu dikaji lebih lanjut terkait batasan suatu karya lagu dan/atau musik yang dapat dikategorikan sebagai plagiat berdasarkan prinsip orisinalitas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan bagaimana perlindungan hukum yang berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Di Indonesia, saat ini belum banyak penelitian yang meneliti tentang Artificial Intelligence dalam lingkup hak cipta. Maka dari itu, di Indonesia belum ada ketentuan hukum yang mengatur secara tegas perlindungan hukum bagi korban yang mengalami kerugian akibat cover lagu dan/atau musik menggunakan Artificial Intelligence tanpa seizin dari pemegang hak cipta. Permintaan tanggung jawab atas kerugian hanya dapat diajukan terhadap subjek hukum dalam hal ini manusia dan/atau badan hukum yang memiliki kemampuan untuk memperoleh, memiliki atau menanggung hak dan kewajiban. Situasi tersebut dapat menjadi masalah ketika teknologi-teknologi yang menyerupai kecerdasan manusia, seperti Artificial Intelligence, yang bersifat otonom menyebabkan kerugian. Sifat otonom tersebut merujuk pada kemampuan Artificial Intelligence untuk beroperasi secara mandiri, tanpa keterlibatan manusia dalam proses pembuatannya secara langsung. Cover lagu dan/atau musik menggunakan Artificial Intelligence hingga saat ini belum memiliki landasan hukum yang pasti, sehingga terdapat banyak peristiwa seperti ini yang merugikan pemegang hak cipta terkait. Hal ini menjadi suatu ancaman bagi para pelaku ekonomi kreatif, khususnya para seniman yang menciptakan lagu dan/atau musik atas hasil jerih payahnya. Belum adanya aturan khusus yang mengatur mengenai hal ini dirasa penting untuk mengisi kekosongan hukum yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi Artificial Intelligence dalam ranah Hak Kekayaan Intelektual.

Dalam konteks cover lagu, terdapat teknologi deepfake voice yang merupakan bagian dari Artificial Intelligence dan mampu meniru atau mengkloning suara seseorang dengan menggunakan algoritma deep learning untuk mempelajari karakter suara yang diinginkan. Teknologi deepfake voice ini menciptakan peluang menarik di bidang lagu dan/atau musik, di mana banyak orang memanfaatkan teknologi ini untuk membuat cover lagu dan/atau musik, sehingga saat ini telah menjadi fenomena di berbagai platform digital. Pemanfaatan terknologi tersebut banyak menimbulkan berbagai content creator yang mengunggah cover lagu dan/atau musik menggunakan deepfake voice di platform digital tanpa izin dari pemegang hak cipta lagu dan/atau musik, serta digunakan untuk kepentingan komersial. Akibatnya, pemegang hak cipta harus menanggung kerugian baik secara materi maupun immaterial.

Sebelum adanya permasalahan cover lagu menggunakan Artificial Intelligence marak, sebenarnya permasalahan seperti ini sudah sering terjadi seperti pembajakan atau pemalsuan lagu dan/atau musik dalam bentuk DVD atau VCD bajakan. Pembajakan dapat dikategorikan sebagai berikut (Purba et al., 2023):

1.�� Pembajakan sederhana merupakan sebuah upaya rekaman asli menduplikasikan rekaman original guna untuk diperjual belikan dengan tidak memiliki izin dari pencipta lagu atau pemilik lagu yang menerima HKI secara sah, hasil berupa rekaman yang telah diduplikasi.

2.�� Rekaman yang sudah diduplikasi sengaja dibuat dengan desain yang berbeda. Mereka membuat logo dan merek tiruan agar dapat memperdaya pembeli, supaya masyarakat percaya dengan rekaman yang mereka beli merupakan rekaman yang asli.

3.�� Rekaman pentas artis-artis yang secara spesifik tidak izin terhadap artisnya sendiri atau komposer atau tanpa sepengetahuan produser yang terikat kontrak dengan artis yang bersangkutan.

Di satu sisi, untuk melakukan cover lagu secara legal, seseorang harus mendapatkan izin dari pemilik hak cipta asli dalam bentuk lisensi, yang mengatur royalti dan syarat-syarat lainnya. Ini bertujuan agar pencipta karya intelektual di bidang lagu dan/atau musik mendapatkan imbalan yang adil atas hasil karyanya. Namun, ketika karya cover lagu dan/atau musik dihasilkan oleh Artificial Intelligence, situasinya menjadi lebih kompleks, terutama di Indonesia, di mana Artificial Intelligence belum diakui sebagai subjek hukum. Ketidakjelasan tentang siapa yang bertanggung jawab, apakah pengembang Artificial Intelligence, pengguna, atau Artificial Intelligence itu sendiri menimbulkan tantangan dalam penerapan hak cipta. Tanpa kepastian hukum, sulit menentukan siapa yang harus membayar royalti kepada pemilik hak cipta, mengingat Artificial Intelligence hanya bertindak sebagai alat, namun hasilnya tetap bernilai komersial dan intelektual. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan Artificial Intelligence perlu diiringi dengan pembaruan regulasi hukum untuk memastikan hak cipta tetap dihormati dan imbalan yang adil diberikan kepada para kreator.

Pemegang hak cipta memiliki hak untuk mempertahankan haknya, terutama jika terjadi pelanggaran atas ciptaannya. Menurut penjelasan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, terdapat 3 (tiga) jenis sengketa terkait hak cipta, yaitu tindakan melawan hukum, perjanjian lisensi dan perselisihan mengenai tarif dalam pembayaran imbalan atau royalti.

Setelah mengidentifikasi jenis sengketa, pemegang hak cipta dapat memilih cara penyelesaian yang sesuai. Berdasarkan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, penyelesaian sengketa hak cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase atau pengadilan niaga. Alternatif penyelesaian sengketa ini mencakup mediasi, negosiasi atau konsiliasi. Pemegang hak cipta juga memiliki opsi untuk menyelesaikan sengketa melalui Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI), yang didirikan pada tahun 2012 dan sejak tahun 2019 telah bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan Pusat Mediasi Nasional. BAM HKI khusus menangani sengketa hak kekayaan intelektual terkait perjanjian lisensi dan transfer hak. Selain itu, penyelesaian sengketa hak cipta juga dapat dilakukan melalui mediasi di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).

Pasal 96 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyebutkan bahwa pemegang hak cipta yang mengalami kerugian hak ekonomi berhak memperoleh ganti rugi. Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mendefinisikan Ganti Rugi adalah pembayaran sejumlah uang yang dibebankan kepada pelaku pelanggaran hak ekonomi Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau pemilik Hak Terkait berdasarkan putusan pengadilan perkara perdata atau pidana yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian yang diderita Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau pemilik Hak Terkait.

Pelindungan Hak Cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang sejalan dengan penerapan aturan di berbagai negara sehingga jangka waktu pelindungan Hak Cipta di bidang tertentu diberlakukan selama hidup pencipta ditambah 70 (tujuh puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia. Pelindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para Pencipta dan/atau Pemilik Hak Terkait, termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat). Penyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase atau pengadilan, serta penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana. Pengelola tempat perdagangan bertanggung jawab atas tempat penjualan dan/atau pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di pusat tempat perbelanjaan yang dikelolanya. Hak Cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan objek jaminan fidusia. Menteri diberi kewenangan untuk menghapus Ciptaan yang sudah dicatatkan, apabila Ciptaan tersebut melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan atau Royalti. Pencipta dan/atau pemilik Hak Terkait mendapat imbalan Royalti untuk Ciptaan atau produk Hak Terkait yang dibuat dalam hubungan dinas dan digunakan secara komersial. Lembaga Manajemen Kolektif yang berfungsi menghimpun dan mengelola hak ekonomi Pencipta dan pemilik Hak Terkait wajib mengajukan permohonan izin operasional kepada Menteri. Penggunaan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam sarana multimedia untuk merespon perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dapat disimpulkan permasalahan ini terjadi antara manusia dengan manusia sebagai subjek hukum, namun terdapat objek lain yaitu Artificial Intelligence yang menjadi alat atau media di antara permasalahan ini. Sampai saat ini, Artificial Intelligence belum digolongkan sebagai subjek hukum karena Artificial Intelligence adalah sebuah teknologi atau sistem yang tidak memiliki kesadaran, kehendak atau kapasitas untuk memiliki hak dan kewajiban layaknya manusia atau badan hukum menurut pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Secara fundamental, Artificial Intelligence dan manusia memiliki perbedaan yang signifikan. Perbedaan ini terlihat dari proses penciptaannya dan ketiadaan unsur alami pada Artificial Intelligence, sehingga tidak dapat diposisikan sebagai subjek hukum berdasarkan arti biologis. Artificial Intelligence tidak tercipta secara alami seperti manusia dan tidak memiliki unsur organisme, yang menegaskan perbedaan antara keduanya dari aspek naturalitas. Jika menafsirkan ketentuan yang berlaku di Indonesia, posisi Artificial Intelligence dapat didukung melalui alternatif penafsiran dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dalam konteks ini, Artificial Intelligence dapat dianalogikan sebagai pekerja. Hubungan antara pekerja dan majikan dapat diacu pada Pasal 1367 ayat (1) dan (3) KUH Perdata yang menjelaskan hal tersebut yaitu:

�(1) Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.�

�(3) Majikan-majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.�

Dengan merujuk pada ketentuan dalam pasal tersebut, secara antropomorfis menganalogikan Artificial Intelligence sebagai pekerja, mengingat adanya atribut karakteristik "pekerja" dalam sistem Artificial Intelligence. Pada dasarnya, tujuan penggunaan dan penerapan Artificial Intelligence dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk melaksanakan tugas-tugas yang pada umumnya bisa dilakukan oleh manusia. Jika menganggap Artificial Intelligence sebagai pekerja, maka pertanggungjawaban hukum atas tindakannya dapat dialihkan kepada pemiliknya, yang berperan sebagai �pemberi kerja.�

Tuntutan pertanggungjawaban atas kerugian hanya dapat diajukan terhadap subjek hukum, yaitu individu atau badan hukum, yang memiliki kemampuan untuk memperoleh, memiliki, atau memikul hak dan kewajiban. Sejalan dengan itu, tuntutan pertanggungjawaban atas kerugian hanya dapat diajukan kepada subjek hukum, yaitu individu atau badan hukum, yang mampu memperoleh, memiliki, atau memikul hak dan kewajiban. Dalam konteks ini, pemilik Artificial Intelligence, sebagai subjek hukum, dapat dianggap bertanggung jawab atas setiap tindakan yang dilakukan oleh Artificial Intelligence, sebagaimana pemberi kerja bertanggung jawab atas tindakan pekerjanya.

Ryan Abbott dan Alex Sarch berpendapat bahwa menuntut pertanggungjawaban dari Artificial Intelligence tidaklah tepat, karena hal tersebut dapat menyebabkan perubahan radikal dalam konsep hukum yang ada. Sehingga pada umumnya, tanggung jawab dapat dialihkan kepada subjek hukum yang melakukan pelanggaran hukum. Pasal 1365 KUH Perdata menjadi landasan awal yang mengatur mengenai tindakan melawan hukum. Pasal ini menyatakan bahwa setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain, wajib disertai dengan kewajiban memberikan ganti rugi.

Pasal 1365 KUH Perdata hanya berlaku untuk kerugian yang disebabkan oleh kesalahan subjek hukum itu sendiri. Pengenaan tanggung jawab kepada Artificial Intelligence tidak tepat, karena Artificial Intelligence bukanlah subjek hukum yang diakui secara yuridis. Jika suatu entitas memiliki hak dan kewajiban seperti halnya manusia, maka entitas tersebut termasuk dalam kategori badan hukum. Namun, Artificial Intelligence tidak dapat diperlakukan demikian, mengingat sifatnya yang tergantung pada manusia dan ketidakmampuannya untuk melakukan perbuatan hukum secara independen. Bahkan, hingga saat ini, Indonesia belum memberikan pengakuan terhadap Artificial Intelligence sebagai subjek hukum. Oleh karena itu, apabila Artificial Intelligence menimbulkan kerugian, ia tidak dapat dikenakan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, karena Artificial Intelligence bukanlah subjek hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Dikarenakan Artificial Intelligence bukan subjek hukum yang diakui secara yuridis di Indonesia, maka Artificial Intelligence tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya, termasuk ketika melakukan cover lagu dan/atau music yang melanggar hak cipta. Mengingat Artificial Intelligence tidak memiliki hak dan kewajiban secara mandiri dan bergantung pada manusia atau pengembangnya, tanggung jawab hukum atas cover lagu dan/atau musik ilegal yang dihasilkan oleh Artificial Intelligence harus dialihkan kepada pihak yang mengendalikan Artificial Intelligence tersebut. Dalam kasus ini, pengembang Artificial Intelligence atau pengguna yang memanfaatkan Artificial Intelligence untuk membuat cover lagu dan/atau musik dapat dianggap bertanggung jawab. Mereka yang menggunakan Artificial Intelligence untuk tujuan tersebut, berperan sebagai "pemberi kerja" dalam analogi hukum, sehingga kewajiban untuk mematuhi peraturan hak cipta, seperti mendapatkan lisensi yang tepat, tetap ada pada mereka. Dengan demikian, pengembang atau pengguna Artificial Intelligence yang tidak mematuhi ketentuan hukum terkait hak cipta dapat dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi, bukan artificial intelligence itu sendiri.

Menurut hemat penulis, Artificial Intelligence tidak dapat bertanggung jawab secara hukum atas tindakan yang diambilnya, karena Artificial Intelligence beroperasi berdasarkan algoritma yang diprogram oleh manusia dan tidak memiliki kesadaran moral atau hukum. Oleh karena itu, pertanggungjawaban atas tindakan yang dihasilkan oleh Artificial Intelligence dapat dialihkan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab, salah satunya adalah kepada pihak yang mengoperasikan atau menggunakan Artificial Intelligence tersebut. Dalam penulisan ini, contoh pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya adalah pihak yang menggunggah cover lagu dan/atau musik yang dinyanyikan atau atas hasil Artificial Intelligence yang diunggah ke platform digital seperti YouTube di channel Youtube-nya. Dengan demikian, pemegang hak cipta dapat menggugat pihak yang mengunggah cover lagu dan/atau musik tersebut untuk dimintakan pertanggungjawabannya atas pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Peran dan Kedudukan Artificial Intelligence dalam Hukum Kekayaan Intelektual Kerangka Hukum Kekayaan Intelektual

Hak kekayaan intelektual (HKI) lahir dan berkembang dari intelektual manusia. Karya yang lahir dari kecerdasan dan kemampuan intelektual manusia berupa kaya di bidang ilmu pengetahuan, sesni, teknologi dan juga sastra.

HKI merupakan hak secara hukum yang berhubungan atau berkaitan dengan penemuan dan kreasi atau kreativitas seseorang atau indvidu ataupun suatu kelompok. Ini menyangkut perlindungan reputasi di sektor komersial dan pelaksanaan layanan di sektor komersial.

Dalam Undang-Undang yang sudah disahkan oleh DPR pada 21 Maret 1997, hak atas kekayaan intelektual secara hukum adalah hak-hak yang berhubungan dengan permasalahan hasil kreativitas dan penemuan seseorang atau beberapa orang yang berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi di dalam bidang tindakan dan komersial atau jasa di dalam bidang komersial.

HKI, pada dasarnya konsep hak kekayaan intelektual didasarkan pada gagasan bahwa karya hak kekayaan intelektual atau yang sering disebut dengan istilah HKI yang diproduksi atau dibuat oleh manusia membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga dan uang. Memahami bahwa Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) atau Intellectual Property Rights (IPR) adalah hak ekonomi untuk menikmati buah dari kreativitas intelektual.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka perlu adanya pemahaman terhadap karya-karya yang telah dihasilkan yaitu perlindungan hukum terhadap HKI. Tujuannya untuk mendorong dan mengembangkan semangat berkarya dan berkreativitas.

Objek perlindungan hukum yang diatur oleh HKI adalah karya yang dihasilkan atau lahirkan karena kemampuan intelektual manusia.

Kekayaan intelektual lahir dan tumbuh dari kemampuan intelektual manusia. Karya yang lahir dari kemampuan intelektual manusia tersebut berupa karya-karya dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

HKI merupakan hak-hak secara hukum yang berhubungan dengan hasil penemuan dan kreativitas seseorang atau suatu kelompok. Hal ini berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam bidang komersial dan juga tindakan jasa di bidang komersial.

Kekayaan intelektual lahir dan tumbuh dari kemampuan intelektual manusia. Karya yang lahir dari kemampuan intelektual manusia tersebut berupa karya-karya dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

Selain yang telah dijelaskan di atas, dasar hukum hak atas kekayaan intelektual tertuang dalam berbagai undang-undang dan Keputusan Presiden, di antaranya yaitu:

1.     Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization

2.     �Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

3.     Keputusan Presiden RI Nomor 15 Tahun 1997 tentang Pengesahan Paris Convention for The Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization

4.     Keputusan Presiden RI Nomor 17 Tahun 1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty

5.     Keputusan Presiden RI Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works.

Peran dan Kedudukan Artificial Intelligence dalam Hukum Kekayaan Intelektual

Sejatinya seluruh karya ciptaan yang ada di Indonesia secara otomatis dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sebagaimana pernyataan ini merupakan esensi dari Pasal 1 angka (1). Hak Cipta merupakan sebuah hak khusus (hak eksklusif) yang hanya dapat diperoleh atau dimiliki oleh seorang pencipta, ketika ia berhasil menuangkan pemikiran yang ia miliki ke suatu bentuk yang nyata.(Hendrayana et al., 2021)� Pencitraan terhadap pencipta telah digambarkan pada Pasal 1 angka 2 UU Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sebagai seseorang atau beberapa orang yang sendiri atau bekerja sama untuk menciptakan sebuah ciptaan dengan ciri khas yang unik dan berbeda dari yang lain. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sendiri juga menggambarkan ciptaan sebagai setiap hasil karya yang ada muncul dalam sektor ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang merupakan hasil dari pemikiran yang dituangkan dalam bentuk nyata.

Penjabaran singkat pada hak eksklusif dapat ditemukan pada pasal 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, bahwa ada dua hak yang menjadi bagian dari hak eksklusif, yaitu hak moral dan hak ekonomi. Dikutip dari pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, hak moral merupakan hak muncul dan melekat secara kekal ketika seorang pencipta berhasil menciptakan karyanya. Adanya hak moral ini juga memberikan kewenangan bagi pencipta untuk mencantumkan atau tidak mencantumkan nama dari pencipta pada salinan karya yang berhubungan dengan pemakaian karya ciptaannya oleh umum. Selain mencantumkan dan tidak mencantumkan, hak ini juga memberikan wewenang bagi pencipta untuk menggunakan nama asli atau nama panggungnya, mengubah judul dari ciptaannya, mengubah ciptaannya sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat, mutilasi ciptaan, modifikasi, ataupun mempertahankan haknya apabila terjadi distorsi ciptaan. Hak moral sendiri disebut sebagai hak yang tidak dapat dipisahkan antara ciptaan dengan diri penciptanya sehingga hak moral selalu terintegrasi dengan penciptanya. Kemudian pada Pasal 8 sampai pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta diatur mengenai hak ekonomi. Sederhananya hak ekonomi merupakan hak dari pencipta untuk mendapatkan manfaat secara finansial dalam aspek ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait yang dihasilkan. Merujuk pada Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, terdapat sekurang-kurangnya ada 19 ciptaan yang diakui oleh UU Hak Cipta untuk diberikan perlindungan. Beberapa diantaranya meliputi buku, karya seni rupa dalam segala bentuk, lagu, drama, karya sinematografi, karya fotografi, peta, karya arsitektur dan lainnya.�������

Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan Hukum artinya memberikan pengayoman terhadap orang lain yang hak asasi manusia (HAM) dirugikan, dengan tujuan agar masyarakat dapat menikmati semua hak-hak yang telah diberikan kepadanya. Sejatinya bentuk perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam melindungi karya ciptaan seseorang berupa perlindungan secara preventif dan perlindungan secara represif. Perlindungan secara preventif merupakan bentuk perlindungan yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya sebuah sengketa. Sementara itu, perlindungan secara represif merupakan perlindungan yang diberikan dengan tujuan untuk memberikan jalan keluar atas sengketa yang telah terjadi. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, perlindungan secara preventif dapat dilakukan dengan cara mencatatkan karya cipta yang telah dihasilkan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Ditjen KI). Perlindungan ini diberikan dengan tujuan untuk memberikan kemudahan dalam pembuktian apabila terjadi sengketa di kemudian hari atas ciptaan tersebut. Sementara itu perlindungan secara represif dapat dilakukan dengan cara mengajukan upaya hukum baik secara litigasi maupun non-litigasi.

Hadirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebagai bentuk perlindungan terhadap karya ciptaan semata-mata telah menjadi tameng bagi masyarakat luas dalam mengembangkan karyanya. Adanya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta membuat masyarakat menjadi lebih tenang akan terjadinya berbagai macam pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain terhadap karya ciptaannya. Namun sayangnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta tersebut hanya berlaku bagi subyek hukum yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta belum beradaptasi dengan kemajuan teknologi saat ini, yaitu dengan adanya kehadiran Artificial Intelligence.

Jika ditinjau dari perkembangan sejarah terhadap konsep subjek hukum pernah dikembangkan sesuatu selain manusia dan badan hukum sebagai sebuah subjek hukum yang diakui di beberapa negara. Beberapa diantaranya, Selandria Baru pada tahun 2014, menetapkan hutan Te Urewera sebagai subjek hukum yang secara yuridis diatur dalam Pasal 11 Te Urewera Act 2014 dan Pasal 14 Te Awa Tupua (Whanganui River Claims Settlement) Act 2017; kemudian melalui dua putusan pengadilan di HC Uttarakhand Indonesia mengakui sungai Gangga dan sungai Yamuna dari hulu sampai hilir sebagai subjek hukum. Berdasarkan perkembangan sejarah tersebut, jika dikaji sesuai dengan penalaran dan teori-teori yang sama, maka Artificial Intelligence sendiri berpotensi menjadi sebuah subjek hukum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Meskipun demikian perubahan kedudukan Artificial Intelligence dari obyek hukum menjadi subjek hukum harus dilakukan pengkajian yang lebih lanjut dan bersifat menyeluruh. Untuk meminimalisir pelanggaran kekayaan intelektual yang dilakukan karena hadirnya Artificial Intelligence, Indonesia membutuhkan sebuah regulasi khusus yang mengatur terkait Artificial Intelligence, agar kedepannya segala permasalahan yang menyangkut Artificial Intelligence dapat terselesaikan.

Sebagai contoh atau gambaran, menurut Putranto, auditor harus berpegang pada kode etik yang meliputi prinsip etika, aturan etika, dan interpretasi aturan. Prinsip etika mencakup tanggung jawab profesi, kompetensi, kerahasiaan, serta independensi dan objektivitas. Meski regulasi sudah jelas, pelanggaran kode etik masih terjadi, seperti kasus AP Biasa Sitepu. Penggunaan Artificial Intelligence dapat menjadi solusi untuk mencegah dan mengurangi pelanggaran tersebut, terutama dalam mendeteksi fraud. Artificial Intelligence seperti Watson mampu menganalisis data secara cepat dan akurat, membantu menjaga integritas auditor serta kepercayaan publik pada lembaga auditor independen. Berkaca dengan contoh kasus seperti in, penggunaan Artificial Intelligence sebagai subjek hukum dapat memberikan keuntungan yang signifikan dalam konteks hukum kekayaan intelektual. Sebagai entitas yang mampu melakukan analisis data secara efisien, Artificial Intelligence seperti Watson dapat berperan penting dalam menjaga kepatuhan terhadap kode etik dan mendeteksi pelanggaran, seperti fraud, dalam profesi auditor. Artificial Intelligence yang dirancang untuk meniru fungsi kognitif manusia memungkinkan proses yang lebih cepat, lebih akurat, dan terukur. Selain itu, sebagai subjek hukum, Artificial Intelligence dapat diatur untuk memiliki tanggung jawab hukum terkait perlindungan kekayaan intelektual, terutama dalam hal pemrosesan data dan analisis yang berbasis algoritma. Hal ini dapat memberikan perlindungan lebih baik terhadap hak kekayaan intelektual dan menambah kepercayaan publik terhadap kehandalan teknologi ini dalam sistem hukum yang terus berkembang.

Menurut Soejono Soekanto adalah faktor sarana dan fasilitas. Dengan terpenuhinya fasilitas penunjang baik itu sarana maupun prasarana, maka penegakan hukum dipastikan dapat mencapai tujuannya. Sayangnya, dalam hukum positif Indonesia, Artificial Intelligence belum ditempatkan sebagai sebuah subyek hukum. Perkembangan yang signifikan akan kemampuannya, Artificial Intelligence termasuk dalam golongan yang mampu melakukan perbuatan hukum layaknya manusia dan badan hukum. Hal ini rasanya belum dilihat sebagai kesempatan untuk membuat inovasi agar Indonesia lebih

maju lagi di bidang akuntansi. Hal ini tercermin dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memberikan fleksibilitas bagi Undang-Undang tersebut untuk menyesuaikan perkembangan teknologi yang mengakibatkan adanya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Satu hal yang perlu di garis bawahi adalah Artificial Intelligence memang tidak dapat disamakan atau bahkan menggantikan peran manusia, namun untuk menguatkan kedudukannya untuk meraih manfaat dari kemajuan teknologi ini terutama dalam bidang audit agar mencegah dan meminimalisir terjadinya pelanggaran kode etik yang mengarah pada fraud oleh entitas, maka tidak ada salahnya menjadikan Artificial Intelligence sebagai subyek hukum yang dapat disamaratakan (kedudukannya) dengan badan hukum. Hal yang menjadi catatan juga bahwa, peraturan mengenai Artificial Intelligence ini perlu disusun secara general dan meliputi semua bidang, tidak seperti sekarang di mana peraturan mengenai Artificial Intelligence condong pada entitas keuangan dan teknologi saja.

Artificial Intelligence terus dikembangkan oleh para ahli sehingga dapat berkembang pesat. H. A. Simon mengklaim bahwa Artificial Intelligence adalah bidang yang memungkinkan komputer melakukan tugas-tugas yang lebih unggul dari manusia. Knight dan Rich setuju dengan Simon bahwa Artificial Intelligence adalah cabang ilmu komputer yang memandang upaya membangun komputer sebagai sesuatu yang dapat dilakukan manusia, bahkan lebih baik dari itu.

������� Diciptakannya Artificial Intelligence bertujuan antara lain:

1.�� Diperkirakan Artificial Intelligence akan digunakan untuk membuat perangkat lunak atau robot yang dapat membantu manusia dalam rutinitas sehari-hari.

2.�� Diperkirakan kehadiran Artificial Intelligence akan membuat mesin lebih pintar dari sebelumnya.

3.�� Diharapkan dapat benar-benar membantu manusia dalam memecahkan masalah yang kompleks, seperti melalui pengembangan kalkulator pintar berhitung cepat.

������� Manusia dapat merasakan berbagai manfaat yang juga dimiliki Artificial Intelligence, seperti:

1.�� Artificial Intelligence tidak memihak, terlepas dari penggunanya. Tanpa memperhitungkan faktor apapun, penilaian yang telah dibuat adalah benar.

2.�� Artificial Intelligence tidak dapat diubah dan tidak dapat diubah. Ini dapat digunakan berulang kali. Kerugian mengadopsi Artificial Intelligence termasuk fakta bahwa meskipun akan bekerja tanpa lelah dan terus menerus, sistem tidak akan dapat menyerap masukan yang menyimpang dari apa yang telah diprogram.

Untuk dapat mempermudah menggambarkan Artificial Intelligence terdapat di salah satu film terkenal Marvel yaitu Iron Man. Di dalam film tersebut terdapat sebuah program dari Artificial Intelligence yang bernama Jarvis dan kemudian juga ada Friday. Program tersebut sangat canggih yang selalu menyediakan informasi apapun yang dibutuhkan oleh Tony Stark.

AI merupakan sebuah sistem kecerdasan buatan yang nantinya akan disematkan ke dalam mesin. Tujuannya agar mesin tersebut bisa beroperasi atau berpikir dan bekerja selayaknya manusia pada umumnya.

Salah satu contoh adalah komputer, yang dapat berperan sebagai sebuah entitas yang sangat cerdas dengan diberikan berbagai data di dalam database. Bukan hanya itu, komputer tersebut juga akan diberikan kemampuan untuk mempelajari, menganalisa, maupun juga mengembangkan data itu sendiri. Dengan begitu, komputer yang sudah disematkan Artificial Intelligence akan melakukan perkiraan atau prediksi sehingga mampu membuat kesimpulan sendiri. Dapat diketahui bahwa peran tersebut sudah ada pada Jarvis maupun Friday dimana mereka mampu memberikan, menganalisis, maupun juga mengembangkan data. Komputer yang sangat cerdas seperti Jarvis atau Friday itulah yang diharapkan bisa menjadi penemuan yang paling berpengaruh dalam masa yang akan datang.

Sebenarnya untuk fungsi yang dimiliki oleh Artificial Intelligence cukup banyak. Hadirnya Artificial Intelligence dapat memberikan kemudahan dalam setiap pekerjaan manusia, mulai dari pemrosesan bahasa alami, menggerakkan, menalar, maupun juga memanipulasi objek. Selain itu, kehadiran Artificial Intelligence juga diharapkan mampu mengenali pengetahuan dan juga dapat melakukan pembelajaran sehingga pada akhirnya bisa mengembangkannya.

Jadi, kesimpulan dari fungsi yang ada pada Artificial Intelligence adalah agar sebuah perangkat dapat memiliki kecerdasan yang setara atau bahkan lebih dari kecerdasan yang dimiliki oleh manusia. Dengan adanya Artificial Intelligence, maka di masa mendatang manusia dapat berperan sebagai pemerintah (seseorang yang memiliki perintah atau kendali). Kemudian, robot cerdas akan difungsikan sebagai perangkat untuk melaksankaan pekerjaan kasar. Robot cerdas tersebut nanti akan memiliki pengetahuan yang melebihi manusia karena nanti manusia hanya

perlu menyebutkan atau memasukkan data dan kemudian sistem akan memprosesnya secara otomatis.

Salah satu contoh adalah Google. Google memiliki banyak sekali sumber pengetahuan padahal ia merupakan sebuah mesin pencari atau search engine. Di dalam sistem Google sudah ditanamkan sebuah kecerdasan yang nantinya akan menentukan sebuah sebuah hasil pencarian melebihi kata kunci yang diberikan. Tentu sistem Google sekarang sudah jauh lebih canggih dari yang dulu dan akan terus semakin canggih seiring dengan berjalannya waktu dan semakin majunya teknologi.

Selain itu, masih ada beberapa contoh lainnya yang juga perlu diketahui, yaitu:

a.  Siri, merupakan asisten sistem suara yang dibuat oleh Apple dan disematkan dalam ponselnya.

b. Tesla, merupakan sebuah Artificial Intelligence yang berfungsi memberikan izin mobil agar berkendara otomatis.

c.  Alexa, asisten suara yang berasal dari perusahaan Amazon, dan lain sebagainya.

Perkembangan teknologi Artificial Intelligence akan membuatnya semakin mudah diakses dan digunakan oleh bisnis untuk memperlancar ragam kegiatan, termasuk layanan konsumen. Dilansir dari aws.amazon.com, Artificial Intelligence merupakan ilmu komputer yang berperan untuk memecahkan masalah yang biasanya berhubungan dengan kognitif manusia. Pengetahuan yang Artificial Intelligence dapatkan dapat berasal dari pengalaman sebagaimana Artificial Intelligence itu digunakan sebelumnya oleh manusia. Artificial Intelligence diprogram untuk berpikir serta meniru manusia. Semakin berkembangnya zaman, tentunya Artificial Intelligence juga akan semakin berperan dalam berbagai sektor kehidupan, bahkan dalam dunia bisnis sekali pun. Teknologi ini menjadi salah satu penerapan yang menjanjikan dalam dunia bisnis.

Menurut perusahaan Mekari, Indonesia memiliki potensi untuk mengadopsi Artificial Intelligence sebanyak 62 persen dalam dunia bisnis, dalam riset terbarunya yang berjudul ï¿½Artificial Intelligence Adoption Readiness of Businesses in Indonesia� yang terdiri dari tiga level untuk mengukur kesiapan perusahaan dalam mengadopsi Artificial Intelligence.

Level pertama adalah productivity, yaitu perusahaan setidaknya memiliki satu solusi digital dalam meningkatkan produktivitas. Level dua yaitu efficiency, yang dimana perusahaan juga mengintegrasikan berbagai solusi digital demi menciptakan efisiensi bisnis secara menyeluruh. Dan yang terakhir yaitu automation, dimana perusahaan menciptakan ekosistem teknologi dengan menggabungkan budaya perusahaan dan infrastruktur teknologi, sehingga pemanfaatan teknologi dalam dunia bisnis dapat optimal.

Namun Artificial Intelligence tidak selalu berdampak positif terhadap dunia bisnis dan industri, melainkan akan selalu ada dampak dari sisi negatifnya. Contoh sederhananya adalah seperti beberapa peran manusia sudah tergantikan oleh Artificial Intelligence, sehingga menimbulkan terjadinya pengurangan pegawai yang mengawasi kegiatan transaksi, produksi barang, analisis.

Kepastian hukum terkait Artificial Intelligence di Indonesia masih belum jelas, terutama dalam konteks penggunaan Artificial Intelligence untuk menghasilkan karya seperti cover lagu dan/atau musik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, subjek hukum yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak cipta adalah individu atau badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Artificial Intelligence sendiri belum diakui sebagai subjek hukum di Indonesia, karena Artificial Intelligence tidak memiliki kesadaran atau kapasitas untuk memiliki hak dan kewajiban. Hal ini menyebabkan adanya kekosongan hukum terkait tanggung jawab yang harus dipikul oleh Artificial Intelligence atau pihak yang mengoperasikan Artificial Intelligence dalam hal terjadi pelanggaran hak cipta.

Artificial Intelligence tidak dapat disamakan dengan badan hukum, karena dalam operasinya tetap bergantung pada manusia dan memiliki potensi kesalahan akibat sistemnya. Menurut L. J. Van Apeldoorn, agar sesuatu dapat dianggap sebagai subjek hukum, ia harus mampu melakukan tindakan hukum, yaitu memiliki kapasitas untuk memegang hak yang diberikan. Kemampuan ini berbeda-beda, misalnya, tergantung pada usia atau kecakapan seseorang, yang kemudian mempengaruhi kemampuannya melakukan tindakan hukum. Oleh karena itu, menyamakan Artificial Intelligence dengan subjek hukum, apalagi dengan badan hukum yang merupakan bagian dari subjek hukum, dianggap tidak tepat.

Ketiadaan pengakuan hukum terhadap Artificial Intelligence sebagai subjek hukum juga menimbulkan tantangan dalam penerapan regulasi yang tepat. Artificial Intelligence hanya dianggap sebagai alat yang digunakan oleh manusia, dan oleh karena itu, segala pelanggaran hukum yang dilakukan dengan menggunakan Artificial Intelligence harus dialamatkan kepada manusia atau pihak yang mengoperasikan Artificial Intelligence. Dalam konteks ini, penting bagi Indonesia untuk memperbarui regulasi terkait teknologi Artificial Intelligence, agar hukum dapat mengakomodasi perkembangan teknologi yang terus maju, serta memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak cipta dan pengguna Artificial Intelligence.

Sangat penting bagi otoritas dan pemangku kepentingan untuk menyusun regulasi yang komprehensif terkait penggunaan Artificial Intelligence di Indonesia. Regulasi ini perlu mencakup berbagai aspek, seperti perlindungan data pribadi, etika dalam penggunaan Artificial Intelligence, serta tanggung jawab yang harus dipikul oleh pengembang dan pengguna Artificial Intelligence. Hal ini harus dilakukan dengan pendekatan yang seimbang dan inklusif agar dapat menciptakan ekosistem yang mendukung perkembangan Artificial Intelligence secara bertanggung jawab dan bermanfaat bagi masyarakat.

Hukum progresif adalah pendekatan hukum yang bergerak dinamis, mengalami transformasi signifikan dalam teori dan penerapannya, serta mendorong inovasi baru. Prinsip utamanya adalah keyakinan bahwa hukum berfungsi sebagai alat untuk melayani kebutuhan manusia, bukan sebagai tujuan akhir. Hukum ini bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kehormatan bagi seluruh manusia. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum progresif mendorong adanya tindakan-tindakan yang radikal, termasuk melakukan perubahan pada sistem dan peraturan hukum jika diperlukan, agar hukum dapat lebih bermanfaat serta berperan dalam meningkatkan martabat, kebahagiaan, dan kesejahteraan manusia. Secara sederhana, hukum progresif adalah upaya membebaskan hukum dari cara berpikir dan bertindak yang kaku, sehingga hukum dapat berfungsi sepenuhnya dalam melayani kepentingan masyarakat dan kemanusiaan. Dengan demikian, tidak ada manipulasi atau keberpihakan dalam penegakannya. Menurut Satjipto, tujuan utama hukum adalah menciptakan keadilan dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat.

Pendekatan hukum progresif ini sangat relevan dalam menyusun regulasi terkait penggunaan Artificial Intelligence di Indonesia, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi Artificial Intelligence yang berdampak pada berbagai sektor, termasuk industri kreatif dan hak kekayaan intelektual, diperlukan pendekatan hukum yang fleksibel dan adaptif. Hukum yang kaku dan tidak responsif terhadap perubahan teknologi akan gagal melindungi kepentingan masyarakat dan pencipta karya secara menyeluruh. Sebaliknya, pendekatan hukum progresif akan memungkinkan regulasi Artificial Intelligence di Indonesia untuk terus berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, baik dalam aspek perlindungan hak cipta, etika penggunaan, maupun tanggung jawab pengembang dan pengguna Artificial Intelligence. Sebagai contoh, dalam konteks penggunaan teknologi Artificial Intelligence untuk menghasilkan konten seperti cover lagu dan/atau musik, hukum progresif akan memastikan bahwa regulasi yang dibuat dapat menyeimbangkan antara kepentingan inovasi teknologi dan perlindungan hak cipta. Dengan demikian, pendekatan ini dapat mengakomodasi perubahan cepat yang terjadi dalam dunia teknologi, sekaligus menjaga kesejahteraan dan kepentingan semua pihak yang terlibat.

Regulasi ini juga harus memperhatikan hak kekayaan intelektual, terutama dalam konteks penggunaan Artificial Intelligence untuk menghasilkan konten seperti cover lagu dan/atau musik. Dengan semakin berkembangnya teknologi artificial intelligence, seperti deepfake voice, regulasi yang ada harus mampu mengatasi tantangan yang muncul, seperti penentuan tanggung jawab hukum dan perlindungan hak cipta. Sebab, Artificial Intelligence sulit untuk diakui sebagai subjek hukum di Indonesia, maka dari itu diperlukan regulasi yang lebih tajam mengenai pengembang atau pengguna Artificial Intelligence yang harus menanggung konsekuensi hukum apabila Artificial Intelligence digunakan untuk melanggar hak cipta, seperti dalam kasus cover lagu dan/atau musik tanpa izin. Artificial Intelligence memiliki potensi untuk mendemokratisasi akses terhadap alat-alat kreatif, hal ini juga membuka celah untuk pelanggaran hak kekayaan intelektual jika tidak diatur dengan baik. Karena regulasi mengenai Artificial Intelligence dalam ranah hak cipta belum diperbarui dengan perkembangan zaman, sehingga menimbulkan kebingungan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas pelanggaran hak cipta tersebut, apakah jatuh pada pengembang atau pengguna Artificial Intelligence atau Artificial Intelligence itu sendiri. Jika seseorang menggunakan teknologi Artificial Intelligence untuk membuat cover lagu dan/atau musik tanpa memperoleh izin dari pemilik dari hak cipta, regulasi yang ada harus mengatur mekanisme penegakan hukum yang efektif untuk melindungi kepentingan pemegang hak cipta. Tanpa regulasi yang jelas, ketidakpastian hukum akan terus berlanjut, merugikan pemegang hak cipta dan menciptakan celah bagi pelanggaran hak cipta yang lebih luas. Seharusnya, peraturan perundang-undangan mengenai hak cipta memiliki tujuan untuk melindungi hak-hak pemegang hak cipta, agar hak-hak tersebut tidak disalahgunakan atau diambil oleh pihak lain yang dapat merugikan pemegang hak cipta. Selain itu, peraturan perundang-undangan tentang hak cipta seharusnya berfungsi untuk menjamin kepentingan dan hak-hak yang dimiliki oleh pencipta.

Artificial Intelligence beroperasi berdasarkan algoritma dan data yang telah diprogram. Artificial Intelligence tidak memiliki kesadaran atau kemampuan untuk berpikir secara independen. Ini menjadikan Artificial Intelligence lebih sebagai alat atau sistem yang digunakan oleh manusia, bukan sebagai entitas yang dapat bertanggung jawab secara hukum. Kedudukan Artificial Intelligence masih belum diketahui secara pasti dan belum ada hukum yang secara tegas menyebutkan kedudukan Artificial Intelligence di mata hukum perdata Indonesia, peraturan perundang-undangan mengenai hak cipta, serta peraturan perundang-undangan yang lainnya.�������

Contoh Kasus Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual yaitu Royalti Terhadap Lagu dan/atau Musik yang dinyanyikan oleh Artificial Intelligence

Universal Music Publishing Group, Concord dan ABKCO telah menggugat perusahaan kecerdasan buatan Anthropic karena diduga melanggar hak cipta dari lagu-lagu penerbit tersebut. Perusahaan-perusahaan tersebut mengajukan gugatan terhadap startup yang berbasis di San Francisco di pengadilan federal di Tennessee. Penggugat menuduh bahwa asisten Artificial Intelligence Anthropic, Claude, model bahasa skala besar (LLM) yang mirip dengan Chat GPT OpenAI yang populer juga melanggar hak cipta penerbit dengan mengajari Claude lagu-lagu mereka dan menerbitkan lirik dan jawaban yang diminta tanpa perjanjian lisensi, serta menghapus informasi pengelolaan hak cipta yang melanggar Undang-Undang Hak Cipta tahun 1976. Gugatan tersebut mengacu pada 500 karya berhak cipta penggugat, termasuk �A Change Is Gonna Come� karya Sam Cooke, �Every Breath You Take� karya Police, dan �Halo� karya Beyonc�. Gugatan tersebut menyatakan bahwa pelanggaran tersebut �sistematis dan meluas� dan Anthropic tidak hanya bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan Claude, tetapi juga atas pelanggaran yang dilakukan karyawannya.

Contoh berikutnya adalah seseorang yang memiliki username Mourningassasin di Discord. Ia dilaporkan menjual trek lagu palsu yang diklaim sebagai bocoran lagu baru milik penyanyi asal Amerika Serikat, Frank Ocean di sebuah forum musik di Discord. Lagu Frank Ocean palsu itu dijual sebesar 9.722 dollar AS (Rp 143 jutaan, kurs hari ini Rp 14.714). Lagu tersebut bukan mengambil rekaman Ocean secara diam-diam, melainkan membuat (generate) suara Frank Ocean palsu menggunakan teknologi Artificial Intelligence. Penipuan ini menggunakan teknologi AI Voice Generator, AI Voice Generator merupakan program yang dapat menciptakan audio baru. Teknologi tersebut mempelajari data set (sekumpulan data) untuk dapat menghasilkan audio yang baru sesuai permintaan pengguna. Suara yang dihasilkan juga punya karakter yang variatif. Dalam kasus ini, Mourningassasin memanfaatkan AI Voice Generator untuk membuat suara yang mirip dengan Frank Ocean, suara tersebut digunakan untuk membuat trek lagu palsu yang diklaim sebagai bocoran lagu Frank Ocean. Sejak mengunggah lagu pals uke Discord, ia mengaku ada beberapa orang yang menghubunginya dan menawarkan diri untuk membeli lagu palsu tersebut. Dari tawaran yang diterima, ada dua pembeli yang bertujuan untuk mengoleksi lagu tersebut dan rela membayar tinggi. Ia mematok harga dengan rentang harga US$ 3,000 � US$4,000 (estimasi setara dengan Rp44.100.000,00 hingga Rp58.800.000,00) per lagu pada pertengahan bulan April tahun 2022.

Selanjutnya adalah, Asosiasi Industri Rekaman Amerika (RIAA) mengumumkan tuntutan hukum yaitu pembuat lagu berbasis Artificial Intelligence) Suno AI dan Udio atas pelanggaran hak cipta. Platform tersebut diduga mengeksploitasi karya-karya rekaman para artis mulai dari Chuck Berry hingga Maria Carey. Dilansir dari Guardian, satu kasus diajukan di pengadilan federal di Boston melawan Suno AI, dan kasus lainnya di New York melawan Uncharted Labs, pengembang Udio AI. Gugatam tersebut mengklaim bahwa Suno AI dan Udio AI mencuri music untuk menghasilkan karya serupa dan meminta ganti rugi sebesar US$ 150,000 (estimasi setara dengan Rp2.250.000.000,00) per karya. Ketua dan kepala eksekutif RIAA yang Bernama Mitch Glazier, mengatakan bahwa industry music berkolaborasi dengan pengembang Artificial Intelligence yang bertanggung jawab. Namun, layanan tanpa izin seperti Suno AI dan Udio AI yang mengklaim bahwa menyalin karya seniman dan mengeksploitasinya demi keuntungan mereka sendiri tanpa persetujuan atau bayaran, telah memundurkan komitmen Artificial Intelligence yang benar-benar inovatif.

 

 

KESIMPULAN

Dari ketiga kasus di atas, pelanggaran hak cipta oleh perusahaan Artificial Intelligence yang diajukan di atas mencerminkan tantangan besar yang dihadapi industri lagu dan/atau musik dan hukum kekayaan intelektual dalam era digital dan perkembangan Artificial Intelligence. Ketika teknologi Artificial Intelligence semakin canggih dan mampu mempelajari serta mereproduksi karya-karya seni, termasuk lagu dan/atau musik dan suara, muncul pertanyaan tentang batasan-batasan hukum terkait penggunaannya. Beberapa kasus yang diuraikan menunjukkan bahwa Artificial Intelligence, jika tidak diatur dengan baik, dapat digunakan untuk mengeksploitasi karya cipta tanpa izin yang jelas, yang berpotensi merugikan pemegang hak cipta dan industri lagu dan/atau musik. Secara keseluruhan, ketiga kasus ini mencerminkan bahwa tanpa regulasi yang jelas, Artificial Intelligence dapat dengan mudah digunakan untuk melanggar hak cipta dan merugikan para pencipta, pemegang hak cipta, serta industri kreatif secara luas. Langkah hukum yang diambil oleh para penerbit musik menunjukkan bahwa perlindungan hukum yang tegas dibutuhkan untuk memastikan bahwa Artificial Intelligence tidak disalahgunakan. Di sisi lain, penting juga untuk mengembangkan kerangka hukum yang adaptif dan futuristik agar penggunaan Artificial Intelligence dalam seni dapat berjalan selaras dengan penghormatan terhadap kekayaan intelektual. Teknologi Artificial Intelligence menghadirkan tantangan baru dalam bidang hukum kekayaan intelektual. Jika dibiarkan tanpa pengawasan, Artificial Intelligence berpotensi melanggar hak-hak pemegang hak cipta. Oleh karena itu, regulasi yang kuat, perjanjian lisensi yang jelas, dan kolaborasi yang bertanggung jawab antara industri teknologi dan industri kreatif adalah kunci untuk menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan perlindungan hak cipta.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Alam, M. Z. (2018). Perbandingan Perlindungan Sarana Kontrol Teknologi Atas Ciptaan Menurut Ketentuan Hak Cipta Di Indonesia Dan Amerika Serikat. Legal Spirit, 2(1), 98�119.

Albar, A. F. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Penggunaan Musik Sebagai Suara Latar Di Dalam Youtube Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

Alfons, M. (2017). Implementasi Hak Kekayaan Intelektual Dalam Perspektif Negara Hukum. Jurnal Legislasi Indonesia, 14(3), 301�311.

Cipta, H. (N.D.). Perlindungan Hukum Atas Vlog Di Youtube Yang Disiarkan Ulang Oleh Stasiun Televisi Tanpa Izin.

Doly, D. (2023). Pemanfaatan Artificial Intelligence Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia. Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual Dan Strategis, 15, 19.

Duan, Y., Edwards, J. S., & Dwivedi, Y. K. (2019). Artificial Intelligence For Decision Making In The Era Of Big Data�Evolution, Challenges And Research Agenda. International Journal Of Information Management, 48, 63�71.

Hamni, M., Irianto, K. D., & Nazar, J. (2023). Pelanggaran Hak Cipta Plagiarisme Pada Penggunaan Aplikasi Sosial Media Wattpad. Sakato Law Journal, 1(1), 51�58.

Hendrayana, M. Y., Budiartha, N. P., & Sudibya, D. G. (2021). Perlindungan Hak Cipta Terhadap Konten Aplikasi Tiktok Yang Disebarluaskan Tanpa Izin. Jurnal Preferensi Hukum, 2(2), 417�422.

Imansah, R. (2023). Pengelolaan Royalti Musik Dan Lagu Di Platform Youtube. Jipro: Journal Of Intellectual Property, 20�36.

Mailangkay, F. (2017). Kajian Hukum Tentang Hak Moral Pencipta Dan Pengguna Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Lex Privatum, 5(4).

Purba, B., Hasyim, H., Siahaan, T., Daffa, D. S., Sinaga, D., & Syah, S. A. (2023). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kekayaan Intelektual Dan Hak Cipta Musik. Innovative: Journal Of Social Science Research, 3(2), 10998�11013.

Ri, B. (2021). Pentingnya Pemahaman Hak Kekayaan Intelektual Dalam Ekonomi Kreatif. Jakarta: Kemenparekraf.

Sastrawan, G. (2021). Analisis Yuridis Pelanggaran Hak Cipta Pada Perbuatan Memfotokopi Buku Ilmu Pengetahuan. Ganesha Law Review, 3(2), 111�124.

Siregar, H., Setiawan, W., & Dirgantari, P. D. (2020). Isu Proses Bisnis Berbasis Artificial Intelligence Untuk Menyosong Era Industri 4.0. Jurnal Bisnis Strategi, 29(2), 89�100.

Tirtakoesoemah, A. J., & Arafat, M. R. (2020). Penerapan Teori Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Atas Penyiaran. Pena Justisia: Media Komunikasi Dan Kajian Hukum, 18(1).

Wahiddin, D., & Nurdiansyah, M. (2022). Pemanfaatan Platform Digital Pada Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (Umkm). Prosiding Konferensi Nasional Penelitian Dan Pengabdian Universitas Buana Perjuangan Karawang, 2(1), 1343�1349.

Widiarty, W. S. (2024). Buku Ajar Metode Penelitian Hukum. Publika Global Media.