Yimmy Octavian Yapri, Aartje Tehupeiory, Wiwik Sri Didiarty
Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Kata kunci: analisis yuridis, �skema cost
recovery, investasi Keywords: juridical
analysis, cost recovery scheme, investment |
|
ABSTRAK |
|
Indonesia dengan
luas wilayah sekitar 7,7 juta kilometer persegi, dan terdiri atas 75 persen
teritorial laut (5,8 juta km2) dan 25 persen teritorial daratan (1,9 juta
km). Luas teritorial laut tersebut terdiri atas 2,8 juta km dan 0,3 juta km2
laut territorial, serta 2,7 juta km2 perairan nusantara (perairan kepulauan)
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Jenis penelitian yang digunakan yaitu yuridis
normatif, Penelitian hukum dalam arti konkrit adalah penelitian pelaksanaan
hukum, atau hukum yang tampak dalam pelaksanaan (law in action), atau hukum
yang bergerak (recht in beweging). Pada kegiatan usaha dalam rangka
pengelolaan sumber daya migas terbagi menjadi 2 (dua) kategori yakni kegiatan
usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Kegiatan usaha hulu adalah kegiatan
usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha, yaitu usaha
eksplorasi dan usaha eksploitasi berdasarkan Pasal 1 angka (7) Undang-undang
Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Bentuk regulasi investasi
dan kepastian hukum dalam bidang usaha migas di Indonesia, disimpulkan ialah
terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur Regulasi
Investasi dan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, khususnya pada
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas),
dijelaskan bahwa pemerintah memiliki kuasa untuk mengatur dan mengendalikan
kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi (migas). Indonesia
has an area of about 7.7 million square kilometers, and consists of 75
percent of the sea territory (5.8 million km2) and 25 percent of the land
territory (1.9 million km). The sea territorial area consists of 2.8 million
km and 0.3 million km2 of territorial seas, as well as 2.7 million km2 of
archipelago waters (archipelago waters) of the Exclusive Economic Zone (EEZ).
The type of research used is normative juridical, legal research in a
concrete sense is the study of the implementation of the law, or the law that
appears in the implementation (law in action), or the law that moves (recht in beweging). Business
activities in the context of oil and gas resource management are divided into
2 (two) categories, namely upstream business activities and downstream
business activities. Upstream business activities are business activities
that are centered on or based on business activities, namely exploration and
exploitation businesses based on Article 1 number (7) of Law Number 22 of
2001 concerning Oil and Gas. The form of investment regulation and legal
certainty in the field of oil and gas business in Indonesia, it is concluded
that there are several laws and regulations that regulate Investment
Regulations and Oil and Gas business activities in Indonesia, especially in
Law No. 22 of 2001 concerning Oil and Gas (Oil and Gas Law), it is explained
that the government has the power to regulate and control oil and gas mining
activities (oil and gas). |
|
Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA . This is an open access article under the CC BY-SA
license. |
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Indonesia
dengan luas wilayah sekitar 7,7 juta kilometer persegi, dan terdiri atas 75 persen teritorial laut (5,8 juta km2) dan 25 persen
teritorial daratan (1,9 juta km). Luas teritorial laut tersebut terdiri
atas 2,8 juta km dan 0,3 juta km2 laut territorial, serta 2,7 juta
km2 perairan nusantara (perairan kepulauan) Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE). Jumlah pulau
besar dan kecil mencapai kurang lebih 17.548 buah. Potensi besar ini menjadikan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dengan teritorial laut terluas di
dunia dan keseluruhan garis pantai sepanjang 80.791 km atau 50.494 mil (Muhdlor,
2012). Wilayah perairan (laut, sungai,
danau) yang menempati 72% dari luas permukaan bumi menunjukan peranan dan
potensi SDA untuk pembangunan suatu bangsa yang terintegrasi dengan wilayah
tersebut. Keberadaan wilayah ini mendukung aktifitas jalur perdagangan nasional dan internasional. Indonesia dengan status archipelago state dengan luas perairan 67% dan terletak pada posisi
silang benua dan silang samudera mengambil keuntungan dari situasi ini. (Kristianto, n.d.)
Sebagai negara yang dianugerahi kekayaan sumber daya alam,
sudah selayaknya bangsa
Indonesia mengeksploitasi keistimewaan
tersebut untuk mencapai cita-cita keadilan dan kemakmuran. Karunia Tuhan Yang Maha Esa tersebut pada hakikatnya
merupakan modal penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional. (Widarsono,
2007)
Sumber daya alam adalah sesuatu yang berguna dan mempunyai nilai di dalam
kondisi dimana kita menemukannya. Sumber daya alam terbatas jumlahnya dan
pengusahaannya memenuhi kriteria-kriteria teknologi, ekonomi, sosial dan
lingkungan dan meliputi semua yang terdapat di bumi baik yang hidup maupun
benda mati yang berguna bagi manusia. (TR,
2018) Oleh karena itu setiap budaya dan
etnis mempunyai suatu konsepsi dan suatu pandangan dunia tersendiri terkait
penguasaan dan pengelolaan dari sumber daya alam.
Undang Undang Dasar 1945 telah menggariskan bahwa sumber daya alam dikuasai
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga
monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya berada pada negara.
Penafsiran dari kalimat dikuasai oleh negara
tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk
kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar
perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat, dan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan
yang tercantum dalam pasal
33 Undang Undang Dasar 1945
(Alwi, 2007) tersebut merupakan
pesan moral dan pesan
budaya dalam konstitusi Republik
Indonesia di bidang kehidupan
ekonomi. Pasal ini bukan sekedar
memberikan petunjuk tentang susunan perekonomian dan wewenang negara mengatur kegiatan perekonomian, melainkan mencerminkan cita-cita, suatu keyakinan yang dipegang teguh serta diperjuangkan secara konsisten oleh para pimpinan pemerintahan. (Misjuan & Dewi, 2022)
Mahkamah Konstitusi juga memberi
makna mengenai penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD Negara RI 1945. Dalam
pertimbangannya MK menyatakan �� dengan adanya anak kalimat �dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat� maka sebesar-besar kemakmuran rakyat itulah
yang menjadi ukuran bagi negara dalam menentukan tindakan pengurusan,
pengaturan, atau pengelolaan atas bumi, air dan kekayaan alam�Artinya, negara
sangat mungkin melakukan penguasaan terhadap sumber daya alam secara penuh
tetapi tidak memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat�. Oleh karena
itu, menurut Mahkamah, kriteria konstitusional untuk mengukur makna
konstitusional dari penguasaan negara justru terdapat pada frasa �untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat�. (Santoso,
2021)
Salah satu dari bentuk kekayaan sumber daya alam tersebut adalah kekayaan
terhadap potensi sumber minyak dan gas bumi. Status sebagai salah satu sumber
daya alam yang tak terbarukan membuat kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi
berupa penemuan cadangan dan pemroduksian minyak dan gas bumi memiliki peran
strategis dalam pembangunan nasional. Minyak dan gas bumi sejatinya dikenal
sebagai salah satu sumber terbesar penerimaan negara yang sangat diandalkan
untuk menjadi katalisator utama dalam pelaksanaan pembangunan demi terwujudnya
kesejahteraan rakyat Indonesia. Sehingga tidak terbantahkan bahwa minyak dan
gas bumi merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam penyediaan
bahan baku industri sekaligus pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri dan
penghasil devisa negara terbesar, oleh karena itu pengelolaannya perlu
dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. (Hamzah,
2016).
Disadari bahwa minyak dan gas bumi (migas) merupakan sumber energi primer
di seluruh dunia dibandingkan dengan sumber energi lainnya seperti panas bumi,
nuklir, hidrolik, energi surya, dan energi angin (energi non fosil). Migas
tidak hanya bernilai strategis, tetapi juga terkait dengan posisi dan perannya
sebagai pilar utama dalam memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sekaligus
dalam percaturan perekonomian nasional dan internasional. Negara berhak
mengatur potensi eksplorasi dan pengembangan serta produksi sumber daya alam
migas di wilayah laut, baik dengan keterlibatan langsung maupun tidak langsung
dalam mewujudkan keseimbangan dinamis. Kekuatan mengikat secara hukum atas
sumber daya alam migas merupakan elemen yang tak terpisahkan dari kedaulatan
negara. Secara alamiah, negara-negara yang letak geologis mengandung potensi
sumber daya alam migas berupaya untuk melindungi kedaulatan negaranya. Secara
geografis, negara-negara yang kaya akan sumber daya alam migas mulai beralih
eksplorasi dan pengembangan dari wilayah daratan (onshore) ke wilayah laut dalam (offshore)
yang sumber daya migasnya lebih berkualitas. (Irawan
& Widharto, 2022)
Masalah lain yang dihadapi dalam sektor hulu migas adalah tata kelola
migas. Pengelolaan migas dapat dikelola baik dari pihak pemerintah atau dari
pihak swasta tanpa menimbulkan dampak yang merugikan bagi kesejahteraan dan
kenyamanan masyarakat. Kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan oleh pemerintah
melalui suatu badan atau instansi yang telah diberikan wewenang penuh oleh
pemerintah untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu migas tersebut. Lembaga
pemerintah yang menjalankan kegiatan usaha hulu migas di Indonesia pada awalnya
dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP
Migas), kemudian digantikan oleh Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas (Prawira
et al., 2024). SKK Migas mempunyai satu peranan
penting untuk tetap dapat mempertahankan keamanan pasokan energi yaitu migas
dalam jangka panjang, dan peranan tersebut merupakan suatu tugas berat di
tengah kemampuan pasokan minyak dan gas bumi dalam memenuhi kebutuhan energi
nasional yang semakin terbatas. (Adha,
2022)
Pemerintah pada tahun 1967 mengeluarkan sistem kontrak Production Sharing Contract (PSC), sistem ini dianggap lebih merepresentasikan Pasal 33 dalam UUD
Negara RI 1945 daripada sistem konsesi sebelumnya. Hal ini dikarenakan, dalam
sistem ini negara tetap merupakan penguasa sumber daya alam. Sistem Production Sharing Contract ini juga
diharapkan untuk jangka panjangnya dapat memberikan dampak positif bagi
Indonesia yakni menjadikan negara ini dapat mengelola sendiri sumber daya
minyak dan gas bumi-nya sendiri. (Julyano
& Sulistyawan, 2019)
Keputusan Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Energi Sumber Daya
Mineral (ESDM) mengeluarkan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor
8 Tahun 2017 (selanjutnya disebut �Permen
ESDM nomor 8 tahun 2017�) mengenai kebijakan mengganti skema Production Sharing Contract (PSC) Cost Recovery menjadi skema PSC Gross Split merupakan tonggak sejarah
baru dalam Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi di Indonesia. (Fajri,
2020)
B. Rumusan Masalah
1. Apakah bentuk regulasi investasi dan kepastian hukum dalam bidang usaha migas di Indonesia?
2.
Bagaimana
membangun suatu model Cost Recovery yang lebih menjamin keadilan dalam pengelolaan sumber daya minyak dan gas di Indonesia?
C. Tujuan
Penelitian
Penelitian adalah bagian pokok
ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan.
Disamping itu
adapun juga sarana untuk mengembangkan kelimuan, baik dari segi teoritis maupun
segi praktik. (Prayogo, 2016) Tujuan dari penelitian
yang ingin dicapai oleh penulis
dalam penulisan tesis ini,
untuk:
1.
Menguraikan
dan menganalisis bentuk regulasi investasi dan kepastian hukum dalam bidang usaha migas di Indonesia.
2.
Menguraikan
dan menganalisis membangun suatu model Cost Recovery
yang lebih menjamin keadilan
dalam pengelolaan sumber daya minyak dan gas di Indonesia.
D. Manfaat
Penelitian
Dalam setiap
penelitian ilmiah tentunya diharapkan ada suatu manfaat
yang dihasilkan. Adapun manfaat
dari penulisan tesis ini yaitu:
1.
Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan untuk
dapat menambah wawasan keilmuan dalam kaitannya dengan bentuk regulasi investasi dan kepastian hukum
dalam bidang usaha migas di Indonesia.
2.
Secara teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai informasi bagi berbagai pihak yang menaruh minat dan perhatiannya pada studi hukum
bisnis, khususnya membangun
suatu model Cost
Recovery yang lebih menjamin keadilan
dalam pengelolaan sumber daya minyak dan gas di Indonesia.
METODE PENELITIAN
1. Jenis
Penelitian
Jenis penelitian
yang digunakan yaitu yuridis
normatif, Penelitian hukum
dalam arti konkrit adalah penelitian
pelaksanaan hukum, atau hukum yang tampak dalam pelaksanaan (law in action), atau hukum yang bergerak (recht in beweging). Tipe penelitian
hukum terbagi ke dalam dua golongan
besar, yakni penelitian hukum normatif (doktrinal) dan penelitian hukum empiris (non doctrinal) (Manurung et al.,
2022). Untuk mengetahui penerapan skema Cost Recovery terhadap
kinerja industri migas, penulis menggunakan penelitian hukum normatif (doktrinal).
Menurut
Soerjono Sukanto, penelitian hukum normatif meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.
Metode yang digunakan
dalam penelitian hukum normatif
untuk mencari kaedah adalah metode penemuan hukum, antara lain
adalah penafsiran, argumentasi,
dan sebagainya. Kekhasan dari penelitian
pada pandangan legal-normatif ini, peneliti secara aktif menganalisa norma,
sehingga peranan subjek sangat menonjol.
2. Pendekatan penelitian
Penelitian ini�
menggunakan metode yuridis
normatif, artinya penekanan pada ilmu hukum normatif, maka metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
peraturan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-undangan
sebagai salah satu pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis
dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan isu hukum yang diteliti.
Pendekatan Konseptual
adalah pendekatan yang beranjak
dari pandangan dan doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandang doktrin-doktrin
di dalam ilmu hukum, peneliti
akan menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian
hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas
hukum yang relevan dengan isu
yang dihadapi.
3. Jenis
dan sumber data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian
ini ialah data sekunder
dengan didukung oleh data primer yaitu
wawancara. Data Sekunder memiliki pengertian yaitu tulisan atau hasil penelitian
orang lain.� Data sekunder
yang dipergunakan pada penelitian
tesis ini terdiri dari (tiga) bahan hukum, yaitu:
a. Bahan
Hukum Primer
Bahan hukum primer berupa sumber sumber
materiil hukum meliputi undang- undang dan peraturan perundang-undangan
lainnya antara lain:
1) Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi;
2)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman
Modal;
3)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
5)
Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi;
6) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 53 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Migas Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil Berdasarkan
Gross Split;
7)
Peraturan
Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 1 Tahun
2022 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 7 Tahun2019 tentang
Pengelolaan dan Pemanfaatan
Data Minyak dan Gas Bumi; dan
b. Bahan
Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa
buku buku hasil karya kalangan hukum terkait penerapan skema Cost Recovery dalam investasi
industri migas, hasil-hasil
penelitian dan karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini.
c. Bahan
Hukum Tersier
Bahan hukum tertier dalam penelitian ini merupakan bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder berupa
Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Kamus Ekonomi, Ensiklopedia,
dan sebagainya.
4. Teknik
Pengumpulan data
Teknik dan cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Studi literatur (library
research), yaitu penelitian
yang dilakukan hanya berdasarkan
atas karya tertulis, termasuk hasil penelitian baik
yang telah maupun yang
belum dipublikasikan. Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian dapat
diperoleh dari sumber pustaka atau dokumen. Dalam penelitian ini,
data diperoleh dari undang-undang, peraturan perundangan lain, buku hasil karya kalangan hukum, hasil penelitian terdahulu, karya ilmiah, dsb.
Adapun juga pengumpulan data primer adalah data yang diambil langsung dari narasumber yang ada di lapangan dengan diperoleh melalui wawancara mendalam (depth interview), dimana prosedur yang dirancang untuk membangkitkan pernyataan- pernyataan secara bebas yang dikemukakan bersungguh - sungguh secara terus terang.
Wawancara tersebut dilakukan kepada Lembaga Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK MIGAS) dan Perusahaan Minyak dan Gas.
5. Teknik
Analisa Data
Setelah
melakukan pengumpulan data maka tahapan selanjutnya akan dilakukan dalam sebuah penelitian adalah menganalisis data tersebut. Untuk
menganalisis data ataupun melakukan analisis terhadap data maka hal yang sangat dibutuhkan adalah
metode ataupun cara yang tepat Sehingga nantinya data yang
dianalisis bisa menghasilkan
sebuah kesimpulan yang mana
menjawab pertanyaan terkait masalah yang diajukan atau diteliti.
Penelitian
ini data yang digunakan dalam menganalisis adalah
dengan cara menggunakan
metode analisis data statistik,
yaitu data terkait dengan kinerja industri migas di Indonesia sebelum dan setelah
diterapkannya skema Cost Recovery. Penelitian
ini juga akan menganalisa
data-data yang telah didapatkan
dari studi kepustakaan dan wawancara dengan
metode analisis kualitatif.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Membangun Suatu Model Cost
Recovery Yang Lebih Menjamin Keadilan
Dalam Pengelolaan Sumber
Daya Minyak Dan Gas Di
Indonesia
A. Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi yang Berkeadilan
Pada
kegiatan usaha dalam rangka
pengelolaan sumber daya migas terbagi
menjadi 2 (dua) kategori yakni
kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Kegiatan
usaha hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha, yaitu usaha eksplorasi
dan usaha eksploitasi berdasarkan Pasal 1 angka (7) Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Menurut A. Madjedi Hasan, terdapat perbedaan karakteristik antara pengelolaan kegiatan usaha hulu dan hilir migas jika
ditinjau dari aspek pemodalan, resiko, dan pencapaian.
Kegiatan usaha hulu
migas memerlukan investasi yang besar dan teknologi canggih. Hal ini karena proses eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas melibatkan biaya yang signifikan dan membutuhkan teknologi tinggi untuk pengembangan dan eksploitasi sumber daya alam
tersebut. Kegiatan usaha hulu migas memiliki
risiko yang tinggi. Risiko ini meliputi risiko keamanan, lingkungan, dan
sosial. Kesalahan kecil dalam pengambilan keputusan dapat berdampak fatal bagi
lingkungan, keuangan, dan wajah perusahaan, terutama yang telah melantai di
bursa saham. Kegiatan usaha hulu migas penuh dengan ketidakpastian. Hasil
produksi sulit diprediksi, dan biaya operasi dapat meningkat secara signifikan.
Hal ini membuat perencanaan keuangan dan strategis menjadi sangat
kompleks.� Meskipun memiliki risiko
tinggi dan ketidakpastian, kegiatan usaha hulu migas juga dapat memberikan
imbalan yang tinggi. Pencapaian ini meliputi pendapatan yang besar dari
penjualan minyak dan gas, serta kontribusi signifikan terhadap perekonomian
nasional.�
Sedangkan, Kegiatan usaha hilir migas memiliki resiko yang rendah. Hal ini
karena kegiatan hilir lebih fokus pada pengolahan, pengangkutan, penyimpanan,
dan penjualan produk migas yang telah dieksploitasi. Risiko yang ada lebih
terkait dengan operasional dan logistik daripada risiko eksplorasi dan
eksploitasi. Kegiatan usaha hilir migas juga memiliki pencapaian/imbalan yang
rendah. Penerimaan dari kegiatan hilir lebih stabil dan prediktif dibandingkan
dengan kegiatan hulu, tetapi tidak sebesar kegiatan hulu. Biaya operasi
kegiatan usaha hilir migas lebih berkelanjutan karena sudah termasuk dalam
perencanaan yang matang dan lebih stabil. Biaya operasi tidak meningkat secara
signifikan seperti pada kegiatan hulu.
Dalam keseluruhan, kegiatan usaha hulu migas memiliki potensi besar tetapi
juga penuh dengan risiko dan ketidakpastian. Sementara itu, kegiatan usaha
hilir migas memiliki risiko yang lebih rendah dan pencapaian yang lebih stabil,
tetapi dengan biaya investasi awal yang lebih tinggi. Biaya operasinya jauh lebih rendah dan profil penerimaan lebih dapat diprediksi
(predictable).
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) mempunyai karakteristik yang khusus, yaitu high financial risk, dan high technology. Karakteristik
khusus ini terjadi akibat tingginya risiko yang dapat diakibatkan oleh pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Migas
seperti blow out (high risk), besarnya
investasi biaya kapital yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan usaha hulu migas
(high financial risk), dan juga dibutuhkan teknologi khusus dan
dalam beberapa kasus seperti kegiatan
hulu migas lepas pantai juga dibutuhkan teknologi termutakhir untuk mencari dan menemukan
cadangan migas (high technology).
High Technology merupakan Kegiatan usaha hulu
migas memerlukan teknologi yang canggih dan mutakhir. Hal ini karena kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi melibatkan penggunaan teknologi geofisika dan geologi untuk
mencari cadangan migas. Teknologi ini tidak hanya digunakan untuk menemukan cadangan, tetapi juga untuk memproduksinya secara efektif.
Sedangkan, high financial risk dalam
industri hulu migas, faktor resiko
usaha yang tinggi terbagi menjadi tiga (tiga) kategori, yaitu:
a.
Resiko Makro (Macro
Threats)
1.
Uncertain Energy Policy
Faktor
resiko ketidakpastian kebijakan energi (uncertain
energy policy) ini merupakan salah satu faktor yang semakin sering muncul
pada suatu negara. Kebijakan energi suatu negara dapat meliputi aspek
komersial, non- komersial, maupun aspek sosial. Dari aspek komersial, misalnya
keamanan dalam ketersediaan minyak di pasaran, pertimbangan kondisi lingkungan
hidup saat ini, serta kemampuan membeli dan memenuhi pertumbuhan permintaan.
Dari aspek non-komersial misalnya, semakin meningkatnya intervensi pasar,
syarat ketersediaan cadangan, dan mulai tersedianya energi alternatif lainnya.
Dari aspek sosial, misalnya kebijakan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja
serta kebijakan lingkungan yang dapat menciptakan peraturan-peraturan yang
mengesampingkan cost benefit analysis
sebagai factor untuk mengukur pengaruhnya pada sektor kegiatan usaha migas.
2.
Supply & Demand Shocks
Dalam kegiatan usaha migas terdapat resiko dimana terjadi gangguan secara
tiba-tiba yang tidak dapat diprediksi sehingga mengakibatkan ketersediaan
minyak dunia meningkat secara cepat (supply
shocks) sementara pada sisi lain permintaan terhadap penggunaan minyak
secara cepat berkurang (demand shocks).
Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti misalnya fluktuasi harga
minyak yang ekstrim, krisis ekonomi global, dan termasuk di dalamnya dampak
persaingan antar perusahaan.
3.
Energy Conservation
Terkait
dengan faktor resiko ini, saat ini isu mengenai penghematan energi (energy conservation) cukup marak
dicanangkan khususnya oleh beberapa negara berkembang dalam rangka efisiensi
energi. Dengan demikian maka kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan oleh
negara bersangkutan pun cenderung akan menjauh dari migas selaku sumber energi
utama.
4.
Climate Concerns
Sehubungan
dengan hal ini, kekhawatiran akan adanya perubahan iklim sedikit banyak membawa
pengaruh pada kegiatan usaha migas. Pandangan para ilmuwan arus utama (mainstream scientist) terhadap dampak
negative perubahan iklim tersebut setidaknya dapat meningkatkan respon
kebijakan suatu negara yang tentunya akan mempengaruhi industri migas secara
keseluruhan.
b. Resiko
Operasional (Operational
Threats)
1.
Worsening Fiscal Terms
Pada
resiko ini, memburuknya kebijakan fiskal di negara operasi (worsening fiscal terms) merupakan
salah satu resiko tertinggi yang kerap kali muncul akibat isu
nasionalisme energi yang berimplikasi pada perubahan kebijakan pajak.
2.
Cost Control
Dalam
mengelola kegiatan usaha hulu migas,
resiko kegagalan mengendalikan biaya operasional (cost control) kerap
kali muncul karena gagalnya pengaturan biaya operasional pada tahap eksplorasi sampai dengan penyulingan atau pembangunan pipa
distribusi.
3.
Human Capital Deficit
Terjadinya resiko
keterbatasan sumber daya manusia (human capital
deficit) kerap terjadi mengingat industri hulu migas merupakan
industri yang membutuhkan sumber daya manusia
dengan tingkat keilmuan dan
keahlian tertentu yang spesifik dengan kualitas yang tinggi. Jika hal ini terus
terjadi akan menimbulkan polemic mengenai kemampuan industri migas untuk
mencukupi kebutuhan masa depan.
c. Resiko
Sektor (Sector Threats)
1. Competition for
Reserves
Dalam pengelolaan kegiatan usaha hulu migas,
resiko persaingan untuk
mencari cadangan baru� (competition
for reserves) kerap terjadi
antara Perusahaan minyak nasional dan perusahaan minyak internasional. Terkait dengan hal tersebut, pada beberapa kasus perusahaan-perusahaan internasional
kesulitan untuk mendapatkan
cadangan baru dikarenakan
tidak diberlakukannya proses pengembangan
cadangan baru tersebut melalui proses tender (pelelangan
umum), namun dilakukan pada level negara dengan negara yang dikemas dalam bentuk bantuan pembangunan.
2.
Political Constraint on Access to Reserves
Sehubungan
dengan hal ini, hambatan
politik untuk mengakses sumur
cadangan (political
constraint on access to reserves) kerap terjadi dalam bentuk monopoli perusahaan minyak nasional dalam pengelolaan Cadangan minyak di suatu negara. Setidaknya hampir 75 % (tujuh puluh lima persen) total cadangan minyak dunia dikuasai oleh perusahaan minyak nasional dimana hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan minyak internasional.
Oleh karena
itu, eksploitasi sumber daya migas di negara-negara yang
sedang berkembang pada dasarnya
adalah menciptakan lingkungan
investasi yang menguntungkan
antara pemerintah sebagai pemilik sumber daya migas dan perusahaan swasta multinasional yang menyediakan
dana, teknologi, dan peralatan
yang diperlukan untuk mengembangkan
sumber daya migas, yang memiliki taruhan resiko tinggi tetapi juga potensi keuntungan yang besar.
Kontraktor Kontrak Kerja
Sama (KKKS) berdasarkan Kontrak
Kerja Sama wajib untuk
dapat melaksanakan kegiatan
usaha hulu migas dengan kaidah-kaidah keteknikan yang baik, di mana kewajiban
tersebut harus senantiasa dilaksanakan, walaupun menemui kendala-kendala teknis di lapangan. Dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak
dan gas bumi (migas), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) seringkali melakukan penelitian dan pengembangan untuk menemukan solusi atas permasalahan teknis yang muncul di lapangan.
Dari kegiatan
penelitian dan pengembangan
ini, KKKS dapat mengembangkan produk atau proses baru
yang efektif untuk memecahkan
masalah teknis dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Selain itu, minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis
yang tidak terbarukan dan dikuasai
oleh negara. KKKS memiliki peranan
penting dalam perekonomian nasional dan merupakan komoditas vital yang memenuhi hajat hidup orang banyak.
Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya ini harus dilakukan secara
maksimal untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pengelolaan
sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi harus diatur oleh peraturan yang
jelas dan efektif untuk memastikan bahwa kegiatan ini dilakukan dengan cara
yang aman, berkelanjutan, dan menguntungkan bagi masyarakat.
Peraturan-peraturan ini harus mempertimbangkan aspek teknis, ekonomis,
lingkungan, dan sosial untuk memastikan bahwa kegiatan usaha hulu migas tidak hanya
menguntungkan negara dan perusahaan, tetapi juga memberikan manfaat yang
signifikan bagi masyarakat dan lingkungan.
B. Kontrak Bagi Hasil (Product
Sharing Contract) Cost Recovery dalam Bidang
Usaha Minyak dan Gas Bumi
Produksi kegiatan usaha
hulu migas bumi bertujuan antara lain untuk menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi secara berdaya guna, berhasil
guna, serta berdaya saing tinggi
dan berkelanjutan atas migas
bumi melalui mekanisme yang terbuka dan transparan.
Pemerintah Indonesia berupaya mencapai kemakmuran rakyat dengan
cara yang paling efektif
dalam mengelola sumber daya alam, khususnya
migas. Ini berarti bahwa semua kebijakan dan perjanjian yang
dibuat harus mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Production Sharing Contract (PSC) adalah
bentuk perjanjian dalam industri migas yang mengatur bagaimana pendapatan dari
migas dibagi antara pemerintah dan perusahaan yang berinvestasi dalam
eksplorasi dan produksi migas. Tujuan dari PSC adalah untuk memastikan bahwa
negara mendapatkan bagian yang adil dari pendapatan migas sambil tetap menarik
investor asing untuk berinvestasi.
Konsep PSC di Indonesia dikembangkan dari sistem bagi hasil yang dikenal
dalam hukum adat. Ini menunjukkan bahwa PSC bukan hanya sebuah inovasi modern,
tetapi juga terinspirasi dari praktik-praktik tradisional yang sudah ada.
Indonesia adalah negara pertama di dunia yang menerapkan PSC pada tahun 1966,
melalui kontrak antara Pertamina dan Independent
Indonesia America Petroleum Company (IIAPCO).
Sebelum PSC, Indonesia menggunakan sistem konsesi yang dianggap merugikan
negara. Dalam sistem konsesi, perusahaan asing memiliki hak atas sumber daya
yang dieksplorasi, sering kali dengan sedikit manfaat bagi negara tuan rumah.
PSC menggantikan sistem ini dengan skema yang lebih adil bagi negara, di mana
negara tetap memiliki sumber daya dan hanya membagi hasilnya dengan perusahaan
yang berinvestasi. Tujuan jangka panjang kontrak production sharing di sisi
lain, sebenarnya adalah pengusahaan milik kita, dapat dilakukan oleh kita
sendiri. Melalui kontrak production
sharing, sebagai sarana perantara, bangsa Indonesia dapat belajar cepat
mengelola perusahaan minyak, sekaligus dapat belajar cepat ihwal teknologi di
bidang perminyakan. PSC bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dari
sektor migas serta menarik investasi asing dengan menawarkan skema yang
dianggap lebih adil dan menguntungkan baik bagi pemerintah maupun investor.
Timbulnya kontrak production sharing
adalah untuk mengatasi permasalahan keterbatasan modal, teknologi dan sumber
daya manusia yang dihadapi Pertamina, khususnya dalam menjalankan eksplorasi
dan eksploitasi pertambangan migas bumi.
Sistem manajemen pada Kontrak Karya (KK) dan Kontrak Produksi Bersama (KPS)
memiliki perbedaan yang signifikan. Pada KK, seluruh aspek manajemen berada di
bawah tanggung jawab kontraktor, termasuk kewajiban membayar pajak. Sistem
pengawasan yang diterapkan pun bersifat pasca-audit. Sebaliknya, pemerintah
memiliki peran sentral dalam mengelola KPS. Kontraktor
KPS diharuskan menyusun rencana kerja yang terperinci, seperti Plan
of Development (POD), Work Program
and Budget (WPB), atau Authorization
for Expenditure (AFE), yang harus mendapat persetujuan pemerintah sebelum dilaksanakan." Sistem ini memungkinkan pengauditan dari seluruh
aktivitas migas: sebelum, saat terjadi, dan sesudah aktivitas.
Berdasarkan pasal 6 ayat (1) Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi, kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan melalui mekanisme kontrak
kerja sama. Selanjutnya, berdasarkan pasal 1 angka (19) Undang Nomor 22 tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, kontrak kerja sama migas itu sendiri
didefinisikan sebagai Kontrak Bagi Hasil (PSC) atau bentuk kontrak kerja sama
lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara
dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, Kontrak Bagi Hasil adalah
kontrak yang umum ditandatangani antara pemerintah dan Perusahaan eksploitasi
sumber daya mengenai berapa banyak sumber daya (biasanya minyak) yang diekstrak
dan diterima masing-masing pihak. Selain
itu, PSC juga didefinisikan sebagai:
�A contractual agreement between a contractor and a host government
whereby the contractor bears all exploration and development and production
cost in return for a stipulated of the production resulting from this effort�
�(perjanjian kontraktual antara kontraktor dengan pemerintah dimana kontraktor bersangkutan menanggung seluruh biaya eksplorasi
serta pengembangan, dan
pada sisi lain biaya-biaya produksi dapat dipulihkan berdasarkan pembagian hasil usaha/produksi yang diperoleh.)�
Mekanisme PSC ini hampir serupa dengan mekanisme Farmout Agreement pada negara-negara
Anglo Saxon. Dalam mekanisme Farmout Agreement, dalam rangka mengembangkan kekayaan yang dimilikinya, pemilik kekayaan tersebut (farmor) menyerahkan sebagian pekerjaan pengembangan kekayaan kepada pihak lain (farmee) dimana biaya awal pengerjaan
tersebut dibebankan kepada farmee untuk selanjutnya
dapat meminta bagian produksi
setelah selesainya, berproduksinya, dan berkembangnya
harta kekayaan tersebut.
Kontrak Production Sharing
Contract (PSC) sebagai bentuk kerja
sama dalam sektor hulu migas Indonesia tidak hanya mengatur
pembagian hasil produksi, namun juga mencakup berbagai aspek hukum perikatan lainnya. Ketentuan-ketentuan
dalam KUHPer mengenai kontrak nominat menjadi rujukan penting dalam menyusun dan melaksanakan PSC, sehingga memastikan kepastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas.
Hal tersebut
tercermin dalam pasal 11 Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang mengatur
bahwa Kontrak Kerja Sama Migas wajib memuat paling sedikit 17 (tujuh belas) aspek antara
lain sebagai berikut:
1.
Penerimaan
negara;
2.
Wilayah kerja dan pengembaliannya;
3.
Kewajiban
pengeluaran dana;
4. Perpindahan kepemilikan
hasil produksi atas Migas;
5. Jangka waktu dan kondisi
perpanjangan kontrak;
6.
Penyelesaian perselisihan;
7.
Kewajiban
pemasokan Migas untuk kebutuhan dalam negeri;
8.
Berakhirnya
kontrak;
9.
Kewajiban
pasca operasi pertambangan;
10.
Keselamatan
dan kesehatan kerja;
11.
Pengelolaan
lingkungan hidup;
12.
Pengalihan
hak dan kewajiban;
13.
Pelaporan
yang diperlukan;
14.
Rencana
pengembangan lapangan;
15. Pengutamaan pemanfaatan
barang dan jasa dalam negeri;
16. Pengembangan masyarakat
sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
17.
Pengutamaan
penggunaan tenaga kerja Indonesia
Seiring perkembangan
waktu terjadinya perubahan konsep perjanjian PSC sekaligus sistem pajaknya dari generasi pertama hingga generasi terakhir menimbulkan perubahan konsep PSC lama menjadi konsep PSC yang baru, sehingga
dalam hal ini perlunya
untuk menelaah lebih lanjut terkait
perjanjian PSC yang baru dengan sistem
gross split yang mulai diberlakukan
setelah tahun 2017.
Perkembangan PSC yang berubah seiring
perkembangan waktu berhubungan dengan prinsip hukum yang digunakan dalam membuat
konsep tersebut. Sedangkan dalam suatu mekanisme perjanjian juga dapat menimbulkan akibat hukum dimana
dalam hal konsep dalam PSC
yang dijalankan dapat berimbas
pada pemenuhan kepentingan
negara serta kontraktor.
Sumber daya migas merupakan potensi sumber daya alam
yang dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan
masyarakat dan pertumbuhan ekonomi negara. Dalam skema PSC Cost Recovery, pemerintah
dan kontraktor migas membagi hasil produksi bersih yang diperoleh dari penjualan minyak dan gas bumi. Produksi bersih dihitung dengan mengurangi total pendapatan dari penjualan dengan total biaya produksi. Nilai produksi bersih yang akan dibagi ini disebut Equity to be split (ETBS). Pemerintah menanggung sebagian besar biaya produksi yang diajukan oleh kontraktor, namun kontraktor diharuskan terlebih dahulu membiayai semua pengeluaran operasi. Sebagai imbalannya, kontraktor menyediakan teknologi, peralatan, dan keahlian yang diperlukan untuk eksplorasi dan produksi, serta menanggung semua risiko yang terkait. Pengaturan terkait dengan PSC Cost
Recovery diatur dengan Peraturan
Peraturan Menteri Energi
Dan Sumber Daya Mineral Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun
2017 Tentang Mekanisme Pengembalian Biaya Investasi Pada Kegiatan Usaha Hulu
Minyak Dan Gas Bumi.�
�Pada pasal 2 ayat
(2) Peraturan Menteri Energi
Dan Sumber Daya Mineral Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun
2017 Tentang Mekanisme Pengembalian Biaya Investasi Pada Kegiatan Usaha
Hulu Minyak Dan Gas Bumi.� berbunyi Dalam rangka menjaga tingkat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kontraktor wajib melakukan investasi pada Wilayah Kerjanya.�
Maka dari itu pasal
3 ayat (1) Peraturan
Menteri Energi Dan Sumber
Daya Mineral Republik Indonesia Nomor
26 Tahun 2017 Tentang Mekanisme Pengembalian Biaya Investasi Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan
Gas Bumi memberikan penjelasan
bahwa kontraktor mendapatkan pengembalian biaya investasi sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (2) dimana pengembalian biaya tersebut dilakukan dengan mekanisme pengembalian biaya investasi sesuai kontrak Kerjasama selama pada masa kontrak
Kerjasama.
Sedangkan
pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun
2017 Tentang Mekanisme Pengembalian Biaya Investasi Pada Kegiatan Usaha
Hulu Minyak Dan Gas Bumi, berbunyi:
�Pasal 5�
(1) Dalam hal Kontrak Kerja
Sama diperpanjang dan masih
terdapat Biaya Investasi yang belum dikembalikan,
pengembaliannya dapat dilanjutkan
selama masa perpanjangan Kontrak Kerja Sama untuk Kontrak Kerja Sama yang menggunakan mekanisme pengembalian biaya operasi.�
Dalam hal
ini, jika kontrak kerja sama tidak diperpanjang dan
masih terdapat biaya investasi yang belum dikembalikan, pengembalian biaya investasi akan diberikan dari kontraktor lama kepada kontraktor baru. Biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan harus memenuhi persyaratan:
a.
Dikeluarkan
untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan operasi perminyakan di wilayah kerja kontraktor yang bersangkutan di
Indonesia;
b.
Menggunakan
harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan;
c. Pelaksanaan operasi
perminyakan sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik;
d. Kegiatan operasi
perminyakan sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran yang telah mendapatkan
persetujuan Kepala SKK Migas.
Biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi ��������� hasil dan pajak penghasilan harus
memenuhi persyaratan:
a. Dikeluarkan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan operasi
perminyakan di wilayah kerja kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;
b. Menggunakan harga wajar
yang tidak dipengaruhi hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan;
pelaksanaan operasi perminyakan sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan
keteknikan yang baik;
1) Kegiatan operasi
perminyakan sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran yang telah mendapatkan
persetujuan Kepala SKK Migas.
2) Tidak dapat dikerjakan oleh
tenaga kerja Indonesia; dan
3)
Tidak rutin.
c.
Untuk pemberian imbalan sehubungan dengan pekerjaan kepada karyawan/pekerja dalam bentuk natura/kenikmatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
d.
Untuk pemberian sumbangan bencana alam atas nama pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
e.
Untuk pengeluaran biaya pengembangan masyarakat dan lingkungan yang dikeluarkan pada
masa eksplorasi dan eksploitasi;
f.
Untuk pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat dengan syarat:
1) Digunakan untuk menunjang
usaha atau kegiatan di Indonesia;
2) Kontraktor menyerahkan
laporan keuangan konsolidasi kantor pusat yang telah diaudit dan dasar
pengalokasiannya; dan
3) Besarannya tidak melampaui
batasan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat
pertimbangan Menteri ESDM, Batasan maksimum biaya yang berkaitan dengan
remunerasi tenaga kerja asing ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan
setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri ESDM.
Jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi
hasil dan pajak penghasilan meliputi:
a. Biaya yang dibebankan atau
dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari pekerja, pengurus,
pemegang participating interest, dan
pemegang saham;
b. Pembentukan atau pemupukan
dana cadangan, kecuali biaya penutupan dan pemulihan tambang yang disimpan pada
rekening bersama SKK Migas dan kontraktor dalam rekening bank umum pemerintah
indonesia yang berada di indonesia;
c.
Harta yang dihibahkan;
d.
Sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkaitan dengan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta tagihan atau denda yang timbul akibat kesalahan
kontraktor karena kesengajaan atau kealpaan;
e. Biaya penyusutan atas
barang dan peralatan yang digunakan yang bukan milik negara;
f. Insentif, pembayaran iuran
pensiun, dan premi asuransi untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari
tenaga kerja asing, pengurus, dan pemegang saham;
g. Biaya tenaga kerja asing
yang tidak memenuhi prosedur rencana penggunaan tenaga kerja asing (rptka) atau
tidak memiliki izin kerja tenaga asing (ikta);
h. Biaya konsultan hukum yang
tidak terkait langsung dengan operasi perminyakan dalam rangka kontrak kerja
sama;
i.
Biaya konsultan
pajak;
j.
Biaya pemasaran
minyak dan/atau gas bumi bagian kontraktor, kecuali biaya pemasaran
gas bumi yang telah disetujui kepala SKK Migas;
k.
Biaya representasi,
termasuk biaya jamuan dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan daftar nominatif penerima manfaat dan nomor pokok wajib pajak
(npwp) penerima manfaat;
l. Biaya pelatihan teknis
untuk tenaga kerja asing;
m.
Biaya terkait
merger, akuisisi, atau biaya
pengalihan participating interest;
n.
Biaya bunga
atas pinjaman;
o.
Pajak penghasilan karyawan yang ditanggung kontraktor, kecuali yang dibayarkan sebagai tunjangan pajak;
p.
Pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan pihak ketiga di dalam negeri yang ditanggung
kontraktor atau di-gross up;
q.
Pengadaan
barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang tidak
sesuai dengan prinsip kewajaran dan kaidah keteknikan yang baik;
r.
Biaya pengeluaran
yang melampaui 10% (sepuluh
persen) dari nilai otorisasi pembelanjaan finansial, kecuali untuk biaya-biaya tertentu sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang ditetapkan oleh menteri esdm;
s.
Surplus material yang
tidak sesuai dengan perencanaan
yang telah disetujui;
t.
Nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan yang
tidak dapat beroperasi lagi akibat
kelalaian kontraktor;
u.
Transaksi
yang:
1)
Tidak melalui proses tender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal tertentu; atau
2)
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
v.
Bonus yang dibayarkan kepada pemerintah;
w.
�biaya yang terjadi sebelum penandatanganan kontrak; dan
x.
Biaya audit komersial
Sedangkan, PSC Cost Recovery
dalam hal ini kontraktor
dapat memperoleh kembali segala biaya yang diperlukan dalam melaksanakan Operasi Minyak dan Gas Bumi yang diklasifikasikan sebagai Biaya Operasi. Dalam hal Biaya Operasi yang dapat dikembalikan melebihi jumlah hasil penjualan Minyak Bumi yang diproduksi dan disimpan setelah dikurangi First
Tranche Petroleum, harga Minyak
Bumi yang akan diserahkan
dan dijual adalah harga
yang akan ditentukan berdasarkan Kontrak. Untuk biaya operasi, Menggunakan
istilah Pengembalian biaya operasi dan penanganan produks. Kontraktor akan
memperoleh kembali penggantian atas Biaya Operasi dengan diambilkan dari hasil
penjualan atau penyerahan lainnya dari jumlah Minyak dan Gas Bumi senilai
dengan Biaya Operasi, yang diproduksi dan disimpan berdasarkan Kontrak ini dan
tidak digunakan dalam Operasi Minyak dan Gas Bumi Biaya Operasi dapat digunakan
sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung penghasilan kena pajak
Kontraktor.
Penulis juga melakukan wawancara dengan pihak-pihak maupun Lembaga-lembaga
terkait dalam menjalankan operasi Minyak dan Gas bumi, dapat diuraikan dan
dianalisis sebagai berikut:
Hasil wawancara dari Ibu Tri Retno selaku Procurement superintendent, PT. Seleraya
Merangin Dua. Bahwa, hal PSC Cost Recovery,
pada akhirnya dapat di pengembalian
biaya kepada negara,
sementara gross split, dari besaran split itu kontraktor dapat semacam bonus dari negara. Pembeda dari kedua skema
tersebut. Cost
recovery pada akhirnya bisa dibebankan
secara full kepada negara
sementara gross split tidak. PT.Seleraya Merangin
Dua, telah melakukan skema cost recovery,
dengan mengacu peraturan perundang-undangan, ketentuan dan
persetujuan dari SKK Migas serta Lembaga lain yang terkait. Dalam praktik skema cost recovery
tidak sulit untuk menjalankan
pengelolaan sumber daya minyak dan gas di Indonesia.
Adapun dampak buruknya dari skema cost recovery ialah dapat terjadinya non cost
recovery yaitu di mana biaya
operasional yang timbul dari kegiatan usaha
hulu migas tidak dapat
dikembalikan atau diperoleh
kembali oleh kontraktor
atau pihak yang terkait. Non cost recovery terjadi
ketika biaya operasi yang telah dikeluarkan oleh kontraktor tidak
dapat dikembalikan atau diperoleh
kembali. Hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, seperti: (i)
Biaya operasi yang melebihi hasil produksi. (ii) Keterlambatan dalam pengembalian biaya operasi. (iii) Ketidakmampuan pihak terkait untuk mengembalikan biaya operasi. Non cost recovery dapat memiliki dampak signifikan pada keuangan dan operasional kontraktor. Kontraktor mungkin tidak dapat membiayai
kegiatan usaha hulu migas secara
efektif jika biaya operasi tidak dapat dikembalikan. Non
cost recovery dapat memicu sengketa
antara pemerintah dan kontraktor. Pemerintah mungkin akan menuntut kontraktor
untuk mengembalikan biaya operasi yang telah dikeluarkan, sedangkan kontraktor mungkin akan menolak jika mereka tidak dapat mengembalikan biaya tersebut.
Hasil wawancara kedua yaitu, Bapak Agus Hardiman Adam selaku
Asst. Manager Procurement PT Pertamina Hulu Energi ONWJ. Dalam regulasi investasi di bidang minyak dan gas saat ini sudah menjamin untuk menjalankan pengelolaan sumber daya untuk saat ini belum sepenuhnya terjamin, karena banyak nya regulasi
dan atau peraturan perizinan
yang tumpang tindih antara lembaga pemerintahan. Perbedaan skema cost recovery
dengan gross split ialah bahwa untuk Cost Recovery, biaya
operasional akan dibebankan/ditagihkan kepada Pemerintah, sedangkan untuk Gross
Split, semua operasional ditanggung
oleh Kontraktor. Skema Cost Recovery pernah diterapkan
namun ketika Harga Minyak terjun bebas,
biaya-biaya operasional
yang ditagihkan ke Pemerintah
menjadi tidak ekonomis karena tidak sesuai dengan produksi yang dihasilkan. Untuk investasi WK terminasi atau
wilayah kerja Migas yang
habis kontraknya lebih baik menggunakan
skema Cost
Recovery, sehingga akan
menarik investor untuk investasi.
Pada dasarnya Cost
Recovery menarik dari segi pembiayaan, namun dari segi
birokrasi akan sangat panjang. merujuk pada mekanisme di mana perusahaan yang
mengeluarkan biaya untuk kegiatan tertentu (seperti eksplorasi dan produksi minyak atau gas) dapat mengklaim penggantian atas biaya tersebut dari pendapatan
yang dihasilkan. Mekanisme
ini dianggap menarik dari sudut pandang
pembiayaan karena memungkinkan perusahaan untuk menutupi pengeluaran mereka, sehingga mengurangi risiko finansial yang ditanggung oleh perusahaan. Meskipun mekanisme Cost Recovery menarik secara finansial, proses administrasi
dan birokrasi yang terlibat
untuk mengklaim dan mendapatkan
penggantian biaya tersebut bisa sangat rumit dan memakan waktu. Ini mencakup penyusunan dokumen, verifikasi biaya, audit, dan persetujuan dari berbagai instansi pemerintah. Semua ini dapat menyebabkan
penundaan dan kerumitan
dalam pelaksanaan Cost
Recovery. Sedangkan. Dampak
Negative Cost Recovery adalah menambah panjang rantai Birokrasi, Dampak Positive Cost
Recovery adalah meringankan biaya
investasi sehingga dapat menarik investor.
Hasil wawancara ketiga dengan Bapak
Irvan M Idris selaku Koordinator
Pengadaan IA KKKS SKK Migas.
Bahwa, belum sepenuhnya regulasi investasi di bidang minyak dan gas saat ini sudah menjamin untuk menjalankan pengelolaan sumber daya Banyaknya regulasi yang diterbitkan instansi terkait menyebabkan kesulitan bagi KKKS dalam berbisnis, karena KPI instansi berbeda
dengan KPI Hulu migas. KKKS" adalah Kontraktor Kontrak Kerja Sama, yang merupakan hal yang bekerja sama dengan pemerintah dalam eksplorasi dan produksi minyak dan gas. Banyaknya regulasi dari berbagai instansi
menyebabkan kesulitan bagi KKKS untuk menjalankan
bisnis mereka karena harus mematuhi
berbagai aturan yang
mungkin berbeda atau bertentangan satu
sama lain. Hal ini merupakan tantangan
yang dihadapi oleh KKKS dalam beroperasi
di sektor minyak dan gas akibat regulasi yang kompleks dan tidak sinkron. Untuk
perbedaan kedua skema, terletak antara lain pada prinsip dalam mekanisme pembebanan biaya, sharing keuntungan antara Kontraktor dengan negara, pengadaan
barang/jasa, termasuk beberapa fasilitas dari pemerintah salah satunya importasi. Prinsip pembebanan biaya yang ditanggung secara bersama antara pemerintah dengan kontraktor. Dampak buruk dari skema
Cost Recovery, pengawasan
biaya menjadi tanggung jawab pemerintah dan potensi negara terbebani biaya yang tidak seharusnya sedangkan dampak baiknya yaitu prinsip keadilan
karena terkait dengan biaya disepakati bersama antara kontraktor dan pemerintah serta pembagian keuntungan setelah pembebanan biaya telah disepakati, selain itu positif bagi kontraktor karena risiko investasi
relatif lebih kecil.
Wawancara selanjutnya ialah dengan Bapak Dino
Adrian selaku Kapokja
Material & Manajemen Pergudangan SKK Migas. Bahwa beliau
mengatakan Regulasi di bidang investasi migas masih belum menjamin pengelolaan sumber daya karena
isu-isu fundamental seperti ketidakpastian
hukum dan regulasi, kapasitas
dan kapabilitas negara untuk melakukan
penegakan dan pengawasan regulasi, lebih menitikberatkan
pada kepentingan ekonomi daripada kepentingan sosial dan lingkungan, serta kecepatan regulasi mengadaptasi perubahan teknologi dan inovasi. Hal ini, Ketidakpastian
ini bisa menghalangi investasi
baru atau membuat investor yang sudah
ada ragu untuk memperluas
atau melanjutkan operasi
mereka. Jika regulasi tidak ditegakkan,
bisa terjadi pelanggaran
yang merugikan negara dan masyarakat,
misalnya pencemaran lingkungan atau ketidakadilan sosial. Ketidakmampuan regulasi untuk mengikuti perkembangan teknologi
bisa membuat industri migas di negara tersebut kurang kompetitif dan inovatif. Cost Recovery dan Gross Split adalah dua mekanisme yang
digunakan dalam kontrak bagi
hasil di industri minyak
dan gas untuk membagi pendapatan
antara pemerintah dan perusahaan minyak atau gas. Keduanya memiliki pendekatan yang berbeda dalam menentukan
pembagian hasil dan biaya operasional. Cost
Recovery adalah sistem di mana perusahaan minyak dan gas dapat mengembalikan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk eksplorasi dan produksi dari pendapatan
yang diperoleh dari penjualan minyak atau gas.
Sementara Gross Split adalah sistem yang relatif lebih sederhana dibandingkan dengan Cost Recovery. Dalam mekanisme
Gross Split, pendapatan
dari hasil produksi dibagi secara langsung
antara pemerintah dan perusahaan tanpa adanya pengembalian biaya. Skema Cost
Recovery telah diterapkan
secara luas dalam industri minyak dan gas, terutama dalam kontrak Production Sharing Contract (PSC). Skema
ini sering digunakan untuk menarik
investasi di sektor minyak dan gas, terutama di
negara-negara dengan risiko tinggi
atau yang baru memulai eksplorasi
minyak dan gas. Syarat utama Cost Recovery
yang layak digunakan meliputi
antara lain kepastian hukum
dan regulasi, proses verifikasi
dan audit yang kuat, batasan
dan pengendalian biaya yang
wajar, insentif dan keseimbangan risiko yang wajar, serta fleksibiltas
untuk adapatasi terhadap perubahan. Penerapan kedua skema secara
bersamaan dapat dilakukan
dengan pendekatan yang fleksibel,
baik melalui kombinasi
dalam kontrak yang sama, penerapan
bertahap, atau kebijakan dual-track. Pendekatan
ini memungkinkan pemerintah
untuk mengelola risiko dan insentif secara lebih efektif sambil menarik investasi yang diperlukan untuk eksplorasi dan produksi sumber daya energi. Skema Cost Recovery menawarkan
beberapa manfaat signifikan
dalam hal insentif investasi dan pengelolaan risiko, namun juga menghadapi tantangan terkait kompleksitas administrasi, pengawasan, dan kepatuhan. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya minyak dan gas di Indonesia
dengan menggunakan skema Cost Recovery memerlukan
sistem administrasi yang efisien, pengawasan yang ketat, dan transparansi yang tinggi. Selain itu, penerapan skema lain seperti Gross
Split dapat membantu mengatasi beberapa tantangan yang terkait dengan Cost Recovery, memberikan
fleksibilitas dalam kebijakan,
dan menyederhanakan pengelolaan
sumber daya. Kombinasi skema dan adaptasi kebijakan sesuai dengan kebutuhan proyek dan kondisi pasar adalah kunci untuk pengelolaan sumber daya yang efektif dan berkelanjutan. Dampak negatif meliputi kompleksitas administrasi dan pelaporan, pengawasan dan audit yang ketat serta risiko penyalahgunaan,
ketidakpastian dan fluktuasi
harga, regulasi yang dinamis menambah beban investor untuk beradaptasi,
serta tingginya tuntutan transparansi dan keterlibatan masyarakat. Dampak positif meliputi adanya insentif bagi investor untuk berinvestasi, reduksi risiko finansial bagi investor, serta pendapatan untuk Pemerintah. Bahwa implementasi regulasi yang dinamis memiliki dampak yang kompleks, baik positif maupun negatif, yang mempengaruhi
investor, pemerintah, dan proses pengawasan.
Maka dari itu, pemerintah
menerbitkan peraturan terkait Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi sebagai langkah untuk menarik
lebih banyak investasi di sektor energi dan sumber daya mineral. Ini dilakukan dengan memperhatikan masukan dari berbagai
pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat.
Dengan adanya peraturan
ini, diharapkan dapat memberikan
keadilan bagi para
investor. Keadilan hukum ini penting
agar investor merasa aman
dan yakin dalam menjalankan
kegiatan investasinya.
Peraturan juga mengatur proses penawaran wilayah kerja baru melalui mekanisme lelang. Ini berarti bahwa wilayah
kerja baru akan ditawarkan kepada pihak-pihak yang berminat melalui proses yang transparan
dan kompetitif dan mengatur
mengenai wilayah kerja yang
kontraknya akan segera berakhir. Ada pilihan bagi wilayah kerja tersebut apakah kontraknya akan diperpanjang atau tidak diperpanjang.
Peraturan ini memberikan pilihan bentuk kontrak yang dapat digunakan, yaitu:
Kontrak bagi hasil dengan mekanisme pengembalian biaya operasi (cost recovery), dalam kontrak ini, biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor dapat dikembalikan
sebelum pembagian hasil. Kontrak
bagi hasil gross split, kontrak
ini membagi hasil berdasarkan
persentase tertentu tanpa adanya pengembalian
biaya operasi.
KESIMPULAN
Bentuk
regulasi investasi dan kepastian hukum dalam bidang usaha migas di Indonesia, disimpulkan ialah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur Regulasi Investasi dan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, khususnya
pada Undang-Undang No. 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi (UU Migas), dijelaskan
bahwa pemerintah memiliki kuasa untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi (migas). Sedangkan dalam Pelaksanaannya
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2018 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi. Lahirnya Perpres ini sebagai dasar kepastian hukum untuk menarik
investor asing dalam usaha Minyak dan Gas Bumi dimana telah melakukan banyak perubahan akibat gagalnya pengaturan yang telah dibuat sebelumnya. Kesimpulan
dalam model Cost Recovery yang lebih menjamin keadilan dalam pengelolaan sumber daya minyak dan gas di Indonesia,
yaitu Dalam skema PSC Cost Recovery, pemerintah
dan kontraktor migas membagi hasil produksi bersih yang diperoleh dari penjualan minyak dan gas bumi. Produksi bersih dihitung dengan mengurangi total pendapatan dari penjualan dengan total biaya produksi. Nilai produksi bersih yang akan dibagi ini disebut Equity to be split (ETBS). Skema Cost Recovery menawarkan
beberapa manfaat signifikan
dalam hal insentif investasi dan pengelolaan risiko, namun juga menghadapi tantangan terkait kompleksitas administrasi, pengawasan, dan kepatuhan.� Skema Cost Recovery telah
diterapkan secara luas dalam industri minyak dan gas, terutama dalam kontrak Production
Sharing Contract (PSC). Skema ini sering
digunakan untuk menarik investasi
di sektor minyak dan gas, terutama di negara-negara dengan risiko
tinggi atau yang baru memulai
eksplorasi minyak dan gas.
DAFTAR
PUSTAKA
Adha, L. H. (2022). Perlindungan Hukum Pekerja Migran
Indonesia Yang Bekerja Sebagai Awak Kapal Perikanan (AKP) Asing. Private Law, 2(3),
795�815.
Alwi, H. (2007). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 457.
Fajri, M. (2020). Analisis Hukum Skema Kontrak Gross Split
Terhadap Peningkatan Investasi Hulu Minyak Dan Gas Bumi. Jurnal Hukum &
Pembangunan, 50(1), 54.
Hamzah, H. (2016). Legal Policy of Legislation in the Field
of Natural Resources in Indonesia. Hasanuddin Law Review, 1(1), 108�121.
Irawan, C., & Widharto, Y. (2022). ANALISIS PENGARUH
TEMPERATURE TERHADAP DENSITY CRUDE OIL DENGAN PENDEKATAN METODE THEIL PADA
ANALISIS REGRESI LINIER NON-PARAMETRIK (Studi Kasus: Pusat Pengembangan Sumber
Daya Manusia Minyak dan Gas Bumi (PPSDM MIGAS) Cepu). Industrial Engineering
Online Journal, 12(1).
Julyano, M., & Sulistyawan, A. Y. (2019). Pemahaman
terhadap asas kepastian hukum melalui konstruksi penalaran positivisme hukum. Crepido,
1(1), 13�22.
Kristianto, A. (n.d.). Kajian Ringkas Mengenai
Ketentuan-ketentuan dari Production Sharing Contract (PSC) dalam Kaitannya
dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan
Pelaksanaannya. Sebuah Makalah Tidak Dipublikasikan.
Manurung, R. O., Adiyanta, F. C. S.,
& Juliani, H. (2022). Kedudukan Hukum Satuan Kerja Khusus Migas Sebagai
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi Bagi Tata Kelola Ketahanan
Energi Nasional. Administrative Law and
Governance Journal, 5(2), 135�152.
Misjuan, Y. B. C., & Dewi, E. Y. R. S. (2022). Menuju
Keadilan Sosial Dalam Pengelolaan Sektor Hulu Migas (Analisis Kontrak Bagi
Hasil Gross Split Dari Prespektif Pasal 33 UUD 1945). Justitia: Ilmu Hukum Dan
Humaniora, 9(1), 98�112.
Muhdlor, A. Z. (2012). Perkembangan metodologi penelitian
hukum. Jurnal Hukum Dan Peradilan, 1(2), 189�206.
Prawira, A. Y., Setiady, T., & Astawa, I. K. (2024). PERANAN HUKUM PERIZINAN DALAM KEMUDAHAN
INVESTASI ASING DEMI TERCAPAINYA PEMBANGUNAN EKONOMI. YUSTISI, 11(1), 248�260.
Prayogo, R. T. (2016). Penerapan asas
kepastian hukum dalam peraturan mahkamah agung nomor 1 tahun 2011 tentang hak
uji materiil dan dalam peraturan mahkamah konstitusi nomor 06/PMK/2005 tentang
pedoman beracara dalam pengujian undang-undang. Jurnal Legislasi Indonesia, 13(2),
191�201.
Santoso, H. A. (2021). Perspektif
Keadilan Hukum Teori Gustav Radbruch Dalam Putusan Pkpu � �PTB�. Jatiswara, 36(3), 325�334.
TR, C. A. H. (2018). Strategi Penguatan Pengelolaan Bersama
Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Laut. Jurnal Konstitusi, 15(1), 140�163.
Widarsono, B. (2007). Indonesia�s Natural Gas: Production,
Reserves, And Challenges. Scientific Contributions Oil and Gas, 30(1), 30�40.