NIKAH
HAMIL DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Universitas
Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia
Email:
[email protected]
Kata kunci: perkawinan, nikah hamil, kompilasi hukum islam Keywords: marriage,
pregnant marriage, compilation of islamic law. |
|
ABSTRAK |
|
Perkawinan merupakan ikatan fisik dan emosional
antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membangun
keluarga yang bahagia dan abadi berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum asal dari perkawinan adalah
sunnah. Namun, seringkali kebutuhan jasmani yang seharusnya dipenuhi melalui
perkawinan justru diabaikan. Saat ini, fenomena hubungan seks pranikah
semakin meningkat akibat pergaulan yang terlalu bebas. Pergaulan bebas ini
dianggap sebagai perilaku menyimpang yang melanggar norma, kewajiban, dan
rasa malu. Penelitian ini bertujuan untuk mengkompilasi pengaturan hukum
Islam terkait nikah hamil yang terdapat dalam BAB VIII Pasal 53 ayat 1, 2,
dan 3. Metode yang digunakan untuk analisis data adalah metode deskriptif
analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas ulama cenderung
memperbolehkan nikah hamil, sementara sebagian lainnya menolak praktik
tersebut. Perbedaan pendapat ini muncul karena interpretasi yang berbeda
mengenai ayat "wa hurrima zalika alal mu�minin," yaitu apakah kata
ganti "zalika" merujuk pada zina atau nikah. Marriage is a physical and emotional bond
between a man and a woman as husband and wife, with the aim of building a
happy and lasting family based on the values of the Almighty God. Some
scholars argue that the original law of marriage is sunnah. However, often
the physical needs that should be fulfilled through marriage are ignored.
Today, the phenomenon of premarital sex is increasing due to promiscuity.
This promiscuity is considered deviant behaviour that violates norms, obligations
and shame. This research aims to compile the Islamic legal arrangements
related to pregnant marriage contained in CHAPTER VIII Article 53 paragraphs
1, 2, and 3. The method used for data analysis is descriptive analytical
method. The results show that the majority of scholars tend to allow pregnant
marriages, while some others reject the practice. This difference of opinion
arises because of different interpretations of the verse �wa hurrima zalika
alal mu'minin,� namely whether the pronoun �zalika� refers to adultery or
marriage. |
|
Ini adalah
artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-SA . This is an open
access article under the CC BY-SA�license. |
PENDAHULUAN
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan
bahwa �Perkawinan adalah hubungan fisik dan emosional antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membangun keluarga yang
bahagia dan abadi berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.� Nikah
secara etimologis berarti berkumpul dan bersetubuh, dan lafadz ini secara
hakiki berarti akad, dan secara majazi berarti persetubuhan (al-wathu).
Dalam terminologi fiqh munakahat, nikah diartikan
sebagai akad yang memungkinkan hubungan seksual dengan menggunakan lafadz nikah
atau istilah sejenis (Basri, 2020). Dalam literatur
lainnya, dijelaskan bahwa nikah tidak hanya berarti aq�d at tamlik (akad
kepemilikan) (Aeni & Alhizbi, 2023). Dalam kedua
pengertian ini, perempuan sering kali dilihat sebagai objek bagi kepentingan
laki-laki (Probosiwi, 2015). Dalam fiqh, akad
pemilikan menggambarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, termasuk hak
untuk menikmati tubuh mereka (Marwah, 2024). Sementara itu,
akad kewenangan memberikan kontrol kepada laki-laki atas perempuan (Mahdi, 2024). Meskipun
perempuan seharusnya memiliki hak yang setara untuk menikmati hubungan intim
dengan suaminya, hak ini tidak diuraikan secara jelas dalam definisi pernikahan
(Marwah, 2024).
Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan perkawinan
sebagai pernikahan, yaitu suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidza,
yang bertujuan untuk memenuhi perintah Allah dan pelaksanaannya dianggap
sebagai ibadah (Jatmiko, 2018).
Namun, pernikahan sebagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan jasmani sering kali diabaikan. Saat ini, fenomena hubungan seks
pranikah semakin meningkat akibat pergaulan yang terlalu bebas (Rismawanti, 2024). Pergaulan bebas
ini menjadi salah satu bentuk perilaku menyimpang yang melanggar norma,
kewajiban, aturan, syarat, dan rasa malu.
Saat ini, pergaulan bebas antara laki-laki dan
perempuan semakin meningkat dan sulit untuk dikendalikan. Salah satu bentuk
pergaulan bebas yang terjadi adalah hubungan seks pranikah (UTOMO, 2019). Penyimpangan ini
tentunya akan berdampak negatif bagi generasi muda sebagai penerus bangsa (Khanif et al., 2021). Hubungan seks
pranikah dapat membawa efek buruk pada aspek fisiologis remaja, seperti
kehamilan di luar nikah, aborsi, kelainan seksual, dan penyakit menular (Vintaria et al., 2023). Di sisi lain,
dampak psikologis bagi remaja mencakup depresi dan trauma akibat pengucilan
oleh teman, keluarga, dan masyarakat.
Adapun dasar hukum pernikahan adalah firman Allah:
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا فِي
الْيَتَامَىٰ
فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَىٰ
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ
أَلَّا تَعُولُوا
Artinya : �Dan Jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya),
maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang
saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih
dekat agar kamu tidak berbuat zalim.� (QS. An Nisa� : 3)
Hadis
Nabi SAW
لَهُ لَكِنِّي
أَصُومُ وَأُفْطِرُ
وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ
وَأَتَزَوَّجُ
النِّسَاءَ فَمَنْ
رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي
فَلَيْسَ مِنِّي
Artinya
: ��..Akan tetapi aku shalat, tidur, puasa, berbuka dan aku menikahi perempuan.
Maka barangsiapa membenci sunnahku, maka bukan termasuk golonganku.� (Muttafaq
alaih).
Meskipun menurut hadis di atas, nikah hanya sampai
batasan anjuran dan bukan kewajiban, namun mempunyai implikasi hukum yang
berbeda-beda. Pertama, anjuran nikah ini bisa menjadi wajib, makruh, boleh dan
sunnah sebagaimana hukum asalnya. Sebelum melaksanakan pernikahan ada beberapa
anjuran dari para ulama bahwa ketika mau menikah disunahkan menikahi Wanita
yang masih perawan.
Dalam Islam, pernikahan memiliki beberapa rukun yang
meliputi calon mempelai wanita dan pria, wali nikah, dua orang saksi, serta
proses ijab dan qabul. Tujuan utama pernikahan adalah membentuk keluarga yang
harmonis, penuh cinta, dan kasih sayang, atau yang dikenal dengan istilah
sakinah, mawaddah, dan rahmah. Selain itu, menurut beberapa kitab fiqh
munakahat, pernikahan juga berfungsi untuk menjaga diri dari perbuatan dosa
seperti zina, melanjutkan keturunan, serta menjalankan ibadah kepada Allah
dengan cara yang lebih sempurna.
Adapun hikmah pernikahan adalah sebagai
berikut:
1. Pernikahan
merupakan jalan paling ideal untuk menyalurkan hasrat seksual dengan cara yang terhormat.
Melalui ikatan pernikahan, tubuh menjadi lebih sehat, jiwa merasa damai, mata
terhindar dari godaan yang tidak pantas, dan ada ketenangan batin saat
menikmati hubungan yang halal dan diberkahi.
2. Pernikahan
memiliki tujuan penting untuk melanjutkan keturunan dan menjaga garis keturunan
tetap sah dan terhormat. Melalui pernikahan, nasab yang dihasilkan diakui
secara legal dan sosial, menjadi sumber kebanggaan bagi individu serta
keluarga. Selain itu, keinginan untuk memiliki keturunan dan menjaga
kelangsungan garis keturunan adalah bagian dari naluri alami manusia.
3. Pernikahan
menumbuhkan rasa tanggung jawab yang lebih besar pada setiap pasangan. Suami,
sebagai pemimpin rumah tangga, memikul tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, sementara istri berperan dalam merawat anak dan menjaga keharmonisan
serta kenyamanan dalam rumah tangga. Masing-masing menjalankan peran mereka
untuk menciptakan kehidupan keluarga yang seimbang dan bahagia.
4. Pernikahan
memperkokoh ikatan keluarga, memperdalam cinta di antara anggotanya, serta
memperkuat hubungan sosial dalam masyarakat. Ketika masyarakat saling mencintai
dan mendukung satu sama lain, mereka akan menjadi komunitas yang lebih solid
dan harmonis, yang menciptakan kebahagiaan bersama.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Suruh,
Kabupaten Semarang. Penelitian ini dilakukan tahun 2021. Peneliti mengambil
populasi dari masyarakat Kecamatan Suruh dari tahun 2017 sampai dengan 2020.
Sumber data yang digunakan terdiri dari wawancara kepada pelaku nikah hamil,
keluarganya dan tokoh masyarakat serta mengambil dari data-data atau dokumen
yang ada di Kecamatan Suruh. Metode pengumpulan data meliputi dokumentasi,
observasi, dan wawancara. Analisis yang digunakan adalah metode deskriptif analitis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam
perspektif hukum Islam, nikah hamil merupakan isu yang kontroversial dan sering
memicu perdebatan pro dan kontra, terutama terkait dengan siapa yang seharusnya
menikahi wanita hamil tersebut, apakah harus dengan pria yang menghamilinya
atau boleh dengan pria lain.
Dalam
Pasal 53 KHI Bab VIII mengenai kawin hamil, diatur sebagai berikut:
1. Seorang wanita
yang hamil di luar pernikahan dapat menikah dengan pria yang menyebabkan
kehamilannya.
2. Pernikahan
dengan wanita hamil yang disebutkan dalam ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
harus menunggu kelahiran anaknya.
3. Setelah
pernikahan dilangsungkan saat wanita hamil, tidak perlu diadakan pernikahan
ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.
Ketentuan ini merupakan hal baru dalam hukum
perkawinan di Indonesia yang memberikan kepastian hukum atas isu yang selama
ini sering menjadi perdebatan.
Menurut Ahmad Rofiq, kebolehan untuk menikahi
perempuan hamil, sebagaimana diatur dalam pasal di atas, terbatas pada pria
yang menghamilinya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surat An-Nur ayat
3: �Laki-laki yang berzina tidak boleh menikahi perempuan yang musyrik, dan
perempuan yang berzina tidak boleh dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan hal itu diharamkan bagi orang-orang mu�min.�
Ayat ini dapat diinterpretasikan bahwa kebolehan
menikahi perempuan hamil oleh pria yang menghamilinya adalah suatu
pengecualian, karena pria tersebut dianggap sebagai pasangan yang paling tepat.
Penghubungan dengan laki-laki musyrik mengindikasikan bahwa perempuan hamil
tersebut dianggap terlarang bagi pria yang baik, sebagai peringatan bagi mereka
untuk tidak menikahinya (al-Baqarah, 2: 221). Peringatan ini ditekankan lagi
dengan kalimat penutup ayat yang menyatakan wa hurrima zalika alal mu�minin.
Dengan demikian, bagi pria lain yang tidak menghamili perempuan tersebut,
menikahinya adalah haram. Inilah yang menjadi sumber kontroversi di kalangan
ulama mengenai pernikahan wanita hamil, yaitu apakah pernikahan harus dilakukan
dengan pria yang menghamili ataukah diperbolehkan menikahi pria lain yang tidak
menghamilinya.
Larangan bagi pria yang tidak menghamili wanita hamil
akibat zina untuk menikahinya memiliki dasar yang kuat dalam upaya menjaga
kehormatan dan martabat kaum beriman. Asbabun nuzul dari larangan ini
menunjukkan bahwa pernikahan yang melibatkan wanita hamil yang tidak sah secara
sosial dapat menciptakan stigma negatif dan mengurangi rasa hormat dalam
masyarakat. Selain itu, aturan ini juga berperan penting dalam menetapkan
status hukum anak yang lahir dari hubungan tersebut. Anak yang lahir dari
perbuatan zina hanya diakui memiliki hubungan kekerabatan dengan ibunya, yang
menghindarkan komplikasi hukum dan sosial yang mungkin timbul jika ayahnya
diakui secara hukum. Penggunaan analogi kasus anak li�an, di mana seorang ayah
menolak untuk mengakui anak karena menuduh ibunya berzina, menegaskan
pentingnya perlindungan hukum terhadap anak dan ibu.
Dalam praktiknya, masalah muncul ketika wanita hamil
akibat zina menikah dengan pria lain yang bukan penghamilnya. Situasi ini tidak
jarang terjadi dalam masyarakat, tetapi Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak
memberikan ketentuan yang jelas untuk mengatur kasus ini. Namun, jika kita
menganalisis menggunakan qiyas dengan situasi wanita hamil yang bercerai atau
ditinggal mati, kita dapat melihat bahwa masa tunggu (iddah) berlaku hingga
wanita tersebut melahirkan. Artinya, selama wanita hamil, dia tidak diperbolehkan
untuk menikah dengan pria lain, termasuk yang bukan penghamilnya. Dengan
demikian, kehamilan menjadi alasan yang kuat untuk menegaskan bahwa wanita
hamil di luar nikah tidak diperkenankan untuk menikahi pria yang tidak
menghamilinya, demi menjaga keadilan dan kehormatan bagi semua pihak yang
terlibat.
Sebagian besar ulama cenderung mengizinkan pernikahan
tersebut, sementara sebagian lainnya menolaknya. Perbedaan pendapat ini muncul
dari interpretasi yang berbeda terhadap ayat wa hurrima zalika alal mu�minin,
apakah kata ganti "zalika" merujuk pada zina atau nikah. Bagi
mayoritas ulama, ayat ini hanya menunjukkan celaan (al-dzammu) dan bukan
merupakan larangan (al-tahrim). Mereka menunjuk riwayat Jabir yang menceritakan
bahwa ada seorang sahabat yang mengadu kepada Nabi mengenai istrinya yang tidak
pernah menolak sentuhan laki-laki lain. Nabi lalu menganjurkannya untuk
menceraikannya. Akan tetapi sahabat tersebut keberatan karena ia mencintai
kecantikan istrinya. Lalu Nabi membolehkan sahabat tersebut untuk kembali
kepada istrinya dan bersenang-senang dengannya.
Pendapat jumhur ini lebih berkesuaian dengan realitas
masyarakat dan sangat dimungkinkan akan berjalan efektif bila dimasukkan dalam
pasal-pasal KHI, karena secara sosiologis lebih bisa diterima. Hal ini
disebabkan, seperti yang diungkapkan oleh Ehrlich, bahwa hukum positif akan
menjadi efektif jika sejalan dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat, yaitu
pola-pola kebudayaan.
KESIMPULAN
Dalam Kompilasi Hukum Islam, ketentuan mengenai nikah
hamil diatur dalam BAB VIII Pasal 53 ayat 1, 2, dan 3. Sebagian besar ulama
cenderung mengizinkan nikah hamil, sementara sebagian lainnya menolaknya.
Perbedaan pandangan ini muncul dari interpretasi yang berbeda terhadap ayat wa
hurrima zalika alal mu�minin, apakah kata ganti "zalika" merujuk pada
zina atau nikah. Bagi mayoritas ulama, ayat ini hanya menunjukkan celaan
(al-dzammu) dan bukan larangan (al-tahrim).
DAFTAR
PUSTAKA
Aeni, A. R., & Alhizbi, M. N. (2023). Hak Istri Dalam
Hubungan Seksual Menurut Hukum Keluarga Islam. Usroh: Jurnal Hukum Keluarga
Islam, 7(1), 27�40.
Basri, R. (2020). Fikih Munakahat 2. IAIN Parepare Nusantara
Press.
Jatmiko, V. J. (2018). HAKIKAT MAKNA MITSAQAN GHALIZA DALAM
PERKAWINAN (Studi Analisis Pendapat Tokoh Agama Pengurus Wilayah Nahdhatul
Ulama Provinsi Lampung). UIN Raden Intan Lampung.
Khanif, R., Muslimah, M., & Ahmadi, A. (2021). Urgensi
pengelolaan keluarga sebagai Madrasatul�ula dalam meminimalisir dekadensi moral
generasi muda masa kini. Jurnal Pendidikan Islam Al-Affan, 1(2), 103�112.
Mahdi, I. (2024). Exual Equality Dalam Perspektif Al-Qur�an:
Solusi Terhadap Dominasi Seksual. Institut PTIQ Jakarta.
Marwah, S. (2024). Kedudukan dan Pemberdayaan Perempuan dalam
Rumah Tangga Perspektif Al-Qur�an. UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Probosiwi, R. (2015). Perempuan dan Perannya dalam
Pembangunan Kesejahteraan Sosial (women and its role on social welfare
development). Natapraja, 3(1).
Rismawanti, R. (2024). Fenomena pernikahan anak akibat hamil
diluar nikah (studi di KUA Kecamatan Keera Kabupaten Wajo. IAIN Parepare.
UTOMO, B. (2019). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA
PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA REMAJA MADYA DI GRESIK. Universitas Muhammadiyah
Gresik.
Vintaria, V., Handini, M. C., Siregar, L. M., Manurung, K.,
& Sitorus, M. E. J. (2023). Perilaku seks bebas pada remaja. Jurnal
Kesehatan Tambusai, 4(2), 1409�1420.
Andalusy, Ibnu
Rusyd Al-Qurtubi Al-. Bidayat Al-Mujtahid Wa Nihayat Al-Muqtashid. Semarang:
Toha Putra, T.T.
Bukhari,
Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-. Shahih Al-Bukhari. Sulaiman Mar�i, T.T.
Kodir,
Faqihuddin Abdul. �Seksualitas Perempuan Dalam Teks-Teks Hadis Nabi Saw.� Swara
Rahima (Blog), 6 November 2020.
Https://Swararahima.Com/2020/11/06/Seksualitas-Perempuan-Dalam-Teks-Teks-Hadis-Nabi-Saw/.
�KOMPILASI
HUKUM ISLAM,� T.T.
Nadzhir,
Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, T.T.
Nawawy,
An. Marah Labid Tafsir Munir. Semarang: Toha Putra, T.T.
Pemerintah
Indonesia. �Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.� LL
Sekretariat Negara, 2 Januari 1974.
Rofiq,
Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, T.T.Sabiq,
Sayyid. Fiqhussunnah, Terj. Moh. Thalib, Bandung. Bandung: Al-Ma�arif,
T.T.Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologis Hukum. Jakarta: Rajawali
Grafindo Persada, T.T.
Syarbini,
Muhammad. Al-Iqna� Fi Hilli Al-Fadzi Abi Suja�. Semarang: Toha Putra, T.T.